"Ai, aku mencintaimu."
Kata-kata yang tak pernah Aira bayangkan keluar dari mulut Fandi. Aira bahkan tidak pernah lagi mengharapkan kata-kata tersebut diucap seseorang padanya.Sejak seringkali dikecewakan oleh harapan semu membuat hati Aira beku. Dia tak lagi memimpikan kebahagiaan dicintai oleh orang lain. Hatinya seperti mati rasa sejak itu.Hening.Hanya keheningan yang Aira rasakan walaupun suasana restoran cukup ramai. Dia sedang sibuk merangkai kata untuk menolak Fandi dengan sopan. Dia tidak mau hubungannya dengan sang bos berakhir buruk sebelum dia resign dari perusahaan yang selama ini menaunginya."Maaf, Pak. Saya tidak bisa menerima perasaan Bapak. Karena sebentar lagi saya akan menikah. Orang tua saya sudah menjodohkan saya dengan lelaki pilihan mereka," ucap Aira dengan suara pelan. Takut membuat Fandi semakin kecewa padanya.Hati Fandi langsung mencelos mendengar penolakan dari wanita pujaannya itu. Tidak disangka kalau dia telah terlambat mengutarakan isi hatinya pada Aira.Selama ini Fandi hanya bisa memendam perasaannya, dia tidak mau terlalu terburu-buru mengejar cinta Aira. Fandi takut jika Aira akan risih jika dia terlalu menunjukkan perasaannya pada gadis berjilbab itu.Namun, kini Fandi menyesal, dia telah terlambat mengutarakan perasaannya pada Aira."Jadi aku terlambat, Ai?" tanya Fandi menatap Aira dengan padangan terluka."Maaf, Pak. Jika saja Pak Fandi mengutarakan perasaan Bapak sejak awal," jawab Aira tidak berani menatap wajah Fandi.Aira tidak sanggup melihat raut kecewa di wajah sang bos yang selalu memperlakukannya dengan baik selama ini."Jadi, jika aku tidak terlambat kamu akan menerima perasaanku, Ai?"Aira terkejut mendengar pertanyaan Fandi, dia tidak tahu apa yang harus dia katakan untuk menjawab pertanyaan Fandi. Jujur, Aira tidak mempunyai perasaan apa-apa pada Fandi. Tapi jika harus memilih antara menikah dengan lelaki pilihan sang Ibu atau dengan Fandi, tentu Aira akan lebih memilih menikah dengan Fandi. Karena Aira sangat tahu orang seperti apa Fandi itu, sedangkan untuk lelaki pilihan Ibunya Aira belum mengenalnya sama sekali.Aira tidak bisa mempertaruhkan sisa hidupnya untuk menikah dengan lelaki yang belum dikenalnya sama sekali. Tapi semua sudah terlambat, Aira tidak bisa tiba-tiba menolak perjodohan yang diatur oleh orang tuanya dan menikahi Fandi."Mungkin, jika Pak Fandi mengutarakan perasaan pada saya sejak dulu, ceritanya akan berbeda, Pak. Mungkin saya bisa menerimanya dengan senang hati. Tapi semua sudah terlanjur, saya tidak bisa membatalkan perjodohan saya dengan lelaki pilihan orang tua saya. Saya tidak mau membuat mereka terluka, Pak," jawab Aira akhirnya sembari memberanikan diri menatap Fandi.Fandi menunduk mendengar jawaban Aira. Dia merasa sangat bodoh, hanya karena rasa tidak percaya dirinya, kini dia harus kehilangan kesempatan untuk memiliki wanita yang sangat dia cintai.Sedang Aira merasa bersalah pada Fandi, dia tidak bermaksud membuat lelaki itu kecewa. Keadaan memang tidak bisa membuatnya menerima perasaan lelaki berkacamata di depannya itu.Aira sudah kadung berjanji dengan sang Ibu untuk menerima pernikahannya dengan putra dari keluarga Pradikta. Dia sudah terlanjur menyerah untuk melawan keputusan Ibunya."Maaf, Pak. Saya benar-benar meminta maaf. Saya tidak bermaksud membuat Bapak kecewa, tapi inilah kenyataannya. Saya akan segera menikah, dan mungkin sebentar lagi saya akan resign dari perusahaan."Fandi mengangkat wajahnya, menatap Aira dengan mata berkaca-kaca. Kini dia merasa menjadi lelaki yang sangat lemah, dia tidak berdaya untuk menahan Aira. Dia tidak mempunyai kuasa untuk membuat Aira tetap bekerja di perusahaannya dan menjadi miliknya."Tolong jangan membuat saya menjadi wanita yang sangat jahat, Pak. Saya tidak pantas untuk Pak Fandi tangisi," ucap Aira begitu melihat mata Fandi yang berkaca-kaca."Aku sudah memendam perasaan yang dalam untukmu, Ai. Hatiku terasa sesak mendengar bahwa kamu akan menikah dengan lelaki lain," sahut Fandi sendu.Fandi sadar jika tidak sepantasnya dia menangis demi seorang wanita, tapi Fandi tidak bisa menahan kesedihannya mendapati kenyataan yang menyakitkan untuknya. Kenyataan bahwa wanita yang diidam idamkannya akan menjadi milik lelaki lain."Tolong jangan seperti ini, Pak. Pasti ada wanita yang lebih baik dari saya untuk Pak Fandi. Jangan mengharapkan saya lagi, Pak. Pak Fandi hanya akan terluka jika mengharapkan saya. Sekali lagi saya mohon maaf, Pak," ucap Aira mencoba untuk membuat Fandi berhenti mengharapkannya. "Dan terima kasih atas makan siangnya, Pak. Maaf, saya pamit terlebih dahulu."Aira merasa tidak bisa berlama-lama untuk berada di situasi yang tidak pernah dia bayangkan. Dia juga tidak akan tahan melihat raut sedih di wajah Fandi. Wajah yang biasanya dingin itu sekarang terlihat sendu."Kita bisa pulang sama-sama, Ai," sahut Fandi.Aira menatap sejenak ke arah Fandi, "Tidak, Pak. Terima kasih, saya akan pergi sendiri."Lalu Aira pun bangkit dari duduknya dan melangkah pergi tanpa menoleh lagi ke arah Fandi. Dia ingin cepat-cepat pergi dari hadapan Fandi.Sementara Fandi hanya menatap punggung wanita yang baru saja menolaknya itu dengan pandangan sendu. Hatinya terasa sesak melihat sosok Aira yang mulai menjauh dari tempatnya. Dan mungkin sebentar lagi dia tidak akan melihat Aira untuk selamanya.Arman hanya memandangi piring yang berisi nasi dan lauk pauknya. Dari tadi pikirannya sedang melayang, mengingat putri bungsunya yang telah berada di rumah suaminya.Arman pun belum menyentuh makanannya sama sekali. Sejak bangun tidur tadi, hatinya terasa tidak enak. Dia selalu teringat dengan Aira. Entah pikirannya selalu terngiang akan wajah sang putri. Arman ingin sekali mengetahui keadaan Aira saat ini, tapi dia bingung sekali harus bagaimana.Aina yang melihat ayahnya sedang melamun pun meletakkan sendok makannya di atas piring. "Ayah tidak makan?" tanya Aina pada sang ayah.Arman pun tersentak, lalu segera melihat ke arah piring di depannya dengan tak berselera. Piring tersebut masih terlihat penuh, tanpa berkurang sedikitpun. Nafsu makannya benar-benar telah hilang."Ada apa, Yah? Kenapa Ayah tidak makan?" tanya Aina lagi.Dewi yang mendengar pertanyaan Aina pun melirik sang suami, sejak pertengkarannya beberapa waktu lalu dengan sang suami membuat hubungan keduanya menjadi din
Revan mengerjapkan matanya, dia mendesis merasakan pusing begitu matanya terbuka sempurna. Kepalanya pun terasa sangat berat. Efek dari minuman haram yang ditenggaknya sungguh buruk.Revan bukanlah seorang pemabuk, baru semalam dia menyentuh minuman haram itu untuk melampiaskan rasa frustasinya. Dengan perlahan Revan mulai bangun dari posisinya, lalu dia menyingkap selimut yang menutupi tubuhnya. Tapi, betapa terkejutnya dia ketika menyadari bahwa dia tidak mengenakan apapun.Pandangan matanya beralih menatap sisi ranjangnya yang kosong, terdapat noda bercak merah. Mata Revan langsung membulat, lalu dia mencoba menggali ingatannya lebih dalam.Samar-samar gambaran tentang perbuatan buruknya pada Aira melintas di ingatannya. Revan tersentak begitu mengingat apa yang telah dilakukannya pada Aira."Apa yang telah kamu lakukan, Van! Bodoh sekali kamu," maki Revan pada dirinya sendiri sembari memukul-mukul kepalanya.Tidak pernah terbayangkan di benak Revan untuk mengambil kesucian Aira wa
Revan menggebrak pintu rumah dengan keras, dia melakukannya berkali-kali. "Buka ... buka pintunya!" seru Revan sembari terus menggebrak pintu rumahnya.Revan berdiri sembari bersandar ke pintu, dia tidak bisa menjaga keseimbangan tubuhnya.Sementara Aira tergopoh-gopoh menuju pintu. Dia terkejut ketika mendengar pintu rumahnya digedor dengan keras, padahal waktu sudah sangat malam. Aira segera membuka pintu begitu memastikan jika yang menggedor pintu adalah Revan, bukan orang yang berniat jahat padanya."Ya Allah, Mas ...!" seru Aira ketika pintu sudah terbuka. Revan terjatuh, tubuhnya membentur lantai yang dingin. Aira memandang Revan dengan tatapan kasihan, suaminya itu pulang dalam keadaan yang sangat berantakan dan mabuk berat.Buru-buru Aira membantu Revan berdiri, dia memapah Revan yang berdiri dengan sempoyongan karena mabuk. Tadi Revan menuju bar setelah pertengkarannya dengan Helen. Dia pun menenggak minuman haram demi melampiaskan rasa frustasinya karena sang kekasih tidak m
"Tunggu ...!" teriak Aira.Revan menghentikan langkahnya ketika akan menaiki tangga. Dia pun segera menoleh ke arah Aira yang sedang berdiri di depan pintu kamarnya. Revan mengernyitkan keningnya saat melihat wanita yang bergelar istrinya itu berjalan mendekat ke arahnya."Ada yang ingin aku bicarakan padamu," ucap Aira ketika sudah sampai di dekat Revan."Ada apa?" tanya Revan dingin, tampak tidak tertarik untuk berbicara dengan Aira. Sebenarnya Revan sangatlah lelah setelah pulang dari tempat kerjanya. Ada sedikit masalah di kantornya. Dia ingin segera merebahkan tubuhnya di kasur. Tapi dia tidak bisa mengabaikan Aira begitu saja. Walaupun Aira hanyalah istri di atas kertas, secara tidak langsung Revan mempunyai tanggung jawab pada gadis itu.Aira pun menghela napas berat, andai saja tadi Helen tidak datang, tentu dia tidak akan menahan Revan seperti itu. Aira pasti akan enggan untuk berbicara dengan lelaki dingin macam Revan."Apakah kamu tidak memberitahu Helen tentang pernikahan
"Jaga dirimu baik-baik, Ai. Jika kamu tidak sanggup lagi menjalani pernikahanmu, jangan diteruskan lagi, hiduplah dengan baik. Aku siap mendengarkan apapun keluhanmu, jangan pernah merasa sendiri," pesan Hani, ketika Aira mengantarkannya kembali ke penginapan. Sebenarnya Hani merasa sangat berat meninggalkan Aira dalam keadaan yang buruk, tapi mau bagaimanapun Hani ingin, dia tidak bisa tetap berada di samping Aira, dia harus kembali pulang.Aira hanya mengangguk, dia sudah tidak bisa berkata-kata lagi. Aira sudah teramat lelah menghadapi masalahnya yang tiada habisnya."Ah ... aku jadi tidak rela meninggalkanmu di sini, Ai." Hani memeluk Aira sembari meneteskan air mata kembali. Dia teramat sedih mendengar cerita dari sahabatnya itu. Hani kira selama ini kehidupan Aira tidaklah setragis itu, dia kira kehidupan Aira menyenangkan. Hani tidak pernah menyangka jika di balik sosok Aira yang cuek itu tersimpan kesedihan yang mendalam akibat perlakuan tidak baik dari keluarganya sendiri.A
"Perkenalkan nama saya Aira dan sebelum saya menjelaskan semuanya, saya harap Mbak Helen mau menahan diri hingga saya selesai menjelaskan. Bagaimana, Mbak? Apa Mbak Helen bersedia?" Tanpa menunggu lama, Aira pun memulai membuka suaranya setelah mereka bertiga duduk di ruang tamu.Helen pun mengangguk, dia tidak punya pilihan lain selain menyetujui apa yang Aira katakan. Dia ingin segera tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dia sudah terlalu lama menahan semua pertanyaan-pertanyaan yang ada di pikirannya tentang siapa Aira dan tentang apa hubungannya dengan Revan, kekasihnya.Aira pun menarik nafas panjang lalu mengeluarkannya perlahan, dia mempersiapkan diri untuk menjelaskan semuanya pada Helen. Dia tidak mau kalau sampai salah berkata hingga membuat Helen marah padanya ataupun Revan. Aira bisa dalam masalah besar jika sampai Helen salah paham dan marah padanya."Sebelumnya saya minta maaf, Mbak. Jika apa yang saya jelaskan ini tidak berkenan di hati Mbak Helen dan tolong jangan salah p