Plak ...!
Satu tamparan keras menyambut Lean setibanya ia di rumah mewah milik keluarganya.Dialah Leon Marquess, ayahnya yang telah memberikan tamparan dan kini tengah menatapnya dengan wajah merah padam
"Kau sangat memalukan, Lean! Tahukah kau apa yang telah Brad katakan tentangmu?!" Terduduk di lantai rumahnya yang dingin, Lean sama sekali tidak mampu menjawab pertanyaan tersebut.Bukan hanya ayahnya, bahkan Eve pun turut serta menatap dirinya dengan wajah muak.
"Bukankah semalam sudah kukatakan agar kau tidak lagi membuat masalah di pesta, Lean? Mengapa kau tidak mendengarku?” Eve melipat kedua tangannya di depan dada dan menatapnya sinis. “Kau tahu, semalam Brad dan Isla mengatakan padaku bahwa kau telah merayu seorang pria karena patah hati. Apa itu benar?!" "Mungkin gara-gara sifatmu inilah yang membuat Brad akhirnya memutuskan pertunangan kalian.” Sang Ayah mendengus kasar. Ia lantas menatap tajam ke arah putri bungsunya dan kembali berkata, “Kau dilarang keluar dari kamar.”Bruk!
Pintu kamar ditutup, sang ayah dan Eve meninggalkan Lean setelah mengunci pintu kamarnya dari luar.
Lean tahu ia bisa membela dirinya, tetapi percuma. Apa pun yang ia ucapkan akan dianggap sebagai alasan atas perbuatannya—tidak pulang semalam, membuat kegaduhan di pesta, hingga alasan pertunangannya yang kandas.
Tak lama usai pintu tersebut ditutup, Lean mengepalkan kedua tangannya dengan wajah kesal. "Mungkinkah Brad dan Isla telah bekerja sama untuk menjebakku?"
Pukul 2 siang, pintu kamar yang terkunci itu tiba-tiba terbuka. Eve tiba-tiba menemui Lean dengan wajah yang masih terlihat kesal, tetapi penuh tanda tanya.
"Seseorang baru saja datang untuk bertemu dengan Ayah, Lean."
Lean yang tengah membaca buku bisnis untuk membunuh kebosanan itu menoleh ke arah saudaranya.
Eve melangkah ke arah ranjang Lean yang kosong, lantas menjatuhkan bokongnya di pinggiran ranjang,
"Orang itu bertanya tentangmu." Lean tidak menanggapinya, netranya lurus memperhatikan wajah Eve, menunggu sang kakak melanjutkan kalimatnya. "Seseorang telah mengirimnya ke sini untuk menawarkan pekerjaan padamu, dan Ayah sudah menyetujuinya." "Pekerjaan?" Lean menautkan kedua alis indahnya.Ia tidak mengerti mengapa ada orang yang menawarkan pekerjaan padanya, sedangkan ia sendiri belum pernah melamar ke perusahaan mana pun sebelumnya.
Memiliki Impian untuk bisa bekerja di perusahaan bonafit dan berlevel internasional—minimal seperti perusahaan tempat Eve bekerja, membuat Lean memilih mempersiapkan dirinya lebih dulu. Untuk itu, ia begitu keheranan kala mendengar seseorang menawarinya pekerjaan, bahkan langsung datang ke rumahnya.
"Tapi bukan di kota ini, Lean! Kau, ditawarkan untuk bekerja di Kota L." "Kota L?" sesaat Lean tertegun, "Mengapa?" tanyanya kemudian, dengan wajah bingung. "Sebaiknya, Ayah saja yang akan menjelaskannya padamu nanti." Eve lalu beranjak dari pinggiran ranjang, melangkahkan kakinya ke arah Lean, dan menepuk pundak Adiknya itu sembari tersenyum tipis. "Jangan takut, Lean! Ini gebrakan besar untukmu, sebab kudengar perusahaan itu jauh lebih besar dari perusahaan cabang tempatku bekerja. Jadi, kuharap kali ini kau tidak menyianyiakan kesempatan itu.”Setelah kepergian Eve, Lean mengernyit. Ia benar-benar merasa bingung dengan apa yang telah terjadi padanya sejak kemarin.
Sebelum menerima kabar mengejutkan ini, ia pikir ia sedang sial. Bayangkan saja, bertubi-tubi masalah datang menghampiri Lean silih berganti.
Mulai dari pertunangannya yang putus, lalu memergoki mantannya berselingkuh dengan sahabatnya, hingga kejadian seseorang tampaknya mencoba menjebaknya semalam.
“Mungkinkah pria itu juga orang suruhan Brad?” pikir Lean lagi. Ia lalu mengingat-ingat kembali kejadian semalam, berikut hal-hal detail yang mungkin mencurigakan dari pria tersebut yang bisa saja ia lewatkan.
Rosi.
Seketika Lean mengingat sebuah nama yang disebut oleh pria itu semalam.
Kerutan di dahi wanita itu kembali muncul. Ia jadi penasaran … "Siapa dia? Dan ... mengapa dia terus memanggilku dengan nama Rosi?"
"Apakah Eve sudah berbicara padamu tentang tamu yangdatang menemui Ayah kemarin?"Sehari setelah Eve memberitahunya, sang ayah akhirnya mendatangi Lean secaralangsung.Sesaat, Lean tidak langsung merespons pertanyaan sang ayah,sebab ia sibuk memperhatikan garis wajah pria tua itu.Kemarahan ayahnya sudah terlihat menurun, jika ditinjau daritatapan juga intonasi nada pria tua itu pada Lean."Eve sudah menjelaskan sedikit padaku kemarin, Ayah." Lean menjawabsetelah beberapa saat terdiam.Diam-diam, Lean jadi makin penasaran … apakah tamu kemarinyang membuat kemarahan ayahnya surut?Dan siapa tamu itu yang telah berhasil mengubah sikapayahnya menjadi seperti sekarang?"Tamu kemarin adalah salah seorang bawahan dari Sahabat Ayah yang tinggaldi Kota L.” Perkataan sang ayah membuat Lean melebarkan matanya. “Dia datangmembawa pesan dari Sahabat Ayah yang ingin memperkerjakanmu di salah satuPerusahaan miliknya.""Mengapa Sahabat Ayah ingin agar aku bekerja di Perusahaannya?" tanyaL
Esok harinya pukul 9 pagi, setelah satu jam perjalanan dengan pesawat—Lean pun tiba di Kota L. Ia dijemput oleh seorang pria paruh baya yang langsung mengantarkan dirinya ke sebuah mansion mewah. "Lean Marquise? Selamat datang, duduklah!" Seorang pria berusia senja yang tengah duduk di belakang meja kerjanya, menyambut kedatangan Lean dengan senyuman hangat ketika Lean telah tiba di mansion.Lean menundukkan kepalanya dengan sopan pada pria itu, sebelum ia menjatuhkan bokong rampingnya pada kursi yang telah disediakan untuknya. "Bagaimana kabar Ayahmu?" tanya pria itu membuka percakapan, begitu mereka duduk berhadapan. "Baik, Tuan Besar," sahut Lean, sembari tersenyum canggung.Pria yang baru saja Lean panggil dengan panggilan Tuan Besar itu manggut-manggut di hadapan Lean. Dia adalah Tuan Besar Gail, Bangsawan nomor satu di Kota L. "Aku senang mendengarnya. Kami sudah lama tidak bertemu. Aku bahkan baru tahu kalau putri bungsunya sudah menjadi seorang wanita yang sangat cantik," t
"Hmm, apakah kita pernah bertemu, Nona Lean?" tatapan pria yang berada di balik meja itu sangat tajam pada Lean. Namun Lean mencoba untuk tidak mengacuhkannya dan membalas tatapan itu dengan berani. "Silakan, duduk!" ujar pria itu, menunjuk pada kursi yang terdapat di hadapan Lean.‘Dia … tidak mengenaliku?’Lean mengernyit, merasa bingung atas reaksi pria itu terhadap dirinya. Namun hal itu tidak berlangsung lama, sebab ia kembali teringat pada kalimat Edward yang menyebutnya sebagai Rosi.Suara bariton Edward kemudian kembali terdengar, memutus pikiran sibuk Lean. "Nona Lean, duduklah!"Perintah bernada dingin berbarengan dengan raut serius pada wajah Edward kala ia menatap pria itu. Lean yakin, dilihat dari ekspresi tersebut, pria yang telah dijodohkan padanya ini kemungkinan benar-benar tidak tahu jika mereka pernah melewati malam bersama. "Baik, Tuan Edward." Lean menganggukkan kepalanya, menarik kursi yang ada di hadapannya lalu menjatuhkan bokong rampingnya di atas kursi terse
"Huft!" Lean menghembuskan nafas dengan kasar setelah ia menutup pintu ruangan Edward.Sesaat, ia termangu memperhatikan kesibukan yang tampak di luar kantor Edward. Namun, lamunannya itu tersentak oleh teguran seseorang."Nona Lean Marquise, bisa ikut denganku sebentar?"Pria itu, yang baru saja menegur Lean tak lain adalah Anton. Anton tampak menggerakkan kepalanya ke kiri tak lama setelah Lean berpaling padanya.Dengan kening berkerut, Lean mengikuti pria itu menuju ke sebuah ruangan."Ini ruangan Anda, Nona Lean. Dan jika Anda membutuhkan bantuanku— ruanganku berada tepat di samping ruangan Anda." Anton menunjuk pada ruangan lainnya yang hampir sebagian dindingnya terbuat dari kaca tebal. Persis dengan ruangan yang ia tunjukkan sebelumnya pada Lean. "Oh ya, satu lagi. Biasanya aku yang bertugas untuk menemani Tuan Edward ke lapangan, tapi karena belakangan pekerjaan di Perusahaan sangat menumpuk. Tugas itu kini kuserahkan pada Anda."Mulut Lean terbuka ingin protes, namun Lean ti
"Tolong jaga sikap Anda, Tuan Edward." Lean memiringkan kepalanya, sedikit menjauh dari wajah Edward. Namun hal itu justru membuat lehernya yang putih dan bersih terpampang tepat di depan mata Edward. Kulit Lean yang seputih hamparan salju di musim dingin, membuat Edward yang melihatnya sontak mengetatkan rahangnya. 'Sial, apa yang kupikirkan?' dengan cepat Edward menarik kepalanya ke belakang, dan kembali menegakkan tubuhnya. Ia juga berdehem pelan dan menutupi sebagian wajahnya dengan telapak tangannya untuk meredakan detak jantungnya yang tiba-tiba berlomba di dalam dadanya. 'Kau menyukainya, Edward? Apa kau menyukainya karena wanita ini sangat mirip dengan Rosi?' celetuk hatinya. "Oh, diamlah brengsek!" geram Edward dengan suara yang sangat pelan. "Anda mengatakan sesuatu, Tuan Edward?" Lean membalikkan tubuhnya, menatap Edward dengan netranya yang berwarna abu-abu cerah. Di bawah tatapan Lean, saat kelopak mata indah itu mengerjap, dan bulu mata Lean yang panjang dan lentik
"Lean, apa kau bisa mengirimkan laporan ini kepada Anton?" tanya Edward, di dalam ruangan kantor sebuah Mall. Di depan Manajer Mall tersebut."Bisa, Tuan Edward." Lean pun mengambil berkas yang disodorkan Edward padanya, membawa berkas itu ke sofa dan meletakkannya ke atas meja. Setelahnya, ia segera membuka tas yang ia bawa, mengeluarkan laptop miliknya dari dalam tasnya dan meletakkan laptop itu di samping berkas yang telah ia ambil dari Edward.Edward menghampiri Lean kala melihat wanita itu mulai mengerjakan apa yang telah ia perintahkan tadi. Ia bahkan duduk di samping Lean, membuat wanita itu menghentikan apa yang sedang dilakukannya.Lean menatapnya, kening wanita itu tampak berkernyit, seolah Lean merasa terganggu dengan kehadirannya yang duduk terlalu dekat dengan wanita itu."Aku hanya ingin melihat bagaimana kau melakukannya. Jadi, jika ada kesalahan, aku bisa memberitahumu," tukas Edward."Anda tidak perlu khawatir, Tuan Edward. Eve sering mengajariku untuk melakukan hal in
"Ternyata sudah hampir pukul 12." Edward melirik arloji mewah yang melingkar di pergelangan tangannya. Setelahnya, ia lalu mengalihkan pandangannya pada Lean yang masih tampak sibuk di sampingnya. "Bagaimana?" celetuknya sambil memajukan tubuhnya untuk mendekati Lean.Lean menghentikan gerakan jemarinya sejenak, menoleh pada Edward saat wangi parfum pria itu yang beraroma maskulin menyapa indera penciumannya. Oh, Tuhan. Apakah pria ini benar-benar tidak mengerti bahwa dirinya sangat menggoda?"Aku sudah menyelesaikannya, Tuan Edward. Apakah laporan ini juga harus kukirimkan pada Anton?""Bisakah kau melakukannya dengan cepat? Karena sebentar lagi aku harus bertemu Oliver untuk makan siang bersama." Edward kembali melirik jam tangan mewahnya. "Bisa, Tuan. Sebentar." Lean dengan cepat menggerakkan jemarinya di atas keyboard laptop. Tatapannya lurus ke arah layar, dan berselang beberapa menit, "Sudah terkirim, Tuan Edward," lapornya. Diam-diam, ia melirik ke arah Edward dengan sudut mat
"Tuan Edward, mobil Tuan ada di sana!" tunjuk Lean pada mobil Edward yang terparkir di parkiran khusus di depan Mall. Edward hanya melirik mobilnya sekilas, namun ia tetap menarik tangan Lean, menyeret wanita itu agar mengikuti dirinya. Tujuannya tak lain adalah Resto Les Jardins yang terletak tak jauh dari Pusat Perbelanjaan Mewah yang baru saja ia kunjungi. Tempat di mana ia, Oliver, dan Pamannya, biasa menikmati makan siang mereka. "Tu-Tuan Edward, bukankah Anda sudah terlambat untuk bertemu dengan Tuan Oliver? Lalu, mengapa kita tidak naik mobil saja?" usul Lean, sambil menatap bingung pada Edward yang tengah memasang wajah datar. Pria ini sama sekali tidak peduli terhadap tatapan dari orang-orang yang berpapasan dengannya. Baik pria, ataupun wanita, semua tampak menatap padanya, pada Edward Gail. "Aku lihat kau belum membaca agendaku dengan benar, Lean Marquise," celetuk Edward. Ia melirik Lean dari sudut matanya, lalu kembali menatap ke depan. Pada papan nama mewah yang bertu