Share

Bab 4

"Mas, tolong jangan buat aku bingung! Mas belanja dengan uang sebanyak ini untuk apa? Aku gak minta ‘kan? Lalu, uangnya dari mana? Amplop hasil kondangan saja belum kita buka ‘kan? Bener juga loh yang Bi Icah bilang, kalaupun ada uang, harusnya kita pikirin dulu buat beli tanah sama rumah, baru belanja perabotan.” Aku menatapnya dan sibuk menunggu jawaban.

Mas Reza menggaruk kepala. Dia menatapku lekat-lekat dengan terlihat merasa bersalah.

“Maafin Mas kalau adek gak suka. Orang tua Mas kemarin denger omong-omongan tetangganya Adek. Katanya gini, pantas saja ada yang mau, dimurahin kayaknya. Maharnya masa cuma seratus ribu, terus di sini ‘kan kalau anak perawan itu biasanya dibawain perabotan, seserahan, bukan kayak gini doang.”

“Terus ada lagi yang nyeletuk, namanya juga per4w4n tua, ada yang mau saja sudah syukur. Lagian kayaknya nikahnya juga cuma asal sah saja, paling habis beberapa hari juga cerai, yang penting sudah kehapus gelarnya, gak per4w4n tua lagi.”

Aku mendengarkan Mas Reza yang sedang bercerita. Sesak sih, tapi emang sering juga denger kayak gitu.

“Jadinya orang tua Mas sibuk suruh beli ini itu, biar tetangga Adek tahu, kalau Adek itu berharga di mata keluarga kami.”

Seketika rasa kesal dan penasaranku tiba-tiba berubah haru. Ucapan yang keluar dari mulut Mas Reza membuat hatiku tersentuh. Bukan karena barang-barang mahalnya. Namun, karena niatnya. Dia ingin menunjukkan pada seluruh warga di kampung ini jika aku berharga.

Tak terasa sepasang mataku berkaca-kaca. Tenggorokkanku terasa tercekat rasanya. Aku merasa terharu oleh penuturannya. Aku masih mencoba mengendalikan diri menahan tangis ketika suara Ibu terdengar memanggil.

“Rin! Gimana Mang Muh? Bisa datang sekarang?” tanyanya. Ibu hanya menoleh ke arah luar. Mungkin sudah tahu ada para tetangga yang sibuk nontonin perabotan.

“Iya, jadi, Bu!” Aku menjawab saja asal. Yang penting, pesan Ibu sudah disampaikan. Meskipun tadi lupa nyuruh Mang Muh ke rumah jam berapa.

“Itu kamu beli perabotan apa, Mas? Bi Icah dari tadi ngedumel mulu di belakang?” tanya Ibu menoleh pada suamiku.

“Itu, Bu! Barang perabotan buat Arina, Bu. Kemarin kami gak tahu kalau ada budaya kayak gini di sini. Di tempat kami gak ada soalnya, Bu.” Mas Reza mengangguk sopan pada Ibu.

“Oalah, kami gak minta, kok, Mas. Bapaknya Arin gak mau memberatkan pihak besan, katanya. Lagian itu bukan rukun nikah juga. Yang penting pernikahan kalian sah, itu saja Ibu sudah bahagia.”

“Iya, Bu. Saya paham. Cuman dari keluarga tetap ingin ngasih, Bu! Mohon diterima, Bu!” Mas Reza bicara sambil menunduk.

“Iya, Iya, Mas. Ibu berterima kasih banyak.” Ibu tersenyum sambil menatapku dan Mas Reza bergantian.

“Assalamu’alaikum!” Suara yang mengucap salam terdengar lantang.

“Wa’alaikumsalam!” Ibu tergesa keluar.

Aku hanya menoleh. Dari suaranya sepertinya Mang Muh yang datang. Benar saja, tak berapa lama Ibu lewat diikuti lelaki paruh baya itu menuju ke arah dapur. Karung-karung beras memang diletakkan di sana. Lalu Mang Muh, Bapak dan anak buahnya sibuk mengangkut beras-beras ke depan untuk ditimbang.

“Mas, pertanyaanku belum dijawab, loh! Aku gak mau sampai kamu berhutang demi membeli semua perabotan ini! Kamu dapat uang dari mana sebanyak ini, Mas?” tanyaku padanya.

“Adek, nanti Mas jawabnya, ya! Mas bantuin Bapak dulu!” Mas Reza tampak sungkan karena kami masih mengobrol, sedangkan Bapak dan Mang Muh sibuk mengangkut beras ke depan.

Aku menghela napas kasar. Lalu aku mengangguk saja. Mas Reza pun bergegas bangkit dan berjalan meninggalkanku. Dia membantu Bapak mengangkut karung-karung beras itu.

Aku beranjak ke dapur dan menemui Ibu.

“Bu, aku mau bicara soal Bu Ambar.” Aku mendekat ke arahnya yang sedang sibuk membuat kopi.

“Eh, kamu Rin! Ini tolong kelarin dulu buat kopinya! Buat Mang Muh sama anak buahnya.” Ibu malah menyerahkan sendok kopi dan toples padaku. Lalu, dia berjalan ngeloyor keluar begitu saja.

“Bu, aku mau bicarain soal Bu Ambar!” cegahku. Namun, Ibu sudah berjalan menjauh dan meninggalkanku.

“Sore saja, Rin! Lagi riweuh kayak gini juga kamu tuh!” tutur Ibu.

Aku hanya menghela napas kasar. Lalu kuselesaikan kopi yang kubuat untuk mereka. Setelah itu, kubawa ke depan. Tampak Mas Reza tengah sibuk membantu menimbang beras-beras itu dengan anak buah Mang Muh. Sementara itu, Bapak dan Mang Muh tampak sedang berbincang.

Aku baru hendak memutar tubuh ke belakang ketika Mas Sandi tampak berjalan mendekat ke arah kami. Aku urungkan niat dan menunggunya datang. Tumben sekali dia datang sendirian ke sini. Biasanya, Mia selalu saja mengekorinya.

“Sini ngopi, San!” Bapak mengulangkan tangan ke arah Mas Sandi. Dia sudah memaafkan Mas Sandi sejak lama, berbeda denganku. Luka ini masih terasa perih jika melihat dia apalagi bersama Mia dan anaknya.

“Iya, Wak!” tuturnya sambil mendekat. Ibu menoleh ke arahku, tapi aku membuang muka. Pasti Ibu mau menyuruh membuatkan kopi untuknya. Ibu pun sepertinya paham. Dia lekas beranjak ke dapur. Mungkin mau membuat sendiri kopi untuk Mas Sandi.

“Libur, San?” tanya Bapak setelah Mas Sandi duduk.

“Iya, Wak! Oh, ya, Wak? Itu Si Reza emang kerjaannya apa, sih? Saya ada perlu sama dia sebetulnya.” tanyanya sambil duduk dan menatap Mas Reza.

Aku berdiri di ambang pintu dan sibuk mendengarkan.

“Kenapa gitu, San?” tanya Bapak sambil menatap Mas Sandi.

“Ini, Wak! Uwak harus hati-hati! Dia itu pengedar uang palsu! Lihat ini! Lembaran uang ini palsu, Wak!” Mas Sandi mengeluarkan beberapa lembar merah dari dalam dompetnya.

“Jangan ngada-ngada kamu, San! Lagian uang palsu itu kamu yang bawa. Kenapa juga jadi si Reza yang dituduh?” tanya Bapak sambil menatap Mas Sandi.

Mas Sandi menoleh pada Mang Muh.

“Mang Muh tadi lihat gak, katanya Dia bayar utang ke Ibu saya lima belas juta? Katanya di toko beras Mang Muh.”

“Iya, iya, lihat. Terus?”

“Nah, pas tadi saya periksa! Ini uang palsu! Uang dari si Reza itu uang palsu!” tutur Mas Sandi dengan wajah serius.

“Oalah! Jadi dia itu sok pamer kekayaan dan banyak uang, tapi nyatanya cuma uang palsu, ya! Bu Ibu, lihat sini! Suaminya Si Arina itu ternyata pengedar uang palsu!”

Suara Bi Icah yang cempreng membuat para tetangga yang masih tersisa dan tengah sibuk membuka-buka lemari kayu jati milikku menoleh ke arahnya. Mas Reza dan anak buah Mang Muh pun menghentikkan kegiatan menimbang berasnya. Lalu, semua mata terarah kepada Mas Reza yang mendadak jadi tersangka, pengedar uang palsu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status