Share

BAB 4

“Dania, tolong antarkan ini ke meja nomor tujuh ya,” seru Rani sembari meletakkan secangkir kopi hasil racikannya.

Dengan cepat namun tak tergesa, Dania mengambil pesanan itu. Kemudian bergegas mengantarkannya ke pelanggan. Matanya bergerak mencari nomor meja tujuh. Dengan segera ia melangkah setelah kedua netranya menangkap nomor meja itu.

Suasana cafe hari ini cukup ramai. Keringat yang membasahi anak rambut gadis itu tampak mengkilap terkena sinar samar matahari. “Satu cangkir kopi tubruk,” ucapnya ramah sembari meletakkan kopi yang sedari tadi berada di dalam nampan itu ke atas meja. Gadis itu sedikit membungkuk sembari tersenyum kecil sebelum berpaling.

Setelah mengantarkan pesanan, ia segera bergegas kembali membantu Rani. Rani menoleh singkat, “Sepertinya suasana hatimu hari ini sedang baik.”

Dania tampak mengambil nafas sambil berpindah dari satu tempat ke tempat lain, “Suasana hatiku setiap hari selalu baik Kak Rani.”

Di antara banyaknya pengunjung yang datang, sepasang bola mata sedari tadi memperhatikan aktivitas gadis itu. Netranya tak pernah lepas memperhatikan gadis itu mondar-mandir dari dua jam yang lalu. Namun tak jarang, ia memalingkan matanya saat pandangan mereka bertemu. Hingga ponselnya yang bergetar membuat kedua bahunya bergelik.

Raka melirik ponselnya yang berada di atas meja. Ternyata itu sebuah panggilan masuk.

Kedua alis Raka tampak berkerut, kemudian dengan cepat mengambil ponselnya itu lalu keluar dari cafe. Dania yang melihat hal tersebut, merasa sedikit penasaran melihat langkah Raka yang sedikit tergesa.

“Sudah kubilang tidak.”

“Aku tahu itu pasti hanya akal-akalannya saja,” Suara Raka terdengar berat.

“Aku tidak akan kesana.” Tegas Raka sebelum menutup telepon itu. Raka segera memegang keningnya dan memijitnya pelan.

“Ada tambahan pesanan mbak?” tanya Dania dengan buku kecil yang dipegangnya.

Pelanggan itu menggeleng, “Hanya itu mbak,”

“Baiklah, tunggu sebentar ya.” Ucapnya sambil tersenyum ramah.

“Kak Rani, es coffe satu dan milkshake dua pesanan meja nomor 21,” kata Dania tak lama setelah sampai.

“Aku akan menyiapkan milkshakenya,” lanjutnya sembari mengambil dua gelas yang tersusun rapi.

Saat berbalik, Dania kembali menangkap Raka yang masuk dengan ekspresi tampak sedikit emosi. Gadis itu pun dilanda rasa penasaran sambil melambatkan gerakannya. Netranya kini fokus melihat Raka yang duduk dengan cepat. Ia melempar ponselnya asal di atas meja sambil tertunduk menyembunyikan wajahnya.

“Dania, ada apa?” tanya Rani yang melihat gadis itu tak fokus.

Dania berbalik sambil tertawa kecil, “Eh... Tidak kak.” Ia kembali fokus, tangannya mulai mengambil bahan-bahan yang akan ia campuran.

Tak terasa, hari semakin malam. Dania memudarkan senyumnya setelah pelanggan terakhirnya keluar dari pintu cafe. Dania kembali menghela nafas, kemudian mulai mengambil alat pembersih berupa lap dan botol semprot untuk membersihkan meja.

“Biar kubantu,” ucap Raka yang sudah berdiri di samping gadis itu.

Dengan cepat, Dania menggeser tubuhnya. “Duduk saja,” gadis itu berjalan santai menuju meja. Raka ikut melangkah mengekor di belakang gadis itu. “Kemarikan. Biarkan aku membantumu,”

Dania tetap mengelap meja di depannya sesekali menyemprotkan cairan. “Tidak usah, duduk saja.”

“Aku bosan,” ucap Raka kemudian.

Dania mulai berpindah ke meja lain. “Kan sudah kubilang, jangan menungguku. Tapi kau keras kepala,” kata gadis itu sambil menaikkan kedua alisnya.

“Aku tidak ada jadwal, jadi kuhabiskan disini.” Jawab Raka.

“Biasanya kau bermusik atau tidur di rumah,” kata Dania sambil berpindah ke meja lain.

“Bosan,” jawab Raka singkat.

“Biasanya menyibukan diri atau berpura-pura sibuk,” gadis itu tersenyum geli.

Raka mengerutkan dahinya, tidak menghiraukan perkataan gadis itu. “Sok tau.”

Dania menghelai nafas. Gadis itu kemudian  sambil berkacak pinggang. “Alasan saja kau ini,” setelah itu ia kembali mengelap meja di depannya.

Raka menarik senyum kecil. Ia maju selangkah sambil menyelipkan anak rambut Dania ke belakang telinganya. “Kau tidak lelah apa? Sok kuat.”

“Aku tidak lelah,” jawab Dania sambil mempercepat gerakannya.

Raka benar-benar tampak bosan dan terus saja mengekor di belakang Dania. “Ayo berikan. Kau duduk saja atau kerjakan yang lain saja,” ucap Raka sambil berusaha mengambil kain yang dipegang Dania.

Dania memindahkan tangannya, “Tidak usah Raka. Duduk saja sambil memainkan ponselmu ya anak baik,” kata Dania layaknya seorang ibu yang memberikan perintah kepada anaknya.

Raka tampak terdiam. Entah mengapa, ia kembali menatap Dania yang sedang fokus dengan pekerjaannya. Gadis itu tampak cantik dengan anak rambut yang berantakan. Bulu matanya yang lentik begitu mencuri arah pandang netra Raka. Tak ada tatapan lelah yang nampak dari gadis di hadapannya ini.

Dania menoleh, “Hey,” panggilnya.

Raka tersadar, “Ha?” sembari mengangkat kedua alisnya.

Dania berdecak, “Aku menyuruhmu duduk bukan diam memandangiku.”

Deg

“Kau terlalu cantik untuk kuabaikan”

“Dih kepedean banget,” ucap Raka sambil memperbaiki jaketnya.

Dania memutar kedua bola matanya jengah. “Aku tahu aku cantik,” katanya membanggakan diri sendiri.

“Cantik itu diakui, bukan mengakui,” jawab Raka kemudian.

“Apa susahnya bilang iya,” canda gadis itu sembari kembali mengelap meja di depannya.

“Iya.” ucap Raka setelah beberapa detik. Hal itu membuat gerakan Dania berhenti spontan dan menoleh ke arah Raka.

“Iya. Aku akan duduk,” lanjut Raka lalu berjalan ke mejanya.

Dania tampak memanyunkan bibirnya. “Huh! Pura-pura tidak mengakui,” cibirnya kemudian lanjut mengelap meja di depannya.

“Seru juga ya lihat dua anak remaja yang sedang kasmaran,” sahut Rani tiba-tiba.

Gadis itu tampak bertopang dagu di balik meja barista sambil memperhatikan Dania dan Raka sedari tadi.

“Ada-ada aja Kak Rani,” Dania tertawa singkat sambil menggeleng-geleng.

“Eh, hampir lupa.” Rani bergegas masuk kedalam dapur dan tak lama keluar sambil membawa kotak makanan yang cukup familiar di mata Dania.

“Wih, kakak bikin bolu?” sahut Dania dengan nada gembira.

“Iya, udah yok makan dulu. Oh iya... tolong ambil es kopi di sana ya.” kata Rani sambil berjalan ke arah meja Raka.

Dania mengangguk senang dan berniat menuju meja barista namun, Raka lebih dulu berjalan mendahuluinya.

“Aku lebih dulu,” sahut Raka sedikit mengeraskan suaranya.

Gadis itu tampak tertawa melihat Raka yang sedari tadi ingin membantunya. Dania segera mempercepat pekerjaannya dan bergegas mengelap meja terakhir. Setelah itu, ia segera mencuci tangan dan berlari kecil ke tempat Rani.

Rani mulai membuka kotak makanan itu dan langsung saja aroma wangi dan renyah menusuk hidung mereka. Tak lama Raka datang membawa nampan berisi tiga gelas es kopi. “Silahkan dinikmati nona-nona,” ucap Raka sambil meletakkan satu persatu gelas itu.

“Berpengalaman nih kayaknya,” jawab Rani.

“Nggak tahu dia kesambet apa kak hari ini,” sahut Dania.

“Ayo dimakan,” seru Rani dengan wajah berseri.

“Aaa... Emang masakan kakak nggak pernah gagal ya,” puji Dania setelah lembutnya bolu itu berhasil memanjakan mulutnya.

“Benar. Daripada orang yang goreng telur ceplok kuningnya jadi hitam,” cerocos Raka sembari memasukkan sepotong bolu ke dalam mulutnya.

Dania berbalik sambil menatapnya jengah, “Nyindir?”

“Nggak,”

“Terus?”

“Apa?”

Dania menghembuskan nafas, “Nggak kenapa-kenapa.”

Rani dan Raka kemudian tertawa bersama setelah melihat Dania yang tampak kesal.

“Senang banget kayaknya,” ucap Dania yang mendengar Raka yang tertawa begitu kencang.

“Nginget Pak, awas kesambet.” lanjutnya sambil memberi tatapan jengah.

“Kalian kenapa nggak pacaran aja sih?”

Pertanyaan tiba-tiba Rani berhasil membuat  Raka berhenti tertawa.

Dania memperhatikan Rani yang tengah tersenyum menunggu jawaban darinya.

“Nggaklah Kak, Raka itu lebih dari pacar iyakan Ka?” jawab Dania dengan santai sebelum mengunyah bolu di dalam mulutnya.

“Iyalah,” jawab Raka cepat.

Dania menatap kesembarang arah, sambil memainkan jari telunjuknya.

“Raka itu seorang teman,”

“dan seorang keluarga.” lanjutnya setelah beberapa detik.

Dania meminum minumannya sebelum lanjut berbicara. “Tau nggak sih kak, Raka yang Kak Rani lihat sekarang ini jauh berbeda dengan Raka jika sudah melewati pintu cafe ini.”

Raka tampak menoleh singkat sambil memperhatikan gadis disampingnya bercerita.

“Kok bisa?” tanya Rani.

“Kalau udah keluar dari sini nih, dia-” jawab Dania sambil melempar tatapan Raka.

“dia akan menjadi orang yang dingin,” lanjut Dania sambil memeluk dirinya sendiri layaknya sedang kedinginan.

Raka menatap Dania datar sambil menyeruput kopinya.

“Alay” jawab Raka singkat.

“Kayak gini contohnya kak,” ucap Dania sambil menunjuk Raka.

Rani tampak mengangguk-angguk.

"Jangan di dengar Kak Rani,” sahut Raka.

Selang beberapa detik, pandangan Raka teralihkan oleh benda yang menempel pada jari manis Rani. Mata Raka menyipit, “Kakak sudah tunangan?” tanyanya sambil menunjuk cincin itu.

Rani secara refleks memegang jari jemarinya sambil tersipu malu. Kemudian gadis itu mengangguk.

“Mana lihat kak!” kata Dania sambil menarik tangan Rani begitu saja untuk memastikan.

“Wah... Selamat ya kak! ikut senang,” seru gadis itu kegirangan.

“Eh.. cerita dong kak” pinta Dania kemudian sambil memasang wajah memohon dan memperlihatkan deretan giginya yang rapi.

Mereka pun mengobrol cukup lama, jam dan waktu sepertinya tak menghalangi kebahagiaan gadis itu. Lagi pula, ia merasa sedikit aman karena Leo menginap di rumah Raka meskipun pikirannya tidak pernah tenang karena meninggalkan ibunya di rumah sakit.

Malam itu berlalu dengan baik. Bersantai sejenak setelah hari yang cukup melelahkan bagi Dania. Canda tawa dari kedua orang selalu ada untuknya itu cukup menghembas rasa lelah yang menggantung.

“Andai malam-malamku berikutnya bisa dipenuhi canda tawa seperti ini, pasti akan menyenangkan.” pinta gadis itu di dalam hati sambil memperhatikan lamat-lamat Rani dan Raka yang saling berbincang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status