PoV AnggitaSepeninggal Mas Dani, aku dan Ibu masih membahas tentang kehamilanku ini.“Jadi cerita sebenarnya gimana sih? Kamu hamil sama siapa? Arya atau Dani?” Ibu bertanya seolah aku adalah tersangka.“Sebenarnya ini anak Arya, Bu. Saat dia tahu aku hamil, dia malah pergi. Sekarang setelah aku menikah dengan Mas Dani dia datang lagi dan mengajakku menikah, dia menginginkan anak ini, Bu.” Terangku. Ibu lalu mengangguk paham.“Arya kerja apa? Orangtuanya gimana?” tanya Ibu dengan antusias.“Sepertinya mereka punya usaha kuliner, Bu. Aku juga nggak tahu apa tepatnya, soalnya belum pernah diajak ke rumahnya. Tapi seingatku dulu Arya pernah cerita kalau usaha kuliner keluarganya sudah memiliki beberapa cabang.”Ibu sepertinya berspekulasi tentang seberapa kaya Arya ini, terlihat dari matanya yang berbinar.“Wah, lumayan kaya dong! Semisal aja ya, punya warung bakso dan memiliki beberapa cabang, uda puluhan juta itu sebulannya. Nggak papa deh, kamu nikah sama Arya aja. Ibu merestui.” Ib
"Ada apa to, kok teriak. Kayak di hutan aja.” Sahut Ibuku yang masih menyapu lantai. “Arya barusan telepon, Bu. Katanya dia mau menikah denganku! Sebentar lagi kita akan jadi orang kaya, Bu!” Aku dan Ibu bergandengan tangan dan melompat seperti anak kecil karena terlalu senang. “Jangan melompat, Nak. Kamu sedang hamil.” Suara Ayah menghentikan kegiatanku dan Ibu. “Jadi kapan dia mau datang, biar Ibu pesan makanan enak untuk menyambutnya. Eh, dia sendirian atau bersama orang tuanya?” Ibu sungguh tak sabar, melebihi aku yang akan menikah. “Belum tahu, Bu. Tapi mungkin sendirian dulu,” jawabku tak kalah semangat. “Anggita, inget! Kamu harus cerai dulu dengan Dani, baru bisa menikah. Wanita tidak boleh mempunyai dua suami.” Seketika aku cemberut. Tak perlu diingatkan pun aku sudah tahu kalau aku masih memiliki Mas Dani sebagai suamiku. Aku yakin Mas Dani juga akan senang kalau kita bercerai, dia pasti akan mengejar Rara lagi. Biarlah, toh aku juga akan menikah. “Iya, aku tahu, Ayah
“Eh, ada Bu besan. Gak salah belanja di sini? Nanti bisa beli baju tapi gak bisa makan. Kan kasihan!” Suara Ibuku terdengar nyaring. Duh, Ibu bikin malu aja!****Aku menduga akan terjadi perang dunia ketiga apabila mertuaku menjawab ucapan Ibu. Raut muka mertuaku sudah memerah. Aduh ... Sebentar lagi meledak itu.“Bukannya ke balik ya? Usaha suamimu kan hampir bangkrut, lebih baik kamu di rumah aja atau duitmu buat modal aja biar makin kaya.Hahaha ....” ucapan mertuaku membuat Ibuku tak mau kalah.Beberapa orang mulai mengerubungi perseteruan dua Ibu itu.“Masih mending akulah, punya rumah, punya usaha, nggak kayak kamu. Kesana kemari numpang, anak semua nggak ada yang kerja. Duitmu aja tuh ditabung buat beli beras.” Sindir Ibuku.“Totalnya enam belas juta lima ratus ribu rupiah, tapi karena Ibu punya poin banyak karena sering belanja di sini jadi ada potongan sebesar tiga juta rupiah. Sisanya jadi tiga belas juta lima ratus ribu rupiah.” Terdengar suara kasir membacakan harga yang
Dani tak menyangka pertemuannya dengan Rara akan membuatnya sesakit ini. Dibukanya kembali akta cerai yang diremasnya tadi. Dibaca berulang kali pun, tetap sama . Mereka telah resmi bercerai. Bulir bening menetes dari pelupuk matanya. Penyesalan memang selalu datang terlambat. Seandainya dikasih kesempatan kedua, Dani pasti akan menjaga hati Rara sepenuh hati. Memang, kita baru merasa membutuhkan setelah kehilangan.“Kamu kenapa, Dan?” tanya Bu Intan.Dani menyerahkan akta cerai itu kepada Ibunya. “Kalian sudah resmi cerai? Lalu kenapa kamu sedih?” Ibunya masih juga tak paham.“Bu, aku sekarang bukan siapa-siapa Rara, sekuat tenaga aku mengajaknya rujuk, tetap tidak mungkin bisa.” Lirih Dani.“Ya jelas nggak mau lah, wong kita aja sekarang kere. Coba kalau kamu sukses, pasti bisa mendapatkan hatinya kembali! Kamu pandangi kertas itu sampai lebaran monyet juga tak akan berubah. Lebih baik kamu yang berubah. Cari kerja dan jadi sukses lagi. Kamu itu ganteng, kalaupun tak ada Rara pasti
“Brengsek kenapa kamu menyakiti kakakku, hah? Kalau memang sudah bosan ceraikan saja dia, tak usah jadi pengecut seperti ini!” teriak Dani marah. Tentu saja dia tak terima kakaknya diperlakukan seperti ini.“Kenapa kamu marah, hah? Bukannya Kamu juga sama brengseknya denganku?! Mungkin kalau dulu Rara punya kakak, kamu akan mati di tangan kakaknya!” ucapan Ken membuat Dani terdiam. Seakan ucapan itu kena di relung hatinya. “Aaarrgg ... tetap saja aku tak terima Mbak Nia kamu buat seperti ini.” Sentak Dani yang sudah babak belur. Dia kembali menyerang Ken, tapi tentu saja dihalangi warga.Wati dan Nia pun sama, tampang mereka tak kalah memprihatinkan. Bekas cakaran dan tamparan ada di wajah mereka. Pak RT dan dua orang warga masih kebingungan untuk memisahkan mereka berempat. Akhirnya pertikaian dapat dihentikan setelah beberapa orang memegangi mereka.“Sudah! Jangan adu fisik lagi. Kalian yang ribut, aku yang capek!” Pak Basri terengah-engah.“Dani, Nia. Kalian kenapa?” Bu Intan d
Sepeninggal Sasa, aku kembali bekerja. Tumpukan berkas di berbagai map melambai-lambai untuk dibuka. Mengurus beberapa restoran membuatku benar-benar pusing. Aku jadi menyadari bagaimana Papa sering terlihat lelah sepulang kerja dulu, sementara aku hanya bisa menghabiskan uang Papa begitu saja. Sekarang setelah tiada, mau tak mau akulah yang harus meneruskan usaha ini. Adikku, Sinta lebih memilih mengikuti suaminya yang menjadi seorang ASN.Aku meregangkan badan, sejenak mengusir rasa penat di mata dan di kepalaku. Netraku memandang foto pernikahan kedua orang tuaku. Ya, ini memang ruangan Papa dulunya. Papa adalah orang yang setia, begitu mencintai Mama dan tak pernah sekalipun berniat mengkhianati Mama. Awalnya aku ingin seperti kedua orang tuaku, yang saling mencintai sampai maut memisahkan, tapi mengingat kedua orang tuaku meninggal karena menjadi korban tabrak lari oleh Ayah Anggita, rasa dendam mendadak lebih besar dibanding rasa ingin setia.Aku memang ingin menikah dengan An
Sialan! Arya menolakku dan Mbak Nia untuk bekerja di sana. Padahal jabatanku dulu kan manager, masa menawarkan kerjaan jadi cleaning servis? Bisa turun dong derajatku. Selama ini aku sudah memasukkan beberapa lamaran menjadi manager di beberapa perusahaan, tapi tetap saja tak ada balasan apa pun. Hanya membuang uang untuk membeli amplop dan fotokopi. Padahal aku ini tampan dan pintar, kenapa mereka tidak mau menerimaku?Selama ini aku bisa bertahan hidup dari uang pemberian Arya, Ibu tak mau membantu mencari uang, mbak Nia pun sama saja, hanya bisa menghabiskan uangku saja. Setengah mati aku membujuk Mbak Nia agar mau bekerja, kupikir- pikir karena kenal dengan Arya makanya dia akan menerimaku, tapi ternyata sama saja. Mbak Nia pun menolak menjadi cleaning servis. Apalagi sekarang, Mbak Nia sering lihat Bang Ken dan istri barunya semakin mesra. Kadang kakakku pun masih menatap pasangan itu sendu. Aku masih ke pikiran ucapan Arya tadi. Kapan dia bertemu dengan Rara? Dan bagaimana me
“Bu, bersikap lembutlah pada pembeli, masa Ibu ketus gitu, nanti mereka pada lari, gak jadi beli di warung kita,” ucapku pada Ibu yang masih asyik menonton TV “Siapa yang nggak kesel coba? Masa Cuma lima belas ribu dia berani melempar uang itu ke Ibu?!” “Ya, kan karena Ibu jualnya kemahalan! Kan udah aku tulis di situ harganya, Bu!” aku mulai kesal dengan Ibu. “Namanya jualan itu cari untung yang banyak, bukan cari rugi! Gitu aja kamu gak tahu, Dan!” “Serah Ibu aja lah!” ucapku ketus. “Ya memang terserah Ibu.” Ibu kembali mengambil camilan dan menonton sinetron kesukaannya. Tak kutanggapi lagi ocehan Ibu. Biarlah warungku nanti bakalan menjadi seperti apa. Semoga saja tidak menimbulkan masalah baru. Besok aku ada interviu kerja. Semoga diterima di sana. Apa kubilang? Aku memang pantas menjadi manager. Dari sekian banyak lamaran pekerjaan yang ku apply, hanya perusahaan ini yang memanggilku. Aku harus tampil sempurna untuk besok! Ponselku dari tadi diam saja tak bersuara. Padahal