“Ya, aku mundur.”
Aditya menegakkan badan. Tubuhnya terasa kaku seketika. Dia menatap Jihan tidak percaya. Suara lembut istrinya barusan terasa menghantam dadanya. “Aku menyerah di usia sebelas tahun pernikahan kita.” Jihan menekan dada. Bibirnya tertarik membentuk segaris senyuman tipis. Ucapan suaminya barusan kembali terngiang di telinga. “Saya begini dari dulu. Kamu juga tahu itu. Kalau kamu tidak terima, silahkan mundur!” Ah … ringan benar kalimat itu keluar dari bibir Aditya. Seolah dia tak ada harganya sebagai seorang istri dari dua anaknya. “Apa maksudmu?” Napas Aditya memburu. Lelaki itu menajamkan pandangan melihat Jihan justru tersenyum diantara tangis. Dia tersengal saat Jihan mengangkat kepala. Mereka bertemu pandang. Tatapan itu, mata cemerlang Jihan menampakkan luka yang teramat sangat. Aditya memalingkan wajah. Dia tidak sanggup melihat wajah Jihan yang basah. Selama mereka menikah, baru kali ini dia melihat istrinya itu meneteskan air mata. “Seperti yang Mas ucapkan tadi, aku sudah tidak kuat untuk bertahan lebih lama lagi. Aku mundur.” Lirih suara Jihan seperti belati yang mengiris hati Aditya. Lelaki itu memukul-mukul pahanya pelan. Mundur? Benarkah Jihan akhirnya menyerah? Atau ini hanya gertakannya saja agar dia mengiba? "Maaf kalau ucapan saya tadi menyinggung perasaanmu." Jihan mendesah. Sepuluh tahun dia menanti, akhirnya kata maaf keluar juga dari mulut Aditya. Dia bahkan sampai lupa dia begitu berharga karena selalu diabaikan. Sampai tadi, saat dia menjadi sorotan, kepercayaan diri itu kembali. Menarik kembali semua kesadaran bahwa dia layak untuk dihargai dan … dicintai. Mereka memilih berdiam diri sepanjang sisa perjalanan. Jihan mengambil tas tangannya saat mobil memasuki gerbang perumahan. Sekitar lima puluh meter dari pos security, mobil berwarna silver itu berbelok. Jihan menarik napas panjang saat pagar rumah mereka mulai terlihat. Pagar berwarna putih tulang dengan aksen garis emas itu menutupi bangunan di dalamnya. Rumah mereka hanya satu lantai. Jihan yang meminta saat awal dibangun dulu. Dia merasa lebih nyaman karena aktivitas hanya terpusat di satu lantai. Aditya menghembuskan napas kencang melihat Jihan yang berlalu begitu saja meninggalkannya. Wanita yang memiliki mata cemerlang dengan alis tebal itu bahkan tidak sedikitpun menoleh padanya saat tadi keluar dari mobil. Lelaki itu mengendurkan dasi di lehernya sambil masuk ke rumah. “Sudah selesai, Ma, kemungkinan besok pengumuman siapa yang menjadi perwakilan.” Aditya melirik pintu kamar Rayna yang terbuka. “Semangat! Anak Mama pasti yang terbaik!” Aditya mengabaikan percakapan anak dan istrinya. Dia memilih masuk ke kamar dan membersihkan diri. Tubuhnya lelah dari perjalanan jauh ditambah pula dengan permasalahan yang Ralin sebabkan malam ini. "Ralin." Aditya mendesis saat air dari shower mulai menghujani tubuhnya. Aroma mawar dari sabun mandi membuatnya merasa lebih relax. Selesai mandi, Aditya mengambil alat cukur dan merapikan jambangnya yang mulai tumbuh. "Mas kelihatan manly sekali kalau jambangnya baru tumbuh sedikit-sedikit seperti ini." Ucapan Ralin beberapa waktu lalu melintas di pikiran Aditya. Dia bahkan bisa merasakan tangan lembut dan halus gadis itu yang mengelus rahangnya. "ARGH!!" Aditya membanting alat cukur. Mendadak emosinya bangkit kembali mengingat kelakuan bodoh simpanannya itu malam ini. Jihan baru saja selesai berganti pakaian saat Aditya keluar dari kamar mandi. Lelaki itu memperhatikan istrinya lekat-lekat. Dari tempatnya berdiri, tubuh Jihan terlihat sempurna. Walau sudah melahirkan anak dua, badan istrinya tetap langsing seperti pertama mereka berjumpa. “Rayna ada kegiatan apa di sekolah?” Aditya duduk di kasur. Matanya terus memperhatikan Jihan yang sedang menyisir rambut panjangnya. Dia tersenyum tipis. Dulu, rambut hitam legam itu merupakan salah satu daya pikat Jihan sebelum memutuskan mengenakan hijab satu tahun belakangan. "Lomba cerdas cermat tingkat provinsi. Besok pengumuman siapa saja perwakilan dari masing-masing sekolah di kabupaten." Jihan meletakkan sisir. Dia berputar di cermin memperhatikan lekuk tubuhnya sendiri. "Rasanya tubuhku nggak kalah bagus dengan pacarmu itu walau usia kami terpaut sepuluh tahun, Mas." Jihan menatap Aditya dari pantulan kaca. Dada bidang suaminya terlihat jelas karena lelaki itu hanya mengenakan handuk sebatas pinggang. "Ah, aku lupa. Walau luarnya masih bagus, onderdil dalam tidak bisa bohong. Apalagi aku sudah dua kali turun mesin." Jihan terkekeh karena suaminya memilih bungkam. "Jihan, please …." Aditya berdiri dan memeluk istrinya dari belakang. Wangi parfum aroma mawar menguar dari tubuh Jihan. "Kenapa kamu jadi berubah begini?" Aditya membalikkan badan Jihan hingga mereka berhadapan. Mendadak ketakutan menyergap hati Aditya, Jihan yang selalu tampil lembut, melayani dan memperlakukannya dengan baik seperti hilang entah kemana. Dia seakan berhadapan dengan orang yang berbeda. "Berubah? Rasa-rasanya wajar aku berubah, Mas. Saat kelembutan sikap dan ketulusan cintaku bertahun-tahun tak bisa menyentuh hatimu, mungkin ini saatnya bagiku menyerah dan mundur." Jihan mengepalkan tangan. Sekuat tenaga dia menegarkan hati agar tidak menangis. Sungguh, dia tidak ingin terlihat lemah lagi di hadapan suaminya. "Mari kita berpisah, cukup sudah kau perlakukan aku semena-mena. Entah sudah berapa wanita yang datang dan pergi dalam rentang sebelas tahun pernikahan kita. Aku belum mau mati muda karena terus-terusan makan hati." "Kamu tidak memikirkan Rayna dan Damar?" "Apa Mas memikirkan mereka saat sedang bersama wanita-wanita penggoda itu?" "Jihan, come on, selama ini kita baik-baik saja. Kenapa sekarang baru dipermasalahkan? Kalau masalah Ralin, gampanglah itu. Nanti biar saya urus semuanya." "Ini bukan tentang kenapa baru sekarang dipermasalahkan atau Mas bisa menyelesaikan semua, tapi ini tentang hubungan kita." "Apa maksudmu?" "Hubungan kita sudah tidak sehat lagi. Mas tidak pernah menghargai aku sebagai seorang istri. Selama ini aku diam, bukan berarti semuanya baik-baik saja. Aku mengalah dan memilih bertahan berharap Mas akan berubah. Ternyata aku salah, Mas justru semakin menjadi." Jihan menantang mata Aditya. "Sabarku ada batasnya, dan inilah akhirnya." Jihan menekan dalam-dalam perasaannya. Dia yang selalu menatap Aditya dengan mata memuja, malam ini membalas nyalang tatapan suaminya. Ah … cinta, cinta adalah alasan terkuatnya hingga bisa bertahan selama ini. Aditya mendengus kencang. "Mentang-mentang saat ini kamu sudah kembali menjadi bintang, kamu menjadi keras kepala! Ingat, Jihan, kamu bisa ada di posisi ini karena saya!" Aditya mencengkram bahu Jihan. Untuk pertama kali sepanjang pernikahan, mereka beradu pendapat. Biasanya, Jihan memilih diam dan mengalah. "Mas lupa? Sebelum menikah dengan Mas pun aku sudah menjadi bintang." Jihan terkekeh. "Jadi, tutup mulutmu yang selalu merendahkanku!" Aditya terpana. Dia tidak menyangka wanita lemah lembut yang selama ini menjadi istrinya itu bisa berkata sedemikian rupa.Lima tahun bercerai, mereka seperti pasangan pengantin baru saat bersama lagi. Dirga bahkan memboyong Nia untuk menikmati bulan madu. Safiya yang saat itu sudah kuliah bisa mengerti dan memberikan waktu sebanyak-banyaknya untuk orangtuanya agar bisa menumbuhkan cinta itu kembali.“Lucu mereka itu.” Aditya terkekeh. “Kemana-mana selalu berdua. Lengkeeeeeet sekali. Kalau saja Dirga ke kantor boleh membawa istri, pasti dia sudah memboyong serta si Nia.”“Mereka pernah berpisah, Mas. Pasti Nia dan Dirga mengerti sekali bagaimana rasanya kehilangan hingga sekarang mereka menjadi lebih menghargai apa yang mereka miliki. Selalu ada hikmah yang bisa diambil dari setiap kejadian.”Aditya mengangguk setuju. Dia menoleh pada Jihan. Wajah istrinya terlihat cantik di antara jingga senja yang membungkus desa. Perlahan, lelaki itu mengambil tangan Jihan. Sekejap, mereka bertatapan lama dan dalam. Mendadak, rasa haru memenuhi keduanya. Perasaan yang hanya bisa dirasakan oleh Jihan dan Aditya.“Terima
Jihan tersenyum lebar melihat Aditya yang baru saja kembali ke rumah. Lelaki itu tampak masih gagah walau usianya sudah melewati kepala lima. Topi koboi di kepala, baju kaos yang membentuk badan dan sepatu boots sebetis untuk menghindari licak tanah membuat suaminya terlihat sangat manly."Tehnya, Mas." Jihan meletakkan dua gelas teh hangat dan sepiring ubi goreng. Aroma bunga melati segar yang mengambang di gelas memenuhi penciuman. "Sudah selesai?" Jihan kembali bertanya sambil memperhatikan Aditya yang sedang melepaskan sepatu boots."Alhamdulillah, sudah." Aditya tersenyum lebar. Dia meletakkan topi koboinya di meja. Beberapa helai uban di rambut panjang Aditya yang diikat ekor kuda membuatnya terlihat semakin menawan. Dia memang tidak pernah memotong pendek lagi rambutnya. Aditya seolah ingin menghilangkan dirinya yang dulu. Dia yang selalu tampil rapi dan klimis dengan setelan jas kini tergantikan dengan Aditya yang tampil sedikit urakan.“Cuma dua truk yang berangkat tadi. Truk
“Kita kemana, Pak?” Pagi hari, lima belas tahun lalu. Afrizal memicingkan mata saat sinar matahari terlihat menyilaukan diantara ribuan rintik hujan yang membasahi bumi. Beruntung dia sudah menyelesaikan sarapan tadi. Kalau tidak, Afrizal akan kelaparan di perjalanan karena mereka menempuh jarak yang cukup jauh.“Ini?” Afrizal menautkan alis saat melihat gerbang pemakaman yang sangat dia kenal. Keluarganya dan keluarga istrinya dimakamkan disini. Mereka sudah membeli lahan untuk tempat pemakaman keluarga. “Siapa yang meninggal?” Afrizal terengah saat petugas yang mendampinginya tetap bungkam.“Fikar?” Afrizal berteriak melihat anaknya menunggu di depan gerbang pemakaman. Anak lelakinya yang nomor tiga itu hanya menatapnya dengan wajah muram. Dia hanya memayungi Afrizal dengan payung hitam. Lelaki yang mengenakan jaket jeans navy itu tetap bungkam walau Afrizal bertanya berkali-kali.“Mama meninggal seminggu yang lalu. Kami meminta izin agar Papa mendapat keringanan ikut pemakaman. Tap
“Betul, Pak Afrizal salah satu pasien paling tua disini.” Lestari, salah satu perawat di Rumah Sakit Jiwa menatap Afrizal yang duduk di kursi roda. “Kasihan sih, walau badannya masih sehat, tapi pikirannya sudah terganggu. Ya wajar, seusia beliau ini biasanya sudah pikun. Apalagi Pak Afrizal memang mengalami gangguan jiwa sejak beberapa tahun belakangan.”“Pak Afrizal ini yang dulu sempat membuat heboh itu bukan, Kak?” Rima berbisik pelan. Dia sedang magang disana. Mahasiswa semester akhir jurusan psikologi itu sekaligus sedang melakukan penelitian untuk mengerjakan tugas akhirnya.“Kok kamu tahu, Dek?” Lestari menoleh pada Rima. Dia berdiri sejenak untuk membetulkan selimut di pangkuan Afrizal. Mereka sedang tugas jaga. Pagi ini, mereka mengawasi Afrizal yang sedang berjemur sinar matahari pagi di taman rumah sakit.“Berita itu ‘kan sudah lima belas tahun yang lalu? Berarti kamu masih sekitar umur tujuh tahunan ‘kan?" Gadis berusia dua puluh empat tahun itu kembali bertanya. Dia suda
“Dua tahun kita bersama, kenapa Mas baru komplain sekarang?” Ralin balas berteriak. Dia tidak terima dituduh menularkan penyakit kelamin. Selama ini dia rutin memeriksakan diri sehingga organ reproduksinya selalu terjaga dan sehat.“Lalu, kamu pikir dari siapa aku tertular? Kamu sudah jelas wanita simpanan! Entah sudah berapa lelaki yang menidurimu.”“Mas pikir aku tidak tahu kalau Mas sering jajan, hah?! Tidak seperti Afrizal dan Aditya yang cukup memiliki satu simpanan, Mas masih sering mencari di luaran!”“Heh! Kamu kira kamu masih secantik apa, Ralin? Kamu masih muda dan kencang saat bersama mereka. Wajar kalau mereka puas dengan pelayananmu yang prima. Masih untung aku mau menampungmu. Jadi, jangan banyak omong sok-sokan berani menentangku.”Ralin terdiam. Dia muak melihat lelaki di hadapannya. Keluar dari penjara, dia sempat terlunta-lunta. Hingga akhirnya, dia bertemu dengan salah satu pejabat yang sedang melakukan aksi sosial turun ke lapang, membantu masyarakat yang kekuranga
Fadhli juga lah yang pada akhirnya mampu meyakinkan Rayna kalau tidak semua pernikahan akan berakhir menakutkan. Lelaki itu dengan sabar menemani setiap sesi konsultasi dengan psikolog. Dia juga menjadi penengah pembicaraan hati ke hati antara Rayna dengan kedua orangtuanya.Satu yang menarik perhatian Fadhli, Damar dan Rayna terlihat sangat bersungguh-sungguh dalam menjalankan tanggung jawabnya. Rayna sepenuh hati mempersembahkan kemampuan terbaik di perusahaan, Damar berjuang keras memajukan usahanya.Kerja keras, Jihan dan Aditya berhasil menanamkan hal itu pada kedua anaknya. Bukan hanya lewat ucapan, mereka mencontohkannya melalui tindakan.“Mencuatnya berita ini, mau tidak mau melemparkan ingatan kita pada kasus menghebohkan lima belas tahun yang lalu.”Aditya, Jihan dan Damar serentak menoleh pada televisi. Mereka sempat berpandangan sejenak saat kilas balik foto-foto masa lalu berseliweran memenuhi layar kaca. Tidak lama, wajah Iskandar, pengacara yang dulu membantu proses kas