Wajah Mas Arya terlihat bahagia, pasti dia bakalan ngayal tidur berdua bak dihotel bintang lima dirumah ini.
"Nanti Mbok Yuna akan kembali, jadi kamu ga usah khawatir tinggal berduaan sama Fitri dirumah ini, walau kalian sepupuan, kan tetap bukan Mahrom."
Senyum diwajahnya memudar, tapi masih ada rona bahagia disana.
Ah, sayang selamat menikmati party nanti malam ya...Hadiah dariku yang tak akan kalian lupakan, pastinya.
Setelah Mas Arya berangkat aku bergegas mempersiapkan segala sesuatunya. Semua harus sempurna. Bukan Dita namanya kalau tak pandai membuat surprise yang tak akan terlupakan, hihi.
Alisa dan Alif sudah pulang sekolah, mereka begitu senang saat aku bilang akan kerumah Opanya. Walau Papa sekarang duduk di kursi roda, tapi kasih sayang kepada cucu-cucunya Sangat besar.Sudah beberapa tahun ini Papa mengalami stroke ringan, Papa hanya bisa duduk di kursi roda, tapi Papa hanya berobat ala kadarnya. Bukan karena tak ada uang. Sering dipaksa tapi Papa tak mau.
"Papa sudah tua, Papa rindu sama Mama, biarlah Papa menghabiskan masa tua dengan banyak mengingat sang pemberi kehidupan agar segera bertemu dengan Mamamu, begitu ujarnya. Dada ini terasa sesak setiap kali melihat Papa.
Ah, Papa beliau cinta pertamaku. lelaki tangguh nan setia. Mama meninggal setelah melahirkanku. Dan sejak itu Papa tak pernah menikah lagi,
'Cukup, Mama, Dita dan Bidadari syurga saja yang menemani Papa, tak perlu ada wanita lain,' begitu ujarnya waktu itu.
Jadilah Papa lelaki pekerja keras tanpa kenal waktu, menyekolahkanku tinggi-tinggi, tanpa mengenal lagi sosok bernama istri.
'Wanita itu walau dirumah, tetap harus Punya ilmu yang tinggi karena akan mengajari anak-anak nya kelak, dan akalnya harus panjang, jangan stak ditempat.
Yah, begitulah Papa. Nasehatnya begitu berharga.
[Mas, pakaian yang mau kamu pakai sudah aku siapkan di atas ranjang ya.]
Kebiasaanku, memilihkan baju juga pakaian dalam yang akan dia pakai selepas mandi. Aku meringis membayangkan reaksi Mas Arya nanti setelah memakai kain berbentuk segitiga itu. Setelah beberapa hari lalu kain itu aku rendam dalam larutan cabe, lada dan aku semprot pewangi dengan membubuhi bubuk gatal, rasa nya entahlah aku tak bisa membayangkan. Semua terpikirkan tiba-tiba, karena rasa sakit hati membuat akalku sedikit tak biasa.
[Ya Allah... Makasih ya sayang, kamu istri yang tak akan pernah tergantikan. Hati-hati dijalan ya sayang, besok pagi Mas akan menyusul,]
Begitu balasnya, bibirku mencebik. Ga tergantikan katanya? Sumpeh Lo! kamu akan menyesal telah bermain-main denganku, Arya Wiguna.
Untuk Fitri, nanti saja kalian baca di part selanjutnya ya, hihi. Aku tak tega menuliskan nya. Aku tak kejam, hanya aku suka bereksperimen hal-hal yang terlintas dalam benakku saat itu, hehe
Mbok Yuna sudah datang. Perempuan yang mengasuhku dari kecil itu sudah aku anggap ibuku sendiri.
"Non, kalau tak kuat jangan dipaksakan, lepaskan saja." katanya sambil mengusap punggungku.
Aku menceritakan semuanya kepada Mbok Yuna, sebab nanti Mbok Yuna akan menjadi bagian dari drama ini juga.
"Iya Mbok, Dita pasti melepaskan, tapi ga sekarang. Biar Mas Arya dan pelakor itu menyesal seumur hidup telah merusak rumah tangga ini."
"Ya sudah, Dita pamit ya Mbok, nanti malam kalau ada suara-suara teriakan. Mbok ga usah keluar, kunci pintu kamar aja, pasang headset biar ga terganggu tidur nya," pesanku.
"Siap Non, Mbok akan menjadi saksi bahwa pesta nanti malam akan rame dan meriah,"
Mbok Yuna mengacungkan jempolnya. Lalu kami pun tertawa bersama.
*****Papa menyambutku hangat, suara Alif dan Alisa mengema menyuarakan rindu kepada Opanya.
"Apa kabar sayang? Papa rindu sekali sama kalian?" ucapnya pelan.
"Dita baik, Pa. Dita juga rindu sama Papa, maafkan Dita baru main lagi kesini."
Papa tersenyum, mengelus kepalaku pelan. Aku merebahkan kepala di paha Papa yang tengah duduk di kursi rodanya.
Maafkan Dita,Pa. Dita tak mendengar nasehat Papa, Papa benar, manusia itu tak bisa dinilai hanya dari tampilan luar saja, sekarang Dita menyesal, bathinku.
Tes!
Satu air menetes turun tanpa kuminta. Dengan cepat Aku menghapusnya dengan ujung jari. Takut Papa tahu ada lara yang sedang aku sembunyikan.
"Setiap rumah tangga ada ujiannya masing-masing Nak, hadapi dengan ikhlas tapi jangan mau ditindas. Suami istri itu punya hak yang sama, dimana kebahagiaan adalah tujuan akhir, kapal rumah tangga kita berlabuh, bukan hanya tentang bahagia di dunia, tapi juga di akhirat sana. Papa yakin anak cantik Papa ini, sanggup menghadapi nya dengan elegan," matanya berkaca-kaca, suara Papa tegas walau terdengar sedikit bergetar."Papa...." air mataku berduyun-duyun keluar, aku terisak dipangkuan Papa.
"Maafkan Dita, Pa..." isakku
"Dita boleh menyembunyikan luka itu dari orang lain, tapi jangan pernah sembunyikan dari Papa, apapun keputusan Dita, Papa akan dukung sepenuhnya,"Laki-laki yang sangat kucintai itupun menangis dalam diam. Akupun menumpahkan sesak ini dipangkuan Papa. Aku lupa, papa bukan orang bodoh. Bahkan papa punya tembok yang dapat mendengar.
Rumah sederhana yang dulu tempat Papa dan Almarhum Mama tinggal, menjadi pilihan Papa menghabiskan masa tua ini terasa hangat setelah kedatangan kami.
Suara Alif dan Alisa terdengar ramai bercanda, begitu juga tawa Papa . Mataku berembun melihat mereka. Andai Papa mau tinggal bersamaku, tentu ini akan menjadi pemandangan setiap hari.Papa terkenal baik dan murah hati, tak akan ada yang menyangka jika kekayaan Papa tak akan habis hingga generasi ke generasi, tapi bagi Papa, harta hanya sebuah jalan bukan tujuan. Sebagian harta Papa disedekahkan ke panti-panti juga untuk membangun mesjid. Biar jadi amal jariyah bagi kita kelak, gitu kata Papa.
*****Malam mulai menyapa, sudah jam delapan malam. Selesai makan, sholat dan baca Al-Qur'an aku kembali menekuri laptopku.
Alisa dan Alif masih asik bermain dikamar Opa nya, sesekali suaranya memecah keheningan malam. Hawa dingin kota Bandung menyusup kedalam kulit, tapi sungguh membuat candu.
"Ini wedang nya Bu, diminum Bu, biar hangat" Nina, adalah gadis desa yang aku sewa untuk merawat Papa. Alhamdulillah, Nina amanah. Dia merawat Papa sepenuh hati, itu yang aku lihat dari cctv yang sengaja aku pasang Sebelum gadis itu aku pekerjakan.
"Makasih, Nin!" gadis itu mengangguk dan tersenyum, lalu kembali ke belakang.
Aku kembali menatap angka-angka yang tertera di layar laptop itu.
Mataku membulat, membaca laporan beberapa bulan lalu. Ada dana yang keluar cukup besar. Bahkan ada cicilan sebuah rumah dengan memakai uang perusahaan. Apa-apaan ini!
Rumah? Mas Arya beli rumah untuk siapa? bukankah Fitri baru dinikahinya. Bahkan belum dapat apa-apa, karena keburu ketauan olehku.
Deru mobil terdengar berhenti dihalaman.
"Wah Om, telat datangnya!" aku menyambut Om Binsar yang baru datang dari Jakarta. memang aku sudah membuat janji dengannya.
"Halah macam tak tau pula kau Dita, macet nya jalanan udah kayak ada demo mahasiswa, pening pala aku dibuatnya!" katanya dengan logat Medan yang Khas.
Aku tersenyum, dan menyalami sahabat Papa itu.
"Mana Papa Kau?"
"Ada Om lagi di dalam sama anak-anak," jawabku.
Kamipun ngobrol ngalor ngidul, suara tawa Papa dan Om Binsar terdengar membahana, sepertinya ada yang sedang reuni mengenang masa muda.
Setelah beberapa saat Papa ijin untuk istirahat, tinggallah aku dengan Om Binsar.
Lelaki tegap itu menghela nafas.
"Tak habis pikir aku sama kau Dita, bisa-bisanya kau membiarkan suami kau yang tak tau diri itu kawin lagi, dan tinggal serumah dengan kalian. Dan sekarang kau kasih pulak dia kerjaan, aneh kali kau ku tengok,"
Aku hanya tersenyum miris. Memang aku ini aneh, tapi nanti juga akan tahu kenapa aku seaneh ini.
"Om, ga seru jika mereka kuhempaskan sekarang. Aku punya rencana, tapi aku butuh bantuan Om," ujarku.
"Tenang saja, aku pasti bantuin kau Dita, kau sudah kuanggap anakku sendiri, sebut saja apa yang kau mau, cling! secepatnya om kau ini laksanakan,"
Aku tersenyum menang, selamat datang dalam permainan Mas Arya.Bersambung.
pov Author."Dian, gue ga mau ikut campur ya, jika nanti Lo stres sendiri ngadepin istrinya Arya!" ancam Dita sebelum Dian melakukan aksinya."Tenaaang, selama ada Mas Dicky dan Lo gue yakin urusan kelar." jawabnya dengan kepercayaan diri diatas rata-rata.[Datang ke Hotel Anggrek kamar no 113 jam 3 sore! Penting!]Dita mengirim pesan ke nomor ponsel Fitri, dengan nomor baru, sesuai rencana dengan Dian.Fitri yang sedang asik goyang ikan duyung terdampar di got dalam aplikasi toktok itu mengerutkan keningnya.[Siapa?] singkat, tapi dia sangat penasaran. Hotel anggrek adalah hotel yang terkenal dengan hotel esek-eseknya.[Lo ingin tau kan suami Lo kerja apaan? ga usah banyak tanya!]Fitri meski kesal tapi tetap penasaran. Niatnya yang hendak ketemuan dengan Beni, gebetan barunya dia undur dulu sementara waktu. Beni, lelaki tajir berumur hampir lima puluh tahun, seorang suami mata keranjang yang ingin Fitri porotin hartanya.Sudah beberapa hari ini Fitri jalan berdua sepeninggal Arya be
"Sempurna! gapapa Bu! tolong saya kali ini saja," aku memelas. Hingga ibu itu mau masuk kedalam apartemen nya dan berganti pakaian, wajahnya sumringah saat aku memberikan beberapa lembar uang merah ketangannya."Lepasin gue!" kata Ningsih saat tangannya dipegang kedua bodyguardku."Kenapa dia?" tanyaku heran."Maaf Bu, dia mau mencoba kabur!" ucap salah satu dari mereka."Ganti baju lo pake ini, dan sekalian cuci muka! cepatan!" Sebentar lagi Mas Reza datang. Aku ingin Ningsih tampil apa adanya, bukan dengan baju kurang bahan dan dadanan melebihi dempulan."Ga mau!" pekiknya."Oke, kalian bantu dia ganti baju. Sekalian mandiin," kataku mengancam."Siap Bu!" kedua algojo horor itu tersenyum mesum,hiiiiy."Oke...oke...oke...gue sendiri. Lepasin!" Ningsih meronta hingga tangan nya terlepas dari pegangan.Aku melempar daster yang tadi kudapatkan ke muka Ningsih sebelum wanita itu berlari terbirit-birit ke kamar, rasain. Berani mengangkat bendera perang dihadapanku. Mas Reza datang, wajah
"Lho..kok kamu!" wajah wanita itu memucat. Dia yang tiduran disofa lekas bangkit lalu meraih kain yang tergeletak dilantai untuk menutupi bagian dada nya yang terbuka. Sepertinya ini sudah dia persiapkan. Pelan tapi pasti aku melangkah masuk ke apartemen milik Ningsih ditemani dua body guardku yang bertampang seram."Oh katanya kamu sakit? sakit apa sakit?" ledekku, aku mendekati Ningsih, duduk didepan dan menatapnya lekat."Aku minta dokter Reza ke sini? kenapa malah kamu?" wanita itu masih nyolot, matanya tajam memperlihatkan ketidaksukaan."Dokter Reza lagi sibuk, banyak pasien yang benar-benar membutuhkan ikhtiar untuk sembuh. Mendatangimu sama saja dia mencari penyakit!,"kataku cuek."Apa mau mu?" tanyanya kasar."Lho kok apa mauku? aku dong yang seharusnya nanya? apa maumu, minta mas Reza datang ke sini dengan pura-pura sakit? trus minta diperiksa, lalu ngaku-ngaku suamiku menggoda kamu, trus ngaku-ngaku hamil, minta dinikahi gitu?" Wanita itu gelagapan."Basi! tau ga! rencana
"Maksud Bu Dian?" tanyaku."Ya... begitulah Mas. Mas Dicky punya wanita lain dibelakang sana." wajahnya datar. Tak tampak rasa sakit. Apa ini juga yang Dita rasakan saat itu."Laki-laki yang sekali berkhianat akan menikmatinya dan akan terus berulang-ulang hingga dia merasa jenuh sendiri, Bu." Eh, kok ini berasa menceritakan pengalaman sendiri ya?"Panggil Dian aja biar akrab. Kalau jam kantor baru panggil Bu Dian," wanita itu tersenyum, ah lesung dipipinya itu cantik sekali."Mas Gugun udah punya istri kan?" tanyanya lagi."Sudah, cuma ya begitu berasa tak punya istri. saya berangkat kerja dia masih pulas tidur. Tak memikirkan sarapan buat suaminya," Bukankah ini trik yang ampuh untuk menjerat perempuan dengan cerita yang akan membuatnya iba,hehe"Ya ampun, kasian sekali kamu Mas. Aku justru selalu telaten mengurus suami. Walau akhirnya aku tetap diduakan." senyum nya meredup."Kita seakan dua manusia yang dipertemukan dalam keadaan yang sama ya Di. Andai saja kamu belum menikah da
pov Arya"Di-dita?"Wajah cantik didepanku terlihat jutek."Itu istrimu tak mau pulang!" Dita yang memakai switter berwarna merah muda itu menunjuk ke arah mobil dibelakang mobil mewahnya.Ya ampun...tu cewek enak-enakan tidur. "Maaf, maaf...aku ga tahu Fitri kerumah kamu, Dek." ucapku ga enak.Tak lama suami Dita datang merangkul pundak istrinya."Apa perlu istri kamu saya yang angkat?" katanya judes. Kayaknya suami istri ini terganggu acaranya gara-gara Fitri."Eh, ga usah, saya saja!" aku bergegas membuka pintu mobil dan mengendong Fitri. Tubuh ini kurus tapi berat juga, apa dosa nya terlalu banyak kali ya. Bergegas aku memasukkan Fitri ke atas ranjang eh maksudnya ke atas kasur tipis kami, dan aku kembali keluar, tepat saat Dita dan suaminya hendak pergi."Terimakasih Dek Dita, Mas!" seruku.Dita membalikkan badannya dan menatapku tajam. Benar-benar tak sepertiDita yang kukenal."Bilang istrimu, rumahku bukan panti sosial! bukan juga warung makan!" katanya Sebelum dia melanjutk
"Halo, Dit gue to the point aja yaa? Arya Wiguna mantan kamu, kan?" sapa Dian seperti Metro mini ngejar setoran. Dian temanku jaman SMA dulu."Ho'oh napa emang!" mimpi apa semalam, bisa punya masalah sama mereka lagi. "Ini lagi ngelamar kerja di sini? terima kaga?" tanyanya."Sebenarnya udah diterima sama Mas Dicky, katanya kasian tampangnya melas banget. Tapi ngaku-ngaku namanya Gugun. Mau gue kerjain, gak?" lanjutnya."Terserah elo dah, gue udah ga ada urusan sama dia. Mau Lo jadiin pepes juga silahkan," jawabku. Dian malah ketawa ngakak."Yakiin ikhlas niih?" godanya."Ah Lo, cuma mau laporin itu doang? gue lagi nanggung, nih!" candaku sambil melirik mas Reza. lelaki itu meletakkan telunjuknya dibibir, ssst! Aku terkekeh."Pagi dinas juga, Neng?"ledek Dian.Aku membalas dengan tawa begitu juga Dian. Setelah telepon dimatikan aku mendekati Mas Reza."Mas, tolong anterin aku ke rumah Rusmini dong, Mas..." kataku merajuk."Mau ngapain?" katanya heran."Ada sesuatu yang ingin aku samp