Share

Bab 3

Tiba di rumah, aku dibuat tercengang. Bukan apa-apa, para tetangga tengah berkerumun. Di depan rumahku tampak dua mobil yang sedang terparkir dan isinya beragam furniture. Beberapa orang tengah sibuk menurunkannya dan menggotongnya ke teras rumah. Aku berjalan tergesa, heran. Siapa yang membawa barang-barang sebanyak ini ke rumahku?

“Loh ini ada apa, ya?” tanyaku sambil mendekat. Beberapa tetangga menoleh padaku sambil berdecak.

“Wah pasti kemarin hasil amplopnya banyak ya, Rin? Sampe-sampe bisa borong furniture mahal-mahal kayak gini?” tanya Bi Mae---tetangga samping rumah. Dia sibuk mengusap-usap ukiran lemari pakaian tiga pintu yang masih ada di atas mobil pick up.

“Amplop? Borong?” Aku menggaruk kepala dan menautkan alis. Masih shock dengan beragam perabotan kayu jati yang tampak berat-berat itu.

"Iya 'kan habis bukain amplop, langsung borong-borong! Dapet berapa gitu, Rin?" tanya Bi Mae lagi. Namun, belum sempat kumenjawab, suara Bi Icah terdengar menyela.

“Arina, Arina! Kamu itu baru pegang duit dikit saja, sudah kalap, ya? Dulu waktu Mia habis nikahan sama Sandi, uangnya gak dihambur-hamburkan kayak gini. Dibeliin emas, biar nanti bisa dijual kalau pas butuh. Ini dibeliin perabotan, cuma jadi sampah nanti!” Suara Bi Icah terdengar jelas. Dia keluar dari dalam rumah dan mendekat ke arahku.

Aku mendengus, pusing dengan cemoohan tak berdasar. Uang amplop, hasil hajatan apaan? Amplopnya saja masih utuh dalam tas belum sempat aku buka. Nikah tanpa cinta itu gak ada seneng-senengnya, habis acara, ya, tidur. Capek, lelah dan hanya berharap cibiran per4w4n tua padaku akan segera hilang. Bapak dan Ibu bisa sehat dan gak malu lagi karena aku selalu jadi bahan omongan.

“Iya sih, harusnya dihemat-hemat, ya, Bi Icah! Harus ada planning ke depan kalau jadi orang. Sama, anak saya juga si Rohaeni, waktu habis nikahan, uangnya dibeliin kalung. Jadi, pas mau bangun rumah bisa dijual lagi.” Bi Anah---yang bertetanggaan dengan Bi Icah turut menimpali.

“Kalian ngomongin apa, sih? Saya saja gak tahu ini barang-barang siapa? Eh, Mang! Ini perabotan siapa, sih?!” Aku berteriak pada pekerja toko yang tengah sibuk menurunkan barang-barang.

Salah satu dari mereka menghampiri dan menunjukkan nota dengan nominal puluhan juta. Lalu di sana tertera jelas ada nama suamiku, Reza.

Aku menoleh pada Mas Reza yang baru saja memarkirkan sepeda motor bututnya dan berbincang dengan seorang pekerja toko lainnya, ada empat orang jumlahnya. Lalu kutergesa menghampirinya.

“Mas, aku mau ngomong!” tukasku sambil menarik lengannya agar menjauh dari lawan bicaranya. Dia tampak menoleh pada pekerja toko dan mengangguk. Lalu dia menurut saja saat kuajak menjauh. Kini dia berdiri menatapku.

“Ya, Dek? Ada apa? Apa masih ada yang ingin Adek beli?” tanyanya dengan wajah polos.

“Mas, ini siapa yang belanja sebanyak ini? Siapa beli perabotan sampe habis tiga puluh jutaan kayak gini? Mas aku gak mau ya habis nikahan ini capek bayarin utang.” tukasku sambil menunjukkan nota yang kupegang.

“Utang? Utang apaan? Adek masih punya utang?” tanyanya dengan wajah terheran-heran.

“Oh, jadi beli barang-barang sebanyak ini cuma ngutang?” Tak kusangka, Bi Icah sudah berdiri tak jauh dari kami. Dia bicara sambil sengaja mengeraskan suaranya. Suamiku menoleh padanya.

“Siapa yang ngutang, Bi?” Mas Reza menoleh dan lagi-lagi menatap bingung.

“Ini, kamu beli perabotan ngutang ‘kan?” tanya Bi Icah lagi.

“Maaf, Pak Reza. Ini kembaliannya! Makasih ya sudah berlanja di toko kami! Karena Pak Reza sudah belanja dalam jumlah banyak dan cash, kami akan memberikan bonus! Tadi bos nelepon, kalau bonusnya sore ini dianter ke sini!”

Bi Icah terdiam. Dia menatap lembaran pecahan dua puluh ribuan yang disodorkan pekerja toko. Namun, Mas Reza mendorong uang itu lagi.

“Kembaliannya ambil saja, Mas! Ini saya tambah buat tips, ya!” Mas Reza mengeluarkan uang seratus ribuan dari dompet lusuhnya lalu menyerahkan pada pekerja toko itu.

“Wah, makasih banyak, Pak Reza! Semoga rejekinya lancar, Pak!” Pekerja toko itu mengambil selembar uang itu dengan sumringah.

Bi Icah yang tadi sibuk menuduh ngutang, kini bungkam. Apalagi beberapa tetangga yang lain juga tampaknya mencuri-curi dengar. Mereka jadi sudah tahu kalau semua ini dibeli cash oleh Mas Reza.

“Reza, kamu gak usah seheboh ini biar bisa nyaingin mantu saya! Dari kerjaan saja jauh ke mana-mana. Sandi kerjanya kantoran, kamu cuma serabutan! Jangan-jangan duit hasil jual warisan kamu beliin perabotan semua! Harusnya mikirin dulu nanti mau tinggal di mana? Beli rumah dulu, bukan hura-hura gak jelas kayak gini!” ketus Bi Icah sebelum pergi. Dia terlihat sewot.

Aku mengusap wajah. Padahal kami tak merugikannya. Apa dia kesal karena merasa Mas Sandi, menantu yang selalu dia bangga-banggakan itu tersaingi? Apa dia merasa jika Mia yang selalu dia bilang sangat beruntung karena punya suami karyawan tetap itu jadi kalah pamor?

Aku menatap Mas Reza, aku juga ingin menanyakan hal yang sama. Kenapa tiba-tiba dia beli barang-barang sebanyak ini. Bukankah untuk mahar saja cuma seratus ribu rupiah.

Hanya saja karena di pekarangan masih banyak tetangga berbincang. Mereka sibuk berspekulasi tentang perabotan kayu jati yang mahal-mahal ini. Aku lekas menarik lengan Mas Reza dan mengajaknya masuk.

“Mas, tolong jangan buat aku bingung! Mas belanja dengan uang sebanyak ini untuk apa? Aku gak minta ‘kan? Lalu, uangnya dari mana? Amplop hasil kondangan saja belum kita buka ‘kan? Bener juga loh yang Bi Icah bilang, kalaupun ada uang, harusnya kita pikirin dulu buat beli tanah sama rumah, baru belanja perabotan.” Aku menatapnya dan menunggu jawaban.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status