Tubuh Binar ditarik di sudut toko, wanita itu terus meronta, mencakar lengan yang menarik tubuhnya. Aiman menarik tubuh Binar masuk ke ruangan yang tampak sepi juga ... temaram. Tampak seperti gudang toko pakaian. Begitu banyak pakaian yang menumpuk di sekitarnya.
"Diam!" Aiman berujar dingin sambil masih membekap tubuh Binar. Kini mereka telah berhadapan.Binar membeku sekaligus melotot, kala mengetahui Aiman-lah yang menariknya ke tempat sepi itu. Hawa dingin langsung memanjat naik ke tengkuk Binar. Takut, dengan tatapan intimadasi yang diberikan Aiman. Jujur saja, Aiman sekarang sangat jauh berbeda di mata Binar dengan Aiman yang menolongnya malam itu. Aiman malam itu begitu nyaman Binar rasakan ketika dekat dengannya, tidak seperti sekarang, mencekam!"Aku ingin bertanya sesuatu." Tatapan itu, begitu kelam."A-apa ...." Binar langsung menunduk. Tak berani menatap wajah Aiman.Aiman menarik dua langkah sedikit menjauh dari Binar.Aiman tersentak mendengar suara Syeira dari arah tangga. Segera dia menoleh ke arah tersebut. Terlihat wanita yang mengenakan piyama itu sedang memegang teko, ingin mengambil air minum. Alis Syeira bertaut melihat Aiman yang berdiri di depan pintu kamar Binar. Jujur, hatinya mulai tak enak. Teringat dengan ucapan ibunya waktu itu. "Mas." Syeira memanggil suaminya lagi. Dia mengayunkan kaki, mendekati pria yang masih mengenakan jas kantornya itu. "Mas ngapain di depan pin---""Aku hanya lewat. Dan seperti mendengar suara tangisan di dalam sana." Aiman menyela perkataan Syeira. Beralibi sambil mengayunkan kaki menjauh dari kamar Binar. "Oh yha?" Syeira hendak mengetuk pintu kamar Binar, khawatir wanita yang sedang hamil itu kenapa-napa. Namun, Aiman segera menahan lengan istrinya. "Tidak usah ganggu dia. Siapa tau saja, dia sedang mengingat anggota keluarganya. Biarkan dia sendiri dulu." Alasan Aiman memang sangat masuk akal. Tanpa sadar, pria ya
Binar yang sedang bersimpuh terisak-isak sambil menutup wajahnya, seketika mendongak kala mendengar bunyi tamparan di ambang ruang perpustakaan itu. Sementara Aiman membeku, sesaat setelah tamparan kasar tersebut mendarat di rahang tegasnya. Rasa panas yang menjalar di pipi pria itu tak mengalahkan rasa ketakutan di hatinya. "Ma-ma ...." Mata Aiman mendelik ketakutan melihat wanita yang telah melahirkannya itu menatapnya penuh kebencian, amarah, juga kekecewaan. "Sejak kapan kamu jadi pria tak berperasaan seperti itu, Aiman? Hah!" Wanita yang bernama Ambarawati itu memukul kembali putranya. Mendaratkan pukulan di lengan juga di dada. Ambar sudah sampai ke rumah itu sejak melihat Aiman menyeret Binar ke ruang perpustakaan. Ambar menguping pembicaraan mereka sejak tadi. Dan bagai dihantam godam hati wanita itu, mendengar putranya yang sangat dia banggakan tak lebihnya seorang bajingan berkelas. Dia telah merenggut kehormatan seorang gadis, sampai mem
Aiman segera membopong tubuh ibunya menuju ke kamar tamu, dengan Binar yang mengekor dengan raut cemas. "Menjauh dari ibuku! Semua ini gara-gara kamu!" sentak Aiman kala tahu Binar mengikuti di belakang. Menurut Aiman, semua kejadian di hari itu kesalahan Binar. Seketika Aiman merasa muak dan benci melihat tampang lugu Binar. Aiman kembali melanjutkan langkah setelah membentak Binar. Meninggalkan wanita itu dengan perasaan yang hancur. Sekuat apa pun Binar menahan air matanya agar tak jatuh, tetapi biar bagaimanapun Binar hanya wanita lemah dan rapuh. Hanya air mata yang setia menemani dia di kala hatinya tersakiti. "Maaf." Hanya itu yang mampu disuarakan Binar. Memang benar, semua kejadian itu gara-gara dirinya. Seharusnya Binar segera pergi dari rumah itu sejak kemarin. Sekarang, semuanya telah terlambat. Sebab Ambar telah mengetahui bahwa di rahim Binar telah tumbuh cucu yang sedang dia nanti-nantikan beberapa tahun ini. Pasti Ambar ti
Wanita yang mengenakan blouse bertabur bunga pink itu, terlihat semringah kala melihat adik ipar berdiri di depan teras. Syeira mengambil beberapa paper bang, oleh-oleh yang dibelinya hari ini untuk Binar dan suaminya. Dengan langkah santai, Syeira menapaki lantai teras. "Sejak kapan datangnya, Fan?" tanya Syeira tersenyum manis. Namun, Affandi hanya menatap wanita itu datar. Dia menarik napas dalam, tahu sebentar lagi senyum manis di wajah kakak iparnya itu akan lenyap. "Kamu nemuin siapa?" Pandangan Syeira terlempar ke mobil suaminya yang ada di garasi. "Oh iya, Mas Aiman, yah?" tebak Syeira, "tumben Mas Aiman jam segini udah pulang."Affandi mengembuskan napas panjang melihat alis bertaut milik Syeira. Lantas, dia mendekati kakak iparnya tersebut. "Apa pun yang terjadi di dalam, mohon kuatkan hatimu, Mbak," ucap Affandi pelan. Lantas, Affandi pun pergi begitu saja. Meninggalkan tanda tanya besar di benak Syeira. Walaupun dokte
Ambar mondar-mandir di luar ruangan rawat tempat Binar sedang diperiksa. Tumit sepatunya yang sedikit tinggi, mengetuk-ngetuk lantai putih bersih. Aiman menatap sepatu ibunya yang ke sana kemari itu dengan kepala pening, karena ibunya tak berhenti mengomel sebab dia sudah membentak Binar hingga membuat wanita itu pingsan. "Pokoknya, kalau sampai terjadi apa-apa pada cucuku, Mama tidak akan pernah memafkanmu, Aiman!" ancam Ambar. "Ibu hamil itu mentalnya lemah dengan hal-hal di sekitar. Mereka gampang drop dengan bentakkan atau sekedar tatapan sinis. Mereka sangat sensitif dan hal itu akan membuat kondisi mereka menurun. Kemungkinan besar, janin juga ikut terpengaruh dengan hal tersebut." Kembali wanita itu bermondar-mandir sambil mengomel. Tak sedikit pun merasa lelah.Justru, Aiman yang khawatir dengan kondisi ibunya itu. Takut sang ibu kelelahan dan kambuh lagi penyakitnya. Namun, sang ibu dengan lantang mengatakan dia tak akan apa-apa selama Aiman mau menu
Sore hari menjelang magrib, Binar telah siap dengan kebaya putih tulang dan riasan tipis di parasnya yang ayu. Tak perlu repot-repot dan untuk mendandani wanita itu, karena pada dasarnya dia sudah memang cantik. Para perias hanya menyamarkan saja wajah sayu Binar, dan meminta wanita itu agar berhenti menangis, sebab hari ini adalah hari istimewanya. Andai, dia menikah dengan pria yang sangat dicintainya dan begitu pula perasaan pria itu padanya. Pasti akan sangat bahagia hati Binar. Namun sayangnya, Binar dinikahi hanya karena jabang bayi yang sedang dikandungnya itu. Binar tak lebih seumpama barang yang dibeli hanya untuk memberikan cucu pada majikannya, karena sang majikan tak sengaja telah menumpahkan benih di rahimnya. Lalu setelah itu, entahlah bagaimana dengan nasib Binar selanjutnya? Apakah barang itu akan dibuang setelah diambil keuntungan darinya, atau akan terus diperlakukan sebagai lap kaki. Binar yang malang. Jujur saja, dia tak mau menikah.
Melihat Binar yang terusan diam di tempat sambil meremas jemari gugup, Ambar memegang lengan Binar, menuntunnya menuju ke kamar. "Sudah sana, kamu juga istirahat. Pasti capek 'kan?" Entah Ambar berpura-pura tidak mengerti atau memang tidak paham, jika Binar takut sekamar dengan putranya itu yang setiap kali melihat Binar seolah serigala yang siap mencabik-cabik mangsa. "Selamat malam." Ambar berucap ketika Binar sudah sampai di ambang pintu, tidak lupa mertua baru Binar itu membantu menutup pintu kamar sang pengantin. Ketika pintu itu tertutup sempurna, tubuh Binar menegang dengan mata membulat sempurna melihat Aiman yang berdiri dengan tatapan nanar di balik pintu. Menatap Binar dari atas hingga bawah. "Rencanamu sudah berhasil?" Aiman melipat tangan di dada dengan tatapan mencemooh. Alis Binar bertaut, tak paham apa yang diucapkan pria yang telah sah menjadi suaminya itu, walaupun hanya pernikahan siri. "Kau sudah me
Aiman mengeraskan rahang ketika cairan asam berbau menyengat itu tumpah ke dadanya. Sementara Binar melotot dengan wajah yang kian memucat. Tangan wanita itu bergetar, hendak membersihkan kemeja hitam Aiman. Namun, segera Aiman menahan kedua lengan lembut itu. Binar mendongak dengan tatapan ketakutan. Bibirnya bergetar. "Ma-maaf ...," ucapnya lirih. Rasa takut membumbung tinggi di dada Binar, hingga membuat pernapasan wanita itu terasa sesak. Akhirnya, Binar merasa kepalanya pening disusul dengan pandangannya yang memburam. Binar kehilangan kesadaran. Rasa takut, bisa saja melenyapkan nyawa wanita itu jika dia tetap memeliharanya. "Astaga ...." Aiman berdecak, pusing bagaimana dia harus mengurusi Binar yang sudah terkulai tak sadarkan diri. Sementara dia sendiri penuh bau muntahan. Terpaksa, Aiman meletakkan tubuh Binar, menyandarkan tubuh itu pada dinding kamar mandi. Lantas, Aiman membuka kemeja juga kaus oblong yang sudah bas