Share

Pilihan Ayah

"Bukan. Temannya Bang Izzan, Yusra kenalnya waktu mengisi di acara pesantren dulu, Bu. Udah lama, Yusra juga udah lupa siapa namanya."

 

"Oh, ibu kira teman dekat kamu, Nak." Raisyifa bangkit hendak keluar kamar.

"Dia minta ajari adik sepupunya main drum, Bu. Boleh enggak? Apa aku buka kursus main drum aja, ya. Menurut Ibu gimana?" tanya Izzan yang ikut berdiri.

 

"Kamu ini." Perempuan itu menepuk pundak Izzan. “Tanya ayahmu saja, Zann,” lanjutnya sambil meninggalkan Yusra dan Izzan, lalu kedua kakak beradik itu terdiam larut dengan pikiran masing-masing. Agaknya Yusra lebih berat yang di pikirkannya, anak mana yang mau melawan kehendak orang tuanya, bisa-bisa dikatai anak durhaka. Walaupun dia sendiri anak pungut di rumah itu. 

“Ngobrolnya di belakang, yuk,” ajak Izzan. Yang disambut anggukkan Yusra.  

"Tadi, ayah cerita apa saja, Bang?" tanya Yusra ketika baru tiba kolam ikan di belakang. 

"Enggak ada, kamu kenapa bohong tentang Ervin?" Yusra menunduk, matanya mulai mengembun. Rencana ingin curhat dengan Izzan kembali gagal, dia tak sanggup melihat air mata Raisyifa. Perempuan itu selalu mampu membuat egonya runtuh seketika.

"Eh, ditanya malah bengong. Memangnya kamu enggak mau nikah sama Ervin?" tanya Izzan geram.

 

"Heem, bukannya enggak mau. Ta--tapi ...." Yusra tak berdaya melanjutkan kata-katanya. Jangankan untuk menjalani perjodohan orang tuanya, sekadar menyebutnya saja Yusra tak sanggup. 

"Alah, gitu aja bingung. Kalau suka bilang aja suka! Kalau enggak ya, udah, bye. Gitu aja kok, repot," saran Izzan enteng yang membuatnya kian sedih. 

"Aku yakin, Abang tahu sesuatu yang lain, tapi selama ini Abang pura-pura saja kan? Kenapa Abang enggak cerita masalah Idham," selidik Yusra.

 

"Tahu apa?" 

"Jahat banget enggak mau kasih tahu." Yusra menunduk pasrah. 

Izzan mendadak bingung, niatnya hanya bercanda ternyata salah karena terlihat jelas dari gelagat Yusra. Udara sore begitu bersahabat, desir angin lembut menerpa wajah Yusra, tetapi hatinya tetap saja kalut, porak-poranda.

 

"Menurut Abang, gimana?" tanyanya kesal. 

"Gimana apanya?" Izzan berdiri beranjak mengambil pakan ikan, tampak jelas dia ingin menghindar pertanyaan Yusra. Namun adiknya, seperti tak kehabisan akal berusaha mengorek sedikit informasi tentang rencana kedua orang tuanya. 

"Payah." Yusra ikut mengambil pakan ikan lalu melemparnya ke kolam di hadapan mereka. Laki-laki itu beralih menatap Yusra. Ada rasa iba yang membuatnya tak tega untuk berkata jujur. 

"Kamu tahu sendiri kan? Aku tuh sibuk, enggak ke pikiran sama hal-hal yang begini," selanya mencoba mengelak.

"Bohong!" keluh Yusra.

"Siapa yang bohong?" tanya Izzan tanpa rasa bersalah. Iya, dia memang tak bersalah atas apa yang menimpa nasib cinta adiknya kini. 

Seketika gadis itu teringat bagaimana Izzan selalu menghindarinya. Sejak kepulangannya kemarin, Izzan tak seperti biasa. Yang menjadi tumpuan semua cerita Yusra, tak peduli apakah cerita tentang kebahagiaan atau pun kesedihan, tentang pacarnya atau juga tentang sahabatnya. 

Yusra menghela, ada rasa nyeri di hatinya. Meskipun begitu dia buru-buru menepis semua pikiran buruk yang sempat hadir. 

"Ya, sudahlah percuma juga nanya sama Abang." Yusra menatap Izzan. Sudut bibir gadis itu terangkat membentuk sebuah senyuman kecut.

 

"Aku benaran enggak tahu, kan, aku sering di luar." Izzan meninggalkan Yusra yang masih terdiam. Entahlah, ada banyak pertanyaan yang rasanya masih menjanggal di pikiran gadis itu.

***

“Ayah sudah makan?" Yusra bertanya pada Raisyifa yang sibuk dengan adonan bolunya. 

Sedari pagi Yusra tak melihat sang ayah keluar dari kamar. 

"Ayah ndak enak badan, mungkin asam lambungnya naik gara-gara kemarin telat makan. Coba kamu lagi yang bujuk Ayah," pinta sang ibu.

"Kita bawa ke dokter aja, Bu." Yusra mengambil nampan lalu menata dengan sepiring nasi serta lauk pauk. 

"Ayahmu ndak mau, katanya nanti juga sembuh sendiri. Ini air putihnya."

"Yusra coba dulu ya, Bu." Gadis itu berlalu kemudian mendatangi kamar ayahnya.

"Assalamualaikum. Ayah, Yusra bawa ikan bakar kesukaan ayah, nih. Makan dulu, ya, Yusra suapi," bujuk anaknya ketika tiba di hadapan Najib.

Laki-laki itu membalas salam dan menyambutnya dengan senyuman, lantas duduk menyandarkan tubuh di sofa. Yusra mengulurkan segelas air putih hangat. Setelah diteguk Najib beberapa kali, Yusra 

menawarkan makan siang. Bagaimana pun perasaannya dia tetap ingin berbakti kepada Najib. 

"Terima kasih, ya, Nak. Sudah merepotkan kamu." Najib berusaha menelan suapan dari Yusra. 

"Ayah ngomong apa? Yusra enggak pernah merasa direpotkan. Yusra tambah lagi, ya?" 

Najib menggeleng, tenggorokannya terasa pahit meski makanan tersebut tidak bercampur dengan obat. 

Maka dengan telaten tangan Yusra memegang sendok, mencuil ikan bakarnya, menambahkan sedikit sayuran lalu dengan hati-hati menyuapi Najib.

 

"Yusra," panggil Najib ketika makanan di mulutnya telah habis. Ini suapan ke enam dari anaknya.

 

"Iya, Yah." Yusra tersenyum, sesendok nasi lengkap dengan lauk menggantung di tangan Yusra. 

"Ayah ingin sekali kamu mengurusi yayasan itu, Abang Izzan kamu itu tak bisa diandalkan. Sayang kalau harus terhenti." 

"Loh, ayah ini ngomong apa? Kan Yusra sudah setuju. Kalau nolak pasti Yusra sudah pulang ke Jakarta." Seulas senyum meyakinkan diberikan gadis itu pada Najib. 

"Terima kasih ya, Ra. Ayah yakin kamu pasti bisa, kamu hanya butuh waktu buat belajar dan terbiasa dengan suasana di sini." 

Yusra mengangguk. "Lanjut makan lagi ya, Ayah," tawar Yusra lembut, entah kenapa tiba-tiba dia merasa bersalah karena jarang pulang semenjak menimba ilmu di kota. Yang membuatnya serasa ada jarak di antara mereka berdua.

 

"Yusra, ayah boleh tanya, Nak?" Laki-laki itu menjeda kata-katanya. "Yusra sudah punya calon pendamping? Maksud ayah, pilihan pendamping hidup Yusra nanti?" 

Seketika gadis itu merasa darahnya mendesir saat menyadari bahwa telinganya tidak salah mendengar. Laki-laki yang dipanggilnya ayah menanyakan hal yang mengganggu pikirannya akhir-akhir ini. 

Yusra menghela napas dengan tenang, mencari jawaban paling bijak untuk saat ini. Di satu sisi dia tidak ingin kehilangan Ervin, di sisi lain kondisi kesehatan ayah dan ibunya tak kalah penting dari dirinya sendiri. Dia tersenyum meski jantungnya serasa di remas kuat. Tak ada alasan menolak jika benar apa yang dikatakan Raisyifa tempo hari. Hanya saja waktu belum berhasil membuat keluarga kecil itu berkumpul secara utuh untuk membicarakan perjodohannya dengan Idham. 

Suasana mendadak kaku, aroma minyak angin kian membuat Yusra tak punya keberanian untuk mengatakan perasaannya. Ditambah lagi jika Najib tahu, dia sudah lama menjalin hubungan dengan Ervin. Yusra tak bisa membayangkan bagaimana kecewa Najib. 

"Loh, kok, diam. Anak ayah sudah dewasa. Kalau ada yang membuat hati Yusra bahagia, ayah dan ibu cukup merestui." 

Yusra makin bingung. Bagaimana bisa ayahnya berkata demikian. Apakah Najib memang tak tahu apa sedang berpura-pura saja. 

"Yusra ...." Ia tak sanggup menyelesaikan kata-katanya. Sekelebat bayangan Ervin tersenyum tiba-tiba berganti dengan bayangan Idham serta orang tuanya yang tampak begitu bahagia. 

Gadis itu ragu melanjutkan katanya. Ditambah lagi aroma obat-obatan dikamar ini begitu menusuk. 

"Kalau sama Nak Idham, apa Yusra suka?" selidik Najib.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status