Mulut Irish terbuka lalu tertutup. Namun suaranya tak kunjung keluar. Ia tak menemukan alasan untuk menjawab hardikan putra kedua dari Nyonya Wina itu.
"Dengar, Thea, berhenti memberi pengaruh buruk pada kakakku! Tidak cukup bagimu telah membuatnya buta? Kau belum puas?" Irish terhenyak. Entah ia harus lega atau kesal menghadapi amarah Arthur. Kata-kata tak menyenangkan baru saja jelas untuk Thea. Dan Irish harus bersabar karena pria itu belumlah selesai. "Kau melakukan semua ini agar aku cemburu, bukan? Lupakan saja, hubungan kita sudah selesai saat itu. Jadi jangan ganggu hidup kakakku lagi!" Tangan Arthur mengepal tepat di samping wajah Irish yang masih berdiri bersandar. Irish menatap mata Arthur lekat. Meski bibirnya berujar kemarahan, sorot matanya mengatakan hal lain. "Sudah selesai? Bisakah aku membuat coklat panas untuk Darren sekarang?" tanya Irish. Pertanyaan polos yang Irish lontarkan meluruhkan emosi Arthur. Pria itu mematung dan membiarkan Irish pergi melenggang menuju dapur. Arthur memicingkan mata, respon Irish baru saja di luar perkiraannya. Satu jam berlalu. Sepeninggal Arthur ke kantor, Irish menemani Darren yang ingin berjalan-jalan di halaman belakang mansion. Dua orang yang seharusnya asing, kini melangkah bersama layaknya sepasang kekasih. "Sayang, bagaimana kabar Om Hans?" Darren tiba-tiba bertanya kala mereka duduk di kursi yang terbuat dari akar. Di depan mereka tampak panorama pegunungan cantik. Ditambah pemandangan hutan kecil di sekitarnya. "Err, Om Hans? Om Hans baik," jawab Irish sekenanya. Dalam hati ia berencana meminta info lebih lengkap mengenai Thea pada Nyonya Wina setelah ini. Pekerjaannya kini bisa dikatakan adalah berbohong dan Irish tidak menyukainya. "Syukurlah, aku harap bisa menemui beliau lagi." Darren tersenyum kecil. "Kenapa?" Irish menoleh. "Sewaktu melamarmu aku belum ijin padanya. Bagaimana mungkin aku menikahimu tanpa meminta ijin pada ayahmu, Thea?" Darren balik bertanya. Bibir Irish membentuk huruf O. Ia merasa konyol. Beruntung Darren tak bisa melihat ekspresinya saat ini. Jika tidak tentu ia tak sanggup meneruskan perannya. "Thea ...," sebut Darren. Tangganya menggapai milik Irish. "Iya, Darren?" "Sejak datang, aku merasa ada yang berbeda denganmu. Atau sekedar perasaanku saja?" "Aku masih Thea yang sama, tidak ada yang berubah. Jangan berpikiran aneh-aneh," ujar Irish diiringi tawa canggung. Sebagai respon, Darren mengubah posisi duduk menjadi menghadapi Irish. Wanita di sampingnya melakukan hal yang sama. Mereka akan saling tatap andai mata Darren baik-baik saja. Irish biarkan tangan Darren meraba wajahnya seperti kemarin. Mungkin pria itu hanya ingin meyakinkan diri sekali lagi. Hingga tanpa diduga, Darren mendekatkan wajahnya. Bagaikan adegan slow motion, Irish bisa melihat detik-detik sebelum bibir mereka bertemu. Seharusnya ia melawan atau menghindar. Tapi bak terhipnotis, tubuhnya kaku. Darren tersenyum setelah memberi kecupan singkat. Kecupan yang bagi Irish adalah ciuman pertama. Irish ingin marah tapi tidak bisa. Kalau saja bukan demi Nora, ia sudahi kontrak kerjanya dengan ibunda Darren hari ini juga. "Tidak ada aroma nikotin, aku senang akhirnya kamu berhenti merokok," ucap Darren seraya merengkuh bahu wanita itu. 'Rokok? Hm, seperti apa karakter Thea ini sebenarnya?' Lagi-lagi Irish cuma bisa bermonolog dalam hati. ** Petang tiba. "Di mana Darren, Thea?" Nyonya muncul dari arah ruang tengah ketika Irish baru keluar dari kamar Darren. Ia memandang nyonya besar itu, rasanya belum terbiasa dipanggil demikian saat berdua saja. "Darren sedang beristirahat di kamarnya," jawab Irish sopan. "Ohh." Nyonya Wina manggut-manggut. "Kamu bisa temani saya?" "Ke mana, Tante?" "Membeli beberapa buah, besok pagi saya ada tamu." Irish mengangguk mengiyakan. Dua hari mengenal Nyonya Wina, ia mengetahui jika tak semua pekerjaan akan diserahkan pada pelayan. Wanita konglomerat itu juga tak segan berjibaku memasak untuk kedua putranya. Hanya saja sejak kemarin ia tidak melihat ayah dari Darren dan Arthur. Tidak ada pula yang membahasnya. Mereka bersiap menuju mobil ketika sebuah panggilan memasuki ponsel mahal Nyonya Wina. Dengan segera fokus wanita itu terpecah. Sekian menit Irish menunggu, hingga Arthur muncul dari ambang pintu. "Arthur, temani Thea belanja. Ada yang harus bunda urus sekarang juga," ujar Nyonya Wina setelah menjeda panggilan. Arthur mengangguk dengan wajah datar. Sedangkan Irish menggigit bibir. Berdua saja dengan Arthur rasanya bukan ide yang baik. Teringat bagaimana tingkah menyebalkan pria itu tadi malam, juga tadi pagi. "Beri aku sepuluh menit," ucapnya tanpa ekspresi pada Irish. Dua puluh menit kemudian mereka telah duduk bersama di dalam mobil produksi California milik Arthur. Jika Nyonya Wina menggunakan supir, pria ini memilih menyetir sendiri. Tidak ada percakapan. Arthur menyetel musik era sembilan puluhan demi mengisi ruang hening di antara keduanya. Irish mengamati panorama di luar mobil. Langit hampir gelap. Ekor matanya menangkap aksesoris yang menggantung di spion tengah. Hiasan berupa bunga hydrangea. Tangan Irish terulur untuk menyentuhnya. "Jangan sentuh!" larang Arthur tanpa menoleh sedikitpun. Garis bibir Irish menurun. Ia tidak tahu kenapa mood pria ini selalu buruk. Mobil hitam itu berbelok pada pusat perbelanjaan besar. Begitu turun, mereka langsung menuju area buah di lantai dasar. Irish melihat ke sana kemari lalu memandang Arthur yang telah mendorong troli belanja. "Kenapa melihatku seperti itu?" tanya Arthur. "Buah apa saja yang harus kubeli?" Irish baru menyadari Nyonya Wina tak memberikan pesan apapun setelah menerima telepon dan juga ia lupa bertanya. "Kau bercanda?" Arthur tampak mulai kesal. Pekerjaan di kantor tadi sudah cukup membuatnya penat. Irish menggeleng. Arthur memandangnya sesaat sebelum menelepon sang ibu. Sembari menunggu, Irish berkeliling. Langkah kaki dengan sepatu flatnya mendekati etalase berisi buah import. Ia mengambil apel fuji berwarna pink segar. Itu adalah buah favorit Nora, meski ia tak selalu bisa memberikan. Dua hari ini ia merindukan adik perempuannya itu. Dari arah samping, langkah kecil melesat cepat. Menabrak Irish dan detik berikutnya terdengar benda jatuh, pecah. Krakk. Refleks Irish menoleh, terlihat gadis kecil kisaran delapan tahun memandangi satu pack telur ayam yang sebagian besar telah pecah di lantai. Gadis dengan kaos bergambar karakter kartun itu lalu menatap Irish takut-takut. "Maaf, Tante ...," ucap gadis itu. "Tidak apa-apa, Cantik. Dengan siapa kamu ke sini?" Irish membungkuk agar tinggi mereka sejajar. "Mama," ujar gadis itu lagi pada wanita muda yang kini tergopoh menghampiri mereka. "Salsa, astaga! Apa ini? Mama 'kan sudah bilang jangan bawa telurnya sambil lari-lari. Mbak, kena ya?" Si ibu memperhatikan pakaian Irish. "Sedikit, Salsa juga sudah minta maaf," ujar Irish sambil tersenyum. Ibu si gadis kecil meminta maaf lalu menawarkan uang untuk biaya laundry tapi Irish dengan halus menolak. Setelahnya, wanita itu menuju toilet guna membersihkan sedikit noda telur yang menempel pada atasan denimnya. Sibuk dengan urusannya di depan kaca westafel, membuat Irish tidak fokus pada area toilet. Ia terkesiap tatkala tepukan pelan menyentuh pundaknya. "Irish?" ***Malam harinya, di ruang kerja pribadinya, Arthur menatap arsip pelayan yang sudah ia simpan sejak beberapa hari lalu. Tangannya berhenti pada nama.IVORY (12 Oktober 2000) (Jalan Nusa Elok No. 21)Pemilik rumah : Ratna Soedharsono (Perawat senior)Kini Arthur mendalami identitas dan informasi tambahan tentang wanita paruh baya bernama Ratna itu. Melalui informan suruhannya, data dengan mudah masuk."Bu Ratna tidak mempunyai anak kandung hingga suaminya meninggal. Dia mengadopsi anak perempuan sejak setahun lalu, Tuan," terang anak buahnya dari seberang sana. 'Tahuh 2000? Sama dengan tahun kelahiran Irish. Cara tertawa, tersentak, bahkan bersedih—semuanya, terlalu mirip,' batin Arthur. Ia letakkan buku arsip itu dan berjalan ke arah jendela dengan tirai yang tersibak angin.“Siapa kau sebenarnya, Ivory?”**Keesokan harinya. Langit sore di kota mulai kelabu ketika Arthur tiba di apartemennya. Bukan mansion keluarga Cornell yang mewah dan sibuk itu, tapi apartemen dengan perabotan sim
Siang itu, matahari tergantung redup di langit. Seolah ikut menyimpan rahasia, sembunyi di balik awan yang menggumpal pekat. Hawa lembap menyusupi sela-sela jendela tua ketika Ivory melangkah ke dalam kamar Thea.Ia mendapat tugas dari kepala pelayan untuk membersihkan ruangan itu, menggantikan pelayan pribadi Thea yang sedang izin. Kesempatan langka seperti ini jelas tak akan ia sia-siakan. Bukan karena Ivory suka mengusik privasi seseorang, tapi karena dalam hatinya, ia tahu: monster tak pernah menaruh kebenaran di ruang tamu. Mereka menyembunyikannya—di balik laci, di balik senyum.Dengan gerakan hati-hati, Ivory menutup pintu perlahan dan menguncinya dari dalam. Hening. Napasnya berbaur dengan aroma parfum mahal yang menyengat dan wewangian bunga palsu. Ia mulai bekerja, atau berpura-pura bekerja. Tangannya mengusap permukaan meja rias, tapi matanya menyapu seisi ruangan seperti pemburu kelaparan.Laci-laci rias. Koleksi lipstik. Botol-botol parfum dari Prancis. Lingerie mahal dal
Langit pagi itu seperti turut berkabung. Awan kelabu menggantung rendah, menumpahkan gerimis tipis yang tak kunjung reda. Hening menyelimuti mansion, seolah waktu pun enggan bergerak.Ivory memperhatikan Arthur dari jauh. Pria itu mengenakan jas hitam pekat dan kemeja putih tanpa motif. Rapi. Formal. Tapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuat Ivory tak sanggup menatap terlalu lama—semacam kehilangan yang tak selesai.Di tangannya tergenggam buket bunga peony putih dan baby's breath, dibalut kain renda kelabu pucat.Tidak ada yang tahu ia akan pergi hari itu. Bahkan Darren pun tak diberitahu. Ia hanya menyelipkan pesan singkat ke asistennya, 'Hari ini aku cuti. Jangan hubungi.'Area makam Irish terletak di dataran tinggi, tersembunyi di balik perkebunan teh yang nyaris tak terjamah. Arthur berdiri diam di depan sebuah batu nisan marmer krem.Irish Magnolia2000-2023Belahan jiwaku, bahkan setelah dunia memisahkan kita.Tangannya gemetar saat meletakkan buket di depan nisan. Udar
Keesokan harinya Ivory telah kembali pada kegiatan dapur. Ia membuat sup merah atas pesanan Arthur. Salah satu pelayan membantunya menabur kacang polong berwarna cerah dan hanya tinggal menunggu hingga sup matang.Ivory mengira paginya akan tenang. Sayangnya Thea tiba-tiba memasuki dapur sembari memanggil namanya lantang. "Ivory!!""Nona Thea, apa ada yang Anda inginkan?" Kepala pelayan yang kebetulan berada di dapur menyambutnya."Di mana Ivory? Kenapa kau menerima bawahan bodoh sepertinya? Huh?!"Merasa namanya dipanggil, Ivory segera maju menampakkan diri. Ia menghadapi Thea dengan senyum sopan khas pelayan lainnya."Ada apa Nona mencari saya?""Tidak perlu bersikap manis. Kau yang membuat jus melon untukku? Lihat, apa ini?!" Thea mengangkat gelas panjang yang isinya tersisa setengah. Terdapat seekor serangga yang mengambang. Mati."Saya yakin telah memastikan semuanya bersih," Ivory menjawab tanpa takut."Kau! Ini buktinya! Bagaimana jika aku keracunan?! Kau mau bertanggungjawab?"
Malam belumlah larut, tapi suasana di mansion cukup sepi. Darren memijat tengkuk yang terasa pegal. Netranya terfokus pada laptop. Karena deadline singkat yang diberikan sang ibu, mau tak mau Darren membawa pekerjaannya ke rumah meski tak menyukai ide tersebut.Tap. Tap. Tap.Terdengar langkah kaki mendekat. Darren melirik guna memastikan siapa yang masih berkeliaran di sekitarnya. Ia tidak suka ada yang mengganggu di ruang kerja pribadinya yang bernuansa putih dan abu-abu."Tuan, silahkan," Ivory berujar seraya meletakkan secangkir kopi hitam yang masih mengepul."Aku tidak meminta kopi. Siapa yang menyuruhmu?" Darren menatap kopi dan wajah pelayan itu secara bergantian."Nyonya Wina, Tuan. Beliau khawatir melihat Anda begitu sibuk akhir-akhir ini." Ivory berbohong, nyatanya membuat dan mengantar kopi adalah idenya sendiri."Baiklah."Darren sudah bersiap mengetik saat tanpa diduga langkah Ivory melambat dan hampir pingsan. Gerakan cepat Darren menangkapnya sehingga kepala Ivory tid
Udara siang itu terasa lebih padat dari biasanya. Langit menggantung abu-abu, dan burung-burung enggan bersuara.Di halaman depan mansion keluarga Cornell, sebuah mobil hitam berhenti perlahan. Dari dalamnya, seorang pria tinggi dengan jas abu dan aura tenang turun dengan langkah mantap. Rambutnya sedikit lebih panjang dari terakhir kali ia terlihat, dan wajahnya yang dulu hangat kini terlihat seperti dipahat dingin oleh waktu dan luka yang belum sembuh.Arthur William Cornell.Pulang, setelah hampir lima bulan menghilang tanpa kabar.Begitu ia memasuki mansion, seseorang bergegas menyambutnya dengan senyum lebar dan gaya yang terlalu dibuat-buat.“Arthur!” seru Selina, sepupunya—gadis muda dengan rambut pirang lembut yang mengilau, dan aroma parfum manis yang terlalu kuat.Ia langsung memeluk lengan Arthur, membiarkan tubuhnya sedikit bersandar.“Senang sekali kamu akhirnya kembali. Aku hampir bosan karena tak ada teman mengobrol di sini!” ujarnya manja.Arthur tak menarik diri, tapi