Share

Pengorbanan Seorang Ibu

"Kamu tenang saja, aku bukan wanita yang suka banyak bicara. Asal mulut aku ini dibungkam dengan uang yang sangat banyak, aku janji tidak akan membongkar rahasia kita ini,'' ucap Naila seraya duduk bersilang kaki membuat Arka seketika merasa kesal.

"Hey ... Kalau duduk itu yang sopan ya. Kamu itu harus terlihat seperti seorang wanita berkelas. Tutur bicara kamu, cara berpakaian kamu juga sopan santun kamu itu harus diperbaiki," ketus Arka menatap wajah Naila dengan tatapan tidak suka.

"Heuh! Pura-pura jadi orang kaya itu banyak aturannya juga ya. Segala macam di atur, cara bicara juga harus di perbaiki segala. Tidak bisa apa kalau aku jadi diri aku sendiri?"

"Tidak bisa dong. Kamu lupa saya ini siapa? Saya adalah Arka Wijaya Kusuma Hadiningrat, saya laki-laki yang disegani di kota ini juga salah satu pengusaha kaya raya, masa pacar saya tidak punya etika dan tata krama? Tidak lucu 'kan?"

"Hmm ... Iya-iya, baik Tuan Arka yang terhormat, terserah anda saja maunya seperti apa. Asal aku di bayar mahal, aku akan menjadi seperti apa yang anda inginkan," lirih Naila dengan suara so manja.

"Satu lagi, saya tidak ingin melihat kamu merokok. Saya tidak suka wanita yang suka merokok, kamu tahu? Merokok itu tidak baik untuk kesehatan," ketus Arka mengingatkan.

"Baik, Tuan Arka,'' jawab Naila malas.

"Sudah-sudah jangan berdebat terus. Jadi, kapan Tuan mau pulang dan ngenalin wanita ini kepada Tuan dan Nyonya besar?" tanya Antoni menengahi.

"Sekarang juga." Arka bangkit dari duduknya.

"Hah? Sekarang juga? Anda serius?''

"Tentu saja, saya sudah tidak sabar ingin segera mengambil kembali semua yang telah Daddy ambil dari saya. Saya, Arka Wijaya Kusuma Hadiningrat akan kembali berjaya dan bangkit dari keterpurukan, hahahaha!" tawa Arka terlihat bersemangat.

"Baiklah, kita berangkat sekarang juga. Aku juga penasaran seperti apa rumah orang kaya kaya yang konon katanya memiliki uang yang tidak akan habis tujuh turunan itu," ucap Naila yang juga dengan penuh semangat.

"Ya sudah, saya antar anda sama wanita ini ke pulang ke rumah anda,'' ujar Antoni kemudian.

"Naila, nama saya Naila. Berhenti panggil saya dengan sebutan wanita ini,'' ketus Naila menatap wajah Antoni dengan tatapan tidak suka.

"Baiklah, Nona Naila. Saya akan antarkan kalian berdua ke rumah Tuan besar.''

Arka dan juga Naila pun mengangguk seraya tersenyum senang. Arka mengulurkan tangannya dengan telapak yang di buka lebar. Senyuman manis pun mengembang dari kedua sisi bibirnya kini.

"Kamu siap jadi kekasih bayaran saya?" tanya Arka menatap wajah Naila.

"Siap dong, aku akan menjalankan peranku sebaik mungkin sebagai kekasih bayaran Tuan Arka yang terhormat," jawab Naila menerima uluran tangan Arka juga balas tersenyum manis.

* * *

Sementara itu, di kediaman Tuan Wijaya Kusuma Hadiningrat. Nyonya Maurina nampak sedang meringkuk di atas ranjang. Semenjak putra kesayangannya itu meninggalkan rumah, kesehatan wanita berusia pertengahan 50han itu memburuk bahkan tidak memiliki semangat untuk hidup.

Sebagai seorang ibu, tentu saja hatinya merasa sangat terluka melihat putra semata wayangnya berseteru dengan sang suami. Sementara dirinya sama sekali tidak bisa melakukan apapun untuk menengahi perseteruan di antara mereka. Baginya, baik suami maupun putranya sama-sama orang yang paling berharga di dalam hidupnya.

"Kamu dimana, Nak? Apa kamu baik-baik saja? Apa kamu sudah makan? Mommy kangen banget sama kamu, Arka,'' gumam Nyonya Maurin menutup hampir seluruh tubuhnya dengan selimut tebal.

Tok ... Tok ... Tok ...

Ceklek!

Suara pintu yang diketuk dan dibuka seketika membuyarkan lamunan Nyonya Maurina. Dia pun tidak bergerak sedikitpun bahkan, semakin merekatkan selimut tebal yang menutupi tubuhnya. Kedua mata Nyonya Maurina pun terpejam sempurna kini.

"Sayang, kita makan ya. Sudah beberapa hari ini kamu belum makan lho," pinta sang suami masuk ke dalam kamar dengan membawa nampan berisi makanan.

"Biarkan aku sakit, Mas. Kalau bisa mati saja sekalian, apa gunanya aku hidup kalau aku harus kehilangan putra satu-satunya yang aku miliki," ketus Nyonya Maurin tanpa menoleh sedikitpun.

"Hmm ... Masih mikirin putra kita yang tidak tahu diri itu?"

"Tidak tahu diri? Mas seenaknya saja mengatakan putra kita tidak tahu diri! Apa Mas tahu bagaimana rasanya mengandung? Apa Mas tahu seperti apa sakitnya melahirkan dimana nyawa yang jadi taruhannya? Apa Mas juga mengerti bagaimana rasanya menyusui selama dua tahun dan harus terbangun tengah malam karena harus menyusui bahkan tidak tidur lagi sampai pagi?" Nyonya Maurina penuh emosi, dia pun menatap wajah sang suami dengan tatapan tajam lengkap dengan bola mata yang memerah.

Mendengar semua itu, tentu saja Tuan Wijaya hanya bisa diam tanpa mampu membantah semua yang baru saja diucapkan oleh sang istri. Apa yang baru saja dia dengar memang benar adanya. Tidak ada yang bisa menandingi pengorbanan seorang ibu dalam mengandung, melahirkan bahkan mengurus seorang putra.

"Mas juga berat melakukan hal ini sebenarnya, tapi--" Tuan Wijaya tidak meneruskan ucapannya.

"Tapi apa, Mas?"

Tok ... Tok ... Tok ...

Suara pintu yang diketuk membuat Tuan Wijaya dan juga Istrinya menghentikan perdebatan panas mereka. Bi Sumi masuk ke dalam kamar dengan tubuh yang sedikit membungkuk hormat. Dia pun tersenyum lebar membuat majikannya seketika merasa heran.

"Permisi Tuan, Nyonya. Tuan Muda ada di bawah, beliau pulang dengan seorang perempuan, Tuan,'' ucap Bibi terlihat begitu senang.

"Apa? Bibi tidak bercanda 'kan? Arka putra saya sudah pulang?" tanya Nyonya Maurina dengan mata yang terlihat berkaca-kaca juga perasaan tidak percaya.

*****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status