Share

Bab 4

Author: Evie Yuzuma
last update Last Updated: 2024-02-08 06:39:24

"Mas, tolong jangan buat aku bingung! Mas belanja dengan uang sebanyak ini untuk apa? Aku gak minta ‘kan? Lalu, uangnya dari mana? Amplop hasil kondangan saja belum kita buka ‘kan? Bener juga loh yang Bi Icah bilang, kalaupun ada uang, harusnya kita pikirin dulu buat beli tanah sama rumah, baru belanja perabotan.” Aku menatapnya dan sibuk menunggu jawaban.

Mas Reza menggaruk kepala. Dia menatapku lekat-lekat dengan terlihat merasa bersalah.

“Maafin Mas kalau adek gak suka. Orang tua Mas kemarin denger omong-omongan tetangganya Adek. Katanya gini, pantas saja ada yang mau, dimurahin kayaknya. Maharnya masa cuma seratus ribu, terus di sini ‘kan kalau anak perawan itu biasanya dibawain perabotan, seserahan, bukan kayak gini doang.”

“Terus ada lagi yang nyeletuk, namanya juga per4w4n tua, ada yang mau saja sudah syukur. Lagian kayaknya nikahnya juga cuma asal sah saja, paling habis beberapa hari juga cerai, yang penting sudah kehapus gelarnya, gak per4w4n tua lagi.”

Aku mendengarkan Mas Reza yang sedang bercerita. Sesak sih, tapi emang sering juga denger kayak gitu.

“Jadinya orang tua Mas sibuk suruh beli ini itu, biar tetangga Adek tahu, kalau Adek itu berharga di mata keluarga kami.”

Seketika rasa kesal dan penasaranku tiba-tiba berubah haru. Ucapan yang keluar dari mulut Mas Reza membuat hatiku tersentuh. Bukan karena barang-barang mahalnya. Namun, karena niatnya. Dia ingin menunjukkan pada seluruh warga di kampung ini jika aku berharga.

Tak terasa sepasang mataku berkaca-kaca. Tenggorokkanku terasa tercekat rasanya. Aku merasa terharu oleh penuturannya. Aku masih mencoba mengendalikan diri menahan tangis ketika suara Ibu terdengar memanggil.

“Rin! Gimana Mang Muh? Bisa datang sekarang?” tanyanya. Ibu hanya menoleh ke arah luar. Mungkin sudah tahu ada para tetangga yang sibuk nontonin perabotan.

“Iya, jadi, Bu!” Aku menjawab saja asal. Yang penting, pesan Ibu sudah disampaikan. Meskipun tadi lupa nyuruh Mang Muh ke rumah jam berapa.

“Itu kamu beli perabotan apa, Mas? Bi Icah dari tadi ngedumel mulu di belakang?” tanya Ibu menoleh pada suamiku.

“Itu, Bu! Barang perabotan buat Arina, Bu. Kemarin kami gak tahu kalau ada budaya kayak gini di sini. Di tempat kami gak ada soalnya, Bu.” Mas Reza mengangguk sopan pada Ibu.

“Oalah, kami gak minta, kok, Mas. Bapaknya Arin gak mau memberatkan pihak besan, katanya. Lagian itu bukan rukun nikah juga. Yang penting pernikahan kalian sah, itu saja Ibu sudah bahagia.”

“Iya, Bu. Saya paham. Cuman dari keluarga tetap ingin ngasih, Bu! Mohon diterima, Bu!” Mas Reza bicara sambil menunduk.

“Iya, Iya, Mas. Ibu berterima kasih banyak.” Ibu tersenyum sambil menatapku dan Mas Reza bergantian.

“Assalamu’alaikum!” Suara yang mengucap salam terdengar lantang.

“Wa’alaikumsalam!” Ibu tergesa keluar.

Aku hanya menoleh. Dari suaranya sepertinya Mang Muh yang datang. Benar saja, tak berapa lama Ibu lewat diikuti lelaki paruh baya itu menuju ke arah dapur. Karung-karung beras memang diletakkan di sana. Lalu Mang Muh, Bapak dan anak buahnya sibuk mengangkut beras-beras ke depan untuk ditimbang.

“Mas, pertanyaanku belum dijawab, loh! Aku gak mau sampai kamu berhutang demi membeli semua perabotan ini! Kamu dapat uang dari mana sebanyak ini, Mas?” tanyaku padanya.

“Adek, nanti Mas jawabnya, ya! Mas bantuin Bapak dulu!” Mas Reza tampak sungkan karena kami masih mengobrol, sedangkan Bapak dan Mang Muh sibuk mengangkut beras ke depan.

Aku menghela napas kasar. Lalu aku mengangguk saja. Mas Reza pun bergegas bangkit dan berjalan meninggalkanku. Dia membantu Bapak mengangkut karung-karung beras itu.

Aku beranjak ke dapur dan menemui Ibu.

“Bu, aku mau bicara soal Bu Ambar.” Aku mendekat ke arahnya yang sedang sibuk membuat kopi.

“Eh, kamu Rin! Ini tolong kelarin dulu buat kopinya! Buat Mang Muh sama anak buahnya.” Ibu malah menyerahkan sendok kopi dan toples padaku. Lalu, dia berjalan ngeloyor keluar begitu saja.

“Bu, aku mau bicarain soal Bu Ambar!” cegahku. Namun, Ibu sudah berjalan menjauh dan meninggalkanku.

“Sore saja, Rin! Lagi riweuh kayak gini juga kamu tuh!” tutur Ibu.

Aku hanya menghela napas kasar. Lalu kuselesaikan kopi yang kubuat untuk mereka. Setelah itu, kubawa ke depan. Tampak Mas Reza tengah sibuk membantu menimbang beras-beras itu dengan anak buah Mang Muh. Sementara itu, Bapak dan Mang Muh tampak sedang berbincang.

Aku baru hendak memutar tubuh ke belakang ketika Mas Sandi tampak berjalan mendekat ke arah kami. Aku urungkan niat dan menunggunya datang. Tumben sekali dia datang sendirian ke sini. Biasanya, Mia selalu saja mengekorinya.

“Sini ngopi, San!” Bapak mengulangkan tangan ke arah Mas Sandi. Dia sudah memaafkan Mas Sandi sejak lama, berbeda denganku. Luka ini masih terasa perih jika melihat dia apalagi bersama Mia dan anaknya.

“Iya, Wak!” tuturnya sambil mendekat. Ibu menoleh ke arahku, tapi aku membuang muka. Pasti Ibu mau menyuruh membuatkan kopi untuknya. Ibu pun sepertinya paham. Dia lekas beranjak ke dapur. Mungkin mau membuat sendiri kopi untuk Mas Sandi.

“Libur, San?” tanya Bapak setelah Mas Sandi duduk.

“Iya, Wak! Oh, ya, Wak? Itu Si Reza emang kerjaannya apa, sih? Saya ada perlu sama dia sebetulnya.” tanyanya sambil duduk dan menatap Mas Reza.

Aku berdiri di ambang pintu dan sibuk mendengarkan.

“Kenapa gitu, San?” tanya Bapak sambil menatap Mas Sandi.

“Ini, Wak! Uwak harus hati-hati! Dia itu pengedar uang palsu! Lihat ini! Lembaran uang ini palsu, Wak!” Mas Sandi mengeluarkan beberapa lembar merah dari dalam dompetnya.

“Jangan ngada-ngada kamu, San! Lagian uang palsu itu kamu yang bawa. Kenapa juga jadi si Reza yang dituduh?” tanya Bapak sambil menatap Mas Sandi.

Mas Sandi menoleh pada Mang Muh.

“Mang Muh tadi lihat gak, katanya Dia bayar utang ke Ibu saya lima belas juta? Katanya di toko beras Mang Muh.”

“Iya, iya, lihat. Terus?”

“Nah, pas tadi saya periksa! Ini uang palsu! Uang dari si Reza itu uang palsu!” tutur Mas Sandi dengan wajah serius.

“Oalah! Jadi dia itu sok pamer kekayaan dan banyak uang, tapi nyatanya cuma uang palsu, ya! Bu Ibu, lihat sini! Suaminya Si Arina itu ternyata pengedar uang palsu!”

Suara Bi Icah yang cempreng membuat para tetangga yang masih tersisa dan tengah sibuk membuka-buka lemari kayu jati milikku menoleh ke arahnya. Mas Reza dan anak buah Mang Muh pun menghentikkan kegiatan menimbang berasnya. Lalu, semua mata terarah kepada Mas Reza yang mendadak jadi tersangka, pengedar uang palsu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Isabella
si sandi itu iri dengki
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Kejutan Suami Lugu   Bab 51-End

    Manusia hanya mampu merencanakan, sedangkan Tuhan yang menentukan. Seperti kabar kalau Sandi yang kini ditangkap polisi karena kasus kekerasan, Bi Icah yang terkena stroke dan Mia yang kini nasibnya terkatung-katung tak karuan. Ibunya Sandi yang dulu selalu membangga-banggakan putranya itu pun gaungnya mulai menghilang dan seperti aku, yang masih setia menunggu diberikan keturunan. Perlahan tapi pasti. Garisan nasib bergerak perlahan. Semua bergerak mengikuti ketentuan-Nya, bukan hanya berdasarkan keinginan dan rencana manusia. Kehidupan pernikahanku baik-baik saja. Kondisi ekonomi kami pun melaju pesat. Toko sembakoku, kini sudah mulai membuka cabang. Tika kupercayakan sebagai pengelola di sana. Meskipun awalnya aku menawari Bapak, tetapi dia menolaknya. Katanya, tak ingin hidup bergantung pada menantu. Jadi, Bapak masih menekuni jaga parkiran. Baginya, hidup mewah itu bukan tujuan. Katanya melihat anaknya sudah hidup mapan pun, sudah menjadi kebahagiaan.Ah, bahagianya hidupku pun

  • Kejutan Suami Lugu   Bab 50

    Bab 50 – Pov Sandi“Mas tolong anterin pesenan ke meja nomor 57!” tutur Silvi, teman satu shiftku sambil menempelkan catatan pada tepi meja orderan. “Oke.” Aku mengangguk sambil memeriksa apa saja yang dipesannya. Lekas aku menghubungi bagian dapur dan meminta disiapkan menu-menu yang akan kuantar. Sementara itu, Silvi tampak sudah kembali ke depan dan menghampiri meja lainnya.Makanan yang dipesan untuk meja nomor 57 sudah berada di atas nampan. Aku lekas mengayun langkah cepat mengantarnya. Sepertinya hanya makan siang kecil, orderannya pun tak banyak. Bisa aku sekali antar. Dalam jarak beberapa meter, terlihat dua orang yang sedang duduk. Rasanya familiar, tetapi memang para tamu di sini sering datang berulang. Jadi, mungkin salah satu tamu yang datang ke sini. Hanya saja anggapanku langsung terbantah ketika suara yang tak asing itu memanggil namaku. “Sandi?” Pertanyaan spontan itu membuat aku seketika mendongak dan sepasang netra kami saling bertemu. Rasanya dunia berhenti b

  • Kejutan Suami Lugu   Bab 49

    “Mbak! Mbak Arin!” Baru saja kami tiba setelah makan siang ketika Aryo tergopoh menghampiri. Wajahnya terlihat pucat seperti orang ketakutan. “Kamu kenapa kayak orang ketakutan gitu, Yo?” “Anu, Mbak Arin! Tadi Pak RT mau pinjam mobil!” “Kenapa gak nelepon saja?” “Sudah, Mbak Arin! Tapi gak diangkat. Ke Mas Reza juga gak diangkat.” Lalu, serempak kami sama-sama mengecheck ponsel. Rupanya benar ada miscall dari Pak RT. “Oh, iya, Yo. Gak keangkat. Kami lagi di jalan kayaknya tadi. Pak RT ada apa, ya? Mas telepon balik, takut penting!” Aku menoleh pada Mas Reza. “Anu, Mbak, Mas! Pak RT mau bawa Mbak Mia ke rumah sakit. Percobaan bunuh diri, katanya!” tutur Aryo. “Astaghfirulloh!” Kompak aku dan Mas Reza beristighfar. Kutatap wajah Aryo lekat-lekat. “Yang bener, Yo?” tanyaku. Aryo mengangguk. Cuma Mas Reza kudengar mulai berbicara di telepon. “Hallo, Pak RT! Maaf, kami lagi diluar tadi!” “Oh, sudah dapat mobilnya … di rumah sakit mana, Pak RT? … Oh syukurlah … Wa’alaikumsalam!

  • Kejutan Suami Lugu   Bab 48

    Penjaga toko yang dicarikan Mas Reza sudah mulai bekerja. Aryo namanya. Karena sudah ada yang jaga toko, akhirnya, kami pun punya kesempatan melanjutkan kencan kami yang tertunda beberapa waktu lalu. Kuminta Mas Reza mengenakan lagi pakaian yang sudah kupilihkan. Waktu itu dia pakai dan terlihat keren.“Kenapa Adek beliin Mas baju-baju kayak gini, Dek? Mas nggak nyaman.” Mas Reza tampak celingukan menatap celana tiga perempat yang membuat betisnya yang berbulu lebat itu kelihatan. Baju kaos berkerah yang ukurannya pas badan membuatnya terlihat gagah. Sejak setengah jam lalu dia sudah memakai setelan itu, tapi terlihat tidak percaya diri. “Mas ganteng kalau pake itu.” Aku melirik ke arahnya sambil menyematkan peniti pada ujung kerudung yang kulipat ke dada. “Oh begitu? Cuma memang nggak nyaman loh, Dek.” Dia tersipu, tapi tetap terlihat kikuk dengan setelan yang sudah dia kenakan. “Waktu itu juga Mas pake, tapi makin lama, makin malu. Nggak nyaman pada dilihatin ibu-ibu.” Dia tersip

  • Kejutan Suami Lugu   Bab 47

    Getaran ponsel yang tergeletak membuatku terperanjat. Menarik pikiranku yang sedang jalan-jalan ke masa lalu kini kembali mendekat. Rupanya telepon dari sebuah nomor baru. Siapa, ya? Aku pun lekas mengangkatnya. “Hallo!”“Arin!” Suara itu.“Firman?” “Arin, aku mau bicara, tolong buka blokir nomorku!” Tut!Aku langsung menurunkan ponsel dari telinga dan kututup. Dalam hitungan menit, nomornya sudah kublokir lagi. Maaf, Firman. Kesalahanmu sudah terlalu fatal. Untuk kali ini, aku tak bisa lagi untuk mentolerir hal itu. Bahkan, aku tak sudi lagi memanggilmu dengan embel-embel Mas seperti dulu. Setelah itu, aku kembali melanjutkan aktivitas. Ini nomor ke sekian yang menelponku dan aku pun memblokirnya. Aku tak memberitahu Mas Reza. Aku tak ingin dia teringat kejadian memalukan itu lagi. Bayangan Firman yang melepas pakaiannya, seringainya yang menjatuhkan dan setiap kalimatnya yang membuatku seolah-olah perempuan murahan, aku benci. “Adek, sore nanti Mas mau ajak pergi.” Aku menol

  • Kejutan Suami Lugu   Bab 46

    “Pak Ustadz, acara syukuran mobilnya dimulai kalau Reza sudah datang, ya! Mobil ini hadiah dari Ibu buat menantu Ibu yang cantik ini. Semoga Arin suka, ya!” Aku masih terbengong-bengong, sesekali kucubit punggung tangan. Ini masih terasa mimpi. Tiba-tiba aku punya mobil? “Tuh Reza, Bu!” Mbak Resa, kakak pertama Mas Reza yang ternyata juga datang, membuka suara. Ini pertemuan pertama kami. Wajahnya sangat mirip Mbak Rena, sebelas dua belas. Bahkan tak terlihat kalau dia lebih tua, mereka seperti sepantaran. “Alhamdulilah, orangnya sudah sampai, Pak Ustadz! Kalau begitu, acaranya dimulai saja Pak Ustadz.” Ibu Mertua bicara sambil menoleh ke arah Mas Reza. Lalu setelah itu dia kembali duduk di sampingku. Pak Ustadz pun menoleh ke arah Mas Reza yang mendekat. Dia mengangguk saja dan tersenyum lalu memulai kajian. Yang diundang tak terlalu ramai. Hanya ada sekitar dua puluh orang, para tetangga yang dekat-sekat saja dan keluarga. Hidangannya nasi kotak, Mbak Resa yang pesan, jadi pagi

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status