Arthur menatap sekeliling ruangan dengan cemas. Setiap sudut ruangan penuh dengan penjaga yang mengenakan pakaian serba hitam, terlihat garang dan siap untuk mencegah siapa pun yang mencoba mengganggu jalannya acara. Di luar, Arthur bisa merasakan suasana yang sama menindas. Ruangan yang luas ini terasa lebih seperti penjara, tempat di mana siapa pun yang hadir hanyalah barang yang bisa diperdagangkan.Di atas panggung, Irish berdiri dengan tatapan kosong, seolah tak menyadari apapun yang terjadi di sekitarnya. Arthur menggigit bibirnya, berusaha menahan emosi. Ia tahu betul bahwa untuk bisa membawa Irish pergi, ia harus mematuhi aturan yang ada. Tidak ada jalan lain.Tiba-tiba, suara host terdengar lagi, memecah ketegangan di dalam ruangan."Saudara-saudara, mari kita mulai pelelangan ini. Yang pertama, harga pembukaan untuk produk kita malam ini adalah lima puluh juta," katanya sambil menunjukkan papan angka 5 yang diangkat oleh seorang pria gemuk dengan kepala botak. Arthur menger
Beberapa hari berlalu sejak percakapan dengan ibunya, dan Arthur masih terjebak dalam kebingungannya. Malam itu, ia duduk di meja kerjanya, menatap layar komputer yang gelap. Pikirannya berkecamuk tentang Irish, dan ia merasa semakin putus asa. Semua petunjuk yang ia dapatkan berujung buntu. Saat hendak menutup laptopnya, sebuah notifikasi email muncul di layar. Nama pengirimnya kosong, hanya sebuah alamat email yang tak dikenalnya. Arthur ragu sejenak, namun rasa penasaran mengalahkan keraguannya. Ia membuka email itu. Undangan Privé - Mister BDi dalam email tersebut, terdapat sebuah pesan singkat dan sebuah lampiran berupa gambar undangan. "Tuan Arthur, kami mengundang Anda untuk hadir dalam acara eksklusif yang akan diselenggarakan oleh Tuan Bastian. Acara ini hanya untuk tamu terpilih. Harap hadir sesuai petunjuk di bawah ini. Acara akan berlangsung pada 24 Januari, 19:00 WIB."Lampiran yang disertakan menunjukkan undangan elegan dengan kode rahasia yang tertulis di sudut
Arthur melangkah mondar-mandir di dalam ruangan di kantornya. Sudah seminggu lebih sejak Irish menghilang, dan setiap harinya terasa seperti siksaan. Ia menatap ponselnya dengan putus asa, berharap ada pesan atau panggilan yang datang dari Irish, tetapi harapan itu selalu berakhir dengan kekecewaan. "Aku seharusnya menjagamu… Aku seharusnya tahu ada sesuatu yang salah," bisiknya, suaranya parau penuh penyesalan. Arthur mengepalkan tangannya, memukul meja di depannya hingga beberapa barang terjatuh. Kenangan bersama Irish terlintas di benaknya—Irish yang selalu ceria meskipun menghadapi banyak kesulitan. Irish yang, tanpa ia sadari, telah menjadi bagian penting dalam hidupnya. "Dimana kamu sekarang?" Arthur menggumam pelan, tatapannya kosong. Hari-harinya terus berlalu dengan hampa. Semua yang dulu berarti baginya terasa tak penting lagi. Arthur, yang dikenal sebagai pria tangguh dan penuh percaya diri, kini berubah menjadi seseorang yang hampir tak dikenali. Malamnya.Ballro
Irish berjalan tanpa arah, hanya mengikuti instingnya yang ingin menjauh sejauh mungkin dari apartemen tempat ia dikurung. Dengan perasaan cemas dan tanpa membawa ponsel maupun uang, ia merasa semakin terasing di tengah keramaian kota. Langkah-langkahnya mulai melambat seiring rasa lelah yang menjalar di seluruh tubuh. Setelah beberapa saat, ia menemukan sebuah halte kecil di pinggir jalan. Area itu tidak terlalu ramai—hanya sesekali sebuah kendaraan melintas. Irish duduk di bangku halte, mencoba mengatur napasnya yang memburu. Keringat dingin membasahi dahinya, sementara pikirannya dipenuhi kebingungan tentang apa yang harus ia lakukan selanjutnya. Tanpa ia sadari, sejak beberapa menit lalu, sebuah van hitam telah membuntutinya dari kejauhan. Di dalam kendaraan itu, Pedro duduk di kursi belakang dengan tatapan tajam. Sosok pria berperawakan besar dan berwajah dingin itu tampak puas melihat Irish akhirnya berhenti di tempat sepi. “Kau yakin itu dia?” tanya salah satu anak buahny
Irish membuka matanya perlahan. Pandangannya kabur sejenak sebelum akhirnya bisa melihat dengan jelas sekelilingnya. Kamar bernuansa putih itu tampak sama seperti sebelumnya—bersih, rapi, tanpa satu pun benda yang menunjukkan waktu. Tidak ada jam, tidak ada kalender. Hanya sebuah jendela besar di satu sisi kamar yang membiarkan cahaya matahari masuk, menyinari lantai kayu yang mengkilap. Ia duduk di ranjang, memijit pelipisnya, mencoba mengingat apa yang sebenarnya terjadi. Sudah berapa lama ia berada di tempat ini? Tiga hari? Satu minggu? Ia tak tahu. Setiap hari terasa sama—bangun, makan, menatap keluar jendela, dan berharap ada sesuatu yang berubah. Dengan langkah pelan, Irish bangkit dari ranjang dan berjalan menuju jendela. Dari sana, ia bisa melihat pemandangan kota yang ramai—gedung-gedung tinggi menjulang, mobil-mobil berlalu lalang, dan orang-orang yang berjalan terburu-buru di trotoar. Semuanya tampak normal, seolah ia hanyalah bagian kecil dari dunia yang bergerak tanpa
Malamnya, Arthur tidak bisa tidur. Pikirannya terus dipenuhi pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab. Sikap ‘Irish’ yang semakin aneh membuatnya resah, terlebih ucapan dingin wanita itu di balkon tadi malam. Ia yakin ada sesuatu yang disembunyikan wanita itu—sesuatu yang tidak bisa dibiarkan begitu saja. Dengan langkah hati-hati, Arthur berjalan menyusuri koridor menuju kamar Thea. Lampu-lampu di mansion redup, hanya diterangi cahaya bulan yang menembus jendela besar di ujung lorong. Arthur berhenti di depan kamar Thea. Pintu kamar itu tertutup, tetapi samar-samar ia mendengar suara seseorang berbicara di dalam. Arthur mendekat, menempelkan telinganya ke pintu. Suara itu milik Thea. Awalnya terdengar samar, tetapi kemudian ia bisa menangkap kata-kata yang diucapkan dengan jelas. “Alann, aku baik-baik saja. Kau tidak perlu khawatir,” suara Thea terdengar tenang, tetapi Arthur bisa menangkap nada ketidaksabaran di dalamnya. “Aku tahu apa yang kulakukan.” Arthur menahan napas. Na