Share

BAB 5

last update Last Updated: 2025-03-12 12:07:09

“Mau kemana?” Aditya menautkan alis melihat Jihan yang sedang memoles wajah di depan meja rias. Lelaki itu melirik jam mewah di tangannya, hampir tepat jam empat. Setelah proses penandatanganan kontrak kerjasama dengan pelanggan baru selesai, dia memang langsung pulang.

“Mas sudah pulang?” Jihan bertanya heran. Wanita itu mengambil tas kerja suaminya dan mencium tangan Aditya.

Inilah yang Aditya suka, semarah apapun, Jihan tetap menghormatinya sebagai suami dan melayaninya dengan baik. Bahkan, setelah perdebatan mereka tadi malam yang membuat Jihan berkeras ingin bercerai, wanita itu tetap menjalankan kewajibannya saat Aditya meminta hak. Seminggu mengurus pekerjaan di luar kota membuat keinginan itu begitu kuat.

“Tumben.” Jihan tersenyum tipis. Dia kembali melanjutkan merias wajah setelah meletakkan tas kerja Aditya. Mendadak, Jihan tertawa kecil. Dia merasa geli melihat Aditya sudah di rumah sesore ini. Biasanya, lelaki itu selalu pulang di atas jam sembilan malam. Paling cepat jam delapan, itupun jarang.

Dulu, Aditya selalu pulang sebelum maghrib di tahun-tahun awal pernikahan mereka. Jihan dengan senang hati mengurus rumah dan masak untuk makan malam mereka. Dia memang tidak ingin membayar ART. sengaja mencari kesibukan setelah Aditya memintanya berhenti dari dunia modeling dan fokus mengurus rumah.

“Saya tidak suka kamu dikagumi oleh lelaki lain, Yang. Kamu mutlak milik saya. Saya adalah satu-satunya pria yang boleh menikmati keindahan raga yang kamu punya. Tidak usah khawatir, semua tanggung jawabmu akan saya ambil alih. Saya mampu membiayai Bapak dan Ibu serta ke empat adik-adik di desa.”

Jihan mengambil hijab setelah selesai merias wajah. Ucapan Aditya di bulan ketiga pernikahan mereka kembali terngiang. Walau Aditya menyatakan kesiapan menggantikan Jihan untuk membantu perekonomian keluarganya, dia tidak serta merta bisa meninggalkan kontrak yang sudah terlanjur ditandatangani sejak lama.

Dua bulan sebelum kelahiran Rayna, Jihan akhirnya resmi meninggalkan dunia modeling yang sudah membesarkan namanya. Sejak saat itu, Aditya mengambil alih tanggung jawab Jihan menyokong perekonomian keluarga sebagai tanggung jawab anak pertama dari lima bersaudara.

Semua berubah setelah Rayna lahir. Jihan yang sibuk dengan pengalaman pertama sebagai Ibu baru sedikit abai pada Aditya. Sejak saat itu, hubungan mereka menjadi renggang. Lelaki itu tetap memenuhi semua kewajiban. Nafkah lahir Jihan tak pernah kekurangan, nafkah batin Aditya tak pernah melalaikan.

Namun, kehangatan cinta telah menguap. Diantara mereka, seakan hanya menjalani kewajiban dan peran sebagai suami istri saja. Hambar. Kata yang tepat untuk mendeskripsikan pernikahan mereka sepuluh tahun ini. Apalagi sejak teror demi teror datang dari wanita-wanita suaminya di luar sana, membuat Jihan membatukan hati untuk melindungi kewarasan diri.

“Mau kemana?” Aditya bertanya sekali lagi karena Jihan tak kunjung menjawab sejak tadi.

“Aku ada pemotretan produk, Mas. Tidak akan lama, sebelum maghrib juga sudah di rumah lagi. Tempatnya dekat, tidak sampai dua puluh menit dari sini.” Jihan menyambar tas tangan setelah memastikan penampilannya rapi.

“Rayna menjadi salah satu perwakilan kabupaten di ajang cerdas cermat tingkat provinsi minggu depan, dia fokus persiapan. Tadi setelah pulang sekolah dan istirahat sebentar, langsung berangkat lagi untuk latihan materi dengan teman-temannya dari sekolah lain.”

Aditya mengangguk sambil mengikuti langkah Jihan. Sejujurnya, dia pulang cepat karena ada yang harus dibicarakan. Namun, sesore ini sudah di rumah mau tak mau mebangkitkan kenangan masa lalu. Dulu, dia selalu ingin cepat sampai rumah. Mendadak, kerinduan pada masa-masa pengantin baru mereka menyergap Aditya. Romantisme dimabuk cinta saat awal menapaki kehidupan berumah tangga.

“Damar masih les piano, Mas, paling sekitar sejam lagi juga selesai.”

Aditya kembali mengangguk. Denting piano terdengar dari belakang rumah. Dia memang sengaja membangun studio mini di dekat kolam saat mengetahui anak keduanya itu mempunyai ketertarikan pada dunia musik.

“Ada lagi yang Mas mau tanyakan?” Jihan berbalik dan menatap Aditya saat sudah keluar rumah. Tangannya memencet tombol sehingga mobil hijau gelap di halaman menimbulkan suara.

“Maksudmu?” Aditya menatap Jihan kebingungan.

“Aku mau berangkat, kenapa sejak tadi terus mengikutiku?”

“Ayo, saya antar.”

“Hah?” Jihan terperangah melihat Aditya sudah melangkah dan merebut kunci mobil darinya. Seingat Jihan, terakhir kali Aditya mengantarnya adalah saat melahirkan Damar tujuh tahun yang lalu. Setelah itu, dia menjadi wanita mandiri yang melakukan semuanya sendiri tanpa bantuan suami.

Lima menit keluar dari perumahan, ponsel Aditya berdering. Jihan melongok ke dashboard mobil. Bibirnya tertarik miring mengetahui siapa yang menelepon. “Pacarmu, Mas.” Dia menunjuk dengan dagunya.

Aditya menghembuskan napas kencang. Foto Ralin yang mengenakan pakaian minim memenuhi layar ponselnya. Wajah cantik gadis berusia dua puluh lima tahun itu dipenuhi senyum dengan sebelah mata mengedip manja.

Aditya mengabaikan panggilan hingga mati sendiri. Dia fokus menyetir mobil. Sejak tadi malam, dia memang mengabaikan semua panggilan dan pesan dari Ralin. Apa yang dilakukan wanita itu sudah melewati batas. Banyak pihak yang akan tersakiti akibat perbuatanya yang menurut Aditya tidak masuk akal.

“Iya, Pak?”

Aditya tersentak dari lamunan mendengar suara Jihan. Istrinya itu sedang mengangkat telepon entah dari siapa.

“Baik, saya akan siapkan buku nikah, KTP dan Kartu Keluarga. Besok saya antar ke kantor Pak Praja saja langsung sekalian konsultasi.”

Aditya menghembuskan napas kencang mendengar nama pengacara keluarga mereka disebut Jihan. Buku nikah? Kartu keluarga? Aditya menggeleng. Tangannya memegang erat kemudi sampai buku-buku jarinya memutih.

“Tadi siang Pak Praja menelepon saya.”

Ralin menoleh pada suaminya setelah menyimpan kembali ponsel. Wanita itu mengangguk pelan. Jadi itu alasan kenapa Aditya pulang cepat dari kantor hari ini.

“Kamu yakin akan menggugat cerai?”

Jihan kembali mengangguk pelan. Matanya menatap kendaraan yang berlalu lalang di jalan. Dia lelah dan ingin menyerah. Selama ini, Jihan bertahan demi anak dan keluarganya. Namun, semua sia-sia. Sepuluh tahun pengorbanannya tak ada guna. Percuma. Kekacauan yang dilakukan Ralin semalam akan berdampak besar pada mereka.

Jihan bahkan tidak berani menonton televisi dan membuka media sosial miliknya. Dia juga hanya sesekali melihat ponsel untuk urusan pekerjaan. Dia belum siap mendengar berita panas yang beredar diluar sana.

“Kamu siap menjadi janda? Menyandang status yang bagi sebagian besar orang adalah aib?”

Jihan tersenyum mendengar ucapan Aditya. Aib? Ah, stigma janda di masyarakat memang mengerikan. Padahal, tidak ada yang dengan senang hati menyandang status itu. Entah berapa banyak pertimbangan dan pengorbanan yang sudah dilakukan hingga akhirnya mereka menyerah dan memilih menjalani hidup tanpa suami lagi.

“Kamu siap dengan status itu?”

“Kenapa tidak?”

Aditya menggeleng pelan. Dia terdiam cukup lama untuk memilih kata. “Saya minta maaf, Jihan. Kalau kamu melakukan ini untuk menggertak, sudahilah saja. Saya akan membereskan kekacauan yang dibuat oleh Ralin. Kamu tenang saja.”

Jihan tertawa getir mendengar ucapan suaminya yang seolah menggampangkan semua. “Aku serius, Mas. Aku menyerah. Aku tidak sedang berpura-pura lari agar kau kejar. Aku benar-benar ingin menyudahi semua.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Putu Apriwati
mbak kok lama lanjut cerita nya?
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Kekasih Suamiku   BAB 115

    Lima tahun bercerai, mereka seperti pasangan pengantin baru saat bersama lagi. Dirga bahkan memboyong Nia untuk menikmati bulan madu. Safiya yang saat itu sudah kuliah bisa mengerti dan memberikan waktu sebanyak-banyaknya untuk orangtuanya agar bisa menumbuhkan cinta itu kembali.“Lucu mereka itu.” Aditya terkekeh. “Kemana-mana selalu berdua. Lengkeeeeeet sekali. Kalau saja Dirga ke kantor boleh membawa istri, pasti dia sudah memboyong serta si Nia.”“Mereka pernah berpisah, Mas. Pasti Nia dan Dirga mengerti sekali bagaimana rasanya kehilangan hingga sekarang mereka menjadi lebih menghargai apa yang mereka miliki. Selalu ada hikmah yang bisa diambil dari setiap kejadian.”Aditya mengangguk setuju. Dia menoleh pada Jihan. Wajah istrinya terlihat cantik di antara jingga senja yang membungkus desa. Perlahan, lelaki itu mengambil tangan Jihan. Sekejap, mereka bertatapan lama dan dalam. Mendadak, rasa haru memenuhi keduanya. Perasaan yang hanya bisa dirasakan oleh Jihan dan Aditya.“Terima

  • Kekasih Suamiku   BAB 114

    Jihan tersenyum lebar melihat Aditya yang baru saja kembali ke rumah. Lelaki itu tampak masih gagah walau usianya sudah melewati kepala lima. Topi koboi di kepala, baju kaos yang membentuk badan dan sepatu boots sebetis untuk menghindari licak tanah membuat suaminya terlihat sangat manly."Tehnya, Mas." Jihan meletakkan dua gelas teh hangat dan sepiring ubi goreng. Aroma bunga melati segar yang mengambang di gelas memenuhi penciuman. "Sudah selesai?" Jihan kembali bertanya sambil memperhatikan Aditya yang sedang melepaskan sepatu boots."Alhamdulillah, sudah." Aditya tersenyum lebar. Dia meletakkan topi koboinya di meja. Beberapa helai uban di rambut panjang Aditya yang diikat ekor kuda membuatnya terlihat semakin menawan. Dia memang tidak pernah memotong pendek lagi rambutnya. Aditya seolah ingin menghilangkan dirinya yang dulu. Dia yang selalu tampil rapi dan klimis dengan setelan jas kini tergantikan dengan Aditya yang tampil sedikit urakan.“Cuma dua truk yang berangkat tadi. Truk

  • Kekasih Suamiku   BAB 113

    “Kita kemana, Pak?” Pagi hari, lima belas tahun lalu. Afrizal memicingkan mata saat sinar matahari terlihat menyilaukan diantara ribuan rintik hujan yang membasahi bumi. Beruntung dia sudah menyelesaikan sarapan tadi. Kalau tidak, Afrizal akan kelaparan di perjalanan karena mereka menempuh jarak yang cukup jauh.“Ini?” Afrizal menautkan alis saat melihat gerbang pemakaman yang sangat dia kenal. Keluarganya dan keluarga istrinya dimakamkan disini. Mereka sudah membeli lahan untuk tempat pemakaman keluarga. “Siapa yang meninggal?” Afrizal terengah saat petugas yang mendampinginya tetap bungkam.“Fikar?” Afrizal berteriak melihat anaknya menunggu di depan gerbang pemakaman. Anak lelakinya yang nomor tiga itu hanya menatapnya dengan wajah muram. Dia hanya memayungi Afrizal dengan payung hitam. Lelaki yang mengenakan jaket jeans navy itu tetap bungkam walau Afrizal bertanya berkali-kali.“Mama meninggal seminggu yang lalu. Kami meminta izin agar Papa mendapat keringanan ikut pemakaman. Tap

  • Kekasih Suamiku   BAB 112

    “Betul, Pak Afrizal salah satu pasien paling tua disini.” Lestari, salah satu perawat di Rumah Sakit Jiwa menatap Afrizal yang duduk di kursi roda. “Kasihan sih, walau badannya masih sehat, tapi pikirannya sudah terganggu. Ya wajar, seusia beliau ini biasanya sudah pikun. Apalagi Pak Afrizal memang mengalami gangguan jiwa sejak beberapa tahun belakangan.”“Pak Afrizal ini yang dulu sempat membuat heboh itu bukan, Kak?” Rima berbisik pelan. Dia sedang magang disana. Mahasiswa semester akhir jurusan psikologi itu sekaligus sedang melakukan penelitian untuk mengerjakan tugas akhirnya.“Kok kamu tahu, Dek?” Lestari menoleh pada Rima. Dia berdiri sejenak untuk membetulkan selimut di pangkuan Afrizal. Mereka sedang tugas jaga. Pagi ini, mereka mengawasi Afrizal yang sedang berjemur sinar matahari pagi di taman rumah sakit.“Berita itu ‘kan sudah lima belas tahun yang lalu? Berarti kamu masih sekitar umur tujuh tahunan ‘kan?" Gadis berusia dua puluh empat tahun itu kembali bertanya. Dia suda

  • Kekasih Suamiku   BAB 111

    “Dua tahun kita bersama, kenapa Mas baru komplain sekarang?” Ralin balas berteriak. Dia tidak terima dituduh menularkan penyakit kelamin. Selama ini dia rutin memeriksakan diri sehingga organ reproduksinya selalu terjaga dan sehat.“Lalu, kamu pikir dari siapa aku tertular? Kamu sudah jelas wanita simpanan! Entah sudah berapa lelaki yang menidurimu.”“Mas pikir aku tidak tahu kalau Mas sering jajan, hah?! Tidak seperti Afrizal dan Aditya yang cukup memiliki satu simpanan, Mas masih sering mencari di luaran!”“Heh! Kamu kira kamu masih secantik apa, Ralin? Kamu masih muda dan kencang saat bersama mereka. Wajar kalau mereka puas dengan pelayananmu yang prima. Masih untung aku mau menampungmu. Jadi, jangan banyak omong sok-sokan berani menentangku.”Ralin terdiam. Dia muak melihat lelaki di hadapannya. Keluar dari penjara, dia sempat terlunta-lunta. Hingga akhirnya, dia bertemu dengan salah satu pejabat yang sedang melakukan aksi sosial turun ke lapang, membantu masyarakat yang kekuranga

  • Kekasih Suamiku   BBA 110

    Fadhli juga lah yang pada akhirnya mampu meyakinkan Rayna kalau tidak semua pernikahan akan berakhir menakutkan. Lelaki itu dengan sabar menemani setiap sesi konsultasi dengan psikolog. Dia juga menjadi penengah pembicaraan hati ke hati antara Rayna dengan kedua orangtuanya.Satu yang menarik perhatian Fadhli, Damar dan Rayna terlihat sangat bersungguh-sungguh dalam menjalankan tanggung jawabnya. Rayna sepenuh hati mempersembahkan kemampuan terbaik di perusahaan, Damar berjuang keras memajukan usahanya.Kerja keras, Jihan dan Aditya berhasil menanamkan hal itu pada kedua anaknya. Bukan hanya lewat ucapan, mereka mencontohkannya melalui tindakan.“Mencuatnya berita ini, mau tidak mau melemparkan ingatan kita pada kasus menghebohkan lima belas tahun yang lalu.”Aditya, Jihan dan Damar serentak menoleh pada televisi. Mereka sempat berpandangan sejenak saat kilas balik foto-foto masa lalu berseliweran memenuhi layar kaca. Tidak lama, wajah Iskandar, pengacara yang dulu membantu proses kas

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status