Tiba di rumah, aku dibuat tercengang. Bukan apa-apa, para tetangga tengah berkerumun. Di depan rumahku tampak dua mobil yang sedang terparkir dan isinya beragam furniture. Beberapa orang tengah sibuk menurunkannya dan menggotongnya ke teras rumah. Aku berjalan tergesa, heran. Siapa yang membawa barang-barang sebanyak ini ke rumahku?
“Loh ini ada apa, ya?” tanyaku sambil mendekat. Beberapa tetangga menoleh padaku sambil berdecak.“Wah pasti kemarin hasil amplopnya banyak ya, Rin? Sampe-sampe bisa borong furniture mahal-mahal kayak gini?” tanya Bi Mae---tetangga samping rumah. Dia sibuk mengusap-usap ukiran lemari pakaian tiga pintu yang masih ada di atas mobil pick up.“Amplop? Borong?” Aku menggaruk kepala dan menautkan alis. Masih shock dengan beragam perabotan kayu jati yang tampak berat-berat itu."Iya 'kan habis bukain amplop, langsung borong-borong! Dapet berapa gitu, Rin?" tanya Bi Mae lagi. Namun, belum sempat kumenjawab, suara Bi Icah terdengar menyela.“Arina, Arina! Kamu itu baru pegang duit dikit saja, sudah kalap, ya? Dulu waktu Mia habis nikahan sama Sandi, uangnya gak dihambur-hamburkan kayak gini. Dibeliin emas, biar nanti bisa dijual kalau pas butuh. Ini dibeliin perabotan, cuma jadi sampah nanti!” Suara Bi Icah terdengar jelas. Dia keluar dari dalam rumah dan mendekat ke arahku.Aku mendengus, pusing dengan cemoohan tak berdasar. Uang amplop, hasil hajatan apaan? Amplopnya saja masih utuh dalam tas belum sempat aku buka. Nikah tanpa cinta itu gak ada seneng-senengnya, habis acara, ya, tidur. Capek, lelah dan hanya berharap cibiran per4w4n tua padaku akan segera hilang. Bapak dan Ibu bisa sehat dan gak malu lagi karena aku selalu jadi bahan omongan.“Iya sih, harusnya dihemat-hemat, ya, Bi Icah! Harus ada planning ke depan kalau jadi orang. Sama, anak saya juga si Rohaeni, waktu habis nikahan, uangnya dibeliin kalung. Jadi, pas mau bangun rumah bisa dijual lagi.” Bi Anah---yang bertetanggaan dengan Bi Icah turut menimpali.“Kalian ngomongin apa, sih? Saya saja gak tahu ini barang-barang siapa? Eh, Mang! Ini perabotan siapa, sih?!” Aku berteriak pada pekerja toko yang tengah sibuk menurunkan barang-barang.Salah satu dari mereka menghampiri dan menunjukkan nota dengan nominal puluhan juta. Lalu di sana tertera jelas ada nama suamiku, Reza.Aku menoleh pada Mas Reza yang baru saja memarkirkan sepeda motor bututnya dan berbincang dengan seorang pekerja toko lainnya, ada empat orang jumlahnya. Lalu kutergesa menghampirinya.“Mas, aku mau ngomong!” tukasku sambil menarik lengannya agar menjauh dari lawan bicaranya. Dia tampak menoleh pada pekerja toko dan mengangguk. Lalu dia menurut saja saat kuajak menjauh. Kini dia berdiri menatapku.“Ya, Dek? Ada apa? Apa masih ada yang ingin Adek beli?” tanyanya dengan wajah polos.“Mas, ini siapa yang belanja sebanyak ini? Siapa beli perabotan sampe habis tiga puluh jutaan kayak gini? Mas aku gak mau ya habis nikahan ini capek bayarin utang.” tukasku sambil menunjukkan nota yang kupegang.“Utang? Utang apaan? Adek masih punya utang?” tanyanya dengan wajah terheran-heran.“Oh, jadi beli barang-barang sebanyak ini cuma ngutang?” Tak kusangka, Bi Icah sudah berdiri tak jauh dari kami. Dia bicara sambil sengaja mengeraskan suaranya. Suamiku menoleh padanya.“Siapa yang ngutang, Bi?” Mas Reza menoleh dan lagi-lagi menatap bingung.“Ini, kamu beli perabotan ngutang ‘kan?” tanya Bi Icah lagi.“Maaf, Pak Reza. Ini kembaliannya! Makasih ya sudah berlanja di toko kami! Karena Pak Reza sudah belanja dalam jumlah banyak dan cash, kami akan memberikan bonus! Tadi bos nelepon, kalau bonusnya sore ini dianter ke sini!”Bi Icah terdiam. Dia menatap lembaran pecahan dua puluh ribuan yang disodorkan pekerja toko. Namun, Mas Reza mendorong uang itu lagi.“Kembaliannya ambil saja, Mas! Ini saya tambah buat tips, ya!” Mas Reza mengeluarkan uang seratus ribuan dari dompet lusuhnya lalu menyerahkan pada pekerja toko itu.“Wah, makasih banyak, Pak Reza! Semoga rejekinya lancar, Pak!” Pekerja toko itu mengambil selembar uang itu dengan sumringah.Bi Icah yang tadi sibuk menuduh ngutang, kini bungkam. Apalagi beberapa tetangga yang lain juga tampaknya mencuri-curi dengar. Mereka jadi sudah tahu kalau semua ini dibeli cash oleh Mas Reza.“Reza, kamu gak usah seheboh ini biar bisa nyaingin mantu saya! Dari kerjaan saja jauh ke mana-mana. Sandi kerjanya kantoran, kamu cuma serabutan! Jangan-jangan duit hasil jual warisan kamu beliin perabotan semua! Harusnya mikirin dulu nanti mau tinggal di mana? Beli rumah dulu, bukan hura-hura gak jelas kayak gini!” ketus Bi Icah sebelum pergi. Dia terlihat sewot.Aku mengusap wajah. Padahal kami tak merugikannya. Apa dia kesal karena merasa Mas Sandi, menantu yang selalu dia bangga-banggakan itu tersaingi? Apa dia merasa jika Mia yang selalu dia bilang sangat beruntung karena punya suami karyawan tetap itu jadi kalah pamor?Aku menatap Mas Reza, aku juga ingin menanyakan hal yang sama. Kenapa tiba-tiba dia beli barang-barang sebanyak ini. Bukankah untuk mahar saja cuma seratus ribu rupiah.Hanya saja karena di pekarangan masih banyak tetangga berbincang. Mereka sibuk berspekulasi tentang perabotan kayu jati yang mahal-mahal ini. Aku lekas menarik lengan Mas Reza dan mengajaknya masuk.“Mas, tolong jangan buat aku bingung! Mas belanja dengan uang sebanyak ini untuk apa? Aku gak minta ‘kan? Lalu, uangnya dari mana? Amplop hasil kondangan saja belum kita buka ‘kan? Bener juga loh yang Bi Icah bilang, kalaupun ada uang, harusnya kita pikirin dulu buat beli tanah sama rumah, baru belanja perabotan.” Aku menatapnya dan menunggu jawaban.Manusia hanya mampu merencanakan, sedangkan Tuhan yang menentukan. Seperti kabar kalau Sandi yang kini ditangkap polisi karena kasus kekerasan, Bi Icah yang terkena stroke dan Mia yang kini nasibnya terkatung-katung tak karuan. Ibunya Sandi yang dulu selalu membangga-banggakan putranya itu pun gaungnya mulai menghilang dan seperti aku, yang masih setia menunggu diberikan keturunan. Perlahan tapi pasti. Garisan nasib bergerak perlahan. Semua bergerak mengikuti ketentuan-Nya, bukan hanya berdasarkan keinginan dan rencana manusia. Kehidupan pernikahanku baik-baik saja. Kondisi ekonomi kami pun melaju pesat. Toko sembakoku, kini sudah mulai membuka cabang. Tika kupercayakan sebagai pengelola di sana. Meskipun awalnya aku menawari Bapak, tetapi dia menolaknya. Katanya, tak ingin hidup bergantung pada menantu. Jadi, Bapak masih menekuni jaga parkiran. Baginya, hidup mewah itu bukan tujuan. Katanya melihat anaknya sudah hidup mapan pun, sudah menjadi kebahagiaan.Ah, bahagianya hidupku pun
Bab 50 – Pov Sandi“Mas tolong anterin pesenan ke meja nomor 57!” tutur Silvi, teman satu shiftku sambil menempelkan catatan pada tepi meja orderan. “Oke.” Aku mengangguk sambil memeriksa apa saja yang dipesannya. Lekas aku menghubungi bagian dapur dan meminta disiapkan menu-menu yang akan kuantar. Sementara itu, Silvi tampak sudah kembali ke depan dan menghampiri meja lainnya.Makanan yang dipesan untuk meja nomor 57 sudah berada di atas nampan. Aku lekas mengayun langkah cepat mengantarnya. Sepertinya hanya makan siang kecil, orderannya pun tak banyak. Bisa aku sekali antar. Dalam jarak beberapa meter, terlihat dua orang yang sedang duduk. Rasanya familiar, tetapi memang para tamu di sini sering datang berulang. Jadi, mungkin salah satu tamu yang datang ke sini. Hanya saja anggapanku langsung terbantah ketika suara yang tak asing itu memanggil namaku. “Sandi?” Pertanyaan spontan itu membuat aku seketika mendongak dan sepasang netra kami saling bertemu. Rasanya dunia berhenti b
“Mbak! Mbak Arin!” Baru saja kami tiba setelah makan siang ketika Aryo tergopoh menghampiri. Wajahnya terlihat pucat seperti orang ketakutan. “Kamu kenapa kayak orang ketakutan gitu, Yo?” “Anu, Mbak Arin! Tadi Pak RT mau pinjam mobil!” “Kenapa gak nelepon saja?” “Sudah, Mbak Arin! Tapi gak diangkat. Ke Mas Reza juga gak diangkat.” Lalu, serempak kami sama-sama mengecheck ponsel. Rupanya benar ada miscall dari Pak RT. “Oh, iya, Yo. Gak keangkat. Kami lagi di jalan kayaknya tadi. Pak RT ada apa, ya? Mas telepon balik, takut penting!” Aku menoleh pada Mas Reza. “Anu, Mbak, Mas! Pak RT mau bawa Mbak Mia ke rumah sakit. Percobaan bunuh diri, katanya!” tutur Aryo. “Astaghfirulloh!” Kompak aku dan Mas Reza beristighfar. Kutatap wajah Aryo lekat-lekat. “Yang bener, Yo?” tanyaku. Aryo mengangguk. Cuma Mas Reza kudengar mulai berbicara di telepon. “Hallo, Pak RT! Maaf, kami lagi diluar tadi!” “Oh, sudah dapat mobilnya … di rumah sakit mana, Pak RT? … Oh syukurlah … Wa’alaikumsalam!
Penjaga toko yang dicarikan Mas Reza sudah mulai bekerja. Aryo namanya. Karena sudah ada yang jaga toko, akhirnya, kami pun punya kesempatan melanjutkan kencan kami yang tertunda beberapa waktu lalu. Kuminta Mas Reza mengenakan lagi pakaian yang sudah kupilihkan. Waktu itu dia pakai dan terlihat keren.“Kenapa Adek beliin Mas baju-baju kayak gini, Dek? Mas nggak nyaman.” Mas Reza tampak celingukan menatap celana tiga perempat yang membuat betisnya yang berbulu lebat itu kelihatan. Baju kaos berkerah yang ukurannya pas badan membuatnya terlihat gagah. Sejak setengah jam lalu dia sudah memakai setelan itu, tapi terlihat tidak percaya diri. “Mas ganteng kalau pake itu.” Aku melirik ke arahnya sambil menyematkan peniti pada ujung kerudung yang kulipat ke dada. “Oh begitu? Cuma memang nggak nyaman loh, Dek.” Dia tersipu, tapi tetap terlihat kikuk dengan setelan yang sudah dia kenakan. “Waktu itu juga Mas pake, tapi makin lama, makin malu. Nggak nyaman pada dilihatin ibu-ibu.” Dia tersip
Getaran ponsel yang tergeletak membuatku terperanjat. Menarik pikiranku yang sedang jalan-jalan ke masa lalu kini kembali mendekat. Rupanya telepon dari sebuah nomor baru. Siapa, ya? Aku pun lekas mengangkatnya. “Hallo!”“Arin!” Suara itu.“Firman?” “Arin, aku mau bicara, tolong buka blokir nomorku!” Tut!Aku langsung menurunkan ponsel dari telinga dan kututup. Dalam hitungan menit, nomornya sudah kublokir lagi. Maaf, Firman. Kesalahanmu sudah terlalu fatal. Untuk kali ini, aku tak bisa lagi untuk mentolerir hal itu. Bahkan, aku tak sudi lagi memanggilmu dengan embel-embel Mas seperti dulu. Setelah itu, aku kembali melanjutkan aktivitas. Ini nomor ke sekian yang menelponku dan aku pun memblokirnya. Aku tak memberitahu Mas Reza. Aku tak ingin dia teringat kejadian memalukan itu lagi. Bayangan Firman yang melepas pakaiannya, seringainya yang menjatuhkan dan setiap kalimatnya yang membuatku seolah-olah perempuan murahan, aku benci. “Adek, sore nanti Mas mau ajak pergi.” Aku menol
“Pak Ustadz, acara syukuran mobilnya dimulai kalau Reza sudah datang, ya! Mobil ini hadiah dari Ibu buat menantu Ibu yang cantik ini. Semoga Arin suka, ya!” Aku masih terbengong-bengong, sesekali kucubit punggung tangan. Ini masih terasa mimpi. Tiba-tiba aku punya mobil? “Tuh Reza, Bu!” Mbak Resa, kakak pertama Mas Reza yang ternyata juga datang, membuka suara. Ini pertemuan pertama kami. Wajahnya sangat mirip Mbak Rena, sebelas dua belas. Bahkan tak terlihat kalau dia lebih tua, mereka seperti sepantaran. “Alhamdulilah, orangnya sudah sampai, Pak Ustadz! Kalau begitu, acaranya dimulai saja Pak Ustadz.” Ibu Mertua bicara sambil menoleh ke arah Mas Reza. Lalu setelah itu dia kembali duduk di sampingku. Pak Ustadz pun menoleh ke arah Mas Reza yang mendekat. Dia mengangguk saja dan tersenyum lalu memulai kajian. Yang diundang tak terlalu ramai. Hanya ada sekitar dua puluh orang, para tetangga yang dekat-sekat saja dan keluarga. Hidangannya nasi kotak, Mbak Resa yang pesan, jadi pagi