ログインPanggilan telepon dari Kirana Prameswari telah berlalu, namun suaranya yang tegas masih bergema di benak Raka. Ia kembali ke sunyinya Joglo, bayang-bayang percakapan tentang Karna masih menjadi beban batin tersendiri bagianya. Ketakutan itu memberinya urgensi baru untuk menelusuri jejak sang ayah, bukan sekadar mencari jejak seorang dalang, melainkan mencari peta pikiran seorang jenius yang mungkin tanpa sengaja telah menanam benih kegilaan pada seseorang. Jika Sang Dalang mengikuti pakem ayahnya, maka kunci untuk menghentikannya pasti tersembunyi dalam warisan tersebut.
Raka tidak lagi melihat tumpukan manuskrip sebagai penjara, melainkan sebagai medan perang. Ia mengarahkan langkahnya menuju sudut perpustakaan warisan ayahnya, sebuah lemari kayu jati yang selalu tertutup rapat, seolah menyimpan rahasia paling kelam. Debu tebal menempel pada ukirannya, aroma apek kertas tua menusuk hidung, bercampur dengan keharuman kayu cendana yang samar. Ia membuka pintu lemari, matanya menyapu sekumpulan lontar dan buku berdebu yang seolah tak pernah tersentuh sejak Ki Anom wafat. Jemarinya bergerak perlahan, merasakan tekstur kertas rapuh, mengusap punggung buku yang usang. Ia mencari sesuatu yang tidak biasa, sesuatu yang tidak untuk konsumsi publik.
Di balik tumpukan naskah pementasan rutin dan kitab-kitab filsafat pewayangan, Raka menemukan sebuah buku tulis lusuh dengan sampul kulit yang sudah mengelupas. Tidak ada judul, hanya goresan abstrak pena yang memudar. Buku tersebut terasa lebih berat dari yang ia duga.
“Ini dia,” bisik Raka, suaranya serak di tengah keheningan. Ia mengambil buku tersebut, jantungnya berdegup kencang. Ia tahu, entah bagaimana, bahwa ia telah menemukan sesuatu yang penting. Sesuatu yang ayahnya ingin sembunyikan.
Raka membawa buku itu ke meja kerjanya, di bawah cahaya temaram lampu gantung. Ia membuka buku itu dengan jemari gemetar. Lembar-lembarnya menguning, dipenuhi dengan tulisan tangan, sebuah seni kaligrafi yang begitu ia kenali, namun kali ini terlihat lebih tergesa-gesa, lebih bergejolak. Itu adalah draf-draf suluk, tembang dalang yang menjadi pengiring adegan penting dalam pementasan wayang. Ia mengenali beberapa di antaranya, yang pernah ayahnya pentaskan. Namun, di antara draf-draf suluk yang familiar, ada bagian yang berbeda.
Tiba-tiba, ia menemukan halaman-halaman yang penuh dengan coretan dan revisi, berisi suluk yang belum pernah ia dengar. Bait-baitnya terasa asing, gelap, dan jauh dari keagungan narasi Mahabarata yang biasa. Raka mulai membaca, melafalkan dalam hati, suaranya sendiri memecah kesunyian malam di Joglo.
“Duka lara tan kinira, amung mangsa dening raga,
Jiwa mulya kinunci, dening bandha lan kursi.
Sang Kurawa tan mawas, angkara murka tan wus,
Ingaran adil tan adil, amung pamrih ing bathil.”
Raka mengernyitkan dahi. “Kesedihan yang tak terhingga, hanya melahap raga … Jiwa mulia terkunci, oleh harta dan kekuasaan …” Ia mengulang baris-baris tersebut, merasakan getaran dingin menjalar di tulang punggungnya. Ini bukan sekadar deskripsi kejahatan. Ini adalah ratapan, sebuah sumpah serapah yang disamarkan dalam keindahan bahasa Jawa Kuno.
Ia membalik halaman, menemukan lebih banyak suluk yang belum dipentaskan, masing-masing lebih intens dari sebelumnya, menggambarkan kegelapan moral dan keadilan ilahi yang brutal.
“Ksatria wani ngadeg, nanging dadi pangreh budeg,
Milih kancane angkara, nggantungake urip ing neraka.
Karna tan suci, amung tumindak lali,
Tan bisa mulih, munggah ing pati.”
Suluk itu semakin dalam, semakin tajam. Baris-baris itu meresap ke dalam diri Raka, membuat seluruh isi ruangan terasa dingin mencekam. Ayahnya, Ki Anom Suroso, dalang legendaris yang selalu dipuja karena kebijaksanaannya, ternyata memiliki sisi gelap, sebuah kegelisahan yang mendalam terhadap dunia di sekitarnya. Ia tidak hanya menceritakan kisah, melainkan juga menafsirkan, mengutuk, dan mendambakan sebuah "pemurnian" yang ekstrem.
Raka sadar, suluk yang tak pernah dipentaskan tersebut bukan hanya sekadar puisi. Ia adalah cetak biru. Sebuah visi tentang keadilan yang ekstrem, melampaui batas moralitas umum, menghukum tidak hanya yang jelas-jelas jahat, tetapi juga yang "terikat" pada kejahatan. Persis seperti yang terjadi pada Duryudana, Sengkuni, dan yang diprediksi akan menimpa Karna. Sebuah bisikan dari masa lalu yang kini menjadi panduan bagi kekejaman yang sedang berlangsung.
Rasa dingin merayapi dirinya, bukan hanya dari kata-kata ayahnya, tetapi juga dari kesadaran bahwa ia telah menemukan inti dari motif Sang Dalang. Ini bukan sekadar pembalasan dendam acak. Ini adalah sebuah ideologi, sebuah filosofi yang mendalam, yang dipengaruhi atau bahkan diciptakan oleh ayahnya sendiri. Petunjuk ini terlalu penting untuk disimpan sendiri. Ia harus segera memberitahu Kirana.
Ia meraih ponselnya, jemarinya terasa kaku. Pikiran bergejolak, mendesak.
“Kompol Kirana, ini Raka.”
“Ya, Doktor, ada apa? Apakah ada perkembangan dengan daftar ‘Karna’ itu?”
“Ada. Tapi ini lebih penting dari daftar itu,” Raka menjawab, suaranya sedikit bergetar, berusaha menstabilkannya. “Saya menemukan sesuatu yang … sangat mengganggu di catatan ayah saya. Saya rasa ini adalah kunci untuk memahami motif Sang Dalang, dan mungkin juga apa yang akan terjadi selanjutnya.”
Hening sejenak di ujung telepon. Raka bisa membayangkan Kirana menyipitkan mata, mencoba menganalisis informasi yang ia sampaikan. “Catatan apa, Doktor?”
“Buku catatan lama. Berisi draf suluk yang tak pernah dipentaskan. Bukan sekadar tembang biasa, Kompol. Ini adalah manifestasi dari kegelisahan ayah saya, sebuah visi keadilan yang sangat kelam.”
“Apa isinya?” Kirana mendesak, nadanya sedikit berubah, ada ketertarikan yang tidak bisa ia sembunyikan.
“Saya akan bacakan beberapa barisnya. Dengarkan baik-baik,” Raka mengambil jeda sesaat, menstabilkan napasnya. Ia lalu membacakan suluk pertama yang ia temukan, baris demi baris, dengan intonasi yang hati-hati, seolah-olah ia sendiri sedang membedah setiap kata.
“‘Duka lara tan kinira, amung mangsa dening raga, Jiwa mulya kinunci, dening bandha lan kursi. Sang Kurawa tan mawas, angkara murka tan wus, Ingaran adil tan adil, amung pamrih ing bathil.’” Raka menyelesaikan bait pertama, suaranya merendah, menahan getaran.
“Artinya … kesedihan yang tak terhingga, hanya melahap raga, jiwa mulia terkunci oleh harta dan kekuasaan. Para Kurawa tak melihat, angkara murka tak pernah berakhir. Disebut adil, namun tak adil, hanya pamrih yang bathil,” terjemah Raka, menatap lekat lembaran kertas usang di depannya.
“Ayah saya … ia menulis tentang bagaimana dunia wayang yang sakral telah tercemar oleh nafsu serakah para Kurawa modern, para politisi busuk, konglomerat tanpa etika. Dia merasakan kemarahan yang mendalam terhadap ketidakadilan dan korupsi yang merajalela.”
“Kedengarannya seperti lirik lagu protes,” komentar Kirana, namun ada nada hati-hati dalam suaranya. “Bagaimana ini terhubung dengan pembunuhan?”
“Ini bukan hanya kritik sosial, Kompol. Ayah saya melanjutkan dengan bait-bait yang lebih mengerikan. Ia menulis tentang bagaimana ‘pemurnian’ diperlukan. Bahwa hanya dengan membersihkan panggung dari kekotoran, keadilan sejati dapat ditegakkan. Lalu ada bagian tentang Karna.” Raka lalu membacakan bait kedua yang ia temukan.
“‘Ksatria wani ngadeg, nanging dadi pangreh budeg, Milih kancane angkara, nggantungake urip ing neraka. Karna tan suci, amung tumindak lali, Tan bisa mulih, munggah ing pati.’”
Kirana terdiam lebih lama kali ini. Raka bisa mendengar napasnya yang tertahan di ujung telepon.
Seno menjawab dengan amarah murni. Ia mengeluarkan sesuatu yang panjang, mengancam akan menusuk Kirana dan Satria.“Aku bukan Seno, Raka,” bisik suara di belakangkeliritu, tiba-tiba terdengar dekat, dan penuh keakraban yang memuakkan. “Aku adalah bayanganmu yang sesungguhnya. Aku adalah Parikesit. Dan aku harus mati setelah melahirkan kehancuran.”Sosok di balikkeliritu mulai melangkah maju, membiarkan api kecil yang masih menyala membakar wayang yang menempel di kelirnya. Wayang itu jatuh. Tapi wayang Satria kini sudah berada di tangan Kirana.Sosok itu akhirnya melangkah keluar dari balik layar. Bukan Seno. Melainkan Agung Kusuma, Kepala Kejaksaan Agung, sang Puntadewa yang seharusnya mati. Wajahnya dihiasi darah yang mengering, mengenakan pakaian seragam kepolisian milik Kirana yang berlumuran darah.“Selamat datang, Dalang Bayangan,” bisiknya pada Raka, suaranya tenang, penu
Saat Raka tiba di gerbang rumah joglonya yang sepi, ponselnya kembali bergetar. Sebuah notifikasi pesan. Nomor baru. Ia membukanya, melihat hanya sebuah tautan yang mengarah ke peta koordinat.Di bawah koordinat itu, hanya ada satu baris dialog yang membuatnya merasakan hawa dingin menjalari pori-porinya, lebih dingin dari udara malam.“Pentas utamamu batal, Arjuna. Malam ini, mari kita saksikanTarian Kematian, pentas perpisahanmu.”Raka menggeram. Provokasi berhasil. Seno telah menggigit umpannya dan memanggil Raka ke panggungnya.Ia menancapkan alamat itu ke navigasinya. Koordinat itu mengarah ke pinggiran Sleman Utara, ke sebuah kompleks gudang yang tidak terpakai, jauh dari hiruk pikuk kota.“Kau ingin aku datang, ya?” Raka berbisik, mengambil senter, pisau kecilnya, dan—setelah ragu sejenak—sebuahcempala(alat pukul dalang) besi tua yang berat milik ayahnya
Panggilan itu terputus.Raka menatap layar ponsel yang gelap. Jemarinya mencengkeram erat. Kirana telah memutus komunikasi untuk menjauh dari pelacakan, tetapi ia juga memutus satu-satunya jembatan emosional Raka.Ia seorang diri. Kirana menjadi umpan. Agung Kusuma akan menjadi korban berikutnya. Dan putranya Kirana, Satria, adalah target final mereka.Raka memukul kemudi, lalu menarik napas panjang. Tidak ada waktu untuk marah atau menangis. Ia harus menjadi Arjuna, Bima, dan Puntadewa sekaligus. Ia harus mengambil alih lakon yang berdarah ini.Ia segera menelpon Agung Kusuma, mencoba memberinya peringatan terselubung. Lalu, ia menghubungi salah satu dalang muda. Malam ini, ia harus mengumumkan pementasanParikesit Jumeneng Ratu—pementasan harapan palsu yang akan memancing Seno dan para pengikut Banyu keluar dari sarang.“Jika kau ingin lakon ini berhenti, kau harus berani menjadi Dalang Kematian,” bisik Raka pada d
Raka merasa lemas. Wisnu Dharmawan (WD), representasi Bima, telah menjadi sasaran Sang Dalang Bayangan yang kini bergerak menggantikan Banyu.Ia tidak punya waktu untuk menghubungi polisi, atau bahkan menyusun alibi. Raka hanya membawa pisau kecil yang ia sembunyikan di pinggang, kunci mobil, dan sebuah senter. Ia bergegas keluar dari joglo, jantungnya berdebar kencang.Perjalanan ke Kulonprogo terasa seperti masuk ke lorong waktu yang gelap. Jalanan semakin menanjak dan berliku, bau tanah basah bercampur aroma bunga hutan yang dingin. Ia tiba di titik koordinat sekitar pukul sembilan malam.Tempat itu adalah gudang penyimpanan kapur pertanian, terletak di lembah sempit di antara dua bukit. Lampu merkuri yang remang-remang menampakkan pemandangan yang menyakitkan: mobil tua milik Wisnu Dharmawan terparkir di pinggir jurang, pintunya terbuka paksa. Sebuah garis darah tebal mengalir di tanah, menuju ke dalam gudang.Raka menyalakan senter, mengikuti jejak darah itu. Gudang itu gelap, di
Raka merasa ada firasat buruk yang mendalam, melihat kilatan gila di mata Kirana. Ia tahu Kirana sedang merencanakan sesuatu yang berbahaya.“Kirana, apa rencanamu?” desak Raka, rahangnya mengeras.“Seno ingin aku menghilang. Aku akan melakukannya. Aku akan keluar dari Yogya, menyebarkan desas-desus bahwa aku dipecat, bahkan dipenjara. Biarkan ia tenang.” Kirana melangkah ke loker, membuka laci kecil, dan mengambil kunci mobil yang bukan miliknya, dan tas punggung kecil.“Lalu bagaimana denganku? Bagaimana aku melindungimu saat kau hilang?”“Kau tidak perlu melindungiku, Raka. Kau perlu memainkan lakon Arjuna yang mereka harapkan, sampai kau menemukan waktu untuk menghancurkannya.” Kirana mengambil kunci lain. “Tapi aku perlu jaminan. Seno pasti mengira aku sudah menanam agen di sekitar Agung Kusuma.”Raka tahu Kirana sedang menawar nyawanya.“Aku akan mengikutimu,” kata Raka.“Tidak, Arjuna harus fokus pada lakon besarnya.” Kirana memejamkan mata sesaat. “Kau harus mulai menyebarkan
Raka menarik napas tajam. Parikesit, yang ia yakini sebagai lakon harapan baru, ternyata adalah target terakhir mereka, Too Be Confirmed—belum dikonfirmasi. Dan nama yang mengejutkan, tepat di bawah tiga tokoh kunci Pandawa itu.“Lihat ini, Kirana,” Raka memaksa. Ia menunjuk ke inisial di samping nama Kirana. “KP. Itu inisialmu. Kompol Prameswari. Dia tidak menuliskannya di gulungan lontar seperti yang dia tunjukkan di Solo. Dia menuliskannya di cetak biru ini, sebagai salah satu target yang harus mati di lakon terakhir.”Wajah Kirana memucat. Ia bukan lagi sekadar pelayan hukum yang terancam dicopot, tetapi secara eksplisit telah dimasukkan ke dalam naskah berdarah. Ia adalah tokoh epik, dengan takdir kematian yang sudah dituliskan di dinding reruntuhan ini.Raka mendekati Kirana. Ia tahu ia harus bereaksi cepat, melampaui logika forensik. “KP. Kirana. Seno tidak ingin kau dicopot. Dia ingin kau dibunuh. Di atas panggung.”“Tapi kenapa? Aku tidak punya kekuasaan sebanding dengan Dury