Share

Bab 9: Ingin Pergi

Sontak saja baik Binar maupun Aiman sama-sama berubah pucat pasi. Aiman membeku, jantungnya berdentum keras dengan tatapan menghujam pada Binar. Sementara mata bulat Binar langsung berkaca-kaca, bibirnya bergetar. Dia mencengkeram bahu kursi dengan dada yang naik turun dengan berat.

Bayangan memori kehangatan di malam penuh badai yang dingin itu terlintas di pelupuk mata keduanya, seolah-olah sedang menonton tayangan bioskop. Binar beringsut mundur dengan tungkai yang terasa lemas. Pandangannya pun tiba-tiba mengabur.

"Binar!" Syeira panik melihat Binar pingsan.

Langsung saja dia menepuk-nepuk pipi wanita yang telah terbaring di lantai itu. Sementara Aiman masih berusaha mengendalikan dirinya sendiri. Rasa syok melihat wanita yang pernah menghabiskan malam berdua dengannya itu hadir di depan mata.

"Mas!" seru Syeira membuat Aiman terlonjak kaget. "Ayo, tolong angkat dia, bawa ke kamar!"

"A-apa?" Mata Aiman mengerjap beberapa kali. Dia menatap Syeira dan Binar saling bergantian. Rasa takut di hatinya makin menjadi, takut Syeira mengendus kelakuannya waktu itu.

"Angkat dia bawa ke kamarnya, Mas!" Syeira mengulang ucapannya. Dia menarik lengan kekar Aiman yang terbungkus jas kantor, mendekati Binar yang terbaring di lantai keramik.

"I-iya." Berusaha Aiman memperbaiki degup jantungnya yang menggila. Biar bagaimanapun, dia tak ingin Syeira sampai mencurigai dirinya. Aiman tak sanggup membuat hati Syeira terluka.

Telapak tangan Aiman bergetar halus saat mengangkat tubuh Binar ke pangkuannya. Aroma tubuh Binar yang menguar, menggelitik indra penciumannya, dan itu terasa ... memabukan. Aiman segera menepis memori-memori panas yang mulai bermunculan lagi.

"Rebahkan dia di sini, Mas." Syeira menyusun dua bantal.

Aiman meletakkan tubuh lemah Binar di atas ranjang, untuk sesaat dia terpaku menatap paras ayu itu dalam jarak yang begitu dekat. Wajah ayu itu tampak kuyu, jauh berbeda dengan yang ditemuinya di malam itu.

"Ini lho, Mas, ART baru yang aku bicarakan tadi pagi. Namanya Binar. Dia terlunta-lunta di jalanan akibat kehamilannya itu ...." Syeira mencari-cari minyak kayu putih, tidak ditemukan di dalam kamar tersebut, dia mengayunkan kaki ke luar.

Aiman kembali menatap wajah Binar, begitu lekat.

'Jadi, namanya Binar? Dan dia sedang hamil? Apakah itu ... anakku?' batin Aiman terasa sesak. Jantungnya seakan diremas kuat-kuat. Pikirannya mendadak tumpul, apa yang harus dia lakukan agar bisa terlepas dari kekhilafan di malam itu. Tangan pria itu terulur begitu saja, sedikit gemeter, hendak meraih wajah berparas ayu itu.

Ketukan sepatu Syeira di lantai keramik, terdengar mendekat. Buru-buru Aiman memperbaiki posisi berdirinya, lalu sedikit menjauh dari ranjang Binar.

"Mas, kamu masih di sini? Katanya tadi buru-buru mau ke kantor." Syeira melangkah mendekati ranjang. "Udah, kamu pergi aja ke kantornya. Biar aku yang urus dia."

Aiman meraih lengan Syeira, membawanya sedikit menjauh dari ranjang Binar.

"Buat apa kamu bawa wanita itu kemari?"

"Maksud Mas Aiman apa? Aku hanya menolong---"

"Bagaimana kalau dia bukan orang baik-baik?"

Syeira tertawa singkat. "Sejak kapan kamu suka negatif thinking sama orang, Mas?" tanyanya.

Aiman hanya terdiam, tak tahu harus menjawab apa. Dikarenakan ingin menyembunyikan kejadian di malam itu, Aiman mencoba memprovokasi Syeira agar berprasangka buruk pada Binar.

"Sudahlah, mending Mas ke kantor aja. Lagi pula ... wanita itu terlihat takut pada Mas."

Mendengar hal itu, Aiman sontak terhenyak. Apa mungkin ... Syeira tahu kejadian itu. Pupil Aiman bergerak-gerak menatap wajah Syeira.

"Apa Mas liat tadi, saat melihat Mas, Binar seperti ketakutan begitu. Mungkin saja ... dia hamil karena diperkosa ...."

"Uhuk!" Aiman tersedak ludahnya sendiri. Bulir-bulir bening mulai mencuat di sekitar pelipisnya.

"... dan hal itu membuatnya takut pada Mas. Mungkin saja dia trauma untuk melihat laki-laki." Syeira melanjutkan praduganya. Dia berjalan kembali ke ranjang Binar. Mengusap wajah yang tampak lemah itu. "Apa Mas nggak kasian, kalau misalnya kita ngusir dia dari sini? Ke mana dia akan pergi? Dia pasti akan terlunta-lunta lagi, sebab keluarganya sudah mengusir dia. Kehamilannya ini sudah membuat ayahnya meninggal."

Aiman mengepalkan tangannya yang berada di balik punggung dengan erat. Lututnya serasa dipukul palu godam, hampir saja dia terjungkal mendengar kebenaran itu. Jadi, yang Syeira ceritakan tadi pagi adalah kisah Binar, wanita yang pernah dia tiduri. Miris. Aiman benar-benar telah menjadi lelaki bajingan di mata wanita yang pernah dia selamatkan dari pemangsa di malam itu.

"Aku pergi dulu." Aiman berucap lirih, bahkan hampir tak didengar oleh Syeira yang masih sibuk mengolesi Binar dengan minyak kayu putih.

**

Aiman melajukan mobilnya dalam kecepatan kilat, menembus jalanan yang agak padat dengan kendaraan, hendak lari dari kejadian di malam itu. Andai dia lebih kuat lagi menahan nafsu, pasti wanita itu takkan hamil, dan dia takkan menjadi lelaki pengecut seperti ini.

'Wanita itu sedang hamil muda, dia diusir dari rumahnya sebab kehamilan tersebut. Kasihan, dia terlunta-lunta di jalanan. Dokter yang memeriksa keadaannya mengatakan, jika kandungannya lemah sebab kekurangan nutrisi.'

'Dia hamil di luar nikah. Bahkan, kehamilannya itu sampai membuat ayah wanita itu meninggal. Makanya, dia diusir dari rumah dan terlunta-lunta di jalanan.'

Aiman membelokkan mobilnya ke sembarang arah, bahkan menerobos lampu merah. Seketika decitan mobil dan bunyi klakson menggelegar di jalan raya itu. Aiman tak peduli, dia tetap melajukan mobilnya, berusaha kabur dari memori panas yang terus mengejarnya.

"Awas, ada mobil, Icha!" teriak seorang ibu pada anaknya yang hendak mengambil bola di tengah jalan.

Aiman tersentak melihat depan mobilnya hampir menyosor tubuh bocah kecil itu. Segera dia membanting setir ke arah kiri dan buru-buru menginjak rem. Hampir saja dia menabrak batang pohon besar.

Napas Aiman memburu dengan tatapan kosong di depan sana selama beberapa saat, sampai beberapa warga yang melihat kejadian tadi mengetuk pintu mobilnya secara kasar, meminta penjelasan atas aksinya yang ugal-ugalan itu.

"Maaf, Pak, Bu, rem mobil saya sedikit bermasalah." Untung saja, penjelasan Aiman diterima oleh para warga dan tidak memperpanjang masalah tersebut.

Aiman kembali termenung, sampai ponselnya berdering. Panggilan dari kantor.

"Pak, Anda di mana sekarang? Rapat sudah sejak tadi dimulainya," ucap si sekertaris cemas.

"Saya akan segera sampai." Aiman menyahut datar, menetralkan perasaannya, lalu kembali melajukan mobilnya ke kantor.

"Tenang Aiman, bisa jadi wanita itu bukan mengandung anakmu. Jangan hancurkan cintamu dengan Syeira hanya praduga bodoh seperti itu," gumamnya dingin.

**

"Kamu baik-baik saja?" Syeira membantu Binar untuk duduk.

"Hmm." Binar menyahut singkat. Wanita berparas ayu itu baru sadar dari pingsan.

"Ini, kamu minum dulu susunya." Syeira menyodorkan segelas susu strawberry.

Pupil mata Binar bergerak-gerak selama meminum segelas susu, pikirannya terbayang-bayang wajah pria berparas kaukasoid itu. Di mana dia?

Syeira menyadari kegelisahan Binar, dia menyentuh punggung tangan wanita itu. "Kamu nyari pria tadi, yah?"

Binar diam. Tapi dalam hatinya mengangguk penuh kecemasan.

"Dia itu suamiku." Syeira menggenggam tangan Binar dengan erat, sedangkan yang digenggam berusaha menahan gejolak hatinya yang siap-siap memuntahkan tangis. "Aku tau, kamu pasti trauma yah, ngeliat seorang pria? Apa kamu ... diperkosa?" tanya Syeira hati-hati.

Binar lagi-lagi diam. Tapi matanya mulai menggenang air, sedangkan dadanya mulai naik turun dengan berat, begitu sesak.

"Tapi, kamu tenang saja, suami aku orangnya baik. Dia nggak pernah nakal sama seorang wanita. Dia selalu menghormati sesam---"

"A-aku ingin pergi dari sini!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status