Aku terbangun tepat saat adzan subuh berkumandang, kepala terasa sangat berat. Karena hampir separuh malam aku habiskan untuk menangis, bod*h!
Iya, aku bod*h. Ingin berdamai dengan kenyataan, nyatanya aku tak mampu. Bayang-bayang suami berbagi peluh dengan wanita lain, membuat tekad sudah bulat untuk melambaikan tangan ke kamera, bye!
Aku beranjak turun dari ranjang, Mas Arya masih tertidur pulas. Ah bayangan itu, enyahlah!
Perlahan aku membasuh muka juga mandi karena ga enak sekali badan ini rasanya. Lalu mulai berwudhu walau aku ga sholat tapi kebiasaan itu udah tak bisa aku tinggalkan entah jadi pahala atau tidak, yang penting aku dapat ketenangan. Tetes demi tetes air seakan memberikan kenyamanan dalam bathin yang sakit ini.
"Mas, bangun udah subuh." aku menggoncang tubuh laki-laki itu kencang, memang tidurnya begitu, ngebo banget kayak odading, eh ga nyambung ya hehe maklum lagi error.
Mas Arya bangun, matanya mengerjap mengusir kantuk. Entah jam berapa dia kembali, aku juga tak tau. "Udah subuh ya sayang,""Udah!" jawabku singkat lalu bergegas keluar.
Bau masakan tercium dari dapur. Siapa yang masak? Mbok Yuna masih libur.
"Eh Mbak Dita, udah bangun?"
Aku terkejut, ulat bulu bisa masak juga.
"Udah, kamu ngapain repot-repot Fit? Biar Mbak aja!"kataku basa-basi.
"Ga usah Mbak, aku sudah mau selesai kok!" ucapnya.
Mungkin dia takut mencr*t lagi seperti kemarin.
"Oh ya udah, kamu hari ini dapat panggilan kerja lho di kantor Mas Arya," kataku.
"Iya Mbak, Alhamdulillah. Semalam Mas Arya udah ngasih tahu,"
Aku pura-pura heran."Kapan Mas Arya, ketemu kamu Fit?"
Wajah nya gelagapan.
"Semalam, saat Mas keluar ambil minum ketemu Fitri, sayang,"
Mas Arya muncul bak pahlawan kemalaman, ga ada hero-hero nya.
"Oh..." kataku, yang sudah duduk dimeja makan sambil meminum segelas air putih hangat yang sudah aku ambil barusan.
Lelaki yang masih memakai Koko putih dan peci itu terlihat segar, rambutnya basah, begitu juga dengan rambut Fitri. Wanita berambut sebahu itu juga terlihat sangat bahagia, biasa baru dapat barang bekas emang begitu, Norak!
Itu hanya hadiah kecil untuk kalian, tunggu saja kejutan besar dariku, biar matamu itu terbuka lebar. Nikah itu bukan hanya untuk menjadi kaya dalam sekejap mata, berusaha dari nol, biar keikhlasan itu berbuah nyata.
"Hayo dimakan, Mas, Mbak," ucapnya sambil menyodorkan sepiring nasi yang telah dia goreng.
"Duluan, aku sarapan buah apel aja, takut mules."jawabku cuek sambil mengambil apel yang ada di kulkas.
Bukan apa-apa, selain takut dia balas dendam, aku juga khawatir makanan itu tak bersahabat dengan perutku, dari tampilan nya saja sudah terlihat bikin gatal, apa karena yang membuat ulat bulu kali ya.
Moodku benar-benar memburuk pagi ini. Tapi berubah saat melihat ekspresi Mas Arya saat mengunyah sesendok demi sesendok nasi yang dibuat pelakor itu untuknya.
"Kenapa sayang, kok mukanya begitu?" kataku sengaja, karena Fitri ga melihat wajah Mas Arya yang tengah berusaha sekuat tenaga menelan makanan dimulutnya. Dia terlalu bahagia sepertinya, dasar kampungan!
"Ga, gapapa kok! enak!" katanya dengan wajah yang mengenaskan.
Tak lama Mas Arya berlari ke arah westafel, memuntahkan semua yang tadi dia makan.
Ya Allah, ingin rasanya tertawa terbahak-bahak, tapi aku kasian lihat wajah Fitri antara malu dan malu-maluin. Masak nasi goreng aja kok ga bisa.
"Ini Mas, diminum," aku menyerahkan secangkir teh manis kepada Mas Arya. Wajahnya terlihat sangat tersiksa.
"Fit, besok-besok kalau ga bisa masak ga usah masak ya, suami Mbak udah biasa makan masakan Mbak, perutnya alergi makan masakan orang. Sama kayak jodoh, Fit. Kalau bukan jodoh kita, jangan diembat juga, bisa semaput Sebelum waktunya,"
Entah aku bicara ngawur pagi ini, rasanya greget banget melihat tampang wanita itu.
"Maaf Mbak..Mas..." dia tertunduk.
"Eh gapapa kok, masakan nya enak, sama kayak masakan Mbak Dita kok Fit." ujar Mas Arya Yang terlihat merasa bersalah pada pelakor itu.
Aku membelalak, What?
Fitri tersenyum penuhi kemenangan." Oh, MasyaAllah iyakah, Mas? Waaah kalau gitu cepat habiskan, Mas. Punyaku juga makan aja, gapapa. Pasti ini lezat sekali ya, Mas,"
Aku memasukkan nasi yang tadi disendokkan Fitri untukku ke piring Mas Arya, rasain kau Mas. Bela terus wanita ini dihadapanku! habisin tuh Nasi buatan pelakor! rutukku dalam hati.
Muka Mas Arya memucat, tapi demi menjaga perasaan Fitri, dia terpaksa memakan nasi itu, tentu saja dengan keringat yang bercucuran. Aku menyeringai, makan tuh! awas lupa nafas!
****"Mas, aku nebeng ya sampai kantor, kan kita satu kantor," ujar Fitri dengan wajah merona.
Mobil itu memang dipakai Mas Arya, tapi dibeli dengan uangku. Gak Sudi jika dia ke kantor bareng suami memakai aset milikku."Maaf Fit, Mas Arya mau nganterin Mbak ke dokter dulu. Badan Mbak lagi kurang sehat," kataku sambil memijit keningku.
"Kamu sakit sayang," Mas Arya cemas, mungkin karena wajahku juga pucat, semalam aku kurang tidur dan mata sedikit bengkak.
Mas Arya meraba keningku.
"Ya sudah kita ke dokter dulu," ujarnya.
Wajah Fitri berubah masam.
"Fit, kamu naik ojek aja ya, pake jasa Pak Rohim aja, nanti biar Mbak yang bayar,"
Belum sempat dia menolak aku sudah menelpon Pak Rohim. Beliau adalah tukang ojek kampung yang sudah berumur. Lumayan beliau dapat rejeki nomplok pagi ini, bawa wanita seksi dengan motor buntut nya. Terlalu wah perempuan macam dia pake ojek online, kasian motornya, nanti apes.
Tak lama motor buntut Pak Rohim sudah parkir dihalaman, bunyi khas nya membuat telinga berdendang. Motor King tua, yang kalau jalan seperti petasan kawinan, asoy.
Anak-anakku memang pelanggan setia Pak Rohim, kata mereka suara motornya keren, padahal menurutku, suaranya ngajak gelud, brisik banget. Tapi karena aku merasa kasian dengan lelaki tua itu, aku tak masalah kan yang penting anak-anak aman.
"Tuh Pak Rohim udah sampai, Fit. Buruan nanti telat. Hari pertama lho ini," kataku.
"Tapi Mbak," mata wanita itu melirik ke arah Mas Arya, mungkin minta pertolongan.
"Udah sana, Fit. Ga enak sama Pak Rohim udah nungguin." ujarku lagi.
Dengan terpaksa dia naik motor legendaris itu, ah serasi sekali, eh.
Mas Arya menatap nanar, mungkin ada rasa kasian dihatinya.
"Pak jangan ngebut ya, nitip sepupu suami saya, jangan bawa kerumah sakit lho ya, pelan-pelan aja. Nanti nabrak lagi kayak waktu itu, sampe kepala orang ngelinding di aspal"
Aku mengerlingkan mata, memberi kode, serta menyelipkan dua lembar uang merah ke tangan Pak Rohim, wajahnya berbinar, sangat beda dengan wajah Fitri yang pucat pasi, takut mati juga dia, hahaha.
"Ah si Neng, bisa aja.Siaaap Neng, Makasih banyak ya... Bapak pasti jaga barang antik ini dengan sepenuh jiwa raga, dijamin bahagia lahir batin," Pak Rohim tersenyum sambil memamerkan dua gigi yang masih tersisa di gusi depannya.
Aku tertawa lebar, sementara Fitri makin terlihat ingin bunuh diri, frustasi? jangan di sini hihi.
Setelah keberangkatan Pak Rohim dan Fitri, aku kembali ke kamar, merebahkan diri. Karena memang kepala ini nyut-nyutan dari tadi.
"Dek, yuuk ke dokter!" Mas Arya cemas melihatku, baru segitu Mas, bagaimana kalau kau lihat sakit yang ada didalam sana.
"Nanti saja Mas, aku mau tiduran dulu aja,""Tapi Mas mau ke kantor, Dek. Nanti Pak Binsar marah-marah lagi," ujarnya khawatir.
"Coba Mas telepon dulu aja atasan Mas itu, bilang istri Sah Mas sakit, pasti dia ngerti," kataku menyindir.
Aku mencoba mengulur waktu, biar Mas Arya lebih takjub dengan kejutan yang sudah aku siapkan untuk nya di kantor.
Dia nurut, menelpon Om Binsar atasannya. Dan pastinya, atasannya itu tak akan marah apalagi pake drama, karena memang sudah aku beritahu dari awal.
"Mas, sepertinya aku ga usah ke dokter deh,udah enakan," kataku setelah waktu menunjukkan angka sepuluh.
"Beneran?" katanya kurang yakin.
"Beneran Mas, kamu berangkat aja gapapa, oh ya, nanti aku dan anak-anak nginep dirumah Papa ya? besok pagi kamu susul ke sana!"
Besok hari Sabtu, hari libur. Ada beberapa hal yang akan aku lakukan dirumah Papa, yang tak bisa aku kerjakan dirumah.
Wajah Mas Arya terlihat bahagia, pasti dia bakalan ngayal tidur berdua bak dihotel bintang lima dirumah ini.
"Nanti Mbok Yuna akan kembali, jadi kamu ga usah khawatir tinggal berduaan sama Fitri dirumah ini, walau kalian sepupuan, kan tetap bukan Mahrom."
Senyum diwajahnya memudar, tapi masih ada rona bahagia disana.
Ah, sayang selamat menikmati party nanti malam ya...Hadiah dariku yang tak akan kalian lupakan, pastinya.
Bersambung.
pov Author."Dian, gue ga mau ikut campur ya, jika nanti Lo stres sendiri ngadepin istrinya Arya!" ancam Dita sebelum Dian melakukan aksinya."Tenaaang, selama ada Mas Dicky dan Lo gue yakin urusan kelar." jawabnya dengan kepercayaan diri diatas rata-rata.[Datang ke Hotel Anggrek kamar no 113 jam 3 sore! Penting!]Dita mengirim pesan ke nomor ponsel Fitri, dengan nomor baru, sesuai rencana dengan Dian.Fitri yang sedang asik goyang ikan duyung terdampar di got dalam aplikasi toktok itu mengerutkan keningnya.[Siapa?] singkat, tapi dia sangat penasaran. Hotel anggrek adalah hotel yang terkenal dengan hotel esek-eseknya.[Lo ingin tau kan suami Lo kerja apaan? ga usah banyak tanya!]Fitri meski kesal tapi tetap penasaran. Niatnya yang hendak ketemuan dengan Beni, gebetan barunya dia undur dulu sementara waktu. Beni, lelaki tajir berumur hampir lima puluh tahun, seorang suami mata keranjang yang ingin Fitri porotin hartanya.Sudah beberapa hari ini Fitri jalan berdua sepeninggal Arya be
"Sempurna! gapapa Bu! tolong saya kali ini saja," aku memelas. Hingga ibu itu mau masuk kedalam apartemen nya dan berganti pakaian, wajahnya sumringah saat aku memberikan beberapa lembar uang merah ketangannya."Lepasin gue!" kata Ningsih saat tangannya dipegang kedua bodyguardku."Kenapa dia?" tanyaku heran."Maaf Bu, dia mau mencoba kabur!" ucap salah satu dari mereka."Ganti baju lo pake ini, dan sekalian cuci muka! cepatan!" Sebentar lagi Mas Reza datang. Aku ingin Ningsih tampil apa adanya, bukan dengan baju kurang bahan dan dadanan melebihi dempulan."Ga mau!" pekiknya."Oke, kalian bantu dia ganti baju. Sekalian mandiin," kataku mengancam."Siap Bu!" kedua algojo horor itu tersenyum mesum,hiiiiy."Oke...oke...oke...gue sendiri. Lepasin!" Ningsih meronta hingga tangan nya terlepas dari pegangan.Aku melempar daster yang tadi kudapatkan ke muka Ningsih sebelum wanita itu berlari terbirit-birit ke kamar, rasain. Berani mengangkat bendera perang dihadapanku. Mas Reza datang, wajah
"Lho..kok kamu!" wajah wanita itu memucat. Dia yang tiduran disofa lekas bangkit lalu meraih kain yang tergeletak dilantai untuk menutupi bagian dada nya yang terbuka. Sepertinya ini sudah dia persiapkan. Pelan tapi pasti aku melangkah masuk ke apartemen milik Ningsih ditemani dua body guardku yang bertampang seram."Oh katanya kamu sakit? sakit apa sakit?" ledekku, aku mendekati Ningsih, duduk didepan dan menatapnya lekat."Aku minta dokter Reza ke sini? kenapa malah kamu?" wanita itu masih nyolot, matanya tajam memperlihatkan ketidaksukaan."Dokter Reza lagi sibuk, banyak pasien yang benar-benar membutuhkan ikhtiar untuk sembuh. Mendatangimu sama saja dia mencari penyakit!,"kataku cuek."Apa mau mu?" tanyanya kasar."Lho kok apa mauku? aku dong yang seharusnya nanya? apa maumu, minta mas Reza datang ke sini dengan pura-pura sakit? trus minta diperiksa, lalu ngaku-ngaku suamiku menggoda kamu, trus ngaku-ngaku hamil, minta dinikahi gitu?" Wanita itu gelagapan."Basi! tau ga! rencana
"Maksud Bu Dian?" tanyaku."Ya... begitulah Mas. Mas Dicky punya wanita lain dibelakang sana." wajahnya datar. Tak tampak rasa sakit. Apa ini juga yang Dita rasakan saat itu."Laki-laki yang sekali berkhianat akan menikmatinya dan akan terus berulang-ulang hingga dia merasa jenuh sendiri, Bu." Eh, kok ini berasa menceritakan pengalaman sendiri ya?"Panggil Dian aja biar akrab. Kalau jam kantor baru panggil Bu Dian," wanita itu tersenyum, ah lesung dipipinya itu cantik sekali."Mas Gugun udah punya istri kan?" tanyanya lagi."Sudah, cuma ya begitu berasa tak punya istri. saya berangkat kerja dia masih pulas tidur. Tak memikirkan sarapan buat suaminya," Bukankah ini trik yang ampuh untuk menjerat perempuan dengan cerita yang akan membuatnya iba,hehe"Ya ampun, kasian sekali kamu Mas. Aku justru selalu telaten mengurus suami. Walau akhirnya aku tetap diduakan." senyum nya meredup."Kita seakan dua manusia yang dipertemukan dalam keadaan yang sama ya Di. Andai saja kamu belum menikah da
pov Arya"Di-dita?"Wajah cantik didepanku terlihat jutek."Itu istrimu tak mau pulang!" Dita yang memakai switter berwarna merah muda itu menunjuk ke arah mobil dibelakang mobil mewahnya.Ya ampun...tu cewek enak-enakan tidur. "Maaf, maaf...aku ga tahu Fitri kerumah kamu, Dek." ucapku ga enak.Tak lama suami Dita datang merangkul pundak istrinya."Apa perlu istri kamu saya yang angkat?" katanya judes. Kayaknya suami istri ini terganggu acaranya gara-gara Fitri."Eh, ga usah, saya saja!" aku bergegas membuka pintu mobil dan mengendong Fitri. Tubuh ini kurus tapi berat juga, apa dosa nya terlalu banyak kali ya. Bergegas aku memasukkan Fitri ke atas ranjang eh maksudnya ke atas kasur tipis kami, dan aku kembali keluar, tepat saat Dita dan suaminya hendak pergi."Terimakasih Dek Dita, Mas!" seruku.Dita membalikkan badannya dan menatapku tajam. Benar-benar tak sepertiDita yang kukenal."Bilang istrimu, rumahku bukan panti sosial! bukan juga warung makan!" katanya Sebelum dia melanjutk
"Halo, Dit gue to the point aja yaa? Arya Wiguna mantan kamu, kan?" sapa Dian seperti Metro mini ngejar setoran. Dian temanku jaman SMA dulu."Ho'oh napa emang!" mimpi apa semalam, bisa punya masalah sama mereka lagi. "Ini lagi ngelamar kerja di sini? terima kaga?" tanyanya."Sebenarnya udah diterima sama Mas Dicky, katanya kasian tampangnya melas banget. Tapi ngaku-ngaku namanya Gugun. Mau gue kerjain, gak?" lanjutnya."Terserah elo dah, gue udah ga ada urusan sama dia. Mau Lo jadiin pepes juga silahkan," jawabku. Dian malah ketawa ngakak."Yakiin ikhlas niih?" godanya."Ah Lo, cuma mau laporin itu doang? gue lagi nanggung, nih!" candaku sambil melirik mas Reza. lelaki itu meletakkan telunjuknya dibibir, ssst! Aku terkekeh."Pagi dinas juga, Neng?"ledek Dian.Aku membalas dengan tawa begitu juga Dian. Setelah telepon dimatikan aku mendekati Mas Reza."Mas, tolong anterin aku ke rumah Rusmini dong, Mas..." kataku merajuk."Mau ngapain?" katanya heran."Ada sesuatu yang ingin aku samp
"Sayang, hari ini ga kerumah sakit?" kataku membangunkan Mas Reza."Hmmm..aku mau ngabisin hari bersama mu aja sayang, takut dede utun nanti kangen sama Papa nya," jawab Mas Reza sambil menarikku dalam pelukan dan mengusap perutku yang masih rata. Sssttt ada si si"Udah ga mabok?" tanyanya lagi.Aku menggeleng, entah kenapa setiap ada dia morning sickness yang kurasakan selalu menghilang, ajaib.Tok tok tok tok"Non, ada tamu?" Sesi romantis-romantisan itu terjeda oleh suara ketukan dari luar. Aku bangkit dan membuka pintu."Siapa Mbok?" tanyaku."Itu Non, si ulat bulu?" aku mengernyitkan dahi."Ada apa dia pagi-pagi kesini?" gumamku."Mau tak kasih ramuan cinta lagi ga, Non?"kata Mbok Yuna tersenyum jahat.Aku ikut tersenyum jahat, "Sabar Mbok, kita lihat tujuan nya kesini, mau ngajak perang apa mau genjatan senjata,"Mbok Yuna mengacungkan jempolnya padaku. "Aku ganti baju dulu Mbok," aku masuk kembali ke dalam, mengganti baju dengan pakaian yang lebih tertutup, takut di ulat bul
Akupun bangkit kembali, memaksakan badan yang sebenarnya sudah sangat lelah.Aku pura-pura menyapu lantai yang sudah bersih, yang penting terlihat bekerja."Mas, daripada buang-buang tenaga menyapu yang sudah bersih, hayu ikut saya!" suara lembut namun tegas itu mengangetkanku. Dia melangkah cepat di depanku. Mau tak mau aku pun mengikuti dari belakang.Pasti mau diajak makan siang nih, secara sebentar lagi sudah waktunya istirahat. Tapi kok arahnya ke toilet, jangan jangan..."Bersihkan ini dulu, sampai waktu istirahat ya!" katanya tanpa pri-kekasihanan.Ya ampun dah seperti dapat hidangan pembuka, hueeeek!"Tapi Mbak eh Bu!" aku ingin membantah, tapi wanita itu menatapku tajam. Ga jadi ah!"Siap Bu!" akhirnya itu kata yang keluar dari mulutku. Asem! malah nyikat toilet!Istirahat tiba, aku bergegas berlari keluar pusat perbelanjaan itu. Mana kuat aku makan didalam, bisa-bisa aku pulang jalan kaki.Saat hendak menyebrang mau ke warung makan, sekilas aku melihat Dita dan suaminya lewa
Dan benar saja suara perempuan yang aku dengar benar-benar perempuan, bukan perempuan jadi-jadian kayak si lucintakutidak.Mataku terpana, seorang wanita cantik, putih, langsing dan punya lesung pipi pada kedua pipi nya itu tersenyum hangat padaku."Silahkan Masuk, ada yang bisa saya bantu?" katanya ramah.Mulutku masih mengaga, ups."Ma-maaf Mbak Dian, benar ini Mbak Dian kan?" kataku gugup."Benar saya Dian? kok tau?" "Karena Dian-tara banyak wanita yang kutemui hanya kamu yang paling menarik hati," uhuk jurus pertama.Wanita bernama Dian itu tersenyum manis."Ah, bisa aja. Mas ini siapa dan keperluannya apa?" tanyanya"Saya sudah diterima sebagai CS di sini oleh Pak Dicky, Mbak. Pak Dicky minta saya menemui Mbak, minta seragam, name tag juga kalau boleh minta hati nya walau sepotek," aku menunduk, pura-pura malu, Jurus kedua!Wanita itu terkekeh geli."Oh, begitu.. Saya siapkan dulu ya!" katanya lalu beranjak meninggalkanku.Aku tersipu, hilang Dita, datanglah Dian. Nasib baik mas