“Oalah! Jadi dia itu sok pamer kekayaan dan banyak uang, tapi nyatanya cuma uang palsu, ya! Bu Ibu, lihat sini! Suaminya Si Arina itu ternyata pengedar uang palsu!” Suara Bi Icah yang cempreng membuat para tetangga yang masih tersisa dan tengah sibuk membuka-buka lemari kayu jati milikku menoleh ke arahnya. Mas Reza dan anak buah Mang Muh pun menghentikkan kegiatan menimbang berasnya. Lalu, semua mata terarah kepada Mas Reza yang mendadak jadi tersangka, pengedar uang palsu.
“Uang palsu?” Mas Reza menoleh pada Bi Icah dengan alis bertaut. Para tetangga sudah mulai berbisik-bisik.“Jadi orang itu yang jujur, bukan rela ngelakuin apa saja biar kelihatan wah. Kamu cuma bakal jadiin keluarga kakak saya dalam masalah saja, Reza. Kamu gak takut polisi, ngedarin uang palsu? Kirain dari gunung,orangnya lugu, eh belagu.” Bi Icah seperti punya angin segar untuk menyerang. Sudah sejak tadi dia seperti kesal, eh ada kesempatan.Mas Sandi tampaknya baru sadar kalau ada Ibu mertuanya. Dia menoleh dan tersenyum pada Bi Icah seperti bangga mendapatkan dukungan.“Sudah, Bu! Sudah! Gak usah bawa-bawa polisi! Gimanapun, Mas Reza itu keluarga kita sekarang!” Mas Sandi bicara sok bijak. Dia seolah ingin menjadi pahlawan setelah tadi dia lempar air comberan.“Ya, nanti malah bikin malu keluarga kita! Cuma yang penting sekarang, semua sudah tahu. Awalnya juga sudah janggal, pas nikahan saja alakadarnya, maharnya juga cuma seratus ribu, tiba-tiba bisa beli-beli barang dengan uang sebanyak itu. Eh ternyata ….” Bi Icah mencebik. Wajahnya terlihat puas sekali seperti orang menang lotre milyaran.“Maaf, apa ada bukti kalau uang itu yang Mas kasih sama Ibunya Sandi?” Mas Reza mendekat dan menatap Mas Sandi.“Ini buktinya, saksinya banyak ‘kan, Mang Muh juga tadi lihat waktu Mas Reza ngasih.” Mas Sandi terlihat jumawa.Mas Reza yang sudah mendekat, lalu minta Mas sandi membeberkan uang-uang yang dia bawa. Namun, Mas Reza sama sekali tak memegangnya. Dia tampak memperhatikan dengan seksama dan meminta Mas Sandi membolak-balikkan uangnya. Aku ikut-ikutan mendekat karena khawatir. Mas Sandi cukup cerdik untuk menyerang. Dia pun pandai berdebat dan berargumen. Sementera itu, Mas Reza, aku belum tahu betul seperti apa dia.“Mas, kamu gak ngedarin uang palsu ‘kan?” bisikku dengan tatapan cemas. Mas Reza menoleh, lalu menaruh lengannya di pucuk kepalaku.“Demi Allah, tidak, Dek! Ade percaya ‘kan?” tuturnya dengan sorot mata teduh.“Iya, Mas.” Aku melihat sorot kejujuran dari sepasang matanya.“Semua orang juga bisa bilang gitu, Reza. Lidah gak bertulang!” kekeh Bi Icah sambil ikut duduk di samping Mas Sandi dan memperhatikan uang yang tengah Mas Sandi balik-balikkan.“Bibi kenapa, si? Bibi gak rela ya kalau ternyata suamiku itu royal, gak kayak mantunya Bibi?” tanyaku. Bibir sudah gatal ingin menyerang.“Eh, mentang-mentang sudah laku ya, sekarang. Kamu berani ya sama Bibi?” Bi Icah menatapku kaget. Aku biasanya tak acuh, tak suka berdebat juga dan memilih mengalah. Namun, melihat wajah Mas Reza dan pengakuannya yang tulus. Aku tak rela dia diserang ramai-ramai.“Sudah-sudah, Dek! Yang jelas itu bukan uang dari Mas, kok.” Mas Reza menjelaskan dan menepuk pundakku. Sementara itu, para Ibu-ibu tetangga yang ada sekitar enam orang, ikut-ikutan berkerumun dan memperhatikan uang yang Mas Sandi tunjukkan. Bibirnya sibuk berspekulasi.“Mas Reza, Ibu saya juga sudah memaafkan kok. Dia juga gak mau bawa masalah ini ke ranah hukum. Gimanapun, saya dan Mas Reza ‘kan sekarang sepupuan. Cumanya … ya, Ibu minta ganti uangnya saja dengan uang betulan. Yang Mas Reza kasih itu uang palsu semua. Lima belas juta itu uang palsu.” Mas Sandi bicara dengan santai. Dia pun memasukkan kembali lembaran yang berjumlah lima ratus ribu itu ke dalam dompetnya.“Makasih kalau sudah dimaafkan, tapi lima lembar yang kamu bawa itu, bukan uang yang Mas kasih sama Bu Ambar tadi.” Mas Reza bicara tenang.“Mas, Mas, saksinya saja ada, kok. Masih saja ngelak. Sudah bagus Ibu saya gak mau bawa ke jalur hukum. Ibu cuma minta diganti dengan uang betulan saja.” Mas Sandi tampak tak suka.“Saksi? Saksi apa? Mang Muh cuma lihat Mas kasih uang sama Bu Ambar. Sekarang Mas mau tanya sendiri sama Mang Muh.” Mas Reza menjeda. Dia pun mengeluarkan dompetnya lalu menunjukkan beberapa lembar uang di depan Mang Muh.“Mang Muh bisa bedain gak uang ini sama yang tadi saya kasih pada Bu Ambar? Ini sama-sama lembaran seratus ribuan.” Mas Reza menunjukkan lima lembar uang dari dompetnya. Lalu, Mang Muh menggeleng.“Saksi cuma melihat, tapi tak ada bukti kalau uang yang kamu bilang itu palsu, Uang yang Mas kasih. Jadi, sebaiknya … agar tak jadi fitnah … segera lapor polisi … lalu periksa apakah ada sidik jari Mas di uang itu atau tidak. Lalu bawa juga semua uang yang Mas kasih tadi untuk diperiksa sama polisi. Jika tidak terbukti, tolong buat video klarifikasi dan sebarkan! Kamu sudah mencemarkan nama baik Mas di sini!”Aku melongo takjub mendengar Mas Reza begitu gamblang membela diri. Kukira, dia lugu, cupu dan tak bisa melawan. Namun, rupanya otaknya cerdas juga. Aku bahkan gak kepikiran untuk memeriksa sidik jari di uang-uang itu. Pantas saja, Mas Reza tak mau memegangnya tadi.Bi Icah menoleh ke arah Mas Sandi. Wajah Mas Sandi terlihat terkejut. Dia menelan ludah dan terlihat gugup. Sepertinya mereka mengira sama denganku, Mas Reza lugu dan cupu. Eh nyatanya ....“Kami gak mau bawa ke ranah hukum, Mas! Kami mau jaga nama baik keluarga!” elak Mas Sandi dengan nada bicara yang tak sepede tadi.“Justru nama baik saya merasa rusak kalau seperti ini! Kalau kamu nggak berani lapor. Biar saya saja yang lapor pada polisi dengan pencemaran nama baik! Ayo, Dek! Kantor polisi masih buka ‘kan?” Tanpa kukira, Mas Reza langsung menarik lenganku dan mengajak pergi. Aku kaget, dan terdengar teriakkan panik Mas Sandi.“Mas! Mas Reza tunggu! Jangan seperti ini, Mas! Gak usah bawa-bawa polisi!” Lalu tubuh Mas Sandi sudah menghalangi langkah kami.Loh, kenapa jadi dia yang panik? Bukannya Mas Reza yang katanya tersangka?Manusia hanya mampu merencanakan, sedangkan Tuhan yang menentukan. Seperti kabar kalau Sandi yang kini ditangkap polisi karena kasus kekerasan, Bi Icah yang terkena stroke dan Mia yang kini nasibnya terkatung-katung tak karuan. Ibunya Sandi yang dulu selalu membangga-banggakan putranya itu pun gaungnya mulai menghilang dan seperti aku, yang masih setia menunggu diberikan keturunan. Perlahan tapi pasti. Garisan nasib bergerak perlahan. Semua bergerak mengikuti ketentuan-Nya, bukan hanya berdasarkan keinginan dan rencana manusia. Kehidupan pernikahanku baik-baik saja. Kondisi ekonomi kami pun melaju pesat. Toko sembakoku, kini sudah mulai membuka cabang. Tika kupercayakan sebagai pengelola di sana. Meskipun awalnya aku menawari Bapak, tetapi dia menolaknya. Katanya, tak ingin hidup bergantung pada menantu. Jadi, Bapak masih menekuni jaga parkiran. Baginya, hidup mewah itu bukan tujuan. Katanya melihat anaknya sudah hidup mapan pun, sudah menjadi kebahagiaan.Ah, bahagianya hidupku pun
Bab 50 – Pov Sandi“Mas tolong anterin pesenan ke meja nomor 57!” tutur Silvi, teman satu shiftku sambil menempelkan catatan pada tepi meja orderan. “Oke.” Aku mengangguk sambil memeriksa apa saja yang dipesannya. Lekas aku menghubungi bagian dapur dan meminta disiapkan menu-menu yang akan kuantar. Sementara itu, Silvi tampak sudah kembali ke depan dan menghampiri meja lainnya.Makanan yang dipesan untuk meja nomor 57 sudah berada di atas nampan. Aku lekas mengayun langkah cepat mengantarnya. Sepertinya hanya makan siang kecil, orderannya pun tak banyak. Bisa aku sekali antar. Dalam jarak beberapa meter, terlihat dua orang yang sedang duduk. Rasanya familiar, tetapi memang para tamu di sini sering datang berulang. Jadi, mungkin salah satu tamu yang datang ke sini. Hanya saja anggapanku langsung terbantah ketika suara yang tak asing itu memanggil namaku. “Sandi?” Pertanyaan spontan itu membuat aku seketika mendongak dan sepasang netra kami saling bertemu. Rasanya dunia berhenti b
“Mbak! Mbak Arin!” Baru saja kami tiba setelah makan siang ketika Aryo tergopoh menghampiri. Wajahnya terlihat pucat seperti orang ketakutan. “Kamu kenapa kayak orang ketakutan gitu, Yo?” “Anu, Mbak Arin! Tadi Pak RT mau pinjam mobil!” “Kenapa gak nelepon saja?” “Sudah, Mbak Arin! Tapi gak diangkat. Ke Mas Reza juga gak diangkat.” Lalu, serempak kami sama-sama mengecheck ponsel. Rupanya benar ada miscall dari Pak RT. “Oh, iya, Yo. Gak keangkat. Kami lagi di jalan kayaknya tadi. Pak RT ada apa, ya? Mas telepon balik, takut penting!” Aku menoleh pada Mas Reza. “Anu, Mbak, Mas! Pak RT mau bawa Mbak Mia ke rumah sakit. Percobaan bunuh diri, katanya!” tutur Aryo. “Astaghfirulloh!” Kompak aku dan Mas Reza beristighfar. Kutatap wajah Aryo lekat-lekat. “Yang bener, Yo?” tanyaku. Aryo mengangguk. Cuma Mas Reza kudengar mulai berbicara di telepon. “Hallo, Pak RT! Maaf, kami lagi diluar tadi!” “Oh, sudah dapat mobilnya … di rumah sakit mana, Pak RT? … Oh syukurlah … Wa’alaikumsalam!
Penjaga toko yang dicarikan Mas Reza sudah mulai bekerja. Aryo namanya. Karena sudah ada yang jaga toko, akhirnya, kami pun punya kesempatan melanjutkan kencan kami yang tertunda beberapa waktu lalu. Kuminta Mas Reza mengenakan lagi pakaian yang sudah kupilihkan. Waktu itu dia pakai dan terlihat keren.“Kenapa Adek beliin Mas baju-baju kayak gini, Dek? Mas nggak nyaman.” Mas Reza tampak celingukan menatap celana tiga perempat yang membuat betisnya yang berbulu lebat itu kelihatan. Baju kaos berkerah yang ukurannya pas badan membuatnya terlihat gagah. Sejak setengah jam lalu dia sudah memakai setelan itu, tapi terlihat tidak percaya diri. “Mas ganteng kalau pake itu.” Aku melirik ke arahnya sambil menyematkan peniti pada ujung kerudung yang kulipat ke dada. “Oh begitu? Cuma memang nggak nyaman loh, Dek.” Dia tersipu, tapi tetap terlihat kikuk dengan setelan yang sudah dia kenakan. “Waktu itu juga Mas pake, tapi makin lama, makin malu. Nggak nyaman pada dilihatin ibu-ibu.” Dia tersip
Getaran ponsel yang tergeletak membuatku terperanjat. Menarik pikiranku yang sedang jalan-jalan ke masa lalu kini kembali mendekat. Rupanya telepon dari sebuah nomor baru. Siapa, ya? Aku pun lekas mengangkatnya. “Hallo!”“Arin!” Suara itu.“Firman?” “Arin, aku mau bicara, tolong buka blokir nomorku!” Tut!Aku langsung menurunkan ponsel dari telinga dan kututup. Dalam hitungan menit, nomornya sudah kublokir lagi. Maaf, Firman. Kesalahanmu sudah terlalu fatal. Untuk kali ini, aku tak bisa lagi untuk mentolerir hal itu. Bahkan, aku tak sudi lagi memanggilmu dengan embel-embel Mas seperti dulu. Setelah itu, aku kembali melanjutkan aktivitas. Ini nomor ke sekian yang menelponku dan aku pun memblokirnya. Aku tak memberitahu Mas Reza. Aku tak ingin dia teringat kejadian memalukan itu lagi. Bayangan Firman yang melepas pakaiannya, seringainya yang menjatuhkan dan setiap kalimatnya yang membuatku seolah-olah perempuan murahan, aku benci. “Adek, sore nanti Mas mau ajak pergi.” Aku menol
“Pak Ustadz, acara syukuran mobilnya dimulai kalau Reza sudah datang, ya! Mobil ini hadiah dari Ibu buat menantu Ibu yang cantik ini. Semoga Arin suka, ya!” Aku masih terbengong-bengong, sesekali kucubit punggung tangan. Ini masih terasa mimpi. Tiba-tiba aku punya mobil? “Tuh Reza, Bu!” Mbak Resa, kakak pertama Mas Reza yang ternyata juga datang, membuka suara. Ini pertemuan pertama kami. Wajahnya sangat mirip Mbak Rena, sebelas dua belas. Bahkan tak terlihat kalau dia lebih tua, mereka seperti sepantaran. “Alhamdulilah, orangnya sudah sampai, Pak Ustadz! Kalau begitu, acaranya dimulai saja Pak Ustadz.” Ibu Mertua bicara sambil menoleh ke arah Mas Reza. Lalu setelah itu dia kembali duduk di sampingku. Pak Ustadz pun menoleh ke arah Mas Reza yang mendekat. Dia mengangguk saja dan tersenyum lalu memulai kajian. Yang diundang tak terlalu ramai. Hanya ada sekitar dua puluh orang, para tetangga yang dekat-sekat saja dan keluarga. Hidangannya nasi kotak, Mbak Resa yang pesan, jadi pagi