Share

Kebahagiaan Dan Kesengsaraan

Dari kisah yang didengar oleh Alex dari Jenni. Masih terngiang-ngiang sampai di kepalanya. Sungguh besar memang kuasa Tuhan kita, dia yang telah menciptakan manusia beserta kebahagiaan, tidak hanya menciptakan itu saja melainkan ikut serta juga menciptakan kesengsaraan bagi umat manusia. 

Semua itu dia ciptakan tentunya memiliki makna yang besar di dalamnya. Bagaimana tidak. 

Bayangkan jika Tuhan hanya menciptakan kebahagiaan saja bagi manusia. Apa yang akan dikatakan manusia kepada Tuhan? Banyak kemungkinan yang bisa terjadi bukan. Salah satunya saja misalkan, manusia mungkin akan melupakan Tuhan yang telah menciptakan dia. Karena sudah merasa bahagia, tidak pernah ada masalah yang menerpa hidupnya. 

Memangnya kebahagiann itu apa saja sih?. Baiklah kita ambil saja contohnya kebahagiaan karena tidak pernah saki, kebahagiaan karena tidak pernah lapar atau tidak membutuhkan makanan, dan sebagainnya. 

Tentu hal itu akan membuat manusia merasa puas dengan apa yang ada di dalam dirinya termasuk yang dia peroleh. Maka lama kelamaan manusia akan menganggap Tuhan itu tidak ada. Karena manusia sudah mendapatkan kebahagiaan. Dan hal itu tentu saja akan membuat murka Tuhan bangkit. 

Kenapa tidak? Sebab manusia sudah melupakan Dia. Manusia akan malas untuk berdoa kepadanya. Alih-alih berdoa memanggil namanya saja mungkin mereka akan jarang. 

Oleh sebab itu manusia sebaiknya memang harus menerima kesengsaraan dalam hidup mereka juga. Karena itu akan membuat manusia mengingat Dia yang telah menciptakan manusia. 

Sehingga murka Tuhan tidak akan bangkit. Meskipun begitu, kesengsaraan ini sendiri dapat menimbulkan masalah besar. Bagaimana tidak? Manusia akan melakukan apa saja untuk memperoleh kebahagiaannya. 

Akan ada banyak peperangan, kelaparan, kematian dan banyak hal-hal yang tidak terduga lainnya. 

Beragam definisi tentang kebahagiaan . Stoa yang hidup di Yunani ratusan tahun silam, misalnya, berpendapat bahwa kebahagiaan diperoleh melalui penderitaan secara terus-menerus. Kebahagiaan kita peroleh jika kita kuat menderita. Dengan kata lain, bagi Stoa, kebahagiaan itu ada pada penderitaan. Artinya, orang harus berani menderita tetapi dalam konteks askese (menyiksa diri). Penyiksaan diri pada tingkat tertentu akan membawa orang menemukan kebahagiaan, demikian pendapat Stoa. Sementara, pemikir lain, Epicuros mengatakan hal yang sebaliknya, bahwa kebahagiaan itu adalah kenikmatan inderawi. Artinya, semua hal yang bisa menye-nangkan tubuh, boleh saja dinikmati, sebab itulah yang disebut dengan kebahagiaan. Selanjutnya pemikiran Epicuros ini berkembang hingga melahirkan istilah hedo-nisme. Dewasa ini, hedonisme identik dengan gaya hidup penuh hura-hura, pesta pora, drugs (narkoba), dan segala hal yang dapat menyenangkan tubuh. Dengan menikmati ini semua, kita menemukan kebahagiaan, kata Epicuros.

Belakangan, pemikiran Stoa (stoaisme), tidak terlalu mendapat tempat di tengah-tengah kehidu-pan karena hanya menjual penderitaan. Semakin modern kehidupan, semakin tersingkir pula pemikiran Stoa, karena banyak yang berpendapat, stoaisme lebih cocok bagi manusia-manusia jaman dulu, atau orang yang sedang bertapa. Sebaliknya pemikiran Epicuros lebih laku, karena produk di jaman yang semakin maju ini adalah produk hura-hura dan pesta pora. Maka hedonisme di era modern ini adalah konsep pikir yang sangat populer, khususnya di kalangan anak-anak muda. Belakangan, kaum tua pun ternyata banyak yang bersikap sami mawon (sama saja) dengan kaum muda dalam hal menyikapi gaya hidup serba enak seperti yang digagas oleh Epicuros ini.

Kebahagiaan Berdasarkan Alkitab

Lalu, bagaimana kebahagiaan itu menurut pemahaman Kristen? Kebahagiaan atau kesenangan menurut Alkitab, sebetulnya adalah menyangkut posisi, yaitu di mana kita di hadapan Tuhan. Sebuah ilustrasi: jika disuruh memilih, semua orang tentu ingin sehat dibanding sakit. Sebab orang pada umumnya beranggapan bahwa kebahagiaan ada pada saat kita sehat. Dengan kata lain, orang yang sedang sakit tidak mungkin merasakan kebahagiaan. Tetapi jangan lupa, ada orang yang saking sehatnya jadi gemar berbuat dosa. Sementara orang yang sakit-sakitan, karena kondisinya yang sakit-sakitan itu, dia selalu berdoa kepada Tuhan. Dalam ketidakberdayaannya, dia semakin dekat, semakin akrab dengan Tuhan di dalam doa dan perenungannya. Jadi, masalah kebahagiaan itu bukan pada kondisi sehat atau sakit, tetapi seperti apa posisi kita di hadapan Tuhan: bersama dengan Tuhan atau beroposisi dengan Tuhan?

Tetapi banyak orang Kristen sering memperlihatkan mental payah, murahan, sangat jauh dari ajaran Alkitab. Orang-orang bermental seperti ini yang juga selalu sibuk dalam mencari kebahagiaan, mengartikan keba-hagiaan itu hanya sebatas sehat. Bagi mereka, sakit itu adalah sesuatu yang terkutuk, dosa. Sedangkan kemiskinan merupakan aib, dan seterusnya. Terhormatlah mereka yang miskin di dalam kejujuran daripada kaya dengan cara yang tidak benar.

Memang adalah hal yang sangat membahagiakan kalau kita sehat dan ikut Tuhan. Hidup dalam kondisi ekonomi yang berke-limpahan (kaya), dan memuliakan Tuhan, adalah sikap yang sangat tepat. Tuhan tidak anti terhadap kekayaan atau kemiskinan, tetapi jangan mendiskreditkan orang miskin dan orang sakit sebagai orang yang tidak beriman dan berdosa. Ingat, posisi di hadapan Tuhan, itu yang paling penting dalam menilai seseorang itu berbahagia atau tidak.

Rasa bahagia juga adalah aktualisasi daripada iman itu sendiri. Kalau kita memang seorang yang beriman, hal itu harus ter-aktualisasi. Wujudnya bagaimana? Kita berjalan dalam pengharapan menuju kepada kenyataan sampai akhirnya meraih kemenangan. Kebahagiaan bukan terletak pada saat kita menerima, tetapi pada waktu kita memberi. Itulah sebabnya orang yang miskin itu belum tentu kurang merasa berbahagia dibandingkan dengan orang yang kaya.

Banyak orang kaya tidak mampu memberi dalam jumlah yang cukup, sebab dia cuma bisa berhitung saja. Sebab dalam memberikan sesuatu, dia juga menuntut penghormatan. Rasa-nya tidak salah untuk mengatakan orang semacam ini sebagai gila hormat. Dia tidak merasa puas jika tidak dihormati orang lain. Dalam rangka ingin dihormati, orang seperti ini tidak merasa rugi menghambur-hamburkan duit ke segala penjuru, membagi-bagi uang ke sana ke mari. Jika uangnya habis, sirna pula rasa kehorma-tannya. Sungguh suatu kebodo-han memang. Sebaliknya, tidak sedikit orang miskin, namun berusaha memberikan apa yang bisa diberikannya. Mungkin bukan uang atau hal-hal berupa materi yang bisa dia berikan, tetapi waktu, kesetiaan, kualitas diri, sikap bisa dipercaya, dan sebagainya. Di dalam kekristenan, bahagia dan menderita adalah paradoks yang absolut dan ada dalam kehidupan. Kebahagiaan ini kita dapatkan justru karena kita berani menyangkal diri. Tetapi menurut teori orang-orang umum, penyangkalan diri adalah sebuah penderitaan dan kehilangan. Tetapi bagi kita, menyangkal diri justru suatu kehormatan, sebab di sanalah letak kebahagiaan itu. Suatu paradoks, memang. Jadi keberhasilan memikul salib di dalam kehidupan kita oleh karena anugerah dan pertolongan Tuhan, itulah kebahagiaan kita.

Kebahagiaanlah yang membuat kita tersenyum sekali pun kita berada di dalam kesulitan yang luar biasa. Realita semacam ini yang memang banyak ditemui. Tetapi ini merupakan kemenangan iman Kristen yang paling solid dan paling kuat. Karena itu, di tengah-tengah perjalanan hidup, sebagai seorang pekerja misalnya, janganlah kita terlalu terikat kepada fenomena-fenomena kesulitan hidup. Teroboslah segala kesulitan itu, dan bertarunglah secara elegan. Jangan cengeng. Jangan melarikan diri dari pertarungan yang sedang kita alami.

Apa yang menjadi kebahagiaan anda? Mungkin ada orang yang secara spontan mengatakan: saya bahagia kalau punya banyak uang, bisa makan yang enak, atau punya pasangan yang keren. Atau mungkin ada yang berpendapat bahwa kebahagiaan dicapai dengan kedudukan dan pendidikan yang tinggi, kesehatan yang prima, dan penampilan yang OK. Setidak-tidaknya itulah gambaran yang umum dipropagandakan melalui iklan dan film-film di televisi. Benarkah kebahagiaan kita dapat dicapai dengan hal-hal tersebut di atas?

Semua orang ingin bahagia

Semua orang, baik dewasa maupun anak-anak, ingin bahagia. Kebahagiaan diartikan sebagai pemenuhan semua keinginan hati kita. Jika kita perhatikan, pemenuhan kebahagiaan itu bergeser terus, manusia cenderung menginginkan sesuatu yang ‘lebih’: ingin lebih pandai, lebih sukses, lebih baik. Semua itu disebabkan karena di dalam diri kita ada keinginan untuk mencapai kesempurnaan akhir seperti halnya seorang atlet yang terus berjuang mencapai garis finish. Nah, masalahnya apa yang dicapai setelah garis akhir itu? Memang bagi kita yang masih hidup di dunia, titik akhir itu tidak dapat kita gambarkan secara persis. Tak heran, walaupun semua orang ingin bahagia, umumnya orang tidak tahu secara persis macam kehidupan seperti apa yang dapat menghantar kita ke sana. Akibatnya tiap-tiap orang mengejar hal yang berbeda-beda untuk mencapai kebahagiaan itu.

Apakah kebahagiaan ada di dalam uang?

Banyak orang ingin mencari uang sebanyak-banyaknya agar bahagia. Namun jika kita renungkan, uang dan kekayaan merupakan sesuatu yang lebih rendah daripada manusia itu sendiri. Uang dan kekayaan bersifat sementara: dapat mudah diperoleh, tetapi juga mudah hilang. Uang bukan tujuan, karena ia hanya alat untuk mendapatkan sesuatu yang lain. Uang memang diperlukan untuk membeli kebutuhan sehari-hari yang kita perlukan, namun semua kebutuhan kita itu ada umurnya. Tidak ada yang tetap selamanya.

Selama saya tinggal di Amerika ini saya sering sekilas melihat berita para selebriti yang cerita dan fotonya terpampang di aneka majalah dan surat kabar. Mereka sangat kaya, keren, terkenal, seolah tak ada yang kurang. Tapi banyak dari mereka yang terlibat masalah kehidupan, entah perceraian, ketergantungan obat, putus asa bahkan mau bunuh diri. Dari sini kita melihat bahwa uang tidak mungkin dapat menjadi tujuan akhir kebahagiaan kita. Demikian juga dengan kesehatan, kecantikan, dan kepandaian, karena pada suatu saat semuanya itu akan berkurang atau hilang.

Apakah kebahagiaan ada di dalam kehormatan?

Kardinal Henry Newman pernah berkata bahwa kehormatan/kemasyuran merupakan hal kedua yang dikejar orang setelah kekayaan. Namun jika kita renungkan, kehormatan atau tepatnya penghormatan dari orang lain merupakan sesuatu yang berubah-ubah/ tidak tetap, dan dapat pula salah. Lagipula, kata St. Thomas Aquinas, kehormatan itu diperoleh sebagai akibat dari sesuatu yang baik yang ada pada kita, tetapi bukan yang menjadi intisari dari diri kita. Misalnya, Mother Teresa dihormati karena menerima hadiah Nobel, namun hadiah itu hanya merupakan akibat dari segala kebaikan dan perbuatan kasih yang menjadi jati dirinya. Jadi penghormatan tidak pernah menjadi lebih penting daripada kebaikan yang terkandung dalam diri kita.

Apakah kebahagiaan ada di dalam kekuasaan?

Sama seperti uang, kekuasaan hanya merupakan alat untuk mencapai sesuatu. Jadi kekuasaan juga bukan inti dari dari kebahagiaan. Lagipula kekuasaan dapat disalahgunakan untuk melakukan sesuatu yang jahat, seperti yang kita lihat pada para pemimpin yang kurang bijaksana. Maka kekuasaan bukanlah inti dari kebahagiaan itu sendiri, karena kebahagiaan haruslah merupakan sesuatu yang benar-benar baik, dan tidak dapat berubah menjadi kejahatan.

Apakah kebahagiaan ada di dalam kesenangan?

Kesenangan dalam hal ini dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu kesenangan jasmani dan kesenangan rohani. Kesenangan jasmani umumnya tidak membedakan kita dari hewan, maka sesungguhnya tidak mungkin menjadi inti kebahagiaan kita. Kedua, kesenangan jasmani juga bersifat sementara, seperti kenyang setelah makan tidak bertahan selamanya. Setelah beberapa saat, datanglah perasaan lapar kembali. Ketiga, kesenangan jasmani itu terbatas. Misalnya, sebanyak-banyaknya kita makan, tidak dapat sampai melewati batas. Padahal manusia pada dasarnya mencari sesuatu yang tidak terbatas. Keempat, tidak semua kesenangan jasmani adalah sesuatu yang baik. Misalnya makan terlalu enak ataupun berlebihan dapat menyebabkan kita menjadi kurang sehat.

Pada tingkatan rohani, kesenangan juga bukan merupakan tujuan akhir. Kesenangan hanya merupakan akibat dari tercapainya sesuatu, misalnya, rasa senang karena bercanda bersama teman atau ber-rekreasi bersama keluarga, dst. Jadi jelaslah bahwa kebahagiaan merupakan keadaan tercapainya sesuatu yang baik, daripada merupakan kesenangan yang menjadi akibat dari tercapainya hal itu. Contohnya, orang yang tulus tidak mengatakan bahwa kebahagiaannya dicapai dari kesenangan/ keuntungan yang diperoleh dari persahabatan.

Apakah kebahagiaan ada di dalam kebajikan?

Filsuf kuno (Stoa) menganggap bahwa kebahagiaan manusia ada dalam pencapaian kebajikan moral dan intelektual. Kelihatannya hal ini lebih mulia dari hal-hal di atas, namun jika kita teliti, kebajikan juga bersifat sementara -misalnya hari ini kita bisa sabar, besok tidak demikian- dan karenanya tidak sempurna. Padahal, manusia selalu mencari sesuatu yang tetap dan sempurna. Kebajikan hanya merupakan alat bagi manusia untuk mencapai tujuan yang lebih mulia, yaitu: dikasihi secara sempurna dan mengasihi dengan sempurna. Selanjutnya, pertanyaannya adalah: siapa yang dapat mengasihi kita dengan sempurna dan dapat kita kasihi dengan sempurna?

Kebahagiaan kita adalah persatuan dengan Tuhan

Saya pernah mendengar jika pasangan yang telah lama menikah, lama-kelamaan wajah dan sifatnya menjadi semakin mirip satu dengan yang lain. Walaupun itu belum terjadi pada saya dan suami saya, namun saya percaya untuk beberapa pasangan, inilah yang terjadi. Hal demikianlah yang juga diinginkan Kristus bagi kita anggota Gereja yang adalah mempelai-Nya, yaitu agar kita bertumbuh semakin menyerupai Dia. Sehingga, jika saatnya nanti kita kembali bertemu denganNya, Ia dapat melihat cerminan DiriNya dalam diri kita. Kini pertanyaannya, sudahkah kita menyerupai Dia?

Pertanyaan demikian menghantar kita pada suatu kebenaran yang lain, yaitu bahwa manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (Kej 1:26). Ini membawa suatu akibat yang sangat luar biasa, manusia sebagai gambaran Allah (imago Dei) ini menjadi mampu untuk menerima rahmat Allah yang terbesar, yaitu Allah sendiri (capax Dei). Maka, walaupun ‘gambaran Allah’ dalam diri kita dirusak oleh dosa, tidak berarti bahwa kita sama sekali tidak berharga. Malah sebaliknya, Allah mengangkat kita dengan mengutus Kristus Putera-Nya ke dunia. Rasul Yohanes mengatakan, “Karena besarnya kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal” (Yoh 3:16). Tuhan mengutus Kristus, agar kita dapat kembali bersahabat dengan Allah, dan kemuliaan ‘gambaran-Nya’ di dalam kita dapat dipulihkan seperti keadaan aslinya. Jadi untuk persahabatan dengan Allah ini, kita diciptakan olehNya.

Mari kita berhenti sejenak dan merenungkan hal ini. Untuk kebahagiaan inilah Allah menciptakan kita: yaitu agar kita menerima DiriNya dan agar kita memberikan diri kita seutuhnya kepadaNya, sehingga tidak ada lagi jarak antara kita dengan Dia. Allah ingin sungguh bersahabat dan bersatu dengan kita! Inilah kasih Agape, kasih persahabatan yang membuat persatuan yang erat tak terpisahkan, yang kita terima melalui Kristus yang telah menjelma menjadi manusia.

Kebahagiaan dicapai dengan memberikan diri kita (self-giving)

Namun, bukan itu saja: Penjelmaan Yesus menjadi manusia juga menunjukkan kepada kita bagaimana caranya hidup agar kita bahagia. Yesus mengajarkan kita Delapan Sabda Bahagia (Mat 5: 1-12), dan hidupNya sendiri adalah pemenuhan Sabda Bahagia tersebut. Dan semasa hidupNya di dunia, Ia adalah manusia yang paling berbahagia, karena satu hal ini: Ia memberikan Diri-Nya seutuhnya kepada Allah Bapa dan kepada manusia. Salib Kristus adalah puncak dan bukti yang sungguh nyata akan hal ini. Pandanglah salib Kristus, dan kita akan menemukan jawaban akan pertanyaan, “apa yang harus kulakukan agar hidup bahagia?” Sebab di sana, di dalam keheningan Kristus akan menjawab kita, “Mari, ikutlah Aku… berikanlah dirimu kepada Tuhan dan sesama….”

Mungkin kita bertanya, bagaimana mungkin pengorbanan dapat membuat kita bahagia? Ini memang merupakan misteri kasih Allah yang dinyatakan oleh Kristus kepada kita, dan kitapun diundang untuk melakukan yang sama, karena memang hakekat kasih adalah pengorbanan. Walaupun tentu saja, pengorbanan kita tidak dapat dibandingkan dengan pengorbanan Yesus, namun, Tuhan menghendaki kita untuk belajar berkorban dan ‘memberikan diri’ dalam kehidupan kita sehari-hari. Segala usaha untuk menghindari pengorbanan dalam mencari kesenangan, akan berakhir pada kebahagiaan semu. Dewasa ini, contoh yang dapat kita lihat begitu nyata. Mereka yang mencari kelimpahan harta duniawi tanpa pernah berpikir untuk membagi akan mengalami kekosongan hidup. Mereka yang mencari kesenangan dalam seks bebas tanpa mempedulikan tanggung jawab membentuk keluarga, pada satu titik akan mengalami kesedihan dan kehilangan jati diri. Mereka yang mencari kehormatan dan kekuasaan tanpa memperhatikan yang lemah, juga pada akhirnya tidak dihormati. Mungkin justru pada titik ter-rendah ini, manusia akhirnya dapat melihat bahwa kebahagiaan bukan berarti hanya ‘mengumpulkan’ tetapi ‘membagikan’; bukan hanya ‘menerima’, tetapi lebih dari itu: ‘memberi’. Sebab dengan memberi, kita menerima, seperti perkataan St. Franciskus dari Asisi.

Marilah kita mengingat sabda Yesus, “Akulah Jalan, Kebenaran dan Hidup (Yoh 14:6). Maka dengan melihat dan mengikuti Yesus, kita percaya kita akan sampai kepada Bapa. Singkatnya, hanya dengan meniru Yesus, kita dapat hidup bahagia. Lihatlah pada Yesus yang dengan kehendak bebas-Nya selalu memberi. Yesus memberikan Diri-Nya secara total kepada Allah Bapa untuk melaksanakan rencana Bapa menyelamatkan dunia. Yesus memberikan Diri-Nya secara total kepada kita manusia, untuk mengampuni kita dan mempersatukan kita kembali dengan Allah.

Hati kita ‘menginginkan’ Tuhan

Kita menyadari bahwa untuk tujuan persatuan dengan Allah ini, manusia dikaruniai akal budi dan kehendak bebas yang membedakannya dengan binatang. Cara kerja akal dan kehendak/ keinginan manusia umumnya adalah: apa yang ditangkap oleh akal itulah yang diinginkan, contohnya, jika kita melihat sesuatu yang kita pandang baik, kita lalu menginginkannya. Nah, berbeda dengan hewan, akal budi manusia ini tidak saja hanya dapat menangkap benda-benda jasmani dan sementara, melainkan juga dapat menangkap sesuatu yang bersifat tak terbatas, misalnya bagaimana sampai akal budi kita menangkap keberadaan Tuhan. (silakan membaca: Bagaimana Membuktikan bahwa Tuhan itu Ada?). Maka, setelah akal budi kita ‘menangkap’ keberadaan Tuhan yang Maha segalanya, sangat wajar jika kemudian kita ‘menginginkan’ Tuhan. Artinya kita ingin mengenal dan mengasihi Tuhan yang sempurna dan tidak terbatas. Hal ini pula yang menyebabkan kita akhirnya tidak mungkin lagi dipuaskan oleh benda- benda jasmani dan sementara. Ya, sebab kita menginginkan sesuatu tetap selamanya. Kita menginginkan Kesempurnaan dalam hal Kebaikan, Keindahan, Kebenaran, Kasih yang tertinggi. Dan itu hanya dapat dipenuhi oleh Tuhan!

Tak mengherankan jika Santo Agustinus pernah berkata, “Hatiku tidak akan pernah beristirahat sampai aku beristirahat dalam Tuhan.” Santo Yohanes Salib menggambarkan peristirahatan dalam Tuhan ini sebagai persatuan atau “perkawinan mistik” dengan Allah. Apa yang terjadi di dalam persatuan dengan Allah ini? Alkitab mengatakan kita akan melihat Allah, seperti yang dijanjikan Yesus, “Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah (Mat 5: 8). Kita akan melihat Dia dalam keadaan-Nya yang sebenarnya, sehingga kita akan menjadi sama seperti Dia (1 Yoh 3:2). Kita akan sungguh mengenal Allah seperti halnya kita sendiri dikenal oleh Allah (lih. 1 Kor 13:9-12). Pengenalan Allah ini dicapai melalui Kristus, sabda-Nya yang sempurna.

Kemudian, pengenalan akan Allah ini serta merta diikuti oleh kasih. Kita terdorong untuk mengasihi Allah tanpa syarat, oleh karena kita telah mengenal Allah yang demikian mengasihi kita tanpa batas. Oleh kasih persahabatan dengan Allah ini kita akan memiliki kesamaan keinginan dengan Dia. Setelah menerima kasih Tuhan yang begitu besar, kita akan menyerahkan diri kita kepada Tuhan dengan mengembalikan kasihNya yang telah kita terima. Artinya kita mengasihi Tuhan dengan kasihNya sendiri. Dengan demikian kita ikut mengambil bagian di dalam kehidupan kasih Allah antara Allah Bapa dan Allah Putera, yang mendatangkan Roh Kudus. Inilah yang dimaksud dengan persatuan sempurna dengan Tuhan, yaitu saat kita dapat “dipenuhi di dalam seluruh kepenuhan Allah” (Ef 3:19).

Persatuan dengan Allah ini mengubah kita seutuhnya menjadi ilahi. Ini adalah sesuatu yang sangat mulia, agung, dan mendalam, sehingga tidak dapat digambarkan dengan perkataan, dan dilukiskan di dalam pikiran. Rasul Petrus mengatakan, “Apa yang tidak pernah dilihat oleh mata, dan tidak pernah didengar oleh telinga dan yang tidak pernah timbul di dalam hati manusia: semua yang disediakan Allah untuk mereka yang mengasihi Dia.”(1 Kor 2: 9) Dan rahmat yang tersembunyi ini adalah Allah sendiri.

Kebahagiaan dapat mulai kita kecap di dunia

Begitu indah tak terselami kebahagiaan kekal ini, sehingga Tuhan mempersiapkan kita dengan memberikan sedikit pengalaman percikan kebahagiaan ini selagi kita masih hidup di dunia. Kita menyembah Sakramen Maha Kudus di dalam Adorasi sebagai persiapan kita memandang Allah di surga nanti. Kita menerima Kristus dalam Ekaristi sebagai persiapan bagi kita untuk menyambut Kristus di surga. Kristus yang kita terima dalam Ekaristi ini menjadi sumber kasih kita, baik kepada Tuhan dan sesama. Jika kita memberikan diri kita kepada sesama sesuai dengan panggilan hidup kita, kita sudah dapat menikmati kebahagiaan di dunia. Jadi, kebahagiaan kita di dunia ini tergantung dari seberapa banyak kita berpegang dan meniru teladan Kristus, dan mengambil bagian di dalam kehidupan-Nya, dan ketaatan-Nya akan kehendak Bapa.

Dalam banyak kesempatan, Tuhan memberikan kepada kita ‘latihan’ agar sedikit demi sedikit, kita dapat belajar memberikan diri kita dan meniru Kristus, sesuai dengan maksudNya dalam menciptakan kita. Tentu, ‘latihan’ ini sangat penting, agar kita dapat memberikan diri kita seutuhnya pada Tuhan dan menyambut kesempurnaan ‘kepenuhan Allah’ di surga kelak. Sebab, jika kita tidak terbiasa ‘memberikan diri’ dan ‘menginginkan Tuhan’, bagaimana kita dapat mengharapkan bahwa kita dapat mencapai kebahagiaan surgawi yang mensyaratkan demikian? Sebab pada akhirnya nanti, yang ada tinggal Satu, yaitu hanya Tuhan saja meraja di dalam semua (lih.1 Kor 15:28), dan kita tergabung di dalam Kesatuan yang mulia itu, bersama-sama dengan semua orang pilihan-Nya. Inilah Gereja yang berjaya di surga. Di dalam kemuliaan

 Tuhan ini tiada lagi tangis dan air mata (lih. Why 21:4)), yang ada hanyalah Kasih, dan sungguh, hanya di dalam Sang Kasih ini kita menemukan kebahagiaan tanpa akhir.

Allah menciptakan kita sesuai dengan citra-Nya dan telah menanamkan di dalam hati kita keinginan untuk mengenal dan mengasihi Dia. Maka, kebahagiaan sejati manusia hanya ada di dalam Tuhan, sebab manusia diciptakan sesuai dengan gambaran Allah, sehingga mampu menerima kehidupan ilahi yang dikurniakan Allah kepadanya sebagai sumber kebahagiaan sejati. Namun demikian, betapapun kita menyadari bahwa kebahagiaan kita ada di dalam Tuhan, kalau kita tidak mengarahkan hidup kita ke sana, itu belum berguna bagi kita. Ibaratnya kita tahu tujuan perjalanan kita, tetapi kita memilih untuk tidak bergerak ke sana. Maka, mari, jangan sia-siakan hidup yang Tuhan berikan kepada kita. Kita arahkan segala karunia yang telah kita terima, untuk mencapai kebahagiaan kita di dalam Tuhan. Artinya, berkat kesehatan, rejeki, kepandaian, bakat, keluarga, dst kita arahkan untuk kemuliaan Tuhan. Di atas segalanya, marilah kita berusaha agar ‘gambaran Allah’ yang ada pada diri kita tidak dirusak oleh dosa. Singkatnya, kita berusaha hidup kudus, memberikan diri kita kepada Tuhan dan sesama(silakan baca: Apa itu kekudusan? dan Semua Orang Dipanggil untuk Hidup Kudus). Jangan lupa, bahwa hanya dengan kekudusan kita dapat ‘melihat’ Allah dan masuk ke dalam Kebahagiaan Surgawi.

“Tuhan yang Maha Pengasih, Engkaulah Kebahagiaanku. Aku bersyukur untuk besarnya kasih-Mu kepadaku, terutama karena Engkau menciptakan aku untuk mencapai kebahagiaan bersama-Mu. Ampunilah aku, yang sering terlalu menyibukkan diri untuk mencari kebahagiaan semu di dunia. Terangilah akal budiku, agar aku dapat melihat kehadiran-Mu di dunia, sehingga aku dapat menginginkan Engkau dengan lebih sungguh. Kumohon ya Tuhan, siapkanlah hatiku, agar aku dapat memandang Engkau di surga kelak dengan hati penuh syukur, dan dengan Kasih yang kuterima dari-Mu, aku dapat mempersembahkan diriku seutuhnya. Biarlah kerinduanku kepada-Mu bertambah hari demi hari, dan mata hatiku dapat tertuju kepada-Mu. Penuhilah aku dengan kasih-Mu, agar aku mampu untuk memberikan diriku kepada sesama seturut teladan Yesus Putera-Mu, sehingga kebahagiaan yang Kaujanjikan dapat mulai kukecap di dunia ini. Segala pujian, syukur dan kemuliaan hanya bagiMu, ya Tuhan. Dalam nama Yesus kunaikan doa ini. Amin.”

Kardinal J.H. Newman, mix. 5, Tentang Kekudusan, seperti dikutip dalam KGK 1723, “Kekayaan adalah salah satu berhala dewasa ini, dan selanjutnya kesohoran …. Kemasyuran, kenyataan bahwa seorang dikenal dan disanjung dunia…telah dianggap sebagai sesuatu hal yang baik dalam dirinya sendiri, suatu kebaikan tertinggi, suatu obyek untuk dihormati”

Lihat St. Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I-II, q.2, a. 2-3 : Menurut St. Thomas kehormatan itu diperoleh sebagai akibat dari sesuatu yang baik yang ada pada kita, tetapi bukan merupakan sebab atau hakekat dari diri kita.

Lihat, William E.May, An Introduction to Moral Theology, (Our Sunday Visitor, Inc., Huntington, Indiana 46750), p. 19, “Every living human body… is a living image of the all-holy. …God created a being inwardly capable of receiving our Lord’s own divine life. God cannot become incarnate in a pig or a cow or an ape because these creatures of His are not inwardly capable of being divinized. But, as we know from God’s revelation, He can become incarnate in His human creature… Every human being, therefore, is intrinsically valuable, surpassing in dignity the material universe, a being to be revered and respected from the very beginning of its existence.”

Lihat Veritatis Splendor, The Splendor of Truth, Encyclical Letter of John Paul II, 2, “It is Christ… who fully discloses man to himself and unfolds his noble calling by revealing the mystery of the Father and the Father’s love.”

Penderitaan adalah suatu kejadian yang menyakitkan yang dialami manusia seperti musibah bencana alam, sakit penyakit, kehilangan harta, kehilangan orang yang dikasihi, dsb. Apabila penderitaan tidak dihadapi dengan pandangan yang benar maka penderitaan menjadi hal yang dipandang buruk dan sulit untuk dijalani.

Setiap orang dapat kecewa kepada Allah karena penderitaan yang mereka alami. Yang menjadi pertanyaan ialah bagaimana seharusnya pandangan yang benar sebagai orang kristen terhadap penderitaan? Melalui tulisan ini, penulis akan menelaah segi pandangan penderitaan yang di ambil dari buku Walking With God Through Pain and Suffering yang ditulis oleh Timothy Keller.

Di dalam penulisan bukunya ia menuliskan alasan mengapa penderitaan terjadi dan bagaimana kita harus menanggapinya melalui pemahaman Alkitab dan contoh kasus nyata orang yang bijaksana melihat penderitaan sehingga mereka berhasil melewati penderitaan yang dialami.

Oleh karena itu, penulis saat ini akan memaparkan bagaimana orang Kristen seharusnya memandang penderitaan itu secara benar yaitu Allah turut bekerja dalam segala sesuatu yang terjadi termasuk penderitaan, sehingga di harapkan orang Kristen dapat berjuang menghadapi penderitaan

Pertama, penderitaan yang disebabkan karena dosa yang dilakukan manusia. Misalnya, dalam kisah Raja Daud membunuh Uria dan mengambil Batsyeba sebagai istrinya lalu Allah menulahi anak yang dilahirkan Batsyeba hingga mati, dan Allah mengutus nabi Natan untuk memperingatkan Daud akan kesalahannya sehingga Daud menjadi sadar dan bertobat. Penderitaan yang dialami Raja Daud ini, membuat ia sadar akan kekurangannya dan ia berbalik pada Allah.

Seperti kata pemazmur dalam Mazmur 19 : "Bebaskanlah aku dari apa yang tidak kusadari[1]". Maka melalui penderitaan dapat menyadarkan kita untuk peka akan kesalahan kita. Berikutnya, kita dapat melihat kisah nabi Yunus yang diutus Allah untuk memberitakan Firman Allah di kota Niniwe, tetapi Yunus tidak taat pada Allah, dan ia pergi melarikan diri ke kota Tarsis.

Maka dalam perjalanan Yunus ke kota Tarsis dengan kapal, tiba-tiba ia diperhadapkan dengan penderitaan akibat ketidaktaatannya yaitu ditelan seekor ikan besar. Dan Yunus tinggal didalam perut ikan itu selama tiga hari tiga malam lamanya. Melalui kejadian ini, Yunus menjadi sadar kepada Allah dan ia pun berbalik taat untuk melakukan apa yang diperintahkan Allah baginya. 

Sebagai orang Kristen kita dapat melihat bahwa penderitaan dapat menjadi sarana Allah untuk menyadarkan umat-Nya dan membawa kita agar berbalik kepada Allah dan menjalani hidup yang benar untuk memuliakan-Nya.

Kedua, penderitaan sebagai kedaulatan Allah atas kehidupan umat-Nya. Dengan kata lain, karena Allah adalah pencipta dan Tuhan atas alam semesta, tidak ada yang dapat terjadi baik maupun jahat, di luar kehendak-Nya yang berdaulat.[1]

Misalnya, melalui kisah Ayub, seorang yang saleh di mata Tuhan, akan tetapi mengalami penderitaan yang diijinkan oleh Allah, dan Allah mengembalikan segala kepunyaan Ayub karena ia setia pada Allah. 

Penderitaan yang di alami Ayub ini merupakan penderitaan yang dipakai Allah untuk membawanya kepada keadaan demi menaati Allah saja, dan bukan karena Ayub bersalah di mata Allah tetapi dapat menjadi sarana baginya untuk memiliki hidup yang sepenuh hati kepada Allah.[2]

Maka di dalam kehidupan orang Kristen kita dapat melihat Allah yang berdaulat dalam segala sesuatu dan Ia memakai kejadian penderitaan dan duka yang terjadi untuk tujuan mulia-Nya.

Ketiga, penderitaan sebagai contoh teladan Kristus bagi umat-Nya. Oleh sebab itu, dapat dikatakan orang Kristen menderita karena Kristus juga menderita ketika Dia hidup di dunia ini. 

Ingatkah kalian kita juga telah membahas mengenai hal ini di bahan CG minggu lalu, yaitu dimana di dalam dokumen yang berjudul: The Quest for an Answer to the Question of the Meaning of Suffering. Paus Yohanes Paulus II mengatakan bahwa dengan adanya penderitaan-penderitaan di dunia maka manusia dapat bertanya, “Why?” (Mengapa?) Mengapa ada kejahatan di dunia? Malah kadang pertanyaan-pertanyaan semacam ini dapat menjadikan orang frustasi dan akhirnya menolak adanya Tuhan. Maka, menurut Paus, kuncinya adalah kita harus memahami apakah arti dari penderitaan itu.

Alkitab menceritakan tentang misteri penderitaan ini secara jelas di dalam kitab Ayub. Teman-teman Ayub menarik kesimpulan bahwa penderitaan yang diderita oleh Ayub disebabkan oleh dosa-dosanya. Namun Tuhan akhirnya menyatakan kepada para sahabat Ayub bahwa Ayub tidak bersalah. “Itu [Penderitaan Ayub] harus diterima sebagai misteri, yang tidak dapat dipahami oleh manusia dengan akal budinya sendiri” (SD 11).

Maka dapat saja penderitaan terjadi pada orang-orang yang tak bersalah, kepada Bangsa pilihan Allah, dan bahkan Gereja-Nya sendiri. Jika demikian yang terjadi, maka hal ini merupakan undangan terhadap belas kasihan-Nya, yang mengajar manusia untuk memimpinnya kepada pertobatan. Maka penderitaan itu maksudnya adalah untuk memimpin seseorang kepada pertobatan, yaitu untuk membangun kembali kebaikan di dalam diri orang yang mengalami penderitaan (SD 12).

Misteri penderitaan hanya dapat dipahami dalam terang Kristus. Kristus menyebabkan kita memasuki misteri penderitaan dan untuk menemukan alasannya “mengapa”, sejauh kita mampu menangkap kasih ilahi-Nya. “Kasih adalah sumber yang paling penuh yang menjawab pertanyaan mengenai makna penderitaan ini. Jawaban ini telah diberikan oleh Tuhan kepada manusia di dalam salib Tuhan Yesus Kristus.” (SD 13).

Dengan melihat kepada kejamnya dosa dan penderitaan, kita akan semakin menyadari akan besarnya akibat dosa, namun juga besarnya kasih Allah yang datang di dalam diri Kristus untuk membebaskan kita dari penderitaan kekal akibat dosa tersebut. Tuhan Yesus dekat kepada mereka yang menderita berdasarkan kenyataan bahwa Ia mengambil penderitaan itu bagi Diri-Nya sendiri (lih. SD 14).

Dengan adanya realitas penderitaan di dunia ini yang sifatnya sementara, dan dorongan kita secara alami untuk menghindarinya, maka seharusnya kitapun mempunyai dorongan yang lebih besar untuk menghindari penderitaan yang sifatnya selamanya, yaitu penderitaan di neraka jika kita tidak diselamatkan karena tidak bertobat. (lih. SD 14)

Jika mengalami penderitaan, entah karena kita sendiri mengalami penderitaan itu, ataupun karena kita menderita melihat orang lain yang sungguh menderita, maka kita diundang untuk mengambil bagian di dalam karya keselamatan. Paus Yohanes Paulus mengajarkannya demikian, “Each one is also called to share in that suffering through which the Redemption was accomplished…..Each man, in his suffering, can also become a sharer in the redemptive suffering of Christ.” (SD 19) Ini sesuai dengan ajakan Rasul Paulus untuk melengkapi dalam daging kita, apa yang kurang dalam penderitaan Kristus, untuk Tubuh-Nya, yaitu Gereja-Nya, (Kol 1:24) karena anggota- anggota Gereja-Nya masih ada yang mengalami penderitaan sampai pada saat ini (lih. SD 24)

Dengan menderita bersama Kristus, maka dapat dikatakan bahwa bukan kita lagi yang hidup, tetapi Kristus yang hidup di dalam kita (Gal 2:19). Karena jika Ia mengasihi kita dengan cara ini, menderita dan wafat bagi kita, maka dengan penderitaan dan wafat-Nya ini, Ia hidup di dalam diri orang yang mengasihi Dia dengan cara yang sama (SD 20). Maka Kristus dapat dikatakan hidup di dalam diri orang itu.

Namun, dengan iman kita percaya bahwa salib dan penderitaan yang ada di dalam kehidupan manusia itu disertai dengan pengharapan pemenuhan janji akan kebangkitan. Rasul Paulus mengajarkan bahwa kita adalah “orang-orang yang berhak menerima janji-janji Allah, yang akan menerimanya bersama-sama dengan Kristus, yaitu jika kita menderita bersama-sama dengan Dia, supaya kita juga dipermuliakan bersama-sama dengan Dia. Sebab aku yakin, bahwa penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita.” (Rom 8:17-18). Dan Rasul Petrus juga berkata, “Sebaliknya, bersukacitalah, sesuai dengan bagian yang kamu dapat dalam penderitaan Kristus, supaya kamu juga boleh bergembira dan bersukacita pada waktu Ia menyatakan kemuliaan-Nya.” (1 Pet 4:13).

Tuhan Yesus mengurbankan diri-Nya di kayu salib bukan karena Ia sedang menganggur atau ingin menerima pujian. Ia memiliki tujuan dan maksud yang jelas. Tuhan Yesus rela mati dan bangkit untuk menebus manusia dari dosa karena Ia sangat mengasihi manusia.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status