MasukJi An terbangun oleh suara binatang malam yang mulai terdengar.
Matahari yang sudah terbenam beberapa saat lalu membuat keadaan di sekelilingnya sedikit gelap. Hanya cahaya bulan yang masuk dari jendela yang kini terbuka sepenuhnya. Seingatnya jendela itu tadinya hanya sedikit terbuka sebelum ia kembali tertidur. Ia melirik meja kecil yang kini sudah kosong. Sepertinya seseorang telah datang ke kamar saat ia tertidur. Ji An menopang tubuhnya dengan tangannya untuk membantunya bangun. Ia merasa tenaganya sudah lebih kuat. Ia turun dari dipan dan setengah menyeret kakinya yang masih sedikit lemah menuju pintu. Di luar kamar sebuah kandil diletakkan di atas meja yang merupakan satu-satunya penerangan yang ada di sana. Cahayanya tidak cukup terang bagi Ji An untuk bisa melihat seluruh keadaan ruangan itu. Ia mengambil kandil dan membawanya. Memeriksa ruangan dengan cepat. Ruangan itu hanya memiliki sebuah meja serta sebuah kursi, sebuah lemari kayu yang cukup besar diletakkan di sudut, serta sebuah layar besar yang dibiarkan begitu saja di sudut lainnya. Ada juga dua jendela besar di kedua sisinya. Secara keseluruhan ruangan itu tidak begitu besar dan hanya memiliki sebuah kamar yang ia tempati sebelumnya. Ruangan itu hampir tampak kosong karena hanya memiliki sangat sedikit perabot. Seakan-akan pemiliknya tidak menjadikan rumah ini sebagai tempat tinggal jangka panjang. Ji An membuka pintu untuk keluar. Di luar kegelapan sudah sepenuhnya menyelimuti. Sangat sunyi, tanpa ada tanda-tanda pemilik rumah. Sebenarnya, kemana perginya sang penolong? Apakah dia ditinggalkan sendirian di kabin ini? Ia segera memutuskan untuk tetap tinggal di dalam rumah. Tidak aman berkeliaran di luar di waktu ini. Lagipula dia sama sekali tidak mengetahui di mana dia berada saat ini. Saat hendak masuk kembali, ia mendengar suara gemerisik daun. Ia berbalik cepat, mengangkat kandil di tangannya untuk menyinari sekitarnya dengan cahaya dari kandil. Namun tidak ada siapapun di luar sana. Dengan bantuan sinar bulan yang redup ia hanya bisa melihat samar-samar bayangan pohon yang sangat besar di depan rumah. Tidak ingin penasaran lagi, ia segera masuk ke dalam ruangan dan menutup pintu. Membawa serta kandil tadi masuk ke dalam kamar. Tidak lupa menutup jendela kamar untuk mencegah hawa dingin malam hari masuk ke dalam. Ia ingat masih punya biji-bijian kering di tasnya. Segera ia merogoh ke dalamnya dan mengeluarkan bungkusan kertas berisi biji-bijian itu. Menguyah beberapa untuk mengusir rasa lapar. Ia tahu itu tidaklah cukup namun ia hanya akan bersabar menunggu hingga besok ia akan mencari sesuatu yang lebih layak dimakan. Keningnya berkerut. Dipikirkan bagaimanapun bukankah hal ini sangat aneh. Jelas-jelas ada seseorang yang telah menyelamatkannya, namun sejak ia terbangun di sini ia hanya selalu seorang diri. Sang penolong tidak pernah terlihat. Rumah ini juga, sebenarnya di mana tempat ini? Ia minum dari kantong airnya. Seteguk besar air segera membantunya mendorong biji-bijian kering yang cukup sulit ditelan. Baiklah, sekarang sebaiknya kembali beristirahat. Besok saat terang ia akan mencari tahu apa yang terjadi. Saat matahari masih rendah di timur, Ji An sudah berada di sebuah ruangan terpisah di sebelah bangunan utama yang merupakan dapur. Semalam ia tidur dengan gelisah karena rasa lapar yang mengganggu. Sebenarnya sudah berapa lama waktu berlalu sejak terakhir kali ia mengisi perutnya? Kemarin? Atau kemarinnya lagi? Ia benar-benar tidak jelas. Bisa dibilang ini tidak sopan, karena ia mengobrak-abrik dapur rumah orang asing. Namun bagaimana lagi, sejak bangun tadi ia sudah mencoba mencari sang pemilik rumah dengan berkeliling di sekitar, tapi tidak ada siapapun di sana. Jadi ia menyingkirkan kesopanannya untuk mencoba mencari cara mengisi perutnya. Ia sudah kehabisan roti keringnya yang berharga sejak terakhir kali. Ia mencari-cari sesuatu yang bisa diolahnya. Namun di dapur kecil itu, selain sebuah tungku kecil serta kuali yang tergeletak di atas tungku dan beberapa peralatan memasak sederhana dan bumbu dasar, tidak ada sayuran apapun. Ia memejamkan matanya setengah frustasi. Sepertinya ia masih harus mengeluarkan lebih banyak usaha untuk bisa makan. Ia harus mencari sayuran liar di luar. Kalau beruntung, ia juga bisa menangkap kelinci hutan ataupun burung. Matahari pagi menghangatkan tubuhnya. Ji An menyemangati dirinya. Ia berjalan dengan membawa keranjang yang ia temukan di dapur. Di sekitar rumah ditumbuhi tanaman-tanaman liar serta semak-semak tinggi, tanpa ada pagar apapun yang membatasinya dengan lingkungan sekitar. Ji An diam-diam menyimpulkan tempat ini mungkin hanya digunakan sebagai pondok pemburu. Biasanya saat musim-musim tertentu sang pemilik akan datang entah untuk berburu atau memetik herba. Ia lalu berpikir mungkin saja yang menolongnya kemarin adalah penduduk yang tinggal di sekitar sini. Tidak berapa lama Ji An kembali dengan keranjang yang hampir penuh. Ia beruntung menemukan sayuran liar serta beberapa jamur yang bisa dimakan. Juga sedikit buah liar yang dipungutnya begitu saja di bawah pohon. Ia sedang tidak memiliki tenaga lebih untuk memanjat. Sayangnya ia sama sekali tidak melihat kelinci maupun hewan kecil lainnya. Hari ini adalah hari keempatnya berada di kabin hutan. Terkadang ia merasa sedikit bersalah karena telah tinggal lebih lama. Dalam hati ia berjanji akan mencari cara untuk berterima kasih kepada sang pemilik rumah sebelum ia pergi. Setelah merasa tubuhnya sudah pulih dengan baik, ia memutuskan berjalan-jalan untuk melihat tanaman obat apa yang bisa ditemukannya di sekitar sana. Saat itu matahari hampir turun sepenuhnya, ia kembali ke kabin dengan senyum yang terus menghiasi wajah lelahnya. Suasana hatinya sangat baik, keberuntungannya sungguh baik hari itu. Ia menurunkan keranjang yang dipikulnya ke atas meja bambu yang ada di depan kabin. Beberapa jenis tanaman obat langka berhasil ia temukan. Jenis-jenis yang selama ini tidak ditemukannya di sepanjang jalannya berkelana di hutan. Sungguh harta karun! Pikirannya sudah mulai menghitung berapa banyak perak yang akan dihasilkannya dari menjual semua ini. Dalam perjalanannya tadi ia juga menemukan sebuah kolam kecil dengan air terjun kecil yang mengalir ke dalamnya di balik sebuah bukit kecil. Bukankah itu nenar-benar sempurna?! Ia sudah membayangkan akan membersihkan tubuhnya di sana. Ah, sudah berapa lama sejak ia terakhir kali mandi dengan benar? Di desa, kolam air seperti itu hampir mustahil ditemukan. Biasanya para penduduk desa akan mengambil air dari sungai untuk keperluan mandi atau memasak mereka. Hanya rumah-rumah kaya yang mampu mengalirkan air dari sumber mata air langsung ke rumah. Ji An menjejerkan tanaman-tanaman tadi di atas meja, setelah itu bergegas masuk ke dalam rumah, lalu segera keluar lagi. Dengan langkah ringan ia berjalan sambil menenteng keranjang kecil yang berisi pakaian bersih. Kolam air terjun itu tidak jauh dari kabin. Airnya sangat jernih sehingga bisa terlihat batu-batu kecil di dasar kolam. Ji An dengan riang memasukkan tangannya ke dalam air untuk mengukur suhunya. Ia mengangguk puas, tidak sedingin yang ia bayangkan. Ji An menarik lepas tusuk rambut di kepalanya. Seketika rambutnya yang panjang jatuh bagai air terjun. Ia menyisirnya perlahan dengan jari-jarinya, lalu menyampaikan di bahunya. Ia bisa berendam dengan tenang. Saat berjalan-jalan tadi ia menemukan bahwa kabin itu adalah satu-satunya rumah di sana. Tidak terlihat rumah ataupun pondok berburu lainnya di sekitar. Yang berarti tidak ada orang lain di sana. Namun hal ini membuatnya kembali bertanya-tanya, lalu ke mana perginya orang yang sudah menolong dan menempatkannya di kabin hutan?Xuanyi tidak langsung membantah ibunya dengan keras. Ia tahu, jika ia membela Ji An mati-matian, ibunya akan semakin tidak senang padanya, sehingga keinginannya untuk bersamanya akan lebih sulit. Jadi dia hanya menahan diri ketika wanita yang disayanginya dibicarakan seperti itu.Maka ia berkata tanpa amarah, "Aku mengerti kekhawatiran Ibu. Namun, aku bisa menjamin bahwa Ji An adalah gadis yang baik dan jujur. Keadaan hidupnya yang telah berubah telah membuatnya terbiasa melakukan berbagai pekerjaan di luar. Mengenai utang keluarganya, ini juga lambat laun akan diselesaikan.""Bukan itu intinya! Telah diselesaikan atau belum, ini tetap akan mempengaruhi pandangan orang lain. Memangnya keluarga kita begitu terpuruk hingga tidak mampu mengambil seorang gadis dari keluarga bergengsi untuk menjadi menantu keluarga? Kita bukannya begitu tidak mampu!" Ia mengatakan itu semua dalam sekali tarikan napas.Saat berikutnya, ia mengambil tangan putranya, menatapnya dengan memohon, "Yi'er, Ibu moh
Beberapa waktu setelah pertengkaran itu, keadaan kembali menjadi tenang.Namun, ada beberapa hal yang berubah dari ibunya.Ia menjadi lebih pemurung. Terkadang menjadi sangat sensitif. Suatu ketika, saat kediaman mereka sedang mengadakan perjamuan, ia menemukan ibunya sedang menatap penuh kebencian pada seseorang di seberang meja.Orang yang ditatap itu adalah bibi tetangga, ibu Ji An.Ia tidak mengerti apa yang membuat ibunya marah kepada ibu Ji An.Kemudian, saat para tamu satu per satu pamit kepada tuan rumah, ia sedang berdiri di sisi ayahnya ketika ia menyadari tatapan ayahnya menjadi linglung.Du Yunzhao kecil penasaran. Ia mengikuti arah pandang sang ayah, yang berujung pada seseorang yang sedang berjalan keluar dari ambang paviliun tamu.Itu lagi-lagi bibi tetangganya.Apa yang membuat kedua orang tuanya begitu memperhatikan bibi tetangga ini?Sekitar setahun setelah kejadian itu, ibunya meninggal dunia.Tabib bilang, ibunya terlalu banyak pikiran hingga setahun belakangan in
Sebelum pergi di pagi hari, Feng Jin telah memberitahu Ji An bahwa mereka akan pergi ke kabin hutan dua hari lagi, saat hari bulan penuh.Ji An segera menyetujuinya. ----Nyonya Besar Wu sedang berada di halamannya ketika putra keduanya, Wu Xuanyi masuk dari luar.Ia sedikit menunduk, menyapanya, "Ibu." Nyonya Wu tersenyum, "Yi'er, sangat jarang melihatmu datang menemui Ibu sepagi ini."Ia lalu menunjuk kursi di dekatnya, "Duduklah. Jangan terus berdiri seperti itu."Masih dengan kepala tertunduk, Xuanyi duduk dengan patuh."Katakan, ada apa kau mencari Ibumu?"Xuanyi mengangkat kepalanya, bertemu dengan tatapan ibunya."Ibu, aku ingin menikah."Mata Nyonya Wu yang melebar, dipenuhi dengan kegembiraan, "Yi'er, ini sangat baik, kau akhirnya mau mendengarkan Ibu. Bagus, bagus, kalau begitu Ibu akan segera mencarikan seseorang...""Ibu."Sebelum bisa menyelesaikan ucapannya, Xuanyi segera memotongnya. Nyonya Wu mengangkat alisnya, menatapnya dengan penuh tanya."Aku ingin menikahi Ji
Malam semakin larut, suara percakapan yang berisik terdengar di mana-mana di dalam menara.Saat pertunjukan tarian di panggung mulai terasa membosankan, Ji An mengajak Feng Jin untuk kembali.Lagipula, ia harus bangun pagi untuk bekerja besok.Sang iblis tentu saja belum keluar karena ia belum tidur. Atau mungkin saja malam ini ia memilih untuk tidak keluar."Maaf, lain kali aku akan mentraktirmu dengan suguhan yang lebih layak." Ji An berkata."Aku hanya mengajakmu melihat-lihat sebelumnya, bukan memintamu untuk mentraktir."Ji An mengangguk.Ketika mereka hendak keluar, sebuah rombongan besar tengah masuk ke dalam menara, memenuhi pintu.Ji An yang telah berjalan duluan di depan, terpisah dengan Feng Jin oleh kerumunan.Saat ia memutuskan untuk menunggunya di luar, Ji An mendengar seseorang memanggil namanya."Adik An." Sapa Wu Xuanyi gembira. Ia tidak menyangka akan begitu cepat bertemu lagi dengan gadis yang telah mengganggu tidurnya semalam."Xuanyi?" Ji An tertawa, "Aku tidak me
Feng Jin menatap gadis di depan yang tampak lebih pendiam dari biasanya. Seperti kemarin, saat ini mereka berdua sedang makan malam di dalam kamar Ji An. Pandangannya sesekali akan terangkat, mengamati gerak geriknya tanpa kentara. Gadis itu tiba-tiba menghela napas berat, kali berikutnya pandangannya tampak linglung. Ia jelas sedang tidak dalam suasana hati yang baik. Ji An menatap Feng Jin kemudian menundukkan kembali pandangannya, sorot matanya agak sendu. Tangannya yang sedang memegang sumpit, hanya mengaduk-aduk nasi di mangkuk, jelas ia tidak sedang berselera. "Sesuatu terjadi?" Feng Jin menurunkan matanya. Ji An menggeleng, masih mengaduk-aduk nasi di mangkuk, "Ng..sebenarnya, tidak ada hal penting yang terjadi." Ketika Ji An mengangkat wajahnya lagi, ia bertemu dengan tatapan Feng Jin yang seakan sedang bertanya "Lalu ada apa denganmu?" Ji An menunduk, meringis, "Aku.. sepertinya aku telah membuat hinaan seseorang berhasil mempengaruhiku." Ia kemudian ters
Feng Jin hendak berbaring ketika hidungnya menangkap sebuah aroma familiar.Ia menunduk, mengendus jubah hitamnya.Aroma lembut itu berasal dari sana. Sepertinya itu tertinggal saat ia membungkus Ji An dengan jubahnya semalam.Feng Jin tampak sedikit kikuk saat kemudian ia akhirnya berhasil berbaring di atas dipan.Matanya dengan linglung menatap langit-langit kamar sejenak sebelum perlahan menutup.-----Ji An masih sibuk di belakang dapur restoran.Waktu makan siang selalu ramai dengan pelanggan. Sehingga mereka harus bergerak lebih cepat untuk menyelesaikan setiap pesanan.Sedangkan Ji An yang tidak terlibat langsung dengan para tamu, sedang mengatur penempatan berbagai bahan-bahan segar yang diantarkan tadi pagi.Seseorang keluar dari pintu belakang dapur, menghampirinya."Nona Ji, bisakah kau menggantikanku sebentar untuk mengantarkan salah satu pesanan tamu di depan?" Seorang pelayan wanita bertanya, sementara wajahnya berkerut seperti sedang menahan sesuatu.Ji An segera menger







