Compartilhar

Kiriman Paket

Autor: Ammi Poe YP
last update Última atualização: 2025-09-27 15:00:50

Raka sejenak terdiam, berpikir mengingat wajah dan nama-nama orang yang dekat dengan ayahnya. Ingatan Raka ditarik mundur, ke masa di mana ayahnya masih hidup.

***

Ruang sanggar dipenuhi aroma ukiran kayu dan cat alami. Ki Anom Suroso, ayahnya, dengan jari-jari cekatan mengukir detail mahkota pada wayang kulit yang masih basah. Raka kecil, baru berusia delapan tahun, duduk bersila di sampingnya, matanya tak lepas dari setiap gerakan tangan sang ayah.

"Romo, kenapa Arjuna selalu jadi jagoan?" tanya Raka kecil, polos. "Bukankah Duryudana juga punya banyak prajurit?"

Ki Anom tersenyum, menghentikan pekerjaannya sejenak. Ia mengusap kepala Raka. "Duryudana punya prajurit, Nak. Tapi Arjuna punya kebenaran di sisinya. Dan yang lebih penting, ia punya hati yang besar."

"Tapi Duryudana kan raja? Romo bilang raja harus berkuasa," Raka kecil masih penasaran.

"Betul, Duryudana seorang raja," Ki Anom menjawab, nada suaranya lembut namun penuh wibawa. "Tapi kekuasaannya didapat dari keserakahan, Nak. Dari ketidakadilan. Itu yang membuatnya jatuh."

Raka kecil mengernyitkan dahi. "Jadi, Duryudana tidak baik?"

Ki Anom tertawa kecil. "Tidak ada yang sepenuhnya baik atau sepenuhnya buruk di dunia ini, Raka. Bahkan Duryudana punya sisi baiknya. Kesetiaan pada keluarganya, keberaniannya di medan perang. Tapi ia memilih jalan yang salah. Seperti kita, Nak. Setiap pilihan ada konsekuensinya."

Ia meletak pahat ukirnya, lalu menunjuk ke arah wayang Arjuna. "Lihat Arjuna ini. Ia adalah ksatria sejati. Ia berjuang untuk dharma, untuk kebenaran. Ia berani mempertanyakan, berani mengambil risiko, bahkan saat harus melawan saudaranya sendiri. Itu yang sulit."

"Berarti menjadi dalang itu seperti jadi Arjuna ya, Mo?" tanya Raka, matanya berbinar.

Ki Anom menatap putranya dengan tatapan penuh cinta dan kekhawatiran yang samar. "Menjadi dalang itu seperti menjadi arsitek semesta, Raka. Kau menciptakan dunia, kamu harus menggerakkan karakter-karaktermu. Kamu memberi mereka suara, dan juga memberi mereka pilihan. Untuk itu, kamu harus mengerti setiap sudut hati mereka, bahkan yang paling gelap sekalipun."

"Apa Romo mengerti hati Duryudana?"

"Tentu saja," jawab Ki Anom, menarik napas dalam. "Romo harus mengerti mengapa ia tamak, mengapa ia berani berkhianat. Romo harus mengerti bahwa di balik topeng kesombongannya, ada ketakutan yang besar. Hanya dengan begitu, pementasan akan terasa nyata. Akan terasa hidup."

Ia menatap mata Raka dalam-dalam. "Dan seorang dalang sejati ... ia tidak hanya menceritakan kisah, Nak. Ia menyampaikan pesan. Ia menyuarakan kebenaran yang seringkali tersembunyi. Bahkan jika kebenaran itu pahit."

Raka kecil mengangguk, mencoba memahami kata-kata ayahnya yang terasa begitu dalam. Namun, saat itu, ia belum mengerti betapa beratnya beban "kebenaran yang pahit" itu, atau seberapa jauh seorang dalang bisa pergi untuk menyampaikannya.

Raka membuka mata, kembali ke dunia masa kini yang menyuguhkan misteri penuh kengerian, Ia bangkit dari kursi, melangkah pelan menuju lemari tua di sudut ruangan. Matanya menyapu deretan wayang koleksi ayahnya. Setiap wayang memiliki cerita, setiap gerak memiliki makna. Dulu, ia melihatnya sebagai benda mati, kenangan pahit. Sekarang, ia melihatnya sebagai simbol-simbol hidup yang dimanipulasi, senjata dalam sebuah lakon berdarah.

Raka meraih gagang telepon rumah yang ada di meja lain, jemarinya sedikit gemetar saat ia memutar nomor Pakde Jarwo. Belum sempat panggilan tersambung, suara ketukan di pintu depan joglo membuatnya tersentak.

Ketukan itu lembut, tetapi sangat jelas terdengar di tengah kesunyian malam. Dahi Raka mengernyit.

“Siapa yang datang selarut ini? Kirana tidak mungkin secepat itu. Apa Kirana mengutus Drajat untuk menjemputku?” gumam Raka.

Perasaan tidak enak merayapi tulang punggung Raka. Ia melangkah hati-hati menuju pintu utama, setiap langkah terasa berat, berpacu dengan detak jantungnya yang semakin cepat. Ia mengintip melalui celah kecil di sisi pintu. Tidak ada siapa-siapa. Hanya kegelapan malam dan bayangan pepohonan yang menari ditiup angin.

Aneh.

Raka membuka pintu perlahan, hanya sedikit celah. Udara malam yang sejuk menerpa wajahnya. Ia melongok ke luar, memastikan tidak ada orang. Pandangannya jatuh pada sebuah kotak kayu kecil yang tergeletak di teras depan, tepat di depan ambang pintu.

Kotak itu polos, tanpa label pengirim atau alamat. Hanya sebuah kotak kayu berwarna cokelat tua. Perasaan ngeri menyergap Raka. Ia meyakini, itu bukan paket biasa.

Dengan tangan gemetar, Raka membungkuk dan mengambil kotak itu; membawanya masuk, lalu menutup pintu.

Ia meletakkan kotak itu di meja tamu, di bawah cahaya temaram lampu gantung. Jantungnya berdebar kencang, firasat buruk menggelayuti benaknya. Dengan hati-hati, ia membuka penutup kotak.

Di dalamnya, terbaring sebuah kayon—wayang gunungan kecil yang sangat detail dan indah. Ukiran naga, pepohonan, dan singa di dasarnya dibuat dengan sangat teliti, setiap garisnya presisi. Warna-warnanya, meski sedikit memudar, masih memancarkan keindahan.

Kayon itu … ia mengenali setiap detailnya. Setiap torehan. Setiap lekukan.

Tangan Raka terangkat, menyentuh permukaan kayu kayon. Dengan jemarinya, ia bisa merasakan bahwa itu adalah kayon yang sama, persis dengan gunungan yang pernah ia buat untuk ayahnya semasa kecil. Kayon itu adalah hadiah ulang tahunnya yang ketujuh untuk sang ayah, dibuat dengan seluruh cinta dan imajinasi masa kecilnya. Ki Anom bahkan pernah memuji karyanya sebagai "kayon yang memiliki jiwa."

Mata Raka terbelalak. Wajahnya seketika pucat pasi.

Ini bukan sekadar petunjuk. Ini bukan lagi tentang membongkar sejarah ayahnya, atau mencari siapa murid yang salah jalan. Ini adalah pesan langsung. Pesan yang ditujukan padanya, Raka Permadi.

Kayon ini adalah bukti bahwa Sang Dalang tahu benar masa lalunya. Tahu detail paling personal dalam hidupnya. Sang pembunuh memasukkannya ke dalam pertunjukan. Ini bukan lagi kasus yang ia bantu selesaikan sebagai seorang filolog. Ini adalah lakonnya. Lakon yang sedang dimainkan, dengan dirinya sebagai bagian dari pementasan dunia nyata.

Keringat dingin membasahi pelipis Raka. Ia merasakan seolah ada mata yang mengawasi dari balik kegelapan di luar joglo, dari balik kelir imajiner yang kini terpampang di depannya. Dari seorang pengamat pasif, ia kini dipaksa menjadi pemain utama dalam lakon mengerikan ini.

Continue a ler este livro gratuitamente
Escaneie o código para baixar o App

Último capítulo

  • Kelir Getih (Layar Berdarah)   Panggung Pengorbanan

    Panggilan itu terputus.Raka menatap layar ponsel yang gelap. Jemarinya mencengkeram erat. Kirana telah memutus komunikasi untuk menjauh dari pelacakan, tetapi ia juga memutus satu-satunya jembatan emosional Raka.Ia seorang diri. Kirana menjadi umpan. Agung Kusuma akan menjadi korban berikutnya. Dan putranya Kirana, Satria, adalah target final mereka.Raka memukul kemudi, lalu menarik napas panjang. Tidak ada waktu untuk marah atau menangis. Ia harus menjadi Arjuna, Bima, dan Puntadewa sekaligus. Ia harus mengambil alih lakon yang berdarah ini.Ia segera menelpon Agung Kusuma, mencoba memberinya peringatan terselubung. Lalu, ia menghubungi salah satu dalang muda. Malam ini, ia harus mengumumkan pementasanParikesit Jumeneng Ratu—pementasan harapan palsu yang akan memancing Seno dan para pengikut Banyu keluar dari sarang.“Jika kau ingin lakon ini berhenti, kau harus berani menjadi Dalang Kematian,” bisik Raka pada d

  • Kelir Getih (Layar Berdarah)   Wisnu Dharmawan

    Raka merasa lemas. Wisnu Dharmawan (WD), representasi Bima, telah menjadi sasaran Sang Dalang Bayangan yang kini bergerak menggantikan Banyu.Ia tidak punya waktu untuk menghubungi polisi, atau bahkan menyusun alibi. Raka hanya membawa pisau kecil yang ia sembunyikan di pinggang, kunci mobil, dan sebuah senter. Ia bergegas keluar dari joglo, jantungnya berdebar kencang.Perjalanan ke Kulonprogo terasa seperti masuk ke lorong waktu yang gelap. Jalanan semakin menanjak dan berliku, bau tanah basah bercampur aroma bunga hutan yang dingin. Ia tiba di titik koordinat sekitar pukul sembilan malam.Tempat itu adalah gudang penyimpanan kapur pertanian, terletak di lembah sempit di antara dua bukit. Lampu merkuri yang remang-remang menampakkan pemandangan yang menyakitkan: mobil tua milik Wisnu Dharmawan terparkir di pinggir jurang, pintunya terbuka paksa. Sebuah garis darah tebal mengalir di tanah, menuju ke dalam gudang.Raka menyalakan senter, mengikuti jejak darah itu. Gudang itu gelap, di

  • Kelir Getih (Layar Berdarah)   Tokoh yang Belum Terungkap

    Raka merasa ada firasat buruk yang mendalam, melihat kilatan gila di mata Kirana. Ia tahu Kirana sedang merencanakan sesuatu yang berbahaya.“Kirana, apa rencanamu?” desak Raka, rahangnya mengeras.“Seno ingin aku menghilang. Aku akan melakukannya. Aku akan keluar dari Yogya, menyebarkan desas-desus bahwa aku dipecat, bahkan dipenjara. Biarkan ia tenang.” Kirana melangkah ke loker, membuka laci kecil, dan mengambil kunci mobil yang bukan miliknya, dan tas punggung kecil.“Lalu bagaimana denganku? Bagaimana aku melindungimu saat kau hilang?”“Kau tidak perlu melindungiku, Raka. Kau perlu memainkan lakon Arjuna yang mereka harapkan, sampai kau menemukan waktu untuk menghancurkannya.” Kirana mengambil kunci lain. “Tapi aku perlu jaminan. Seno pasti mengira aku sudah menanam agen di sekitar Agung Kusuma.”Raka tahu Kirana sedang menawar nyawanya.“Aku akan mengikutimu,” kata Raka.“Tidak, Arjuna harus fokus pada lakon besarnya.” Kirana memejamkan mata sesaat. “Kau harus mulai menyebarkan

  • Kelir Getih (Layar Berdarah)   Firasat

    Raka menarik napas tajam. Parikesit, yang ia yakini sebagai lakon harapan baru, ternyata adalah target terakhir mereka, Too Be Confirmed—belum dikonfirmasi. Dan nama yang mengejutkan, tepat di bawah tiga tokoh kunci Pandawa itu.“Lihat ini, Kirana,” Raka memaksa. Ia menunjuk ke inisial di samping nama Kirana. “KP. Itu inisialmu. Kompol Prameswari. Dia tidak menuliskannya di gulungan lontar seperti yang dia tunjukkan di Solo. Dia menuliskannya di cetak biru ini, sebagai salah satu target yang harus mati di lakon terakhir.”Wajah Kirana memucat. Ia bukan lagi sekadar pelayan hukum yang terancam dicopot, tetapi secara eksplisit telah dimasukkan ke dalam naskah berdarah. Ia adalah tokoh epik, dengan takdir kematian yang sudah dituliskan di dinding reruntuhan ini.Raka mendekati Kirana. Ia tahu ia harus bereaksi cepat, melampaui logika forensik. “KP. Kirana. Seno tidak ingin kau dicopot. Dia ingin kau dibunuh. Di atas panggung.”“Tapi kenapa? Aku tidak punya kekuasaan sebanding dengan Dury

  • Kelir Getih (Layar Berdarah)   Inisial

    Dua jam kemudian, menjelang fajar, mereka akhirnya berhasil tiba di markas sementara yang sudah diamankan oleh tim Kirana, jauh di pinggiran kota, sebuah rumah kosong yang disewa atas nama samaran. Kirana memerintahkan Banyu segera diisolasi, tanpa diberi akses bicara kepada siapa pun kecuali dia. Ancaman Seno, yang berhasil ditembak ban mobilnya oleh Kirana, telah mengubah Banyu menjadi sekadar barang bukti berharga—dan target eliminasi. Sementara itu, Kirana mulai menangani lukanya dan Raka harus menerima jahitan darurat di lengan kanannya.Setelah memastikan semuanya aman, Kirana menghampiri Raka di ruang utama, membawa dua cangkir kopi panas.“Bagaimana Jaka?” tanya Raka, menatap lurus ke arah cangkirnya, menghindari kontak mata. Ia merasa terlalu rentan setelah momen emosional yang terpotong peluru itu.“Aman. Tapi dia terkejut. Seno tidak main-main. Dia mencoba mengorbankan Jaka di Solo, menempatkan mayat Gatotkaca di sana, seolah-olah Banyu masih mengendalikan lakon. Padahal Se

  • Kelir Getih (Layar Berdarah)   Taruhan Tertinggi

    Setelah lima belas menit perjalanan gila, Kirana memperlambat laju mobil di sebuah pom bensin tua yang remang-remang, di luar area ring road selatan. Dua perwira Solo tiba beberapa detik kemudian, dengan wajah pucat dan seragam basah kuyup. Mereka hanya berhasil mengamankan Banyu. Motor-motor penyerang telah hilang di balik pekatnya hujan.Kirana keluar dari mobil, tidak memedulikan dingin dan basahnya jas hujan. Raka ikut keluar, mengikuti insting. Ia berjalan menghampiri Kirana, melihat bahu wanita itu naik turun dengan cepat.Kirana menyandarkan tubuhnya ke kap mobil. Rambutnya basah, menempel di dahi dan lehernya. Pakaiannya menampakkan cetakan pistol di pinggangnya yang ramping. Ia menatap Raka, sorot matanya melembut—atau mungkin hanya pantulan lampu jalan yang remang-remang.“Mereka ingin membunuh kita, Raka,” bisik Kirana, suaranya parau, jauh dari nada tegas seorang Kompol Bareskrim. Ia berbicara, tidak kepada partner kerjanya, tetapi

Mais capítulos
Explore e leia bons romances gratuitamente
Acesso gratuito a um vasto número de bons romances no app GoodNovel. Baixe os livros que você gosta e leia em qualquer lugar e a qualquer hora.
Leia livros gratuitamente no app
ESCANEIE O CÓDIGO PARA LER NO APP
DMCA.com Protection Status