Pulang terapi Alara benar-benar tertidur pulas hingga sore menjelang. Mama mertuanya sudah kembali sejak mereka tiba di rumah. Melihat ponselnya yang sejak tadi sunyi, Diva mengeceknya. Pesan darinya belum terbalaskan, biasanya Mas Ghibran selalu membalas meski hanya satu kata. Tapi, sejak tadi pagi Diva belum mendapat kabar apapun. "Mungkin Mas Ghibran benar-benar sibuk." Gumamnya. Menghela napas panjang, Diva melangkah menuju kamar Alara. Di bukanya pintu bercat cokelat dengan aksesoris bertuliskan Alara di bagian depan pintu. Di atas ranjang, Diva melihat Alara tidur dengan tenang. Seolah tak memiliki beban apapun. Perlahan, Diva duduk di tepi ranjang. Sebelah tangannya membelai halus rambut Alara. Gadis kecil ini benar-benar cantik meski memiliki keistimewaan. Sebelah kakinya yang tumbuh tak sempurna membuat jalannya terseok-seok. Alara bukan lah anak yang harus di benci, Alara adalah anak yang harus di lindungi. Hidupnya sama berharga dengan anak-anak lain di luar sana. "Beg
"Assalamualaikum Ma, gimana hasilnya?" Mama yang melihat menantunya datang tersenyum, "Wa'alaikummussalam, masih terapi di dalam sama terapisnya." Diva mengangguk, setelah mengantar Alara dan Mama mertuanya Diva harus ke sekolah. Karena tidak mungkin membolos, apalagi mendadak. Jadi Diva mengajar sebentar sebelum akhirnya ijin untuk menemani Alara terapi. "Mama tidak menemani Alara di dalam?" Tanya Diva menatap bingung Mama mertuanya. "Mama tidak mau melihat Alara yang merengek. Mama cukup menunggunya disini." "Apakah biasanya Alara selalu seperti itu?" "Ya, Alara selalu menolak terapi. Menurut Alara, kakinya terasa sakit jika harus dipaksa menggunakan alat yang tidak dia sukai. Tapi Mama harus melakukannya, semua demi kebaikan Alara. Jika Mama masuk, maka Alara akan terus merengek dan meminta pulang.""Tapi tadi Alara tidak menolak." Ingat Diva melihat dirinya menyiapkan anaknya berdandan. Mama tersenyum lembut, "Itu karena kamu,""Diva?" Tunjuk Diva pada dirinya sendiri. Mam
"Saya pamit dulu, assalamualaikum." Mas Ghibran mencium kening istrinya lembut."Wa'alaikummussalam." Diva mencium tangan suaminya sebelum pria itu memasuki mobil. Setelah adzan subuh berkumandang Mas Ghibran berangkat menuju Solo untuk mengadakan rapat bersama pemegang saham. Sebagai istri yang baik, tentu Diva sudah menyiapkan bekal dan sarapan untuk suaminya. Karena Mbok Iyul datang jam tujuh pagi, maka Diva lah yang membuatkan makanan untuk Mas Ghibran. Setelah memastikan suaminya pergi, Diva bersiap menarik gerbang, menutupnya. Namun sebuah mobil sedan berwarna hitam berhenti di pelataran rumah, sesosok wanita paruh baya yang amat di kenalnya datang. "Mama?"Mama tersenyum, "Assalamualaikum Diva, menantu Mama." Dengan sigap Diva mencium tangan ibu mertuanya, "Mama kok tidak bilang mau kesini? Mas Ghibran baru aja pergi ke Solo, ada pekerjaan disana." "Loh pergi? Ghibran tidak kasih tau kamu? Seenaknya saja dia pergi, sikapnya masih sama saja." Heran Mama."Kasih tau apa, Ma?
Pukul setengah satu malam, Diva mendengar deru mobil memasuki pekarangan rumah. Dirinya yang sejak tadi gelisah, kini bergegas keluar menyambut suaminya pulang. Diva tidak bisa tidur setelah melihat kemarahan di raut wajah suaminya sebelum pergi. "Mas!" Mas Ghibran yang baru saja masuk terkejut melihat Diva yang datang menghampiri. Perempuan itu tidak mendengarkan perintahnya untuk segera tidur. Mas Ghibran menatap tajam ke arah Diva. "Kenapa tidak menurut dengan ucapan saya?" "Mas... Diva khawatir Mas Ghibran belum pulang." Kata Diva halus. "Sudah saya katakan untuk tidak menunggu." "Tapi Diva mau. Diva mau menunggu Mas Ghibran pulang." Bela Diva. "Sebelum pergi, Mas Ghibran belum makan sama sekali. Diva kepikiran dengan kondisi Mas Ghibran.""Diva,--""Mas Ghibran boleh marah dengan Diva, tapi jangan larang perasaan khawatir Diva untuk Mas Ghibran."Mas Ghibran terhenyak mendengarnya, segala rasa kesal sirna seketika. Diva memang perempuan yang baik dan perhatian padanya. Mesk
Menjadi istri seorang Ghibran Batsya Alfarizi cukup membuat Diva mengenal kepribadian pria itu lebih jauh. Sifatnya yang dominan, keras kepala dan berpendirian tegas membuat Diva sedikit banyak mulai memahami karakter suaminya. Apalagi menyangkut putri mereka, Alara. Mas Ghibran selalu acuh dengan keberadaan putrinya yang manis. Meski begitu, Diva selalu menceritakan segala hal tentang Alara pada suaminya. Setidaknya, Diva ingin Mas Ghibran melihat Alara. Sebentar saja.Semenjak kepulangan mereka dari makam kedua orang tuanya, Mas Ghibran di sibukkan dengan pekerjaan hingga membuatnya harus pergi ke Bali. Hanya melalui sambungan telepon keduanya berkomunikasi, untuk saat ini. Cutinya pun sudah usai, Diva kembali ke rutinitasnya mengajar di Taman Kanak-kanak swasta. Apalagi Mas Ghibran tak pernah melarang apapun keinginan Diva, tentu saja Diva membalas dengan melayani suaminya sebaik mungkin. Ting! 'Malam ini, saya pulang.'Sa
"Mas suka kue?" Tanya Diva pada Mas Ghibran. Mas Ghibran yang masih menyantap makan siangnya di meja makan menoleh pada istrinya. Setelah menyelesaikan kunyahan, barulah Ghibran menjawab. "Saya tidak menyukai makanan manis."Jawaban Mas Ghibran membuat bahu Diva meluruh, "Tadi Diva sama Alara mampir ke supermarket beli bahan-bahan untuk kue.""Tapi, nanti Diva bisa membuatkan Mas Ghibran kue yang tidak terlalu manis. Mungkin Mas Ghibran mau mencobanya." Bujuk Diva lembut. "Pakai uang kamu?" Bukannya menjawab, Mas Ghibran malah bertanya hal lain. "Maksudnya?""Saya lupa memberikan kamu kartu ATM, dompet saya ada di meja kamar. Nanti saya berikan. Kamu bisa memakainya untuk membeli kebutuhan rumah. Lalu, untuk kebutuhan kamu saya akan mentransfer langsung ke rekening kamu. Untuk kebutuhan dia, sudah saya siapkan kartu ATM juga. Kamu bisa memakai sesuai kebutuhan.""Dia?" Tanya Diva mengernyit, "Maksud Mas, Alara?" "Ya." "Mas bisa mengatakan namanya, bukan menyebut dengan kata 'dia'