共有

Suluk Pembuka Tirai

作者: Ammi Poe YP
last update 最終更新日: 2025-09-23 07:03:39

Panggilan telepon dari Kirana Prameswari telah berlalu, namun suaranya yang tegas masih bergema di benak Raka. Ia kembali ke sunyinya Joglo, bayang-bayang percakapan tentang Karna masih menjadi beban batin tersendiri bagianya. Ketakutan itu memberinya urgensi baru untuk menelusuri jejak sang ayah, bukan sekadar mencari jejak seorang dalang, melainkan mencari peta pikiran seorang jenius yang mungkin tanpa sengaja telah menanam benih kegilaan pada seseorang. Jika Sang Dalang mengikuti pakem ayahnya, maka kunci untuk menghentikannya pasti tersembunyi dalam warisan tersebut.

Raka tidak lagi melihat tumpukan manuskrip sebagai penjara, melainkan sebagai medan perang. Ia mengarahkan langkahnya menuju sudut perpustakaan warisan ayahnya, sebuah lemari kayu jati yang selalu tertutup rapat, seolah menyimpan rahasia paling kelam. Debu tebal menempel pada ukirannya, aroma apek kertas tua menusuk hidung, bercampur dengan keharuman kayu cendana yang samar. Ia membuka pintu lemari, matanya menyapu sekumpulan lontar dan buku berdebu yang seolah tak pernah tersentuh sejak Ki Anom wafat. Jemarinya bergerak perlahan, merasakan tekstur kertas rapuh, mengusap punggung buku yang usang. Ia mencari sesuatu yang tidak biasa, sesuatu yang tidak untuk konsumsi publik.

Di balik tumpukan naskah pementasan rutin dan kitab-kitab filsafat pewayangan, Raka menemukan sebuah buku tulis lusuh dengan sampul kulit yang sudah mengelupas. Tidak ada judul, hanya goresan abstrak pena yang memudar. Buku tersebut terasa lebih berat dari yang ia duga.

“Ini dia,” bisik Raka, suaranya serak di tengah keheningan. Ia mengambil buku tersebut, jantungnya berdegup kencang. Ia tahu, entah bagaimana, bahwa ia telah menemukan sesuatu yang penting. Sesuatu yang ayahnya ingin sembunyikan.

Raka membawa buku itu ke meja kerjanya, di bawah cahaya temaram lampu gantung. Ia membuka buku itu dengan jemari gemetar. Lembar-lembarnya menguning, dipenuhi dengan tulisan tangan, sebuah seni kaligrafi yang begitu ia kenali, namun kali ini terlihat lebih tergesa-gesa, lebih bergejolak. Itu adalah draf-draf suluk, tembang dalang yang menjadi pengiring adegan penting dalam pementasan wayang. Ia mengenali beberapa di antaranya, yang pernah ayahnya pentaskan. Namun, di antara draf-draf suluk yang familiar, ada bagian yang berbeda.

Tiba-tiba, ia menemukan halaman-halaman yang penuh dengan coretan dan revisi, berisi suluk yang belum pernah ia dengar. Bait-baitnya terasa asing, gelap, dan jauh dari keagungan narasi Mahabarata yang biasa. Raka mulai membaca, melafalkan dalam hati, suaranya sendiri memecah kesunyian malam di Joglo.

“Duka lara tan kinira, amung mangsa dening raga,

Jiwa mulya kinunci, dening bandha lan kursi.

Sang Kurawa tan mawas, angkara murka tan wus,

Ingaran adil tan adil, amung pamrih ing bathil.”

Raka mengernyitkan dahi. “Kesedihan yang tak terhingga, hanya melahap raga … Jiwa mulia terkunci, oleh harta dan kekuasaan …” Ia mengulang baris-baris tersebut, merasakan getaran dingin menjalar di tulang punggungnya. Ini bukan sekadar deskripsi kejahatan. Ini adalah ratapan, sebuah sumpah serapah yang disamarkan dalam keindahan bahasa Jawa Kuno.

Ia membalik halaman, menemukan lebih banyak suluk yang belum dipentaskan, masing-masing lebih intens dari sebelumnya, menggambarkan kegelapan moral dan keadilan ilahi yang brutal.

“Ksatria wani ngadeg, nanging dadi pangreh budeg,

Milih kancane angkara, nggantungake urip ing neraka.

Karna tan suci, amung tumindak lali,

Tan bisa mulih, munggah ing pati.”

Suluk itu semakin dalam, semakin tajam. Baris-baris itu meresap ke dalam diri Raka, membuat seluruh isi ruangan terasa dingin mencekam. Ayahnya, Ki Anom Suroso, dalang legendaris yang selalu dipuja karena kebijaksanaannya, ternyata memiliki sisi gelap, sebuah kegelisahan yang mendalam terhadap dunia di sekitarnya. Ia tidak hanya menceritakan kisah, melainkan juga menafsirkan, mengutuk, dan mendambakan sebuah "pemurnian" yang ekstrem.

Raka sadar, suluk yang tak pernah dipentaskan tersebut bukan hanya sekadar puisi. Ia adalah cetak biru. Sebuah visi tentang keadilan yang ekstrem, melampaui batas moralitas umum, menghukum tidak hanya yang jelas-jelas jahat, tetapi juga yang "terikat" pada kejahatan. Persis seperti yang terjadi pada Duryudana, Sengkuni, dan yang diprediksi akan menimpa Karna. Sebuah bisikan dari masa lalu yang kini menjadi panduan bagi kekejaman yang sedang berlangsung.

Rasa dingin merayapi dirinya, bukan hanya dari kata-kata ayahnya, tetapi juga dari kesadaran bahwa ia telah menemukan inti dari motif Sang Dalang. Ini bukan sekadar pembalasan dendam acak. Ini adalah sebuah ideologi, sebuah filosofi yang mendalam, yang dipengaruhi atau bahkan diciptakan oleh ayahnya sendiri. Petunjuk ini terlalu penting untuk disimpan sendiri. Ia harus segera memberitahu Kirana.

Ia meraih ponselnya, jemarinya terasa kaku. Pikiran bergejolak, mendesak.

“Kompol Kirana, ini Raka.”

“Ya, Doktor, ada apa? Apakah ada perkembangan dengan daftar ‘Karna’ itu?”

“Ada. Tapi ini lebih penting dari daftar itu,” Raka menjawab, suaranya sedikit bergetar, berusaha menstabilkannya. “Saya menemukan sesuatu yang … sangat mengganggu di catatan ayah saya. Saya rasa ini adalah kunci untuk memahami motif Sang Dalang, dan mungkin juga apa yang akan terjadi selanjutnya.”

Hening sejenak di ujung telepon. Raka bisa membayangkan Kirana menyipitkan mata, mencoba menganalisis informasi yang ia sampaikan. “Catatan apa, Doktor?”

“Buku catatan lama. Berisi draf suluk yang tak pernah dipentaskan. Bukan sekadar tembang biasa, Kompol. Ini adalah manifestasi dari kegelisahan ayah saya, sebuah visi keadilan yang sangat kelam.”

“Apa isinya?” Kirana mendesak, nadanya sedikit berubah, ada ketertarikan yang tidak bisa ia sembunyikan.

“Saya akan bacakan beberapa barisnya. Dengarkan baik-baik,” Raka mengambil jeda sesaat, menstabilkan napasnya. Ia lalu membacakan suluk pertama yang ia temukan, baris demi baris, dengan intonasi yang hati-hati, seolah-olah ia sendiri sedang membedah setiap kata.

“‘Duka lara tan kinira, amung mangsa dening raga, Jiwa mulya kinunci, dening bandha lan kursi. Sang Kurawa tan mawas, angkara murka tan wus, Ingaran adil tan adil, amung pamrih ing bathil.’” Raka menyelesaikan bait pertama, suaranya merendah, menahan getaran.

“Artinya … kesedihan yang tak terhingga, hanya melahap raga, jiwa mulia terkunci oleh harta dan kekuasaan. Para Kurawa tak melihat, angkara murka tak pernah berakhir. Disebut adil, namun tak adil, hanya pamrih yang bathil,” terjemah Raka, menatap lekat lembaran kertas usang di depannya.

“Ayah saya … ia menulis tentang bagaimana dunia wayang yang sakral telah tercemar oleh nafsu serakah para Kurawa modern, para politisi busuk, konglomerat tanpa etika. Dia merasakan kemarahan yang mendalam terhadap ketidakadilan dan korupsi yang merajalela.”

“Kedengarannya seperti lirik lagu protes,” komentar Kirana, namun ada nada hati-hati dalam suaranya. “Bagaimana ini terhubung dengan pembunuhan?”

“Ini bukan hanya kritik sosial, Kompol. Ayah saya melanjutkan dengan bait-bait yang lebih mengerikan. Ia menulis tentang bagaimana ‘pemurnian’ diperlukan. Bahwa hanya dengan membersihkan panggung dari kekotoran, keadilan sejati dapat ditegakkan. Lalu ada bagian tentang Karna.” Raka lalu membacakan bait kedua yang ia temukan.

“‘Ksatria wani ngadeg, nanging dadi pangreh budeg, Milih kancane angkara, nggantungake urip ing neraka. Karna tan suci, amung tumindak lali, Tan bisa mulih, munggah ing pati.’”

Kirana terdiam lebih lama kali ini. Raka bisa mendengar napasnya yang tertahan di ujung telepon.

この本を無料で読み続ける
コードをスキャンしてアプリをダウンロード

最新チャプター

  • Kelir Getih (Layar Berdarah)   Teka-Teki Suluk

    Hening sejenak di ujung telepon, lebih panjang dan lebih berat dari sebelumnya. Raka bisa merasakan Kirana di seberang sana sedang memproses, merangkai setiap kata, setiap makna yang barusan ia sampaikan. Udara di joglo itu terasa membeku, seolah menahan napas bersamanya.“Ksatria yang berani berdiri, tapi menjadi pemimpin yang tuli … memilih teman keangkara-murkaan, menggantungkan hidup di neraka …” Kirana mengulang baris terakhir suluk yang baru saja Raka bacakan, suaranya pelan, lebih pelan dari biasanya, pikirannya sibuk menelusuri teka-teki di benaknya.“Karna tidak suci, hanya bertindak lalai … tidak bisa kembali, naik ke kematian.” Kemudian, ia menarik napas tajam. “Maksud Doktor, ayah Doktor menulis semacam daftar sasaran … atau pembenaran untuk pembunuhan itu?”Raka mengusap wajahnya yang terasa dingin. Buku lusuh di depannya seolah memancarkan aura suram. “Bukan daftar, Kompol. Lebih tepatnya, sebuah manifestasi. Ayah saya adalah seniman yang tidak hanya melihat panggung way

  • Kelir Getih (Layar Berdarah)   Suluk Pembuka Tirai

    Panggilan telepon dari Kirana Prameswari telah berlalu, namun suaranya yang tegas masih bergema di benak Raka. Ia kembali ke sunyinya Joglo, bayang-bayang percakapan tentang Karna masih menjadi beban batin tersendiri bagianya. Ketakutan itu memberinya urgensi baru untuk menelusuri jejak sang ayah, bukan sekadar mencari jejak seorang dalang, melainkan mencari peta pikiran seorang jenius yang mungkin tanpa sengaja telah menanam benih kegilaan pada seseorang. Jika Sang Dalang mengikuti pakem ayahnya, maka kunci untuk menghentikannya pasti tersembunyi dalam warisan tersebut.Raka tidak lagi melihat tumpukan manuskrip sebagai penjara, melainkan sebagai medan perang. Ia mengarahkan langkahnya menuju sudut perpustakaan warisan ayahnya, sebuah lemari kayu jati yang selalu tertutup rapat, seolah menyimpan rahasia paling kelam. Debu tebal menempel pada ukirannya, aroma apek kertas tua menusuk hidung, bercampur dengan keharuman kayu cendana yang samar. Ia membuka pintu lemari, matanya menyapu se

  • Kelir Getih (Layar Berdarah)   Filosofi Rapuh

    Panggilan telepon dari Kompol Kirana Prameswari pagi itu terasa seperti suara genderang dari medan perang yang tak terhindarkan. Raka menduga ia akan dipanggil kembali, terutama setelah penemuan jasad Sengkuni yang mengerikan. Namun, mengetahui dan merasakan adalah dua hal yang berbeda. Malam yang dia habiskan dengan buku harian ayahnya dan sketsa kayon yang menusuk telah mengikis lapisan isolasi diri dari dunia luar. Ia sekarang tidak hanya seorang konsultan; ia adalah bidak dalam permainan, dan pengetahuannya yang mendalam tentang lakon wayang kini terasa seperti rantai yang mengikatnya, bukan lagi perisai.Ia tiba di posko sementara kepolisian, sebuah bangunan kosong yang disulap menjadi markas darurat. Kirana menunggunya di sebuah ruang rapat kecil yang remang-remang, meja panjang di tengahnya dipenuhi peta, foto-foto TKP, dan tumpukan laporan. Kompol wanita itu tidak mengenakan seragam, melainkan kemeja kasual yang rapi dan celana panjang yang tegas, mencerminkan pragmatisme yang

  • Kelir Getih (Layar Berdarah)   Analisa Motif

    Cahaya fluoresen di ruang interogasi sementara itu terasa lebih menusuk dibandingkan sorot matahari Jogja yang baru saja Raka tinggalkan. Udara dingin dari pendingin ruangan menyengat kulit, berpadu dengan bau kopi basi dan kertas-kertas laporan. Raka masih merasakan sisa kengerian dari pemandangan yang disaksikannya di kantor politisi itu, sebuah lakon tragis yang terukir di tubuh mati. Dia duduk di kursi logam yang dingin, meremas jari-jarinya. Kompol Kirana Prameswari duduk di seberangnya, wajahnya tegas, mata tajamnya tak pernah lepas dari Raka. Di sampingnya, Bripka Drajat tampak tidak sabar, sesekali melirik jam tangan."Dr. Raka," Kirana memulai, suaranya lugas, tanpa basa-basi. "Saya tahu ini tidak nyaman, tapi kita butuh penjelasan Anda. Segera."Raka menelan ludah, tenggorokannya tercekat. "Penjelasan apa lagi, Kompol? Saya sudah katakan, yang Anda lihat itu … itu replika adegan kematian Sengkuni dalam Bharatayuddha. Lidah ditarik keluar, dikelilingi simbol-simbol kecurangan

  • Kelir Getih (Layar Berdarah)   Kematian Sengkuni

    Dr. Raka Permadi terperanjat dari kursi rotan peninggalan ayahnya, suara gedoran di pintu joglo membelah keheningan malam. Dia mengenakan sarung batik yang usang, rambut gondrongnya yang diikat seadanya terurai saat Dia berjalan gontai melewati lorong-lorong kayu berukir, menuju sumber kegaduhan."Dr. Permadi, kami dari kepolisian!" Suara berat itu terdengar lagi, lebih mendesak agar segera dibukakan pintu.Raka membuka pintu kayu berdaun ganda. Di depan pintu telah berdiri dua sosok berseragam cokelat gelap, siluet mereka diterangi lampu sorot mobil patroli."Ada apa?" tanyanya seraya mata menyipit, berusaha beradaptasi dengan cahaya yang terang benderang yang menyorot.Seorang polisi muda dengan wajah kaku melangkah maju. "Dengan Dr. Raka Permadi? Filolog dari Universitas Gadjah Mada?""Benar. Tapi saya sudah lama tidak aktif mengajar. Ada apa ini?" Raka menggeser sedikit badannya, membentuk celah kecil pada pintu, seolah ingin menutupi apa yang ada di belakangnya.Polisi muda berna

続きを読む
無料で面白い小説を探して読んでみましょう
GoodNovel アプリで人気小説に無料で!お好きな本をダウンロードして、いつでもどこでも読みましょう!
アプリで無料で本を読む
コードをスキャンしてアプリで読む
DMCA.com Protection Status