Share

Bab 2

"Kalau habis jual beras hasil hajatannya! Jangan lupa bilang sama Ibu kamu, Rin! Bayar utangnya! Dua puluh juta loh, sudah lama!” Suara Ibunya Mas Sandi kudengar cempreng. Aku menelan saliva lalu menoleh. Namun, belum sempat aku menjawab, perhatianku teralihkan pada sosok lelaki tinggi tegap yang baru saja turun dari sepeda motor butut. Kemeja sederhana dan celana panjang dia kenakannya.

“Mohon maaf kalau mertua saya punya utang, Bu! Berapa utangnya tadi, Bu?” tuturnya dengan santun dan wajah tetap terlihat ramah.

Bu Ambar---Ibunya Mas Sandi menoleh. Dia tampak tak berkedip beberapa detik, sampai akhirnya dia mencebik lalu bicara, “Oh jadi ini menantunya Si Imah? Kampungan gini, mana sebanding sama Sandi?” kekehnya sambil melirik ke arahku.

“Iya, Bu. Saya menantunya Bu Imah. Mohon maaf, utang mertua saya berapa, ya, Bu?” Mas Reza terlihat masih saja bersikap sopan, padahal Ibunya Mas Sandi memandangnya dengan merendahkan. Apalagi suamiku hanya mengenakan sandal japit, kemeja yang warnanya sudah pudar dan turun dari motor Supra X jadul.

“Gak usah nanya kalau ujung-ujungnya kamu malah jantungan. Dua puluh juta itu mungkin kamu harus ngumpulin bertahun-tahun, Mas.” Bu Ambar melirik sinis.

“Bu, tolong dong! Mas Reza gak ada salah sama Ibu. Gak usah Ibu menghina dia kayak gitu.” Aku merasa tak terima. Meskipun aku tak pernah cinta dengan Mas Reza, tapi kini dialah suamiku.

“Gak apa-apa, Rin. Mas ada kok kalau Cuma dua puluh juta, tapi sekarang gak bawa semua uangnya.” Dia bicara dengan ringannya. Lalu membungkuk dan mengangguk sopan. Setelah itu dia tergesa menuju sepeda motor yang terparkir tak jauh dari toko beras Mang Muh. Dia tampak membuka kunci jok, lalu mengeluarkan kantong keresek warna hitam dan menentengnya mendekat.

“Maaf, saya cuma bawa lima belas juta. Tadinya mau ajak Arina belanja ke pasar beli pakaian. Jadi, ini saya kasih ke Ibu saja dulu. Sisanya lima juta lagi, ya, Bu! Sore nanti saya antar ke rumah.”

Bukan hanya Ibunya Mas Sandi yang melongo, tapi aku juga. Bukankah kemarin mahar saja Cuma seratus ribu. Terus, kok tiba-tiba hari ini Mas Reza punya uang sebanyak itu? Dari mana, ya?

“Pasti ini uang amplop hasil hajatan, ya? Kasihan banget kamu jadi mantunya Si Imah, baru ngerasain megang duit segini saja, udah dipakai bayar utang.”

Bu Ambar terkekeh. Dia mengambil uang dalam plastik itu, lalu menghitungnya di depan banyak orang.

“Sebentar, saya itung dulu! Takutnya gak lima belas juta.” Dia bicara sambil sibuk menghitung lembaran merah itu. Sementara itu, Mas Reza berdiri mematung dan memperhatikan Bu Ambar menghitung uangnya.

“Gimana, cukup, Bu?” tanya Mas Reza setelah Bu Ambar mengikat kembali uang-uang itu dengan karet.

“Kurang lima juta lagi, ya! Sore saya tunggu, mumpung masih ada uang hasil hajatan! Nanti ngaret lagi kalau keburu habis!” cebiknya sambil memasukkan lembaran uang yang terikat karet itu ke dalam tasnya. Lalu, dia ngeloyor pergi begitu saja.

“Iya, Bu!” Mas Reza mengangguk sopan.

Aku berdecak. Selemah itu suamiku coba. Kenapa gak tegas dikit, kek. Sudah tahu Ibunya Mas Sandi, bicaranya saja lima oktaf. Dia masih nunduk-nunduk sambil tersenyum, bikin gemes.

Aku menghampiri Mas Reza setelah berpamitan pada Mang Muh. Lalu kutarik lengannya menjauh. Sebal juga melihat Ibu-ibu yang tadi muji Mas Reza, sibuk-sibuk nyuri pandang sama suamiku itu.

“Mas ngapain sih ke sini?” tanyaku sambil melepas tarikan tangaku darinya.

“Tadi Ibu bilang, Adek lagi ke toko beras Pak Muh. Mas mau ajak ke pasar tadinya, beli-beli baju buat Adek. Cuman sekarang uangnya kepake dulu.”

“Ya sudah, ayo pulang! Ibu bilang memang mau bayar keu Bu Ambar juga. Biar aku minta Ibu sama Bapak ganti uang kamu yang tadi, Mas.”

Aku hendak ngeloyor, tapi Mas Reza menarik lenganku.

“Eh, Adek gak usah. Mas iklhas kok uang Mas dipake bayar utang Ibu sama Bapak. Tapi minta maaf saja kalau belanjanya kita undur lagi, ya!” tuturnya sambil menahanku.

Aku menatapnya. Ada rasa iba. Aku tak tahu berapa lama Mas Reza mengumpulkan uang sebanyak itu. Sekarang tiba-tiba saja harus dipakai untuk melunasi utang Bapak dan Ibu. Aku saja yang memang kerja di toko, tiap bulan tak banyak tersisa dari gajiku. Habis untuk makan. Apalagi Mas Reza yang katanya, kerjanya saja serabutan.

Aku melirik ke arah Ibu-ibu yang ternyata tengah memandangi suamiku. Lekas aku mengajaknya pulang. Biar masalah ini dibahas di rumah saja. Toh, kesehatan Bapak mungkin tak perlu lagi dikhawatirkan. Dia selama ini sakit-sakitan karena mikirin aku, kata Ibu. Sekarang, aku sudah jadi istri orang. Jadi, harusnya Bapak gak perlu sedih lagi. Aku bukan lagi per4w4n tua sekarang.

Tiba di rumah, aku dibuat tercengang. Bukan apa-apa, para tetangga tengah berkerumun. Di depan rumahku tampak dua mobil yang sedang terparkir dan isinya beragam furniture. Beberapa orang tengah sibuk menurunkannya dan menggotongnya ke teras rumah. Aku berjalan tergesa, heran. Siapa yang membawa barang-barang sebanyak ini ke rumahku?

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Haniubay
Rupanya suaminya horang kaya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status