Mag-log inHening sejenak di ujung telepon, lebih panjang dan lebih berat dari sebelumnya. Raka bisa merasakan Kirana di seberang sana sedang memproses, merangkai setiap kata, setiap makna yang barusan ia sampaikan. Udara di joglo itu terasa membeku, seolah menahan napas bersamanya.
“Ksatria yang berani berdiri, tapi menjadi pemimpin yang tuli … memilih teman keangkara-murkaan, menggantungkan hidup di neraka …” Kirana mengulang baris terakhir suluk yang baru saja Raka bacakan, suaranya pelan, lebih pelan dari biasanya, pikirannya sibuk menelusuri teka-teki di benaknya. “Karna tidak suci, hanya bertindak lalai … tidak bisa kembali, naik ke kematian.” Kemudian, ia menarik napas tajam. “Maksud Doktor, ayah Doktor menulis semacam daftar sasaran … atau pembenaran untuk pembunuhan itu?” Raka mengusap wajahnya yang terasa dingin. Buku lusuh di depannya seolah memancarkan aura suram. “Bukan daftar, Kompol. Lebih tepatnya, sebuah manifestasi. Ayah saya adalah seniman yang tidak hanya melihat panggung wayang sebagai hiburan, melainkan kegelisahan pada cermin yang buram, kotor, dan retak. Suluk-suluk ini … ini adalah amarahnya, keputusasaannya terhadap dunia yang ia lihat di sekelilingnya. Dunia yang mengklaim keadilan tapi hanya menumpuk kemunafikan.” “Setiap seniman besar memiliki kegelisahan, Doktor,” Kirana menimpali, nadanya kembali ke mode analitisnya, walau masih ada jejak keterkejutan. “Tapi tidak semua berakhir dengan darah. Apa yang spesifik dari suluk ini yang membuat Anda yakin ini lebih dari sekadar ekspresi frustrasi?” Raka menelusuri coretan tinta di halaman yang sudah menguning. “Ayah saya tidak menulis ‘kritik’, Kompol. Ia menulis ‘pemurnian’. Kata itu muncul berulang kali dalam beberapa draf suluk yang lain. Ia percaya, kesenian wayang bukan lagi sekadar pelipur lara, tapi harus menjadi ‘api penyucian’ untuk membersihkan dosa-dosa para Kurawa modern yang merajalela. Ia menggambarkan mereka sebagai 'bayangan hitam yang menari di atas panggung kehidupan', 'menghisap sari pati kebenaran', dan 'menukarkan nurani dengan permata palsu'. Ini bukan sekadar pandangan kritis; ini adalah seruan untuk tindakan ekstrem. Sebuah filosofi yang, jika diinterpretasikan secara harfiah oleh orang yang salah … bisa menjadi sangat berbahaya.” “Pemurnian?” Kirana terdiam sejenak lagi, terdengar suara tarikan napas pendek. “Jadi, menurut Anda, pembunuh itu tidak hanya meniru adegan kematian dari Bharatayuddha, melainkan juga mengimplementasikan ‘filosofi pemurnian’ yang tersembunyi dalam tulisan ayah Doktor?” “Tepat sekali,” Raka merasakan adrenalin mengalir deras dalam nadinya. “Ini bukan inspirasi, Kompol. Ini adalah naskah. Sebuah skenario yang tak pernah dipentaskan, kini diwujudkan di dunia nyata. Dan yang paling mengerikan adalah, Sang Dalang tahu persis naskah itu. Tahu betul sisi gelap Ki Anom yang ini, sisi yang tidak pernah ia tunjukkan kepada publik.” “Bagaimana kita bisa yakin ini bukan sekadar kebetulan, Doktor?” Kirana mendesak, suaranya kembali tajam, mencari celah. “Bagaimana Anda menghubungkan tulisan-tulisan ini dengan kasus Duryudana, Sengkuni, dan perkiraan Karna?” Raka menarik napas dalam, memusatkan pikirannya. “Susanto Widjojo yang merepresentasikan Duryudana, adalah seorang konglomerat properti. Suluk pertama yang saya bacakan, 'Jiwa mulya kinunci, dening bandha lan kursi', berbicara tentang jiwa yang terkunci oleh harta dan kekuasaan. Ini adalah deskripsi sempurna untuk Duryudana modern yang haus kekayaan dan pengaruh. Kematiannya dengan gada, simbol kekuasaan dan kekuatan yang digunakan secara korup, sangat cocok dengan narasi ini. Ayah saya selalu mengajarkan bahwa Duryudana, meskipun antagonis, adalah figur tragis yang terbutakan oleh ambisi. Suluk ini memberikan alasan ideologis untuk menghukumnya.” Ia berhenti sejenak, menoleh ke arah jendela gelap joglo, seolah mencoba melihat bayangan ayahnya di balik kegelapan. “Lalu Sengkuni, Ardi Hartono. Politikus yang licik, terbiasa memainkan intrik dan kebohongan. Pada suluk yang lain, menggambarkan ‘lidah berbisa yang memutarbalikkan fakta, meracuni telinga rakyat’. Kematian Ardi Hartono dengan lidah ditarik keluar … itu adalah pembalasan yang mengerikan dan sangat simbolis. Sang Dalang ingin menunjukkan bahwa kebohongan tidak akan pernah bisa lolos dari ‘api pemurnian’ ini.” “Ini sangat mengerikan,” bisik Kirana, suaranya kali ini tidak lagi berusaha menyembunyikan keterkejutannya. “Jadi, pembunuh itu tidak hanya sekadar mengikuti alur lakon, tapi juga menerapkan semacam ‘keadilan’ personal berdasarkan interpretasi suluk ini?” “Bukan ‘personal’, Kompol,” Raka mengoreksi dengan cepat. “Ini adalah ‘keadilan ilahi’ dalam pandangan Sang Dalang. Mereka tidak membunuh karena dendam pribadi, melainkan karena keyakinan bahwa para korban adalah personifikasi dari kebobrokan sosial yang harus dibersihkan. Dan untuk Karna …” Raka kembali menatap buku, matanya menyapu bait-bait tentang Karna. “Karna dalam suluk ini bukanlah Karna yang heroik, melainkan Karna yang ‘tan suci, amung tumindak lali’. Karna yang berani berdiri, tapi ‘menjadi pangreh budeg’, pemimpin yang tuli terhadap suara kebenaran. Ia memilih ‘kancane angkara’, berteman dengan kejahatan, menggantungkan hidupnya di neraka. Siapa pun Karna yang akan datang, dia adalah sosok yang tahu kebenaran, memiliki potensi kebaikan, namun memilih untuk mengabaikannya, memihak pada kegelapan demi loyalitas yang salah atau kepentingan sesaat. Itu yang membuat ia ‘tidak bisa kembali, dan akhirnya naik ke kematian’.” Raka merasakan beban yang berat di dadanya. Menguraikan pikiran gelap ayahnya sendiri, merangkainya menjadi motif pembunuhan, terasa seperti mengkhianati Ki Anom. Tapi ia tahu, ini adalah satu-satunya jalan untuk menghentikan kegilaan yang terjadi. “Jadi, kita tidak hanya mencari pembunuh, tapi juga seorang pengikut … seorang murid yang fanatik?” Kirana merumuskan, suaranya masih terdengar tegang. “Seseorang yang begitu mendalami pemikiran Ki Anom Suroso, hingga mampu menerjemahkan suluk-suluk tersembunyi ini menjadi sebuah ‘lakon kematian’.” “Lebih dari itu, Kompol. Seseorang yang tahu tulisan ini. Seseorang yang memiliki akses. Ayah saya sangat selektif tentang siapa yang boleh melihat karya-karya pribadinya yang belum dipentaskan.” Raka meraih beberapa lembaran lain di antara halaman-halaman yang lusuh. “Ada lagi. Beberapa draf lain yang lebih detail, bahkan menyebutkan simbol-simbol tertentu untuk pembersihan. Misalnya, ada yang bicara tentang ‘api yang membakar keserakahan’ untuk menghukum ‘pemakan bumi’.” “Pemakan bumi?” Kirana memotong, nadanya berubah menjadi lebih serius, bahkan ada sedikit urgensi yang tidak biasa ia tunjukkan. “Maksud Doktor, ada indikasi korban berikutnya?” Raka mengangguk, padahal Kirana tidak bisa melihatnya. “Ayah saya sangat spesifik. 'Mereka yang memamah tanah demi emas, menghisap darah dari rahim pertiwi.' Ada beberapa nama yang cocok dengan deskripsi ini dalam lingkup elit. Salah satunya adalah … seorang pengusaha tambang bernama Danang Prasetyo. Ia dikenal punya proyek eksplorasi besar yang kontroversial, selalu berhadapan dengan masalah lingkungan dan isu pembebasan lahan warga. Ia dijuluki ‘Raksasa Tanah’.” Suara di ujung telepon menghilang sejenak. Raka bisa mendengar suara Kirana memanggil Bripka Drajat di latar belakang, memberikan instruksi cepat, tergesa-gesa. “Doktor Raka,” Kirana kembali, suaranya tegang namun fokus. “Bisa Anda datang ke kantor polisi sekarang? Bawa buku catatan itu. Saya perlu melihat setiap halaman. Setiap coretan. Dan yang terpenting … kita harus segera menyusun daftar siapa saja yang punya akses ke pemikiran terdalam ayah Doktor. Siapa murid terdekatnya? Siapa yang paling memahami filosofi yang mengerikan ini?” Raka menghela napas panjang, menatap buku itu lagi. Ia tahu, dengan membuka kotak Pandora ini, ia tidak hanya menyeret ayahnya ke dalam kasus pembunuhan, tetapi juga dirinya sendiri ke dalam bahaya yang belum terbayangkan. “Baik, Kompol. Saya akan segera ke sana.” Raka membereskan buku dan beberapa lembar catatan yang tercecer, tangannya sedikit gemetar. Pikirannya melayang pada nama-nama yang mungkin cocok dengan deskripsi “murid terdekat” ayahnya. Salah satu nama yang paling menonjol, yang sering disebut ayahnya sebagai “bintang paling terang”, adalah .… Ia merasakan ponselnya bergetar di tangan, Kirana sepertinya ingin mengatakan sesuatu lagi. “Danang Prasetyo memiliki agenda besar hari ini, Doktor. Sebuah acara peluncuran proyek baru di aula serbaguna miliknya, sebuah acara yang disebutnya ‘Altar Kurusetra’ dalam undangannya. Jika Sang Dalang berencana melakonkan Karna, maka mungkin inilah—" “Saya tahu siapa yang bisa memberitahu kita lebih banyak tentang sisi gelap ayah saya, Kompol,” Raka memotong, pikirannya tiba-tiba fokus pada satu nama yang selama ini ia hindari. “Seorang perajin wayang tua yang selalu jadi tangan kanan ayah. Pakde Jarwo. Dia pasti tahu siapa saja yang dekat dengan ayah saya.” “Saya butuh daftar itu, Doktor,” Kirana kembali mendesak. “Segera. Setiap nama yang pernah dekat dengan Ki Anom Suroso. Siapa pun yang mungkin bisa menjadi titik terang" “Baik, sekitar dua puluh menit lagi saya sampai di situ.” Panggilan ditutup, menyisakan Raka dengan buku usang. Perasaan tersiksa dengan banyaknya analisis yang berputar di kepala, membuat Raka menghela napas berat beberapa kali.Panggilan itu terputus.Raka menatap layar ponsel yang gelap. Jemarinya mencengkeram erat. Kirana telah memutus komunikasi untuk menjauh dari pelacakan, tetapi ia juga memutus satu-satunya jembatan emosional Raka.Ia seorang diri. Kirana menjadi umpan. Agung Kusuma akan menjadi korban berikutnya. Dan putranya Kirana, Satria, adalah target final mereka.Raka memukul kemudi, lalu menarik napas panjang. Tidak ada waktu untuk marah atau menangis. Ia harus menjadi Arjuna, Bima, dan Puntadewa sekaligus. Ia harus mengambil alih lakon yang berdarah ini.Ia segera menelpon Agung Kusuma, mencoba memberinya peringatan terselubung. Lalu, ia menghubungi salah satu dalang muda. Malam ini, ia harus mengumumkan pementasanParikesit Jumeneng Ratu—pementasan harapan palsu yang akan memancing Seno dan para pengikut Banyu keluar dari sarang.“Jika kau ingin lakon ini berhenti, kau harus berani menjadi Dalang Kematian,” bisik Raka pada d
Raka merasa lemas. Wisnu Dharmawan (WD), representasi Bima, telah menjadi sasaran Sang Dalang Bayangan yang kini bergerak menggantikan Banyu.Ia tidak punya waktu untuk menghubungi polisi, atau bahkan menyusun alibi. Raka hanya membawa pisau kecil yang ia sembunyikan di pinggang, kunci mobil, dan sebuah senter. Ia bergegas keluar dari joglo, jantungnya berdebar kencang.Perjalanan ke Kulonprogo terasa seperti masuk ke lorong waktu yang gelap. Jalanan semakin menanjak dan berliku, bau tanah basah bercampur aroma bunga hutan yang dingin. Ia tiba di titik koordinat sekitar pukul sembilan malam.Tempat itu adalah gudang penyimpanan kapur pertanian, terletak di lembah sempit di antara dua bukit. Lampu merkuri yang remang-remang menampakkan pemandangan yang menyakitkan: mobil tua milik Wisnu Dharmawan terparkir di pinggir jurang, pintunya terbuka paksa. Sebuah garis darah tebal mengalir di tanah, menuju ke dalam gudang.Raka menyalakan senter, mengikuti jejak darah itu. Gudang itu gelap, di
Raka merasa ada firasat buruk yang mendalam, melihat kilatan gila di mata Kirana. Ia tahu Kirana sedang merencanakan sesuatu yang berbahaya.“Kirana, apa rencanamu?” desak Raka, rahangnya mengeras.“Seno ingin aku menghilang. Aku akan melakukannya. Aku akan keluar dari Yogya, menyebarkan desas-desus bahwa aku dipecat, bahkan dipenjara. Biarkan ia tenang.” Kirana melangkah ke loker, membuka laci kecil, dan mengambil kunci mobil yang bukan miliknya, dan tas punggung kecil.“Lalu bagaimana denganku? Bagaimana aku melindungimu saat kau hilang?”“Kau tidak perlu melindungiku, Raka. Kau perlu memainkan lakon Arjuna yang mereka harapkan, sampai kau menemukan waktu untuk menghancurkannya.” Kirana mengambil kunci lain. “Tapi aku perlu jaminan. Seno pasti mengira aku sudah menanam agen di sekitar Agung Kusuma.”Raka tahu Kirana sedang menawar nyawanya.“Aku akan mengikutimu,” kata Raka.“Tidak, Arjuna harus fokus pada lakon besarnya.” Kirana memejamkan mata sesaat. “Kau harus mulai menyebarkan
Raka menarik napas tajam. Parikesit, yang ia yakini sebagai lakon harapan baru, ternyata adalah target terakhir mereka, Too Be Confirmed—belum dikonfirmasi. Dan nama yang mengejutkan, tepat di bawah tiga tokoh kunci Pandawa itu.“Lihat ini, Kirana,” Raka memaksa. Ia menunjuk ke inisial di samping nama Kirana. “KP. Itu inisialmu. Kompol Prameswari. Dia tidak menuliskannya di gulungan lontar seperti yang dia tunjukkan di Solo. Dia menuliskannya di cetak biru ini, sebagai salah satu target yang harus mati di lakon terakhir.”Wajah Kirana memucat. Ia bukan lagi sekadar pelayan hukum yang terancam dicopot, tetapi secara eksplisit telah dimasukkan ke dalam naskah berdarah. Ia adalah tokoh epik, dengan takdir kematian yang sudah dituliskan di dinding reruntuhan ini.Raka mendekati Kirana. Ia tahu ia harus bereaksi cepat, melampaui logika forensik. “KP. Kirana. Seno tidak ingin kau dicopot. Dia ingin kau dibunuh. Di atas panggung.”“Tapi kenapa? Aku tidak punya kekuasaan sebanding dengan Dury
Dua jam kemudian, menjelang fajar, mereka akhirnya berhasil tiba di markas sementara yang sudah diamankan oleh tim Kirana, jauh di pinggiran kota, sebuah rumah kosong yang disewa atas nama samaran. Kirana memerintahkan Banyu segera diisolasi, tanpa diberi akses bicara kepada siapa pun kecuali dia. Ancaman Seno, yang berhasil ditembak ban mobilnya oleh Kirana, telah mengubah Banyu menjadi sekadar barang bukti berharga—dan target eliminasi. Sementara itu, Kirana mulai menangani lukanya dan Raka harus menerima jahitan darurat di lengan kanannya.Setelah memastikan semuanya aman, Kirana menghampiri Raka di ruang utama, membawa dua cangkir kopi panas.“Bagaimana Jaka?” tanya Raka, menatap lurus ke arah cangkirnya, menghindari kontak mata. Ia merasa terlalu rentan setelah momen emosional yang terpotong peluru itu.“Aman. Tapi dia terkejut. Seno tidak main-main. Dia mencoba mengorbankan Jaka di Solo, menempatkan mayat Gatotkaca di sana, seolah-olah Banyu masih mengendalikan lakon. Padahal Se
Setelah lima belas menit perjalanan gila, Kirana memperlambat laju mobil di sebuah pom bensin tua yang remang-remang, di luar area ring road selatan. Dua perwira Solo tiba beberapa detik kemudian, dengan wajah pucat dan seragam basah kuyup. Mereka hanya berhasil mengamankan Banyu. Motor-motor penyerang telah hilang di balik pekatnya hujan.Kirana keluar dari mobil, tidak memedulikan dingin dan basahnya jas hujan. Raka ikut keluar, mengikuti insting. Ia berjalan menghampiri Kirana, melihat bahu wanita itu naik turun dengan cepat.Kirana menyandarkan tubuhnya ke kap mobil. Rambutnya basah, menempel di dahi dan lehernya. Pakaiannya menampakkan cetakan pistol di pinggangnya yang ramping. Ia menatap Raka, sorot matanya melembut—atau mungkin hanya pantulan lampu jalan yang remang-remang.“Mereka ingin membunuh kita, Raka,” bisik Kirana, suaranya parau, jauh dari nada tegas seorang Kompol Bareskrim. Ia berbicara, tidak kepada partner kerjanya, tetapi







