"Ada kisah yang tertulis dalam sunyi, bisikan hati yang tak pernah diucapkan keras. Seperti melodi yang hanya terdengar di jiwa, ia adalah bukti bahwa cinta, bahkan saat tak didengar, tetap mengukir jejak abadi."
*** Setelah konfrontasi terakhir dengan Kaelion dan sapaan-sapaan tanpa jawaban, Elaria merasa ada celah yang semakin lebar di hatinya. Ia mencoba menerima, mencoba mengerti, namun hatinya menolak menyerah begitu saja. Terkadang, cinta terasa seperti bisikan yang tak pernah didengar. "Aku sudah memutuskan untuk tidak mendekat," Elaria bergumam pada dirinya sendiri suatu pagi, merapikan meja kerjanya. "Tapi hatiku... hatiku tidak mau patuh." Ia menyadari bahwa ia tidak bisa memaksa Kaelion untuk melihatnya, namun ia juga tidak bisa membohongi perasaannya sendiri. Ia butuh pelampiasan. Butuh tempat untuk menuangkan semua gejolak yang tak terucap, dan juga kebingungan atas posisinya di dunia ini. ""Ada gaun tua yang menyimpan kenangan, dan ada hati yang bersembunyi di baliknya. Undangan yang datang dari langit yang tak pernah ramah, kini menjadi jembatan antara masa lalu yang pahit dan masa depan yang penuh ketidakpastian." *** Di Estate Thorne, Elaria menatap surat undangan di tangannya. Stempel keluarga Vaelhardt yang dingin dan megah terasa seperti ironi yang kejam. Permintaan untuk minum teh di istana. Sebuah permintaan yang sederhana, namun memiliki bobot yang sangat berat. "Elaria, apakah kau yakin ingin pergi?" Viscount Thorne bertanya, suaranya dipenuhi kekhawatiran. "Duke Kaelion... ia telah menyakitimu." "Saya tahu, Ayah," jawab Elaria, suaranya datar. Ia berjalan ke kamarnya, membuka lemari, dan mengambil sebuah gaun tua yang terbuat dari kain yang halus. Gaun itu milik ibunya. Itu adalah gaun terindahnya. "Aku akan pergi," Elaria membatin, "tapi aku tidak akan membiarkan diriku hancur
"Ada hati yang menemukan jangkar setelah lama terombang-ambing. Sebuah jalan yang gelap kini diterangi oleh tekad. Kaelion, sang Duke yang kejam, kini tak lagi berlari, melainkan berjalan menuju takdir yang ia pilih sendiri." *** Kaelion bangkit dari kursinya, suaranya yang penuh dengan otoritas menggema di ruang kerjanya. "Panggil Kapten Renier! Siapkan pasukan. Aku akan kembali ke Estate Thorne. Sekarang juga." Kapten Renier, yang terkejut sekaligus lega, segera bergegas. Kaelion berdiri di sana, menatap jendela, hatinya berdebar kencang. Ini bukan lagi keputusan yang didasari oleh politik, melainkan oleh perasaan yang selama ini ia sangkal. "Bodoh," Kaelion membatin. "Kenapa baru sekarang? Kenapa aku harus menunggunya hampir mati dan menjadi dingin seperti ini, hanya untuk menyadari bahwa aku tidak bisa hidup tanpanya?" Ia berjalan ke arah mejanya, tangannya gemetar saat menyentuh sebuah pena. Ia tahu ia tidak bisa hanya datang da
"Ada keheningan yang lebih menusuk daripada pedang, sebuah ruang kosong yang dulu ia benci, kini menjadi penjara yang paling menyakitkan. Kaelion, sang penguasa, kini harus menghadapi lawan terberatnya: kehampaan di dalam dirinya sendiri." *** Sejak kembali dari Kerajaan Valerius, Elaria menjalani kehidupannya dengan disiplin yang ketat. Ia tidak lagi mengunjungi istana. Wajahnya yang cerah kini menjadi tenang, suaranya yang berisik kini menjadi sunyi. Di Estate Thorne, ia kini adalah sosok Lady yang sempurna. Ia mengawasi panen anggur, mengelola pembukuan, dan bahkan merancang jadwal pekerjaan para pelayan. Gerakannya efisien, keputusannya tegas, tetapi senyum yang tulus telah menghilang dari wajahnya. "Elaria, apakah kau baik-baik saja, Nak?" Viscount Thorne bertanya suatu pagi, saat melihat Elaria sedang merangkai bunga di kebun. Wajah putrinya pucat, tapi ia tersenyum. Senyum itu tidak mencapai matanya.
"Ada keheningan yang lebih menyakitkan dari seribu kata, sebuah luka yang tak terlihat, namun mengakar dalam jiwa. Kaelion, yang telah menghancurkan sosok yang ia cintai, kini harus menghadapi kehampaan yang ia ciptakan sendiri." Pagi-pagi sekali, Kaelion mengantar Elaria kembali ke Estate Thorne. Perjalanan kembali ke Estate Thorne terasa begitu sunyi. Elaria duduk di sampingnya, mengenakan pakaian yang Kaelion pinjamkan, wajahnya pucat namun tanpa ekspresi. Ia tidak berkata apa-apa, hanya menatap pemandangan di luar. "Kau baik-baik saja?" Kaelion bertanya, mencoba memecah keheningan. "Saya baik-baik saja, Yang Mulia," jawab Elaria, suaranya datar. Kaelion merindukan Elaria yang ceroboh, yang selalu memaksa mendekatinya tanpa rasa takut. Jawabannya yang formal, sopan, tetapi tanpa emosi adalah sebuah dinding baru yang ia bangun. Ia merindukan Elaria yang dulu. Setelah tiba di Estate Thorne, Elaria turun
"Ada tangis yang tak bersuara, mengalir di pipi seorang penguasa yang beku. Air mata itu bukan karena kehilangan, melainkan karena ketakutan akan kehilangan. Di antara detak jantung yang rapuh, sebuah hati yang mati akhirnya menemukan irama baru." *** Kaelion berlari, menggendong Elaria yang tak sadarkan diri, menembus kerumunan pejabat yang panik. Matanya hanya tertuju pada satu tujuan: ruang tabib. "Tabib! Cepat!" Kaelion membentak, suaranya dipenuhi urgensi. Ia merebahkan Elaria di atas tempat tidur, tangannya gemetar. Seorang tabib istana datang dengan tergesa-gesa. Ia memeriksa luka di tangan Elaria, menatap warna kulitnya yang semakin memucat. Ia menggelengkan kepalanya dengan sedih. "Racunnya sangat kuat, Yang Mulia," bisik tabib itu. "Saya tidak bisa menjanjikan apa pun. Kita hanya bisa menunggu..." "Tidak!" teriak Kaelion, suaranya pecah. "Kau harus menyelamatkannya! Lakukan apa pun!" Tabib itu menunduk.
"Ada cinta yang lahir dari keheningan dan tumbuh dari pengorbanan. Sebuah perasaan yang tak pernah diakui, namun terbukti dalam tindakan yang mengabaikan logika. Dalam bahaya, sebuah hati yang beku akhirnya mencair, dihancurkan oleh keindahan pengorbanan." *** Perjalanan diplomatik ke Kerajaan Valerius seharusnya menjadi pelarian bagi Kaelion. Ia bisa mengenakan kembali topengnya, menjadi Duke Vaelhardt yang dingin dan kejam. Di sampingnya, para pengawal setia yang dipimpin oleh Kapten Renier, memastikan setiap langkahnya aman. "Kakakku masih sakit, dan Leona tidak terlihat," Kaelion membatin, menunggangi kudanya, meninggalkan Istana Nightborne. "Aku harus kuat. Aku tidak boleh goyah. Aku tidak bisa membiarkan kerajaan hancur karena kelemahanku." Ia berpikir, dengan menjaga jarak, ia bisa mengendalikan hatinya. Namun, takdir sekali lagi mempermainkannya. Di rombongan diplomatik yang sama, ia melihat Elaria. Ia mencoba m