MasukAngin semilir berhembus membawa pergi dedaunan.
Dari jarak yang tidak terlalu jauh dari kolam air terjun, di atas pohon yang tinggi seseorang sedang berbaring dengan santai di atas sebuah dahan besar. Rambut hitamnya yang panjang menjuntai ke sana kemari tertiup angin yang berhembus pelan. Jubah putih panjangnya ikut melambai. Beberapa hari itu ia telah mengamati gerak-gerik pemuda yang keluar masuk dari kabin hutan miliknya. Kini orang itu sepertinya hendak membersihkan dirinya di kolam kecil. Dengan punggungnya yang menghadapnya, ia melihatnya melepaskan ikatan di rambutnya, seketika rambutnya yang panjang terurai bebas, ia tampak menyisirnya dengan hati-hati. Setelah itu sang pemuda pergi ke balik pohon. Beberapa saat kemudian ia muncul lagi dengan hanya mengenakan kain panjang yang dililitkan di dadanya, memperlihatkan kulitnya yang putih tanpa cela. Dengan rambutnya yang disampirkan di bahu kirinya, kini ia bisa melihat sosok pemuda itu dengan sangat jelas. Orang yang berada di atas pohon itu dengan cepat memalingkan wajahnya kembali ke atas. Matanya bergerak-gerak bingung. Dia sebenarnya.. seorang wanita..? --------- Pada pagi hari keenam, Ji An bersiap untuk kembali ke desa. Sehari sebelumnya, untuk meninggalkan ungkapan terima kasihnya karena sudah tinggal di sana selama beberapa waktu, ia membersihkan tanaman-tanaman liar yang berada di sekitar kabin. Tak lupa juga meninggalkan beberapa tanaman herba berharga yang sudah dikeringkannya sebelumnya. Ia memastikan rumah itu sebersih mungkin sebelum ia pergi agar sang pemilik bisa tinggal lebih nyaman saat berkunjung kembali. Mengambil kain katun panjang, Ji An mengikat dadanya dengan hati-hati. Kemudian ia mengambil salah satu pakaian bersih dari tas dan memakainya. Tak lupa melilitkan ikat kepala dari kain katun di kepalanya, yang menampilkan kesan seorang pemuda desa biasa. Terakhir, ia mengambil bubuk bedak kecoklatan racikannya, menepuk-nepukkan ke seluruh wajah, serta lehernya. Melihat penampilan terbarunya di cermin tembaga kecil miliknya, bayangan di sana tidak lagi memperlihatkan gadis dengan kulit seputih giok, melainkan memperlihatkan seorang pemuda berkulit kecoklatan yang tampan. Ia pun tersenyum puas. Ji An selalu mengenakan pakaian pria seperti itu saat bepergian ke tempat-tempat yang jauh dari rumah maupun melakukan pekerjaan-pekerjaan kasar. Baginya, dengan berpenampilan seperti pria menghindarkannya dari banyak kerepotan. Saat berpergian ke dalam hutan, ia tidak akan mau repot-repot memakai rok, itu sangat tidak praktis. Selain itu juga terlalu menarik perhatian. Belum lagi kalau ia bertemu dengan bandit gunung, ia mungkin akan segera menjadi target dan 'dimangsa' oleh para pria brutal itu. Saat masuk ke dalam hutan sebelumnya ia menghabiskan waktu lebih lama karena harus berkeliaran sambil memastikan matanya tidak melewatkan satu pun tanaman berharga yang bisa diambil di sepanjang jalan. Kini perjalanan kembalinya ke desa hampir tanpa gangguan. Ia sudah sangat puas dengan tanaman-tanaman obat berharga yang didapatnya di hutan sekitar kabin. Tidak perlu mengumpulkan lebih banyak. Setelah berjalan beberapa hari, ia menyadari bahwa kabin itu sebenarnya letaknya berada sangat jauh di dalam hutan. Anehnya, ia ingat bahwa sebelumnya jelas-jelas ada jalan berkabut yang dimasukinya saat berada di hutan terdalam. Namun saat kembali, kabut aneh itu tidak pernah terlihat lagi. Apakah rute yang diambilnya berbeda sehingga ia tidak melewati kabut itu? Namun ia sangat yakin ini masih rute yang sama dengan saat ia melarikan diri dari serigala hutan. Ia telah menemukan ikat kepalanya yang sebelumnya hilang tersangkut di ranting pohon muda yang dilewatinya saat berlari. Suara gesekan dedaunan terdengar dari atas pohon tinggi dan sosok berpakaian hitam yang sebelumnya ada di sana kini sudah melompat ke dalam angin, melesat terbang hingga tak terlihat lagi. ------------- "Tuan, bagaimana mungkin semua ini hanya seharga tiga kantong kecil perak? Lihat, lihat ini, semuanya barang bagus, sangat sulit didapatkan!" Protes Ji An. Ia sedang bernegosiasi dengan pemilik toko obat untuk mendapatkan uang lebih banyak dari penjualan herbanya. "Nona lihat baik-baik, ini bagaimanapun hanyalah herba biasa. Bukan tanaman raja obat seperti yang kamu katakan. Sudah sangat beruntung saya membayar tiga kantong perak untuk semua ini." Sang pemilik toko tak mau kalah. Ji An tak pelak merasa kesal. Bagaimana mungkin ia tidak mengerti mana yang tanaman raja obat mana yang tanaman obat biasa? Ia sudah bertahun-tahun mempelajari hal-hal ini dari ayah dan kakeknya. Ia menatap datar sang pemilik toko, tangannya di bawah dengan cepat membungkus kembali herba berharganya, "Kalau begitu lupakan saja. Aku akan mencari toko lain." Sang pemilik toko segera melembutkan sedikit nadanya, berbicara dengan tergesa-gesa, "Nona, tunggu. Tunggu sebentar. Begini, bagaimana kalau saya menambahkan setengah kantong perak lagi untuk semuanya?" Ia berusaha untuk tidak memperlihatkan kecemasannya. Bagaimana mungkin ia melewatkan barang-barang bagus seperti itu. Namun karena tak mau mengeluarkan banyak uang untuk membayar, ia berusaha mendapatkannya dengan harga serendah mungkin. Ji An meliriknya acuh tak acuh. Dasar pria tua pelit! Cibirnya dalam hati. Ia berkata dengan tegas, "Enam kantung perak dan ini akan menjadi milikmu." Melihat wajah tegas sang nona muda, sang pemilik toko merasa ia tak akan mau berkompromi lagi. Wanita muda itu memang sangat cerdas, selalu tahu barang bagus. Sudah beberapa kali ia datang untuk menjual herba yang ia kumpulkan kepadanya dan semuanya selalu tidak mengecewakan. Ia melirik antrian orang di belakang nona itu yang semuanya adalah pengumpul herba, lalu menghela napas. Kapan lagi ia akan menemukan barang sebagus itu, sangat jarang, sungguh sangat jarang. Setelah menghitung untung rugi dalam pikirannya, ia menghadapi Ji An lagi lalu mengangguk pelan menyetujui permintaannya. Setelah mengantar herba yang ia janjikan ke rumah seorang pelanggannya, Ji An kembali ke rumahnya dengan buntelan tas yang cukup berat. Perjalanannya kali ini menghasilkan cukup banyak uang. Ia terpikir, apakah keberuntungan seumur hidupnya sudah dihabiskan semuanya untuk menemukan semua herba berharga itu? Dalam dua puluh tahun kehidupannya, baru kali ini ia memegang uang sebanyak ini. Hatinya senang sekaligus cemas. Ia tidak bisa membiarkan ayahnya tahu bahwa kali ini ia telah menghasilkan banyak uang..Xuanyi tidak langsung membantah ibunya dengan keras. Ia tahu, jika ia membela Ji An mati-matian, ibunya akan semakin tidak senang padanya, sehingga keinginannya untuk bersamanya akan lebih sulit. Jadi dia hanya menahan diri ketika wanita yang disayanginya dibicarakan seperti itu.Maka ia berkata tanpa amarah, "Aku mengerti kekhawatiran Ibu. Namun, aku bisa menjamin bahwa Ji An adalah gadis yang baik dan jujur. Keadaan hidupnya yang telah berubah telah membuatnya terbiasa melakukan berbagai pekerjaan di luar. Mengenai utang keluarganya, ini juga lambat laun akan diselesaikan.""Bukan itu intinya! Telah diselesaikan atau belum, ini tetap akan mempengaruhi pandangan orang lain. Memangnya keluarga kita begitu terpuruk hingga tidak mampu mengambil seorang gadis dari keluarga bergengsi untuk menjadi menantu keluarga? Kita bukannya begitu tidak mampu!" Ia mengatakan itu semua dalam sekali tarikan napas.Saat berikutnya, ia mengambil tangan putranya, menatapnya dengan memohon, "Yi'er, Ibu moh
Beberapa waktu setelah pertengkaran itu, keadaan kembali menjadi tenang.Namun, ada beberapa hal yang berubah dari ibunya.Ia menjadi lebih pemurung. Terkadang menjadi sangat sensitif. Suatu ketika, saat kediaman mereka sedang mengadakan perjamuan, ia menemukan ibunya sedang menatap penuh kebencian pada seseorang di seberang meja.Orang yang ditatap itu adalah bibi tetangga, ibu Ji An.Ia tidak mengerti apa yang membuat ibunya marah kepada ibu Ji An.Kemudian, saat para tamu satu per satu pamit kepada tuan rumah, ia sedang berdiri di sisi ayahnya ketika ia menyadari tatapan ayahnya menjadi linglung.Du Yunzhao kecil penasaran. Ia mengikuti arah pandang sang ayah, yang berujung pada seseorang yang sedang berjalan keluar dari ambang paviliun tamu.Itu lagi-lagi bibi tetangganya.Apa yang membuat kedua orang tuanya begitu memperhatikan bibi tetangga ini?Sekitar setahun setelah kejadian itu, ibunya meninggal dunia.Tabib bilang, ibunya terlalu banyak pikiran hingga setahun belakangan in
Sebelum pergi di pagi hari, Feng Jin telah memberitahu Ji An bahwa mereka akan pergi ke kabin hutan dua hari lagi, saat hari bulan penuh.Ji An segera menyetujuinya. ----Nyonya Besar Wu sedang berada di halamannya ketika putra keduanya, Wu Xuanyi masuk dari luar.Ia sedikit menunduk, menyapanya, "Ibu." Nyonya Wu tersenyum, "Yi'er, sangat jarang melihatmu datang menemui Ibu sepagi ini."Ia lalu menunjuk kursi di dekatnya, "Duduklah. Jangan terus berdiri seperti itu."Masih dengan kepala tertunduk, Xuanyi duduk dengan patuh."Katakan, ada apa kau mencari Ibumu?"Xuanyi mengangkat kepalanya, bertemu dengan tatapan ibunya."Ibu, aku ingin menikah."Mata Nyonya Wu yang melebar, dipenuhi dengan kegembiraan, "Yi'er, ini sangat baik, kau akhirnya mau mendengarkan Ibu. Bagus, bagus, kalau begitu Ibu akan segera mencarikan seseorang...""Ibu."Sebelum bisa menyelesaikan ucapannya, Xuanyi segera memotongnya. Nyonya Wu mengangkat alisnya, menatapnya dengan penuh tanya."Aku ingin menikahi Ji
Malam semakin larut, suara percakapan yang berisik terdengar di mana-mana di dalam menara.Saat pertunjukan tarian di panggung mulai terasa membosankan, Ji An mengajak Feng Jin untuk kembali.Lagipula, ia harus bangun pagi untuk bekerja besok.Sang iblis tentu saja belum keluar karena ia belum tidur. Atau mungkin saja malam ini ia memilih untuk tidak keluar."Maaf, lain kali aku akan mentraktirmu dengan suguhan yang lebih layak." Ji An berkata."Aku hanya mengajakmu melihat-lihat sebelumnya, bukan memintamu untuk mentraktir."Ji An mengangguk.Ketika mereka hendak keluar, sebuah rombongan besar tengah masuk ke dalam menara, memenuhi pintu.Ji An yang telah berjalan duluan di depan, terpisah dengan Feng Jin oleh kerumunan.Saat ia memutuskan untuk menunggunya di luar, Ji An mendengar seseorang memanggil namanya."Adik An." Sapa Wu Xuanyi gembira. Ia tidak menyangka akan begitu cepat bertemu lagi dengan gadis yang telah mengganggu tidurnya semalam."Xuanyi?" Ji An tertawa, "Aku tidak me
Feng Jin menatap gadis di depan yang tampak lebih pendiam dari biasanya. Seperti kemarin, saat ini mereka berdua sedang makan malam di dalam kamar Ji An. Pandangannya sesekali akan terangkat, mengamati gerak geriknya tanpa kentara. Gadis itu tiba-tiba menghela napas berat, kali berikutnya pandangannya tampak linglung. Ia jelas sedang tidak dalam suasana hati yang baik. Ji An menatap Feng Jin kemudian menundukkan kembali pandangannya, sorot matanya agak sendu. Tangannya yang sedang memegang sumpit, hanya mengaduk-aduk nasi di mangkuk, jelas ia tidak sedang berselera. "Sesuatu terjadi?" Feng Jin menurunkan matanya. Ji An menggeleng, masih mengaduk-aduk nasi di mangkuk, "Ng..sebenarnya, tidak ada hal penting yang terjadi." Ketika Ji An mengangkat wajahnya lagi, ia bertemu dengan tatapan Feng Jin yang seakan sedang bertanya "Lalu ada apa denganmu?" Ji An menunduk, meringis, "Aku.. sepertinya aku telah membuat hinaan seseorang berhasil mempengaruhiku." Ia kemudian ters
Feng Jin hendak berbaring ketika hidungnya menangkap sebuah aroma familiar.Ia menunduk, mengendus jubah hitamnya.Aroma lembut itu berasal dari sana. Sepertinya itu tertinggal saat ia membungkus Ji An dengan jubahnya semalam.Feng Jin tampak sedikit kikuk saat kemudian ia akhirnya berhasil berbaring di atas dipan.Matanya dengan linglung menatap langit-langit kamar sejenak sebelum perlahan menutup.-----Ji An masih sibuk di belakang dapur restoran.Waktu makan siang selalu ramai dengan pelanggan. Sehingga mereka harus bergerak lebih cepat untuk menyelesaikan setiap pesanan.Sedangkan Ji An yang tidak terlibat langsung dengan para tamu, sedang mengatur penempatan berbagai bahan-bahan segar yang diantarkan tadi pagi.Seseorang keluar dari pintu belakang dapur, menghampirinya."Nona Ji, bisakah kau menggantikanku sebentar untuk mengantarkan salah satu pesanan tamu di depan?" Seorang pelayan wanita bertanya, sementara wajahnya berkerut seperti sedang menahan sesuatu.Ji An segera menger







