Share

SATU

Satu tahun telah berlalu. Setelah kejadian pahit yang amat sangat menyakitkan itu, Aisyah memutuskan untuk lebih fokus mengurus rumah singgah yang ia beri nama Rumah Singgah Zahira. Sesuai dengan namanya, Aisyah Nuha Zahira. Aisyah mendirikan rumah singgah ini bukan tanpa alasan, dia sangat suka dengan anak-anak sampai pada akhirnya gadis ini pun berinisiatif mendirikan rumah singgah ini.

Dengan dibantu Nailah dan Fatimah --adiknya-- Aisyah bisa menghandle semua yang menyangkut dengan rumah singgah.

Tentu, rumah singgah ini memang Ia peruntukkan bagi anak jalanan. Biasanya anak jalanan datang karena kemauannya sendiri ingin belajar, tapi mereka terhalang oleh biaya. Itulah mengapa Aisyah ingin sekali mendirikan rumah singgah ini sejak dulu.

Bukan hanya untuk anak jalanan, bagi anak-anak yang berasal dari keluarga tidak mampu pun banyak yang mendaftarkan anaknya untuk belajar bersama disini. Aisyah tidak pernah mematok harga karena Ia memang ikhlas lahir dan batin.

"Mbak, Fatimah seneng deh akhirnya bisa memanfaatkan waktu luang di rumah singgah ini. Tentunya bisa memberikan manfaat yang banyak bagi aku sendiri. Selain itu, bisa melatih aku untuk lebih perduli dengan orang sekitar," kata Fatimah penuh semangat.

Aisyah tersenyum mendengarnya. Setidaknya rumah singgah ini bisa memberikan manfaat juga bagi mereka sebagai pengajar disini.

"Ide Aisyah memang hebat," puji Nailah padanya.

"Astaghfirullahal a'dzim ... jangan puji aku kayak gitu. Ditakutkan nanti malah akan tumbuh sifat sombong di dalam diri aku. Lagipula, ini semua berkat kerja keras kita semua. Bukan aku aja," ujarinta Aisyah pada Nailah.

Mereka pun tertawa bersama. Indahnya persahabatan yang memiliki pemikiran yang sama.

Saat itu, Aisyah dan yang lain memang sedang tidak ada pekerjaan. Anak jalanan yang baru beberapa dan itu pun mereka belum datang karena harus mengamen terlebih dahulu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka. Sedangkan anak dari keluarga kurang mampu baru saja selesai belajar  karena waktu belajar untuk mereka dimulai pagi hari.

Rumah singgah ini memiliki beberapa kamar yang sengaja disediakan supaya beberapa anak jalanan yang tidak mempunyai tempat tinggal bisa tinggal disana. Qodarullah, ada Yusuf yang bisa mereka andalkan untuk menjaga satu sama lain. Dia paling besar dan paling di hargai oleh anak jalanan lainnya, jadi dengan adanya Yusuf cukup membantu mereka di rumah singgah.

"Kebutuhan makanan mulai menipis. Biar aku beli dulu, ya," ujar Nailah lalu segera bergegas belanja kebutuhan di dapur. Mereka selalu menyediakan makanan untuk persediaan sewaktu-waktu anak jalanan yang tinggal di rumah singgah. Tentu mereka mendapat bantuan itu dari warga sekitar. Tak jarang orang-orang diluaran sana yang mendengar tentang rumah singgah ini pun ikut menyumbangkan sedikit rezekinya.

Alhamdulillah, ada beberapa donatur tetap yang siap jika rumah singgah membutuhkan dana.

"Mbak, semakin lama anak yang kita ajar disini pasti akan semakin banyak. Dan, aku merasa rumah singgah ini juga membutuhkan tempat yang lebih luas lagi," tutur Fatimah. Aisyah pun mengangguk membenarkan ucapannya.

"Kita lihat ke depannya. Kalau semakin banyak dan kita membutuhkan tempat yang lebih luas lagi, Insyaa Allah, Allah akan melancarkan semuanya." 

Fatimah mengangguk setelah mendengar penjelasan dari Aisyah.

"Oh iya, besok mbak mau ke pasar. Mau mengunjungi teman mbak yang jualan di sana. Katanya baru buka warung dan mbak harus kesana untuk mencoba jualannya," ujarnya lagi.

Fatimah mengernyitkan keningnya. "Emang jualan apa?"

"Bakso."

"Wah, boleh kali mbak. Pulangnya bawain buat aku sama Mbak Nailah!" seru Fatimah sambil menaik turunkan alisnya.

Aisyah menatap adiknya dengan tatapan aneh. Sedetik kemudian gadis ini tertawa melihat tingkah Fatimah. Dia selalu bersemangat jika mendengar nama makanan kesukaannya itu diucapkan.

"Iya-iya. Tenang saja. Mbak akan bawakan untuk kamu sama Nailah."

"Asyikk... baik deh mbakku ini." 

🌞🌞🌞

"Lima ditambah tiga, siapa yang tahu jawabannya?"

"Aku, Kak!"

Mata Aisyah menatap sosok anak perempuan dengan rambut panjang yang tergerai indah. Wajahnya terlihat sedikit lusuh akibat terkena pancaran sinar matahari langsung menuju kulitnya.

"Dewi, silahkan maju," perintahnya. Gadis kecil itu pun maju sembari tangannya sibuk berhitung.

"Benar sekali. Masyaa Allah, Dewi pintar," puji Aisyah padanya. Dia pun semakin bersemangat ketika Aisyah mengatakan bahwa jawabannya benar.

"Sekarang siapa lagi yang mau coba. Empat ditambah empat, hasilnya?"

"Saya, Kak!" seru semua anak jalanan itu. Aisyah tersenyum bahagia ternyata mereka masih memiliki semangat untuk belajar. 

"Eh, Roni. Kamu, 'kan, udah pernah. Biarin aku aja yang maju," protes anak perempuan yang duduk paling depan. Dia kesal karena sejak kemarin tidak bisa maju dikarenakan selalu dihalangi oleh Roni.

"Biarin, dong. Kak Aisyah aja nggak protes kok kamu protes, sih," jawab anak laki-laki itu yang bernama Roni. 

"Sudah-sudah karena semuanya ingin menjawab, jadi yang jawab jangan satu anak aja. Semuanya juga bisa jawab. Oke, sekali lagi kakak tanya, ya. Untuk semuanya, empat ditambah empat, hasilnya?" Aisyah mencoba menengahi perdebatan.

"Delapan!" seru mereka lagi dengan kompak.

"Benar! Tepuk tangan untuk kalian semua." 

Suasana kelas kini ramai dengan suara tepukan tangan dari Aisyah dan anak-anak lainnya. Ada kepuasan tersendiri ketika melihat mereka yang kita ajar akhirnya bisa menjawab semua pertanyaan dengan benar. Itu pertanda usahanya selama ini untuk membuat mereka lebih pintar lagi tidak sia-sia. Walaupun hanya bisa mengajari mereka pelajaran dasar seperti ini, setidaknya mereka bisa membaca, berhitung, dan juga menulis. 

"Ya sudah, waktunya pulang, ya. Jangan lupa besok datang lagi karena kakak ingin bercerita kisah nabi. Kalau gitu untuk menutup pembelajaran kita hari ini alangkah baiknya kita ucapkan hamdalah," perintah Aisyah. Mereka pun mengangguk dan menurutinya.

"Alhamdulillahirobbil 'alamin..." 

Aisyah pun mempersilahkan mereka keluar. Setelah selesai, Aisyah membenahi meja-meja kecil yang digunakan untuk belajar. 

Ketika sedang berbenah di ruangan yang baru saja digunakan untuk belajar, Aisyah merasakan ada yang datang dan menghampirinya. Ia pun menoleh untuk melihat siapa yang datang. Ternyata Yusuf, anak jalanan yang bisa dibilang tangan kanan mereka di rumah singgah. Karena Aisyah sudah mengenal Yusuf sudah lama, jadi dia memintanya untuk bantu-bantu di sini. Tentu saja Yusuf senang, dia juga menjadi lebih bersemangat untuk mengajak teman seprofesinya untuk belajar di rumah singgah.

"Biar aku bantu, Kak," ucapnya menawarkan diri untuk membantu Aisyah mengangkat meja.

Aisyah tersenyum lalu mengangguk.

"Ada satu temen aku yang belajar di sini akhirnya bisa membaca, Kak. Dia juga bilang katanya sangat berterima kasih karena selama diajar sama kakak, dia jadi enggak dianggap remeh lagi sama teman-temannya yang bersekolah," kata Yusuf.

Aisyah menatapnya. "Oh, iya? Alhamdulillah. Trus, dia dimana? Masih belajar disini, 'kan?"

Yusuf menggeleng. Lalu, dia menundukkan kepalanya.

Gadis yang memakai khimar berwarna maroon ini mengernyitkan kening ketika melihat Yusuf seperti itu. Sepertinya terjadi sesuatu pada temannya hingga membuat Yusuf terlihat sedih. Aisyah pun meminta Yusuf meletakkan kembali meja yang diangkatnya dan menceritakan semua yang terjadi.

"Cerita saja. Barangkali Kak Aisyah bisa bantu kamu," suruh Aisyah padanya.

"Dia namanya Andi. Waktu itu pas aku dan Andi sehabis sholat dzuhur kami melihat bapaknya Andi sedang mengemis di masjid itu. Trus, Andi menegur bapaknya karena mengemis dengan kaki dan tangannya pura-pura diperban seolah-olah sedang sakit. Padahal itu cuma akal dari bapaknya Andi supaya orang-orang bersimpati dan mau memberikan uang. Andi ingat, bahwa Kak Aisyah pernah berkata kita enggak boleh berbohong. Bapaknya Andi marah. Sejak saat itu beliau melarang Andi untuk belajar lagi di sini. Karena bapaknya beranggapan rumah singgah ini hanya memberikan dampak buruk bagi Andi," jelas Yusuf sambil terus menunjukkan wajah sedihnya. Aisyah pun terenyuh, kasihan sekali temannya Yusuf itu.

Ternyata dibalik kesuksesan berdirinya rumah singgah ini, masih ada beberapa yang beranggapan jelek pada rumah singgah. 

"Andi itu yang pernah menginap di sini beberapa hari, 'kan, karena diusir oleh orang tuanya?" tanya Aisyah pada Yusuf.

Yusuf mengangguk "Iya, Kak. Diusir karena Andi menghabiskan sebagian waktunya untuk belajar di sini daripada mengamen. Alhasil, uang yang didapat pun sedikit dan itu yang membuat orang tuanya marah sama Andi." 

"Kenapa harus Andi yang bekerja. Kamu bilang, Andi masih punya ayah, 'kan?" 

Yusuf mengangguk lagi. "Iya. Tapi ayahnya menjadikan Andi sebagai tulang punggung keluarganya."

Aisyah tersentak. "Astaghfirullah ...."

"Aku kasihan sama Andi, Kak. Tapi aku bingung harus apa. Mau bantu pakai uang pun enggak bisa karena aku juga masih kekurangan."

Aisyah tersenyum karena melihat sifat setia kawan pada diri Yusuf. Dia sangat baik, tak khayal banyak anak jalanan yang menghargai dan menyukainya. 

"Kamu doakan saja. Semoga Andi dan keluarganya diberikan kelancaran rezeki dan akhirnya Andi bisa belajar di sini. Dan, yang paling penting semoga Allah memberikan hidayah untuk orang tuanya Andi dan berhenti menjadikannya sebagai tulang punggung keluarga," ucapnya sambil mengelus pundak anak laki-laki yang baru berumur empat belas tahun itu.

Sifat Yusuf sama seperti Abi. Tidak pernah pantang menyerah. Dan, yang lebih membuat Aisyah kagum, mereka sama-sama memiliki semangat tinggi walaupun tidak ada orang terkasih di sisinya. Yusuf akan berusaha semampunya supaya dia bisa sukses walaupun tidak ada orang tua di sampingnya. Sedangkan Abi, akan berusaha apapun supaya kedua anaknya bisa bahagia walaupun tidak ada Ummi.

"Sudah mau Ashar. Kita sholat yuk, ajak yang lainnya juga, ya," perintah Aisyah.

Yusuf mengangguk dan bergegas memanggil teman-temannya yang lain.

Gadis ini terdiam, Ia harus melakukan sesuatu supaya temannya Yusuf itu bisa belajar di sini lagi. Karena Aisyah melihat ada semangat tersembunyi yang dimiliki Andi. Dan dengan semangat itu, semoga bisa menjadikan Andi sebagai anak yang pintar bahkan bisa membuat kedua orang tuanya bangga. Untuk masalah dia, Aisyah mungkin akan berkonsultasi dengan Abi. Tentu ia juga akan membicarakan hal ini ke Nailah dan Fatimah. Harapannya mereka bisa membantu Aisyah menyelesaikan permasalahan Andi.

OoO

"Kalian semakin sibuk aja sama rumah singgah," celetuk Abi membuat Aisyah menatap wajah laki-laki yang kini sudah berumur lima puluhan lebih. Sepertinya Abi merasa kehilangan waktu bersama anak-anaknya.

Aisyah menatap Fatimah yang kini hanya merespon dengan mengangkat bahunya. Ia pun beralih menatap abi lagi, kini beliau sedang menyuapkan sesendok nasi ke mulut.

"Aisyah akan mencari beberapa relawan lagi, Bi, untuk membantu Nailah di rumah singgah. Jadi dengan itu, Aisyah dan Fatimah bisa menyisihkan waktu kami bersama Abi," ujarnya sembari mengelus tangan Abi.

"Iya, Bi. Fatimah juga kangen jalan-jalan sama Abi dan juga Mbak Aisyah. Nanti kalau sudah dapat dua relawan, kita jalan-jalan, yuk. Ke pantai, tempat kesukaannya Abi dan Almarhumah Ummi," goda Fatimah dan berhasil membuat Abi tersipu malu. Senangnya membuat Abi bahagia.

"Baiklah. Nanti kita ke pantai bertiga aja, ya. Abi yakin nanti pasti Abi akan jadi pusat perhatian karena membawa dua perempuan yang cantik-cantik," ujar Abi sambil mencolek hidung Aisyah dan juga Fatimah. Setelah itu pun mereka saling tertawa dan melanjutkan kembali makan malam kami.

Bahagianya jika bersama Abi. Terlebih lagi jika ada Ummi.

Ummi, kami merindukanmu...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status