"Kalau habis jual beras hasil hajatannya! Jangan lupa bilang sama Ibu kamu, Rin! Bayar utangnya! Dua puluh juta loh, sudah lama!” Suara Ibunya Mas Sandi kudengar cempreng. Aku menelan saliva lalu menoleh. Namun, belum sempat aku menjawab, perhatianku teralihkan pada sosok lelaki tinggi tegap yang baru saja turun dari sepeda motor butut. Kemeja sederhana dan celana panjang dia kenakannya.
“Mohon maaf kalau mertua saya punya utang, Bu! Berapa utangnya tadi, Bu?” tuturnya dengan santun dan wajah tetap terlihat ramah.Bu Ambar---Ibunya Mas Sandi menoleh. Dia tampak tak berkedip beberapa detik, sampai akhirnya dia mencebik lalu bicara, “Oh jadi ini menantunya Si Imah? Kampungan gini, mana sebanding sama Sandi?” kekehnya sambil melirik ke arahku.“Iya, Bu. Saya menantunya Bu Imah. Mohon maaf, utang mertua saya berapa, ya, Bu?” Mas Reza terlihat masih saja bersikap sopan, padahal Ibunya Mas Sandi memandangnya dengan merendahkan. Apalagi suamiku hanya mengenakan sandal japit, kemeja yang warnanya sudah pudar dan turun dari motor Supra X jadul.“Gak usah nanya kalau ujung-ujungnya kamu malah jantungan. Dua puluh juta itu mungkin kamu harus ngumpulin bertahun-tahun, Mas.” Bu Ambar melirik sinis.“Bu, tolong dong! Mas Reza gak ada salah sama Ibu. Gak usah Ibu menghina dia kayak gitu.” Aku merasa tak terima. Meskipun aku tak pernah cinta dengan Mas Reza, tapi kini dialah suamiku.“Gak apa-apa, Rin. Mas ada kok kalau Cuma dua puluh juta, tapi sekarang gak bawa semua uangnya.” Dia bicara dengan ringannya. Lalu membungkuk dan mengangguk sopan. Setelah itu dia tergesa menuju sepeda motor yang terparkir tak jauh dari toko beras Mang Muh. Dia tampak membuka kunci jok, lalu mengeluarkan kantong keresek warna hitam dan menentengnya mendekat.“Maaf, saya cuma bawa lima belas juta. Tadinya mau ajak Arina belanja ke pasar beli pakaian. Jadi, ini saya kasih ke Ibu saja dulu. Sisanya lima juta lagi, ya, Bu! Sore nanti saya antar ke rumah.”Bukan hanya Ibunya Mas Sandi yang melongo, tapi aku juga. Bukankah kemarin mahar saja Cuma seratus ribu. Terus, kok tiba-tiba hari ini Mas Reza punya uang sebanyak itu? Dari mana, ya?“Pasti ini uang amplop hasil hajatan, ya? Kasihan banget kamu jadi mantunya Si Imah, baru ngerasain megang duit segini saja, udah dipakai bayar utang.”Bu Ambar terkekeh. Dia mengambil uang dalam plastik itu, lalu menghitungnya di depan banyak orang.“Sebentar, saya itung dulu! Takutnya gak lima belas juta.” Dia bicara sambil sibuk menghitung lembaran merah itu. Sementara itu, Mas Reza berdiri mematung dan memperhatikan Bu Ambar menghitung uangnya.“Gimana, cukup, Bu?” tanya Mas Reza setelah Bu Ambar mengikat kembali uang-uang itu dengan karet.“Kurang lima juta lagi, ya! Sore saya tunggu, mumpung masih ada uang hasil hajatan! Nanti ngaret lagi kalau keburu habis!” cebiknya sambil memasukkan lembaran uang yang terikat karet itu ke dalam tasnya. Lalu, dia ngeloyor pergi begitu saja.“Iya, Bu!” Mas Reza mengangguk sopan.Aku berdecak. Selemah itu suamiku coba. Kenapa gak tegas dikit, kek. Sudah tahu Ibunya Mas Sandi, bicaranya saja lima oktaf. Dia masih nunduk-nunduk sambil tersenyum, bikin gemes.Aku menghampiri Mas Reza setelah berpamitan pada Mang Muh. Lalu kutarik lengannya menjauh. Sebal juga melihat Ibu-ibu yang tadi muji Mas Reza, sibuk-sibuk nyuri pandang sama suamiku itu.“Mas ngapain sih ke sini?” tanyaku sambil melepas tarikan tangaku darinya.“Tadi Ibu bilang, Adek lagi ke toko beras Pak Muh. Mas mau ajak ke pasar tadinya, beli-beli baju buat Adek. Cuman sekarang uangnya kepake dulu.”“Ya sudah, ayo pulang! Ibu bilang memang mau bayar keu Bu Ambar juga. Biar aku minta Ibu sama Bapak ganti uang kamu yang tadi, Mas.”Aku hendak ngeloyor, tapi Mas Reza menarik lenganku.“Eh, Adek gak usah. Mas iklhas kok uang Mas dipake bayar utang Ibu sama Bapak. Tapi minta maaf saja kalau belanjanya kita undur lagi, ya!” tuturnya sambil menahanku.Aku menatapnya. Ada rasa iba. Aku tak tahu berapa lama Mas Reza mengumpulkan uang sebanyak itu. Sekarang tiba-tiba saja harus dipakai untuk melunasi utang Bapak dan Ibu. Aku saja yang memang kerja di toko, tiap bulan tak banyak tersisa dari gajiku. Habis untuk makan. Apalagi Mas Reza yang katanya, kerjanya saja serabutan.Aku melirik ke arah Ibu-ibu yang ternyata tengah memandangi suamiku. Lekas aku mengajaknya pulang. Biar masalah ini dibahas di rumah saja. Toh, kesehatan Bapak mungkin tak perlu lagi dikhawatirkan. Dia selama ini sakit-sakitan karena mikirin aku, kata Ibu. Sekarang, aku sudah jadi istri orang. Jadi, harusnya Bapak gak perlu sedih lagi. Aku bukan lagi per4w4n tua sekarang.Tiba di rumah, aku dibuat tercengang. Bukan apa-apa, para tetangga tengah berkerumun. Di depan rumahku tampak dua mobil yang sedang terparkir dan isinya beragam furniture. Beberapa orang tengah sibuk menurunkannya dan menggotongnya ke teras rumah. Aku berjalan tergesa, heran. Siapa yang membawa barang-barang sebanyak ini ke rumahku?Manusia hanya mampu merencanakan, sedangkan Tuhan yang menentukan. Seperti kabar kalau Sandi yang kini ditangkap polisi karena kasus kekerasan, Bi Icah yang terkena stroke dan Mia yang kini nasibnya terkatung-katung tak karuan. Ibunya Sandi yang dulu selalu membangga-banggakan putranya itu pun gaungnya mulai menghilang dan seperti aku, yang masih setia menunggu diberikan keturunan. Perlahan tapi pasti. Garisan nasib bergerak perlahan. Semua bergerak mengikuti ketentuan-Nya, bukan hanya berdasarkan keinginan dan rencana manusia. Kehidupan pernikahanku baik-baik saja. Kondisi ekonomi kami pun melaju pesat. Toko sembakoku, kini sudah mulai membuka cabang. Tika kupercayakan sebagai pengelola di sana. Meskipun awalnya aku menawari Bapak, tetapi dia menolaknya. Katanya, tak ingin hidup bergantung pada menantu. Jadi, Bapak masih menekuni jaga parkiran. Baginya, hidup mewah itu bukan tujuan. Katanya melihat anaknya sudah hidup mapan pun, sudah menjadi kebahagiaan.Ah, bahagianya hidupku pun
Bab 50 – Pov Sandi“Mas tolong anterin pesenan ke meja nomor 57!” tutur Silvi, teman satu shiftku sambil menempelkan catatan pada tepi meja orderan. “Oke.” Aku mengangguk sambil memeriksa apa saja yang dipesannya. Lekas aku menghubungi bagian dapur dan meminta disiapkan menu-menu yang akan kuantar. Sementara itu, Silvi tampak sudah kembali ke depan dan menghampiri meja lainnya.Makanan yang dipesan untuk meja nomor 57 sudah berada di atas nampan. Aku lekas mengayun langkah cepat mengantarnya. Sepertinya hanya makan siang kecil, orderannya pun tak banyak. Bisa aku sekali antar. Dalam jarak beberapa meter, terlihat dua orang yang sedang duduk. Rasanya familiar, tetapi memang para tamu di sini sering datang berulang. Jadi, mungkin salah satu tamu yang datang ke sini. Hanya saja anggapanku langsung terbantah ketika suara yang tak asing itu memanggil namaku. “Sandi?” Pertanyaan spontan itu membuat aku seketika mendongak dan sepasang netra kami saling bertemu. Rasanya dunia berhenti b
“Mbak! Mbak Arin!” Baru saja kami tiba setelah makan siang ketika Aryo tergopoh menghampiri. Wajahnya terlihat pucat seperti orang ketakutan. “Kamu kenapa kayak orang ketakutan gitu, Yo?” “Anu, Mbak Arin! Tadi Pak RT mau pinjam mobil!” “Kenapa gak nelepon saja?” “Sudah, Mbak Arin! Tapi gak diangkat. Ke Mas Reza juga gak diangkat.” Lalu, serempak kami sama-sama mengecheck ponsel. Rupanya benar ada miscall dari Pak RT. “Oh, iya, Yo. Gak keangkat. Kami lagi di jalan kayaknya tadi. Pak RT ada apa, ya? Mas telepon balik, takut penting!” Aku menoleh pada Mas Reza. “Anu, Mbak, Mas! Pak RT mau bawa Mbak Mia ke rumah sakit. Percobaan bunuh diri, katanya!” tutur Aryo. “Astaghfirulloh!” Kompak aku dan Mas Reza beristighfar. Kutatap wajah Aryo lekat-lekat. “Yang bener, Yo?” tanyaku. Aryo mengangguk. Cuma Mas Reza kudengar mulai berbicara di telepon. “Hallo, Pak RT! Maaf, kami lagi diluar tadi!” “Oh, sudah dapat mobilnya … di rumah sakit mana, Pak RT? … Oh syukurlah … Wa’alaikumsalam!
Penjaga toko yang dicarikan Mas Reza sudah mulai bekerja. Aryo namanya. Karena sudah ada yang jaga toko, akhirnya, kami pun punya kesempatan melanjutkan kencan kami yang tertunda beberapa waktu lalu. Kuminta Mas Reza mengenakan lagi pakaian yang sudah kupilihkan. Waktu itu dia pakai dan terlihat keren.“Kenapa Adek beliin Mas baju-baju kayak gini, Dek? Mas nggak nyaman.” Mas Reza tampak celingukan menatap celana tiga perempat yang membuat betisnya yang berbulu lebat itu kelihatan. Baju kaos berkerah yang ukurannya pas badan membuatnya terlihat gagah. Sejak setengah jam lalu dia sudah memakai setelan itu, tapi terlihat tidak percaya diri. “Mas ganteng kalau pake itu.” Aku melirik ke arahnya sambil menyematkan peniti pada ujung kerudung yang kulipat ke dada. “Oh begitu? Cuma memang nggak nyaman loh, Dek.” Dia tersipu, tapi tetap terlihat kikuk dengan setelan yang sudah dia kenakan. “Waktu itu juga Mas pake, tapi makin lama, makin malu. Nggak nyaman pada dilihatin ibu-ibu.” Dia tersip
Getaran ponsel yang tergeletak membuatku terperanjat. Menarik pikiranku yang sedang jalan-jalan ke masa lalu kini kembali mendekat. Rupanya telepon dari sebuah nomor baru. Siapa, ya? Aku pun lekas mengangkatnya. “Hallo!”“Arin!” Suara itu.“Firman?” “Arin, aku mau bicara, tolong buka blokir nomorku!” Tut!Aku langsung menurunkan ponsel dari telinga dan kututup. Dalam hitungan menit, nomornya sudah kublokir lagi. Maaf, Firman. Kesalahanmu sudah terlalu fatal. Untuk kali ini, aku tak bisa lagi untuk mentolerir hal itu. Bahkan, aku tak sudi lagi memanggilmu dengan embel-embel Mas seperti dulu. Setelah itu, aku kembali melanjutkan aktivitas. Ini nomor ke sekian yang menelponku dan aku pun memblokirnya. Aku tak memberitahu Mas Reza. Aku tak ingin dia teringat kejadian memalukan itu lagi. Bayangan Firman yang melepas pakaiannya, seringainya yang menjatuhkan dan setiap kalimatnya yang membuatku seolah-olah perempuan murahan, aku benci. “Adek, sore nanti Mas mau ajak pergi.” Aku menol
“Pak Ustadz, acara syukuran mobilnya dimulai kalau Reza sudah datang, ya! Mobil ini hadiah dari Ibu buat menantu Ibu yang cantik ini. Semoga Arin suka, ya!” Aku masih terbengong-bengong, sesekali kucubit punggung tangan. Ini masih terasa mimpi. Tiba-tiba aku punya mobil? “Tuh Reza, Bu!” Mbak Resa, kakak pertama Mas Reza yang ternyata juga datang, membuka suara. Ini pertemuan pertama kami. Wajahnya sangat mirip Mbak Rena, sebelas dua belas. Bahkan tak terlihat kalau dia lebih tua, mereka seperti sepantaran. “Alhamdulilah, orangnya sudah sampai, Pak Ustadz! Kalau begitu, acaranya dimulai saja Pak Ustadz.” Ibu Mertua bicara sambil menoleh ke arah Mas Reza. Lalu setelah itu dia kembali duduk di sampingku. Pak Ustadz pun menoleh ke arah Mas Reza yang mendekat. Dia mengangguk saja dan tersenyum lalu memulai kajian. Yang diundang tak terlalu ramai. Hanya ada sekitar dua puluh orang, para tetangga yang dekat-sekat saja dan keluarga. Hidangannya nasi kotak, Mbak Resa yang pesan, jadi pagi