Share

Pernyataan Cinta

Terik matahari sudah mulai membakar kulit Aira, tetapi dia masih saja betah duduk berlama-lama di pesisir pantai, menikmati suasana pantai yang sepi karena awal pekan.

Setelah dua jam Aira berkendara tanpa arah, dia memutuskan untuk mengarahkan mobilnya ke arah pantai. Aira ingin mencoba menenangkan dirinya sebelum kembali bekerja.

Netra Aira menatap ombak yang bergulung-gulung dengan kuat, dia ingin sekali menenggelamkan tubuhnya di tengah-tengah ombak tersebut. Mungkin dengan begitu dia tidak perlu merasakan penderitaan lagi. Mungkin juga rasa sakitnya akan menghilang bersamaan dengan menghilangnya ombak-ombak tersebut.

Hijab Aira berkibar-kibar diterpa angin yang kencang. Dia pun memejamkan mata menikmati suara deburan ombak yang menabrak karang.

Rasanya nyaman, tidak ada suara sang Ibu yang memarahi ataupun membentaknya. Sedikit demi sedikit hatinya mulai merasa tenang. Kesendirian membuatnya merasa sangat nyaman.

Sendiri juga membuat Aira tidak terluka semakin dalam lagi. Dia merasa lebih leluasa bernafas tanpa merasakan sesak sama sekali.

Matahari pun sudah semakin meninggi,  panasnya sudah semakin menyengat menembus kulit Aira. Dia pun memutuskan untuk bangkit dari duduk, kakinya melangkah meninggalkan pantai.

Sejujurnya Aira masih ingin berlama-lama di sini, tempat ini begitu tenang, hanya suara deburan ombak yang memecah keheningan. Kaki Aira berat untuk melangkah pergi, tapi dia juga tidak bisa terus berada di sini. Banyak yang harus dia lakukan dengan waktu yang sedikit ini. Aira ingin bebas, dia ingin melakukan apapun yang dia suka sebelum nanti  menikah dan menjadi seorang istri.

Mungkin setelah menikah, Aira juga tidak akan memiliki kebebasan lagi. Aira tidak mau memikirkan tentang pernikahan ataupun perjodohannya, biarlah semua mengalir apa adanya. Sekarang dia hanya ingin memanfaatkan waktu yang tersisa.

Aira masuk ke mobil begitu langkahnya sampai di area parkir. Dia memacu mobilnya meninggalkan area pantai. Meninggalkan ketenangan yang tak berlangsung lama.

***

"Ai ... kau sudah kembali?" teriak Hani sembari memeluk Aira. Sedang yang dipeluknya hanya diam, tanpa menjawab pertanyaan Hani.

"Aku senang sekali melihatmu, sungguh, aku seperti melihat cahaya bulan di malam yang gelap. Kau tahu, saat kau tidak ada, Pak Fandi uring-uringan terus. Aku sampai pusing mendengarnya."

Hani terus saja berbicara tanpa henti setelah melepas pelukannya dari sahabatnya itu. Dia memang seperti itu, terlalu cerewet, tapi mampu membuat Aira tahan berteman dengannya. Mungkin karena dia satu-satunya teman yang Aira punya selama ini.

Walau cerewet, Hani adalah teman yang baik. Aira sering terhibur dengan kecerewetannya. Secara tidak sadar bibir Aira menyunggingkan senyum tipis.

"Apa sih, Ai? Kenapa malah senyum-senyum dan tidak menjawab ucapanku?" tanya Hani dengan bibir mengerucut.

"Tidak, tidak ada apa-apa. Aku hanya rindu saja dengan kecerewetanmu itu, Han. Baiklah, katakan, apa yang membuat Pak Fandi uring-uringan?"

Hani menyeret kursinya mendekat ke arah Aira, dia mulai berbisik di telinga Aira, "Mungkin dia sedang rindu padamu, Ai." Hani tergelak setelah berkata seperti itu pada Aira.

Aira mendecakkan lidah kesal. Hani iseng sekali, sering mengatakan hal yang tidak-tidak tentang bosnya itu. Bahkan dia pernah bilang kalau sang bos menyukai Aira, sehingga dia tidak pernah memarahi jika pekerjaan Aira tidak kunjung selesai.

Bukankah itu mustahil? Fandi seorang lelaki yang tampan dan sukses di usia mudanya, mana mungkin dia bisa menyukai wanita seperti Aira.

Aira bahkan tidak pernah bermimpi untuk dicintai oleh lelaki mana pun. Apa lagi lelaki tersebut Fandi, Aira tidak pernah membayangkannya sama sekali.

Hani masih saja tertawa cekikikan, sedangkan Aira hanya bisa geleng-geleng kepala melihatnya.

"Selamat pagi ...."

Aira berjengit kaget mendengar suara bariton Fandi. Dia tidak menyadari kedatangan dari sang bos. Aira berharap semoga saja Fandi tidak mendengar ucapan Hani tadi. Dia tidak mau ada kesalahpahaman nantinya. Sedang Hani buru-buru menarik kursinya kembali ke tempat semula begitu mendengar suara Fandi.

"Selamat pagi, Pak." Aira dan Hani menjawabnya serentak.

Fandi pun menganggukkan kepala, "Ai, tolong persiapkan berkas-berkas untuk kita meeting nanti. Dan bersiaplah, kamu yang akan mendampingi saya nanti."

"Baik, Pak." Aira menjawab cepat, menyanggupi perintah Fandi.

"Baiklah, saya permisi." Fandi melangkahkan kaki masuk ke dalam ruang kerjanya.

Aira segera menyiapkan berkas yang akan dibutuhkan untuk rapat. Semakin cepat dia siapkan, semakin cepat juga perkerjaannya akan selesai.

"Ai, apa kau tidak merasa aneh?" Tiba-tiba Hani membuka suaranya kembali.

Aira mengernyitkan kening, "Memang apa yang aneh?"

"Emm ... tidak seperti biasanya Pak Fandi mengajakmu meeting, biasanya Pak Fandi akan pergi dengan Pak Indra. Tapi hari ini dia mengajakmu, bukankah itu aneh?"

"Aku rasa tidak aneh, mungkin saja Pak Indra sedang sibuk. Jangan terlalu berburuk sangka, Han."

Hani mengedikkan bahu mendengar jawaban Aira, dia kembali fokus pada pekerjaannya.

Aira memang sedikit merasa aneh, tapi dia juga tidak mau berburuk sangka. Lebih baik dia selesaikan pekerjaannya sebelum sang bos mengajaknya berangkat pergi.

Selang beberapa jam bertemu dengan dengan klien, akhirnya meeting pun selesai. Aira segera merapikan kembali berkas-berkas yang telah ditandatangani kedua belah pihak. Setelah selesai, Fandi langsung mengajak Aira keluar dari ruang meeting.

"Kita makan siang terlebih dahulu, Ai. Waktu makan siang sudah terlewat dari tadi," ucap Fandi sembari masuk ke dalam mobil.

"Baiklah, Pak," jawab Aira sembari mengikuti Fandi masuk ke dalam mobil.

"Kamu ingin makan di mana?"

"Terserah Bapak saja."

"Baiklah, kita ke restoran terdekat saja."

Aira mengangguk tanda setuju, lalu Fandi langsung memacu mobilnya cepat, dia tidak lagi membuka suaranya.

Lima belas menit perjalanan akhirnya Fandi pun menghentikan mobilnya di sebuah restoran yang terlihat mewah. Aira sampai terpana melihat suasana luar restoran yang nampak mewah.

"Ayo masuk, Ai." Fandi sudah berada di luar mobil, sementara Aira tidak menyadari kapan sang bos turun dari mobilnya.

"Ah, iya Pak." Aira pun bergegas turun dan melangkah di belakang Fandi. Netranya memandang sekeliling, dia takjub dengan interior dalam restoran yang sangat mewah. Rasanya jika untuk makan siang dengan karyawan sangat berlebihan sekali.

"Duduklah, Ai," ucap Fandi.

Aira mengangguk dan segera duduk. Lalu seorang pelayan datang dan mulai mencatat menu yang dipesan Fandi, sementara Aira hanya diam saja sambil terus menyetujui pesanan yang ditanyakan oleh sang bos.

"Baiklah, mohon ditunggu pesanannya," ucap pelayan tersebut ramah dan beranjak pergi.

Suasana antara Aira dan Fandi hening setelah kepergian pelayan, mereka sama-sama saling terdiam. Aira tidak berniat untuk mengobrol dengan sang bos, dia merasa canggung karena tidak pernah berbicara dengan Fandi di luar kantor.

"Ai ...," panggil Fandi.

Aira mendongak menatap Fandi yang sedang menatapnya intens, "Iya, Pak."

"Aku ingin membicarakan sesuatu padamu. Kuharap kamu tidak tersinggung ataupun marah padaku."

Aira mengernyit, "Apa, Pak?"

Fandi malah terdiam tidak menjawab Aira, dia ragu untuk memulai dari mana mengutarakan isi hatinya. Sejak tadi dia merasa gugup. Sudah sekian lama dia memendam rasa untuk gadis di depannya itu.

"Ai, a-ku men-cin-taimu. A-ku ingin kamu menjadi pendamping hidupku. Sudah lama aku memendam perasaan ini padamu, Ai, mungkin sejak pertama kita bertemu," ucap Fandi dengan terbata, akhirnya dia mampu mengeluarkan isi hatinya walau dengan terbata-bata.

Bagai mendengar petir di siang hari Aira mendengar ungkapan perasaan dari Fandi. Tidak pernah dia mengira bahwa sang bos memiliki perasaan padanya.

Terlebih lagi Aira tidak pernah memikirkan masalah percintaan selama ini. Dia terlalu fokus dengan lukanya sendiri dan tidak pernah berminat untuk membangun hubungan dengan siapapun.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status