Terik matahari sudah mulai membakar kulit Aira, tetapi dia masih saja betah duduk berlama-lama di pesisir pantai, menikmati suasana pantai yang sepi karena awal pekan.
Setelah dua jam Aira berkendara tanpa arah, dia memutuskan untuk mengarahkan mobilnya ke arah pantai. Aira ingin mencoba menenangkan dirinya sebelum kembali bekerja.Netra Aira menatap ombak yang bergulung-gulung dengan kuat, dia ingin sekali menenggelamkan tubuhnya di tengah-tengah ombak tersebut. Mungkin dengan begitu dia tidak perlu merasakan penderitaan lagi. Mungkin juga rasa sakitnya akan menghilang bersamaan dengan menghilangnya ombak-ombak tersebut.Hijab Aira berkibar-kibar diterpa angin yang kencang. Dia pun memejamkan mata menikmati suara deburan ombak yang menabrak karang.Rasanya nyaman, tidak ada suara sang Ibu yang memarahi ataupun membentaknya. Sedikit demi sedikit hatinya mulai merasa tenang. Kesendirian membuatnya merasa sangat nyaman.Sendiri juga membuat Aira tidak terluka semakin dalam lagi. Dia merasa lebih leluasa bernafas tanpa merasakan sesak sama sekali.Matahari pun sudah semakin meninggi, panasnya sudah semakin menyengat menembus kulit Aira. Dia pun memutuskan untuk bangkit dari duduk, kakinya melangkah meninggalkan pantai.Sejujurnya Aira masih ingin berlama-lama di sini, tempat ini begitu tenang, hanya suara deburan ombak yang memecah keheningan. Kaki Aira berat untuk melangkah pergi, tapi dia juga tidak bisa terus berada di sini. Banyak yang harus dia lakukan dengan waktu yang sedikit ini. Aira ingin bebas, dia ingin melakukan apapun yang dia suka sebelum nanti menikah dan menjadi seorang istri.Mungkin setelah menikah, Aira juga tidak akan memiliki kebebasan lagi. Aira tidak mau memikirkan tentang pernikahan ataupun perjodohannya, biarlah semua mengalir apa adanya. Sekarang dia hanya ingin memanfaatkan waktu yang tersisa.Aira masuk ke mobil begitu langkahnya sampai di area parkir. Dia memacu mobilnya meninggalkan area pantai. Meninggalkan ketenangan yang tak berlangsung lama.***"Ai ... kau sudah kembali?" teriak Hani sembari memeluk Aira. Sedang yang dipeluknya hanya diam, tanpa menjawab pertanyaan Hani."Aku senang sekali melihatmu, sungguh, aku seperti melihat cahaya bulan di malam yang gelap. Kau tahu, saat kau tidak ada, Pak Fandi uring-uringan terus. Aku sampai pusing mendengarnya."Hani terus saja berbicara tanpa henti setelah melepas pelukannya dari sahabatnya itu. Dia memang seperti itu, terlalu cerewet, tapi mampu membuat Aira tahan berteman dengannya. Mungkin karena dia satu-satunya teman yang Aira punya selama ini.Walau cerewet, Hani adalah teman yang baik. Aira sering terhibur dengan kecerewetannya. Secara tidak sadar bibir Aira menyunggingkan senyum tipis."Apa sih, Ai? Kenapa malah senyum-senyum dan tidak menjawab ucapanku?" tanya Hani dengan bibir mengerucut."Tidak, tidak ada apa-apa. Aku hanya rindu saja dengan kecerewetanmu itu, Han. Baiklah, katakan, apa yang membuat Pak Fandi uring-uringan?"Hani menyeret kursinya mendekat ke arah Aira, dia mulai berbisik di telinga Aira, "Mungkin dia sedang rindu padamu, Ai." Hani tergelak setelah berkata seperti itu pada Aira.Aira mendecakkan lidah kesal. Hani iseng sekali, sering mengatakan hal yang tidak-tidak tentang bosnya itu. Bahkan dia pernah bilang kalau sang bos menyukai Aira, sehingga dia tidak pernah memarahi jika pekerjaan Aira tidak kunjung selesai.Bukankah itu mustahil? Fandi seorang lelaki yang tampan dan sukses di usia mudanya, mana mungkin dia bisa menyukai wanita seperti Aira.Aira bahkan tidak pernah bermimpi untuk dicintai oleh lelaki mana pun. Apa lagi lelaki tersebut Fandi, Aira tidak pernah membayangkannya sama sekali.Hani masih saja tertawa cekikikan, sedangkan Aira hanya bisa geleng-geleng kepala melihatnya."Selamat pagi ...."Aira berjengit kaget mendengar suara bariton Fandi. Dia tidak menyadari kedatangan dari sang bos. Aira berharap semoga saja Fandi tidak mendengar ucapan Hani tadi. Dia tidak mau ada kesalahpahaman nantinya. Sedang Hani buru-buru menarik kursinya kembali ke tempat semula begitu mendengar suara Fandi."Selamat pagi, Pak." Aira dan Hani menjawabnya serentak.Fandi pun menganggukkan kepala, "Ai, tolong persiapkan berkas-berkas untuk kita meeting nanti. Dan bersiaplah, kamu yang akan mendampingi saya nanti.""Baik, Pak." Aira menjawab cepat, menyanggupi perintah Fandi."Baiklah, saya permisi." Fandi melangkahkan kaki masuk ke dalam ruang kerjanya.Aira segera menyiapkan berkas yang akan dibutuhkan untuk rapat. Semakin cepat dia siapkan, semakin cepat juga perkerjaannya akan selesai."Ai, apa kau tidak merasa aneh?" Tiba-tiba Hani membuka suaranya kembali.Aira mengernyitkan kening, "Memang apa yang aneh?""Emm ... tidak seperti biasanya Pak Fandi mengajakmu meeting, biasanya Pak Fandi akan pergi dengan Pak Indra. Tapi hari ini dia mengajakmu, bukankah itu aneh?""Aku rasa tidak aneh, mungkin saja Pak Indra sedang sibuk. Jangan terlalu berburuk sangka, Han."Hani mengedikkan bahu mendengar jawaban Aira, dia kembali fokus pada pekerjaannya.Aira memang sedikit merasa aneh, tapi dia juga tidak mau berburuk sangka. Lebih baik dia selesaikan pekerjaannya sebelum sang bos mengajaknya berangkat pergi.Selang beberapa jam bertemu dengan dengan klien, akhirnya meeting pun selesai. Aira segera merapikan kembali berkas-berkas yang telah ditandatangani kedua belah pihak. Setelah selesai, Fandi langsung mengajak Aira keluar dari ruang meeting."Kita makan siang terlebih dahulu, Ai. Waktu makan siang sudah terlewat dari tadi," ucap Fandi sembari masuk ke dalam mobil."Baiklah, Pak," jawab Aira sembari mengikuti Fandi masuk ke dalam mobil."Kamu ingin makan di mana?""Terserah Bapak saja.""Baiklah, kita ke restoran terdekat saja."Aira mengangguk tanda setuju, lalu Fandi langsung memacu mobilnya cepat, dia tidak lagi membuka suaranya.Lima belas menit perjalanan akhirnya Fandi pun menghentikan mobilnya di sebuah restoran yang terlihat mewah. Aira sampai terpana melihat suasana luar restoran yang nampak mewah."Ayo masuk, Ai." Fandi sudah berada di luar mobil, sementara Aira tidak menyadari kapan sang bos turun dari mobilnya."Ah, iya Pak." Aira pun bergegas turun dan melangkah di belakang Fandi. Netranya memandang sekeliling, dia takjub dengan interior dalam restoran yang sangat mewah. Rasanya jika untuk makan siang dengan karyawan sangat berlebihan sekali."Duduklah, Ai," ucap Fandi.Aira mengangguk dan segera duduk. Lalu seorang pelayan datang dan mulai mencatat menu yang dipesan Fandi, sementara Aira hanya diam saja sambil terus menyetujui pesanan yang ditanyakan oleh sang bos."Baiklah, mohon ditunggu pesanannya," ucap pelayan tersebut ramah dan beranjak pergi.Suasana antara Aira dan Fandi hening setelah kepergian pelayan, mereka sama-sama saling terdiam. Aira tidak berniat untuk mengobrol dengan sang bos, dia merasa canggung karena tidak pernah berbicara dengan Fandi di luar kantor."Ai ...," panggil Fandi.Aira mendongak menatap Fandi yang sedang menatapnya intens, "Iya, Pak.""Aku ingin membicarakan sesuatu padamu. Kuharap kamu tidak tersinggung ataupun marah padaku."Aira mengernyit, "Apa, Pak?"Fandi malah terdiam tidak menjawab Aira, dia ragu untuk memulai dari mana mengutarakan isi hatinya. Sejak tadi dia merasa gugup. Sudah sekian lama dia memendam rasa untuk gadis di depannya itu."Ai, a-ku men-cin-taimu. A-ku ingin kamu menjadi pendamping hidupku. Sudah lama aku memendam perasaan ini padamu, Ai, mungkin sejak pertama kita bertemu," ucap Fandi dengan terbata, akhirnya dia mampu mengeluarkan isi hatinya walau dengan terbata-bata.Bagai mendengar petir di siang hari Aira mendengar ungkapan perasaan dari Fandi. Tidak pernah dia mengira bahwa sang bos memiliki perasaan padanya.Terlebih lagi Aira tidak pernah memikirkan masalah percintaan selama ini. Dia terlalu fokus dengan lukanya sendiri dan tidak pernah berminat untuk membangun hubungan dengan siapapun.Arman hanya memandangi piring yang berisi nasi dan lauk pauknya. Dari tadi pikirannya sedang melayang, mengingat putri bungsunya yang telah berada di rumah suaminya.Arman pun belum menyentuh makanannya sama sekali. Sejak bangun tidur tadi, hatinya terasa tidak enak. Dia selalu teringat dengan Aira. Entah pikirannya selalu terngiang akan wajah sang putri. Arman ingin sekali mengetahui keadaan Aira saat ini, tapi dia bingung sekali harus bagaimana.Aina yang melihat ayahnya sedang melamun pun meletakkan sendok makannya di atas piring. "Ayah tidak makan?" tanya Aina pada sang ayah.Arman pun tersentak, lalu segera melihat ke arah piring di depannya dengan tak berselera. Piring tersebut masih terlihat penuh, tanpa berkurang sedikitpun. Nafsu makannya benar-benar telah hilang."Ada apa, Yah? Kenapa Ayah tidak makan?" tanya Aina lagi.Dewi yang mendengar pertanyaan Aina pun melirik sang suami, sejak pertengkarannya beberapa waktu lalu dengan sang suami membuat hubungan keduanya menjadi din
Revan mengerjapkan matanya, dia mendesis merasakan pusing begitu matanya terbuka sempurna. Kepalanya pun terasa sangat berat. Efek dari minuman haram yang ditenggaknya sungguh buruk.Revan bukanlah seorang pemabuk, baru semalam dia menyentuh minuman haram itu untuk melampiaskan rasa frustasinya. Dengan perlahan Revan mulai bangun dari posisinya, lalu dia menyingkap selimut yang menutupi tubuhnya. Tapi, betapa terkejutnya dia ketika menyadari bahwa dia tidak mengenakan apapun.Pandangan matanya beralih menatap sisi ranjangnya yang kosong, terdapat noda bercak merah. Mata Revan langsung membulat, lalu dia mencoba menggali ingatannya lebih dalam.Samar-samar gambaran tentang perbuatan buruknya pada Aira melintas di ingatannya. Revan tersentak begitu mengingat apa yang telah dilakukannya pada Aira."Apa yang telah kamu lakukan, Van! Bodoh sekali kamu," maki Revan pada dirinya sendiri sembari memukul-mukul kepalanya.Tidak pernah terbayangkan di benak Revan untuk mengambil kesucian Aira wa
Revan menggebrak pintu rumah dengan keras, dia melakukannya berkali-kali. "Buka ... buka pintunya!" seru Revan sembari terus menggebrak pintu rumahnya.Revan berdiri sembari bersandar ke pintu, dia tidak bisa menjaga keseimbangan tubuhnya.Sementara Aira tergopoh-gopoh menuju pintu. Dia terkejut ketika mendengar pintu rumahnya digedor dengan keras, padahal waktu sudah sangat malam. Aira segera membuka pintu begitu memastikan jika yang menggedor pintu adalah Revan, bukan orang yang berniat jahat padanya."Ya Allah, Mas ...!" seru Aira ketika pintu sudah terbuka. Revan terjatuh, tubuhnya membentur lantai yang dingin. Aira memandang Revan dengan tatapan kasihan, suaminya itu pulang dalam keadaan yang sangat berantakan dan mabuk berat.Buru-buru Aira membantu Revan berdiri, dia memapah Revan yang berdiri dengan sempoyongan karena mabuk. Tadi Revan menuju bar setelah pertengkarannya dengan Helen. Dia pun menenggak minuman haram demi melampiaskan rasa frustasinya karena sang kekasih tidak m
"Tunggu ...!" teriak Aira.Revan menghentikan langkahnya ketika akan menaiki tangga. Dia pun segera menoleh ke arah Aira yang sedang berdiri di depan pintu kamarnya. Revan mengernyitkan keningnya saat melihat wanita yang bergelar istrinya itu berjalan mendekat ke arahnya."Ada yang ingin aku bicarakan padamu," ucap Aira ketika sudah sampai di dekat Revan."Ada apa?" tanya Revan dingin, tampak tidak tertarik untuk berbicara dengan Aira. Sebenarnya Revan sangatlah lelah setelah pulang dari tempat kerjanya. Ada sedikit masalah di kantornya. Dia ingin segera merebahkan tubuhnya di kasur. Tapi dia tidak bisa mengabaikan Aira begitu saja. Walaupun Aira hanyalah istri di atas kertas, secara tidak langsung Revan mempunyai tanggung jawab pada gadis itu.Aira pun menghela napas berat, andai saja tadi Helen tidak datang, tentu dia tidak akan menahan Revan seperti itu. Aira pasti akan enggan untuk berbicara dengan lelaki dingin macam Revan."Apakah kamu tidak memberitahu Helen tentang pernikahan
"Jaga dirimu baik-baik, Ai. Jika kamu tidak sanggup lagi menjalani pernikahanmu, jangan diteruskan lagi, hiduplah dengan baik. Aku siap mendengarkan apapun keluhanmu, jangan pernah merasa sendiri," pesan Hani, ketika Aira mengantarkannya kembali ke penginapan. Sebenarnya Hani merasa sangat berat meninggalkan Aira dalam keadaan yang buruk, tapi mau bagaimanapun Hani ingin, dia tidak bisa tetap berada di samping Aira, dia harus kembali pulang.Aira hanya mengangguk, dia sudah tidak bisa berkata-kata lagi. Aira sudah teramat lelah menghadapi masalahnya yang tiada habisnya."Ah ... aku jadi tidak rela meninggalkanmu di sini, Ai." Hani memeluk Aira sembari meneteskan air mata kembali. Dia teramat sedih mendengar cerita dari sahabatnya itu. Hani kira selama ini kehidupan Aira tidaklah setragis itu, dia kira kehidupan Aira menyenangkan. Hani tidak pernah menyangka jika di balik sosok Aira yang cuek itu tersimpan kesedihan yang mendalam akibat perlakuan tidak baik dari keluarganya sendiri.A
"Perkenalkan nama saya Aira dan sebelum saya menjelaskan semuanya, saya harap Mbak Helen mau menahan diri hingga saya selesai menjelaskan. Bagaimana, Mbak? Apa Mbak Helen bersedia?" Tanpa menunggu lama, Aira pun memulai membuka suaranya setelah mereka bertiga duduk di ruang tamu.Helen pun mengangguk, dia tidak punya pilihan lain selain menyetujui apa yang Aira katakan. Dia ingin segera tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dia sudah terlalu lama menahan semua pertanyaan-pertanyaan yang ada di pikirannya tentang siapa Aira dan tentang apa hubungannya dengan Revan, kekasihnya.Aira pun menarik nafas panjang lalu mengeluarkannya perlahan, dia mempersiapkan diri untuk menjelaskan semuanya pada Helen. Dia tidak mau kalau sampai salah berkata hingga membuat Helen marah padanya ataupun Revan. Aira bisa dalam masalah besar jika sampai Helen salah paham dan marah padanya."Sebelumnya saya minta maaf, Mbak. Jika apa yang saya jelaskan ini tidak berkenan di hati Mbak Helen dan tolong jangan salah p