“Apa salah satu alasan Jihan kembali ke dunia modeling adalah karena merasa kalah saing dengan Ralin?”
“Ralin?” Aditya menautkan alis dan secara refleks mengulangi nama yang disebutkan oleh awak media barusan. Dia menoleh cepat pada Jihan yang juga sedang menatap dirinya dengan sorot mata yang sulit diartikan. “Apa Anda mengenal Ralin?” Sontak para awak media langsung fokus pada Aditya. Lelaki itu menarik napas panjang. Rahangnya terkatup rapat, dia tidak menyangka pertanyaan itu akan muncul malam ini. “Saya merasa inilah saatnya saya kembali ke dunia yang sudah membesarkan nama saya.” Jihan menjawab tenang saat keadaan mulai tidak terkendali. “Kedua anak saya sudah mandiri. Rayna sepuluh tahun dan adiknya, Damar, sebentar lagi genap berusia tujuh tahun.” Jihan tersenyum lebar. Tangannya bergerak menggandeng tangan Aditya. “Saya merindukan masa-masa saat menjadi model. Masa-masa penuh perjuangan dulu sebelum saya dipersunting oleh lelaki tampan di samping saya ini.” Jihan dan Aditya bertatapan. Mereka tersenyum bersamaan. Sejak dulu, Jihan memang terkenal pandai menguasai keadaan dan mengendalikan diri. “Jadi, karena anak-anak sudah mandiri dan mulai sibuk dengan kegiatan masing-masing seperti sekolah, les dan kadang ada acara dengan teman-temannya, saya terpikir kembali lagi. Sejujurnya, saya merindukan lampu sorot dan euforia panggung yang dulu saya geluti.” “Apakah yang dikatakan Ralin pada Anda tadi benar? Benarkah Ralin adalah selingkuhan suami Anda?” Jihan menarik napas panjang. Dia mengeratkan pegangan tangan. Wanita itu dapat merasakan tubuh suaminya menegang saat pertanyaan itu kembali dilontarkan. Dengan menekan perasaannya sendiri, Jihan kembali tersenyum lebar. “Tentu saja kami mengenal Ralin. Sebagai model yang sedang naik daun, perusahaan kami pernah beberapa kali menggunakan jasanya untuk keperluan endorsement.” Aditya menjawab cepat. “Tapi ….” “Saya hanya menjawab pertanyaan terkait penampilan saya malam ini ya, Teman-teman. Maaf, jika sudah tidak ada pertanyaan lagi, saya rasa cukup ya?” Jihan tersenyum sambil mulai berjalan.” “Tidak mungkin ada asap kalau tidak ada api, apakah Anda tidak penasaran kenapa mendadak model cantik itu mengaku menjadi selingkuhan suami Anda?” Awak media terus merongrong mereka. Beberapa panitia dan keamanan yang bertugas mengawal Jihan langsung berusaha keras membuka jalan untuk menembus wartawan yang berkerumun. “Apakah benar desas-desus yang beredar selama ini kalau ternyata Aditya Buana adalah seorang pemain?” “Jihan, sebentar saja, Jihan!” Senyum Jihan terus mengembang sambil berjalan. Dia menulikan telinga dari setiap pertanyaan. Saat akan memasuki mobil, Jihan terpaku. Mendadak, para wartawan yang tadi mengejarnya berlarian meninggalkan mereka. Wanita itu membalikkan badan. Di depan gerbang, Ralin berdiri menatap mereka sambil tersenyum. Jihan menoleh pada Aditya yang urung membuka pintu mobil. Suaminya itu seakan terpaku melihat Ralin menyambut kedatang wartawan dengan wajah sumringah. Lelaki itu tersentak saat mendengar pintu mobil ditutup kencang. Dia melonggarkan dasi lalu ikut masuk ke dalam mobil. Segera, mobil mewah keluaran terbaru itu berlalu. “Kami sudah berhubungan selama tiga tahun. Awalnya, Mas Aditya yang lebih dulu mendekati saya. Waktu itu, saya masih kinyis-kinyis, mahasiswi tingkat akhir yang sedang berjuang menyelesaikan tugas akhir.” Suara tawa terdengar berderai di ujung sana. “Biarkan saja, Pak!” Ucapan Jihan menghentikan gerakan tangan Pardi, supir yang sudah bekerja selama dua puluh di keluarga Aditya Buana. Lelaki itu kembali fokus menyetir setelah melirik dari kaca tengah Aditya mengangguk padanya. Dia urung mematikan radio. “Siapa sih yang bisa menolak pesona pengusaha sukses itu? Melihat rahangnya saja bisa membuat aku panas dingin.” Lagi, tawa Ralin berderai di ujung sana. “Umurku dua puluh dua tahun saat hubungan kami mulai dekat. Aku yang jujur saja saat itu membutuhkan dukungan finansial karena Bapak sedang sakit, merasa seperti mendapatkan durian runtuh.” Jihan menggeleng pelan. Dia menoleh pada Aditya yang menyandarkan kepala di kursi. Lelaki itu terlihat memijat keningnya dengan sebelah tangan. “Dia datang seperti malaikat di keluarga kami. Dia memenuhi semua kebutuhanku, kasih sayang dan juga uang. Aku terlena, semakin lama aku semakin tenggelam dalam pesona Aditya Buana ….” “Luar biasa sekali kekasihmu itu, Mas.” Jihan terkekeh pelan. Sakit? Sudah pasti. Jangan ditanya. Hati wanita mana yang tidak terluka mendengar wanita lain dengan gamblang membeberkan hubungan gelap dengan suaminya. “Bisa-bisanya Mas berhubungan dengan wanita bodoh seperti itu.” “Kalau dia pintar, dia tidak akan mau menjadi wanita simpanan." Tukas Aditya cepat. Jihan tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan dingin suaminya. Dia menatap Aditya tidak percaya. Dia memperhatikan lamat-lamat lelaki dengan rahang tegas dan bertubuh atletis itu. Jihan tidak habis pikir bisa-bisanya dia bertahan selama ini. “Apa Mas sudah punya yang baru sehingga dia mengamuk seperti itu? Mas mencampakkan dia seperti yang dulu-dulu?” Ralin terkekeh melihat Aditya mendengus. Lelaki itu mengalihkan pandangan ke luar jendela. Dia memilih memperhatikan kesibukan di luar sana. “Sebelas tahun pernikahan, hanya tahun pertama kita mengecap manisnya berumah tangga. Setelah kelahiran Rayna, Mas mulai berubah. Sepuluh tahun aku bertahan, berharap masa-masa awal saat pengantin baru dulu kembali lagi. Ternyata semua sia-sia.” “Kita bahas di rumah.” “Kenapa? Tidak usah berlagak malu lah. Toh Pak Pardi juga sudah biasa mengantar Mas setiap kali berkencan dengan wanita-wanita itu.” Pardi menahan napas mendengar namanya diseret dalam pusaran permasalahan rumah tangga majikannya. “Betapa bodohnya aku mengharapkan sesuatu yang tidak mungkin terjadi. Apa kata orang? Ah iya, bagaikan pungguk merindukan bulan. Mustahil!” Jihan berkata tenang walau hatinya menggelegak. Sepuluh tahun cukup baginya belajar menahan diri. Sabarnya seluas samudera hingga mampu menulikan telinga setiap ada kabar tentang perselingkuhan suaminya. “Sudahlah, Jihan. Toh selama ini saya tidak pernah melalaikan kewajiban. Saya juga selalu pulang ke rumah setiap hari. Sabtu minggu saya bersama kamu dan anak-anak kecuali jika ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Kita baik-baik saja selama ini. Lalu, kenapa hari ini kamu mempermasalahkannya?” “Karena wanitamu itu berbuat bodoh.” Jihan menatap Aditya yang juga sedang memperhatikannya. “Apa yang dia lakukan hari ini akan menyebabkan kekacauan. Selama ini aku bisa terima karena hanya aku yang tersakiti. Tapi, kali ini bukan hanya aku yang terluka, keluargaku juga akan terkena imbasnya.” Aditya menghembuskan napas kencang. Kepalanya pening. Tindakan Ralin benar-benar diluar dugaannya. Dia tidak menyangka gadis manis yang selama tiga tahun ini dia kencani bisa berbuat sedemikian rupa. “Bisa Mas bayangkan bagaimana perasaan kedua orangtuaku? Apa urat malunya sudah putus sehingga dia bisa dengan bangganya menceritakan tentang aib kalian?” Aditya memilih bungkam. Tengkuknya terasa berat karena memikirkan masalah ini. Jihan benar, tindakan Ralin hari ini akan menimbulkan kekacauan. “Pertanyaan ini benar-benar lucu.” Suara Ralin kembali terdengar saat hening tercipta di dalam mobil itu. “Tiga tahun bersama, hubungan kami sudah cukup jauh. Jadi, apa kami sudah "begitu"? Ya sudah belum ya.” Tawa Ralin kembali berderai. “Matikan radionya, Pak!” Aditya mengepalkan tangan. “Dengar? Memalukan!” Jihan menatap Aditya sinis. “Beruntung Rayna dan Damar sudah pulang lebih dulu tadi. Alangkah memalukannya kalau kedua anak itu sampai mendengar cerita ini.” “Sudahlah, Jihan! Saya juga pusing! Mau ditaruh dimana wajah saya di depan kenalan?” Aditya meninggikan suara karena tidak tahan dengan Jihan yang terus merepet sejak tadi. “Saya begini dari dulu. Kamu juga tahu itu. Kalau kamu tidak terima, silahkan mundur!” Hening. Aditya menyandarkan kepala dan memejamkan mata saat istrinya itu akhirnya diam. Sepanjang pernikahan mereka, baru kali ini dia berbicara dengan nada tinggi pada Jihan. Dia yang pusing memikirkan bagaimana menyelesaikan masalah ini ditambah dengan Jihan yang terus mengungkit kesalahannya membuat emosinya terpancing. Jihan menelan ludah setelah terdiam cukup lama. Wanita itu menghela napas panjang dan menghembuskannya cukup kencang hingga membuat Aditya menoleh. Jihan memejamkan mata dan menyeka ujung matanya yang basah. “Ya, aku mundur.” Aditya menegakkan badan. Tubuhnya terasa kaku seketika. Dia menatap Jihan tidak percaya. Suara lembut istrinya barusan terasa menghantam dadanya. “Aku menyerah di usia sebelas tahun pernikahan kita.”“Kita kemana, Pak?” Pagi hari, lima belas tahun lalu. Afrizal memicingkan mata saat sinar matahari terlihat menyilaukan diantara ribuan rintik hujan yang membasahi bumi. Beruntung dia sudah menyelesaikan sarapan tadi. Kalau tidak, Afrizal akan kelaparan di perjalanan karena mereka menempuh jarak yang cukup jauh.“Ini?” Afrizal menautkan alis saat melihat gerbang pemakaman yang sangat dia kenal. Keluarganya dan keluarga istrinya dimakamkan disini. Mereka sudah membeli lahan untuk tempat pemakaman keluarga. “Siapa yang meninggal?” Afrizal terengah saat petugas yang mendampinginya tetap bungkam.“Fikar?” Afrizal berteriak melihat anaknya menunggu di depan gerbang pemakaman. Anak lelakinya yang nomor tiga itu hanya menatapnya dengan wajah muram. Dia hanya memayungi Afrizal dengan payung hitam. Lelaki yang mengenakan jaket jeans navy itu tetap bungkam walau Afrizal bertanya berkali-kali.“Mama meninggal seminggu yang lalu. Kami meminta izin agar Papa mendapat keringanan ikut pemakaman. Tap
“Betul, Pak Afrizal salah satu pasien paling tua disini.” Lestari, salah satu perawat di Rumah Sakit Jiwa menatap Afrizal yang duduk di kursi roda. “Kasihan sih, walau badannya masih sehat, tapi pikirannya sudah terganggu. Ya wajar, seusia beliau ini biasanya sudah pikun. Apalagi Pak Afrizal memang mengalami gangguan jiwa sejak beberapa tahun belakangan.”“Pak Afrizal ini yang dulu sempat membuat heboh itu bukan, Kak?” Rima berbisik pelan. Dia sedang magang disana. Mahasiswa semester akhir jurusan psikologi itu sekaligus sedang melakukan penelitian untuk mengerjakan tugas akhirnya.“Kok kamu tahu, Dek?” Lestari menoleh pada Rima. Dia berdiri sejenak untuk membetulkan selimut di pangkuan Afrizal. Mereka sedang tugas jaga. Pagi ini, mereka mengawasi Afrizal yang sedang berjemur sinar matahari pagi di taman rumah sakit.“Berita itu ‘kan sudah lima belas tahun yang lalu? Berarti kamu masih sekitar umur tujuh tahunan ‘kan?" Gadis berusia dua puluh empat tahun itu kembali bertanya. Dia suda
“Dua tahun kita bersama, kenapa Mas baru komplain sekarang?” Ralin balas berteriak. Dia tidak terima dituduh menularkan penyakit kelamin. Selama ini dia rutin memeriksakan diri sehingga organ reproduksinya selalu terjaga dan sehat.“Lalu, kamu pikir dari siapa aku tertular? Kamu sudah jelas wanita simpanan! Entah sudah berapa lelaki yang menidurimu.”“Mas pikir aku tidak tahu kalau Mas sering jajan, hah?! Tidak seperti Afrizal dan Aditya yang cukup memiliki satu simpanan, Mas masih sering mencari di luaran!”“Heh! Kamu kira kamu masih secantik apa, Ralin? Kamu masih muda dan kencang saat bersama mereka. Wajar kalau mereka puas dengan pelayananmu yang prima. Masih untung aku mau menampungmu. Jadi, jangan banyak omong sok-sokan berani menentangku.”Ralin terdiam. Dia muak melihat lelaki di hadapannya. Keluar dari penjara, dia sempat terlunta-lunta. Hingga akhirnya, dia bertemu dengan salah satu pejabat yang sedang melakukan aksi sosial turun ke lapang, membantu masyarakat yang kekuranga
Fadhli juga lah yang pada akhirnya mampu meyakinkan Rayna kalau tidak semua pernikahan akan berakhir menakutkan. Lelaki itu dengan sabar menemani setiap sesi konsultasi dengan psikolog. Dia juga menjadi penengah pembicaraan hati ke hati antara Rayna dengan kedua orangtuanya.Satu yang menarik perhatian Fadhli, Damar dan Rayna terlihat sangat bersungguh-sungguh dalam menjalankan tanggung jawabnya. Rayna sepenuh hati mempersembahkan kemampuan terbaik di perusahaan, Damar berjuang keras memajukan usahanya.Kerja keras, Jihan dan Aditya berhasil menanamkan hal itu pada kedua anaknya. Bukan hanya lewat ucapan, mereka mencontohkannya melalui tindakan.“Mencuatnya berita ini, mau tidak mau melemparkan ingatan kita pada kasus menghebohkan lima belas tahun yang lalu.”Aditya, Jihan dan Damar serentak menoleh pada televisi. Mereka sempat berpandangan sejenak saat kilas balik foto-foto masa lalu berseliweran memenuhi layar kaca. Tidak lama, wajah Iskandar, pengacara yang dulu membantu proses kas
"Misteri pernikahan putra bungsu pejabat penting di negeri ini akhirnya terkuak. Kemarin, publik dihebohkan oleh unggahan foto salah satu pejabat yang menjadi tamu undangan. Setelah ditelusuri lebih jauh, beberapa influencer yang dikabarkan cukup dekat dengan Fadhli Hermawan juga mengunggah momen bahagia itu di akun kedua mereka.Yang lebih mengejutkan, Fadhli Hermawan ternyata menikah dengan Rayna Sasmaya Buana, putri dari Aditya Buana dan Jihan Qirani. Dua orang yang menghilang begitu saja dari layar kaca setelah kasus besar yang menghebohkan lima belas tahun lalu.Pernikahan dilaksanakan dengan konsep garden party dan terlihat sangat private. Menurut informasi yang berhasil kami dapat, tamu yang diundang hanya pihak keluarga, teman-teman dekat dan beberapa pejabat yang menjadi saksi pernikahan.”“Lagi?” Jihan menawarkan telur mata sapi pada Damar. Sesekali, dia melirik pada televisi yang sedang menampilkan gambar-gambar pernikahan yang didapat dari media sosial tamu undangan.“Suda
Sungguh, dia bisa melihat suaminya adalah sosok yang sangat bertanggung jawab pada keluarga.Setelah tujuh tahun berlalu, mereka mulai menata kehidupan lagi. Banyak ketinggalan yang harus Rayna dan Damar kejar. Banyak juga biaya yang mereka butuhkan agar kedua anaknya bisa mengejar ketinggalan itu.Jihan terjun langsung ke lapangan, dia tidak segan membantu mengikat sayur-sayuran sebelum diserahkan pada penadah. Model kelas atas yang dulu tangannya selalu rutin perawatan setiap bulan di salon ternama, tidak segan berkubang licak saat membantu Aditya mengangkat pupuk untuk tanaman mereka.Dia mendukung penuh saat Aditya mengatakan akan merintis usaha dibidang pertanian. Jihan mengaminkan saat Aditya ingin benar-benar meninggalkan semua hal tentang masa lalu mereka. Bahu membahu mereka menjalani semua dengan satu tujuan, kedua anaknya harus menjadi orang di masa depan. Kedua anaknya tidak boleh hidup dalam kekurangan.“Fadhli Hermawan, Aku nikahkan engkau, dan aku kawinkan engkau dengan