Share

Chapter 5

Aku terbangun tepat saat adzan subuh berkumandang, kepala terasa sangat berat. Karena hampir separuh malam aku habiskan untuk menangis, bod*h! 

Iya, aku bod*h. Ingin berdamai dengan kenyataan, nyatanya aku tak mampu. Bayang-bayang suami berbagi peluh dengan wanita lain, membuat tekad sudah bulat untuk melambaikan tangan ke kamera, bye!

Aku beranjak turun dari ranjang, Mas Arya masih tertidur pulas. Ah bayangan itu, enyahlah!

Perlahan aku membasuh muka juga mandi karena ga enak sekali badan ini rasanya. Lalu mulai berwudhu walau aku ga sholat tapi kebiasaan itu udah tak bisa aku tinggalkan entah jadi pahala atau tidak, yang penting aku dapat ketenangan. Tetes demi tetes air seakan memberikan kenyamanan dalam bathin yang sakit ini.

"Mas, bangun udah subuh." aku menggoncang tubuh laki-laki itu kencang, memang tidurnya begitu, ngebo banget kayak odading, eh ga nyambung ya hehe maklum lagi error.

Mas Arya bangun, matanya mengerjap mengusir kantuk. Entah jam berapa dia kembali, aku juga tak tau. 

"Udah subuh ya sayang," 

"Udah!" jawabku singkat lalu bergegas keluar.

Bau masakan tercium dari dapur. Siapa yang masak? Mbok Yuna masih libur.

"Eh Mbak Dita, udah bangun?"

Aku terkejut, ulat bulu bisa masak juga.

"Udah, kamu ngapain repot-repot Fit? Biar Mbak aja!"kataku basa-basi.

"Ga usah Mbak, aku sudah mau selesai kok!" ucapnya. 

Mungkin dia takut mencr*t lagi seperti kemarin.

"Oh ya udah, kamu hari ini dapat panggilan kerja lho di kantor Mas Arya," kataku.

"Iya Mbak, Alhamdulillah. Semalam Mas Arya udah ngasih tahu,"

Aku pura-pura heran.

"Kapan Mas Arya, ketemu kamu Fit?"

Wajah nya gelagapan.

"Semalam, saat Mas keluar ambil minum ketemu Fitri, sayang,"

Mas Arya muncul bak pahlawan kemalaman, ga ada hero-hero nya.

"Oh..." kataku, yang sudah duduk dimeja makan sambil meminum segelas air putih hangat yang sudah aku ambil barusan.

Lelaki yang masih memakai Koko putih dan peci itu terlihat segar, rambutnya basah, begitu juga dengan rambut Fitri. Wanita berambut sebahu itu juga terlihat sangat bahagia, biasa baru dapat barang bekas emang begitu, Norak!

Itu hanya hadiah kecil untuk kalian, tunggu saja kejutan besar dariku, biar matamu itu terbuka lebar. Nikah itu bukan hanya untuk menjadi kaya dalam sekejap mata, berusaha dari nol, biar keikhlasan itu berbuah nyata.

"Hayo dimakan, Mas, Mbak," ucapnya sambil menyodorkan sepiring nasi yang telah dia goreng.

"Duluan, aku sarapan buah apel aja, takut mules."jawabku cuek sambil mengambil apel yang ada di kulkas.

Bukan apa-apa, selain takut dia balas dendam, aku juga khawatir makanan itu tak bersahabat dengan perutku, dari tampilan nya saja sudah terlihat bikin gatal, apa karena yang membuat ulat bulu kali ya.

Moodku benar-benar memburuk pagi ini. Tapi berubah saat melihat ekspresi Mas Arya saat mengunyah sesendok demi sesendok nasi yang dibuat pelakor itu untuknya. 

"Kenapa sayang, kok mukanya begitu?" kataku sengaja, karena Fitri ga melihat wajah Mas Arya yang tengah berusaha sekuat tenaga menelan makanan dimulutnya. Dia terlalu bahagia sepertinya, dasar kampungan!

"Ga, gapapa kok! enak!" katanya dengan wajah yang mengenaskan.

Tak lama Mas Arya berlari ke arah westafel, memuntahkan semua yang tadi dia makan.

Ya Allah, ingin rasanya tertawa terbahak-bahak, tapi aku kasian lihat wajah Fitri antara malu dan malu-maluin. Masak nasi goreng aja kok ga bisa.

"Ini Mas, diminum," aku menyerahkan secangkir teh manis kepada Mas Arya. Wajahnya terlihat sangat tersiksa.

"Fit, besok-besok kalau ga bisa masak ga usah masak ya, suami Mbak udah biasa makan masakan Mbak, perutnya alergi makan masakan orang. Sama kayak jodoh, Fit. Kalau bukan jodoh kita, jangan diembat juga, bisa semaput Sebelum waktunya,"

Entah aku bicara ngawur pagi ini, rasanya greget banget melihat tampang wanita itu.

"Maaf Mbak..Mas..." dia tertunduk.

"Eh gapapa kok, masakan nya enak, sama kayak masakan Mbak Dita kok Fit." ujar Mas Arya Yang terlihat merasa bersalah pada pelakor itu.

Aku membelalak, What?

Fitri tersenyum penuhi kemenangan.

" Oh, MasyaAllah iyakah, Mas? Waaah kalau gitu cepat habiskan, Mas. Punyaku juga makan aja, gapapa. Pasti ini lezat sekali ya, Mas,"

Aku memasukkan nasi yang tadi disendokkan Fitri untukku ke piring Mas Arya, rasain kau Mas. Bela terus wanita ini dihadapanku! habisin tuh Nasi buatan pelakor! rutukku dalam hati.

Muka Mas Arya memucat, tapi demi menjaga perasaan Fitri, dia terpaksa memakan nasi itu, tentu saja dengan keringat yang bercucuran. Aku menyeringai, makan tuh! awas lupa nafas!

 ****

"Mas, aku nebeng ya sampai kantor, kan kita satu kantor," ujar Fitri dengan wajah merona. 

Mobil itu memang dipakai Mas Arya, tapi dibeli dengan uangku. Gak Sudi jika dia ke kantor bareng suami memakai aset milikku.

"Maaf Fit, Mas Arya mau nganterin Mbak ke dokter dulu. Badan Mbak lagi kurang sehat," kataku sambil memijit keningku.

"Kamu sakit sayang," Mas Arya cemas, mungkin karena wajahku juga pucat, semalam aku kurang tidur dan mata sedikit bengkak.

Mas Arya meraba keningku.

"Ya sudah kita ke dokter dulu," ujarnya.

Wajah Fitri berubah masam.

"Fit, kamu naik ojek aja ya, pake jasa Pak Rohim aja, nanti biar Mbak yang bayar,"

Belum sempat dia menolak aku sudah menelpon Pak Rohim. Beliau adalah tukang ojek kampung yang sudah berumur. Lumayan beliau dapat rejeki nomplok pagi ini, bawa wanita seksi dengan motor buntut nya. Terlalu wah perempuan macam dia pake ojek online, kasian motornya, nanti apes.

Tak lama motor buntut Pak Rohim sudah parkir dihalaman, bunyi khas nya membuat telinga berdendang. Motor King tua, yang kalau jalan seperti petasan kawinan, asoy.

Anak-anakku memang pelanggan setia Pak Rohim, kata mereka suara motornya keren, padahal menurutku, suaranya ngajak gelud, brisik banget. Tapi karena aku merasa kasian dengan lelaki tua itu, aku tak masalah kan yang penting anak-anak aman.

"Tuh Pak Rohim udah sampai, Fit. Buruan nanti telat. Hari pertama lho ini," kataku.

"Tapi Mbak," mata wanita itu melirik ke arah Mas Arya, mungkin minta pertolongan.

"Udah sana, Fit. Ga enak sama Pak Rohim udah nungguin." ujarku lagi.

Dengan terpaksa dia naik motor legendaris itu, ah serasi sekali, eh.

Mas Arya menatap nanar, mungkin ada rasa kasian dihatinya.

"Pak jangan ngebut ya, nitip sepupu suami saya, jangan bawa kerumah sakit lho ya, pelan-pelan aja. Nanti nabrak lagi kayak waktu itu, sampe kepala orang ngelinding di aspal"

Aku mengerlingkan mata, memberi kode, serta menyelipkan dua lembar uang merah ke tangan Pak Rohim, wajahnya berbinar, sangat beda dengan wajah Fitri yang pucat pasi, takut mati juga dia, hahaha. 

"Ah si Neng, bisa aja.Siaaap Neng, Makasih banyak ya... Bapak pasti jaga barang antik ini dengan sepenuh jiwa raga, dijamin bahagia lahir batin," Pak Rohim tersenyum sambil memamerkan dua gigi yang masih tersisa di gusi depannya.

Aku tertawa lebar, sementara Fitri makin terlihat ingin bunuh diri, frustasi? jangan di sini hihi.

Setelah keberangkatan Pak Rohim dan Fitri, aku kembali ke kamar, merebahkan diri. Karena memang kepala ini nyut-nyutan dari tadi.

"Dek, yuuk ke dokter!" Mas Arya cemas melihatku, baru segitu Mas, bagaimana kalau kau lihat sakit yang ada didalam sana.

"Nanti saja Mas, aku mau tiduran dulu aja,"

"Tapi Mas mau ke kantor, Dek. Nanti Pak Binsar marah-marah lagi," ujarnya khawatir.

"Coba Mas telepon dulu aja atasan Mas itu, bilang istri Sah Mas sakit, pasti dia ngerti," kataku menyindir.

Aku mencoba mengulur waktu, biar Mas Arya lebih takjub dengan kejutan yang sudah aku siapkan untuk nya di kantor. 

Dia nurut, menelpon Om Binsar atasannya. Dan pastinya, atasannya itu tak akan marah apalagi pake drama, karena memang sudah aku beritahu dari awal.

"Mas, sepertinya aku ga usah ke dokter deh,udah enakan," kataku setelah waktu menunjukkan angka sepuluh. 

"Beneran?" katanya kurang yakin.

"Beneran Mas, kamu berangkat aja gapapa, oh ya, nanti aku dan anak-anak nginep dirumah Papa ya? besok pagi kamu susul ke sana!" 

Besok hari Sabtu, hari libur. Ada beberapa hal yang akan aku lakukan dirumah Papa, yang tak bisa aku kerjakan dirumah.

Wajah Mas Arya terlihat bahagia, pasti dia bakalan ngayal tidur berdua bak dihotel bintang lima dirumah ini. 

"Nanti Mbok Yuna akan kembali, jadi kamu ga usah khawatir tinggal berduaan sama Fitri dirumah ini, walau kalian sepupuan, kan tetap bukan Mahrom." 

Senyum diwajahnya memudar, tapi masih ada rona bahagia disana.

Ah, sayang selamat menikmati party nanti malam ya...Hadiah dariku yang tak akan kalian lupakan, pastinya.

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status