“Baiklah jika Bu Munah tidak setuju. Papa saya akan membawa masalah penganiayaan pada Mbak Harum ke jalur hukum saat Mbak Harum mengajukan gugatan cerai. Dan Mas Anang akan membayar mahal sekali untuk waktu empat setengah tahun karena tidak memberikan Mbak Harum dan Melati nafkah dengan layak. Mungkin jumlahnya akan lebih dari seratus juta. Apakah Mas Anang sanggup untuk membayar uang sebesar itu?” Ibu mertua sudah terlihat gelisah. Padahal Hanin hanya menggertak saja.
“Belum lagi dengan nafkah per bulan yang akan di bebankan pada Mas Anang. Jika Mas Anang melanggar, mudah saja bagi Papa membuat Mas Anang keluar dari pekerjaannya.” Sekali lagi Hanin membawa nama Papa untuk menakuti mereka. Padahal belum tentu Papa mau membelaku.“Ibuku hanya bercanda saja Nin. Tentu saja aku akan menyerahkan semua gajiku pada Harum. Asal Harum mau memaafkan aku.” Tangan Mas Anang terlihat memegang tangan Ibunya agar tidak bicara lagi.“Iyakan Bu?” Mas Anang mengedipkan matanya berulang kali.“Iya.” Jawab Ibu mertua yang dengan cepat berubah pikiran. Seolah bisa menangkap kode dari Mas Anang.“Berarti kamu mau memaafkanku Rum? Kalian tidak akan membawa masalah ini ke jalur hukumkan?” Aku menganggukan kepala.“Asal kamu bisa memenuhi janjimu Mas. Bukan hanya masalah nafkah. Tapi, juga perhatian pada Melati. Maklum saja, selama ini anak kita cemburu karena kamu selalu membelikan hadiah untuk keponakanmu yang namanya tidak mau aku sebut itu. Sedangkan untuk membeli barang bagi Melati saja aku harus mengemis. Ayah macam apa kamu?” Tangan Mas Anang sudah meraup wajahnya kasar sambil melirik ke arah Hanin dengan takut.“Sekali lagi aku minta maaf Rum. Aku janji akan berubah dan memberikan perhatianku juga pada Melati.”“Kamu juga harus berhenti menuruti semua permintaan Syifa.” Pandangan matanya sempat menatapku tajam. Tapi, sedetik kemudian sudah berubah sambil menyunggingkan senyum yang di paksakan.“Oke.” Jawab Mas Anang pendek.“Ya sudah kami pulang dulu Rum. Yuk Nang.”Belum sempat Ibu mertua beranjak dari sofa, Hanin sudah tertawa dengan kencang. Membuat aku juga heran dengan tingkah adikku satu-satunya ini. “Katanya mau berubah. Tapi, anak lagi sakit bukannya di tungguin sama Ayah dan Neneknya, malah pada mau pulang.” Sindir Hanin tajam yang membuat Ibu mertua terduduk kembali.“Bu, bukan begitu Nin. Kami mau ambil baju buat menginap. Iyakan Bu?” Ibu mertua sudah menganggukan kepalanya berulang kali.“Kalau mau ambil baju, suruh Yara datang kesini untuk membawakan baju Ibu dan kamu. Sekalian jenguk Melati. Kalau anaknya saja yang sakit, kamu sampai memarahiku karena tidak menjenguk Syifa. Tapi, kalau Melati yang sakit kamu tidak pernah menyuruh adikmu untuk datang menjenguk. Iyakan Mas?”“Ide bagus. Aku ke toilet dulu buat nelpon Yara.” Mas Anang berjalan menuju pintu keluar.“Nggak usah. Itu ada toilet di dalam kamar ini. Lagian kalau mau nelpon Yara, kenapa harus ijin ke toilet. Disini saja. Memang nggak mau aku dan Hanin dengar ya?” Suamiku itu masih terdiam di tempantya.Karena merasa tidak sabar, aku mengambil hp Mas Anang dari tangannya. Jariku sudah menekan tombol hijau hingga panggilan telpon ke Yara langsung tersambung. “Halo Mas. Kalian lagi dimana? Kita jadi jalan ke mall untuk nonton filmkan? Syifa sudah merengek nungguin kamu nih.”Mas Anang dan Ibu mertua langsung belingsatan tidak karuan saat mendengar perkataan Yara dari hp yang sudah aku tekan fitur pengeras suara. Hatiku sudah terasa sangat panas. Jadi, Mas Anang akan mengantar Yara dan Syifa ke mall untuk menonton film di bioskop. Padahal Melati masih di rawat di rumah sakit. Dulu saja saat Syifa yang sakit, Mas Anang sampai tidak pulang karena menemani Yara dan Ibu mertua menjaga Syifa. Karena suami Yara bekerja di kapal laut yang membuatnya jarang sekali pulang.“Halo Mas. Kamu masih disana? Cepetan pulang dong. Nggak perlu ikut jaga Melati segala. Tinggal pura-pura baik saja di depan me…” Tanpa aku sadari Mas Anang sudah merebut hpnya lalu mematikan sambungan telpon.Tuuutt..“Maaf Rum. Aku benar-benar minta maaf.” Aku hanya bisa menghela nafas berulang kali untuk meredakan kemarahan.“Telpon Yara lagi lalu katakan keperluanmu di depanku. Jangan lupa tekan tombol pengeras suara.” Mas Anang masih terdiam di tempatnya. Sekilas aku melirik Ibu mertua yang wajahnya sudah pucat. Pasti ada hal lain yang sedang di rencanakan oleh mereka.“Kenapa malah diam saja? Cepat telpon sekarang.” Paksaku lagi membuat Mas Anang terpaksa menghubungi adiknya.“Halo Mas.” Sambungan telpon lalu terhubung.“Kenapa terlponnya di matikan sih?” Seru Yara yang terdengar sebal.“Tolong bawkan bajuku dan Ibu dua potong saja Ra. Kami akan menginap di rumah sakit untuk menemani Melati. Sudah dulu ya.”“En…” Belum sempat Yara menjawab, Mas Anang sudah mematikan sambungan telpon. Ia teris mereject panggilan telpon dari Yara yang balik menghubunginya.“Baguslah. Karena sudah ada kamu dan Ibu disini, aku dan Hanin mau ke bawah dulu buat beli makanan untuk makan malam kita nanti. Biar nggak bolak-balik keluar.” Kening Hanin mengkerut tidak mengerti.Dia hanya bisa menatapku heran saat aku memaksanya untuk bangkit dari sofa lalu berjalan keluar kamar. Untung saja Melati sedang sibuk dengan TV di depannya. Begitu pintu tertutup, aku segera menarik tangan Hanin hingga kami bersembunyi di lorong lantai ini. “Ada apa sih Mbak?” Tanya Hanin heran. Aku meletakan jari telunjukku di depan bibir sebagai isyarat agar Hanin diam.Aku mengintip dari dinding lorong saat mendengar suara pintu yang terbuka. Tampak Mas Anang melihat ke sekeliling. Setelah pintu kembali terkunci, aku menarik tangan Hanin lagi hingga kami berdiri di balik pintu. Terdengar suara pintu yang terkunci dari dalam.“Bagaimana ini Nang? Istri kamu itu sudah berani membangkang. Ibu setuju dengan ide kamu selain agar kamu tidak di penjara, juga demi mendapat harta orang tuanya Harum. Tapi, sekarang malah Harum yang mengatur pergerakan kita.” Kata Ibu mertua pelan dari balik pintu. Sepertinya mereka tidak ingin pembicaraan ini di dengar oleh Melati.Namun, dengan bodohnya mereka juga bicara di dekat pintu sehingga aku dan Hanin bisa mendengar semuanya dengan jelas. Ternyata dugaanku benar. Mereka memiliki maksud lain dengan bersikap baik padaku.“Sabar Bu. Turuti saja semua perkataan Harum. Aku yakin jika orang tua Harum sudah mulai luluh. Sehingga Hanin selalu menyebutkan nama Papanya saat mengancam kita. Kalau aku juga sudah bisa mengambil hati orang tua Harum, kita bisa hipnotis Harum sesuai dengan rencana. Dengan begitu kita akan punya banyak uang dan tidak perlu mengontrak rumah lagi.” Tanganku sudah terkepal dengan erat. Keterlaluan sekali rencana mereka saat ini.“Tapi, apa kamu yakin cara ini akan berhasil Nang? Kalau sampai orang tua Harum menyerahkan semua aset mereka pada Hanin dan suaminya bagaimana? Karena saat ini suami Hanin yang bekerja di perusahaan Papa mereka. Sedangkan Hanin sendiri mengelola usaha franchise orang tuanya.”“Tenang Bu. Aku tahu jika usaha orang tua Harum bukan hanya itu saja. Istriku pasti akan dapat bagian seperti Hanin dan aku bisa pindah ke peursahaan milik keluarga Harum untuk menguasai harta mereka. Tolong bersikap baiklah di depan Harum dan Melati. Jangan sampai kelepasan seperti tadi. Biarpun aku memberikan semua gajiku pada Harum kelak, dia tidak tahu jika aku dapat bonus dari kantor yang cukup besar. Ibu tetap bisa mendapat uang bonus itu.”Satu per satu rahasia yang di simpan dengan rapat oleh Mas Anang mulai terbongkar. Apakah aku juga harus mengambil uang bonus itu darinya? Di saat aku masih bimbang, terdengar Mas Anang sedang menelpon Yara lalu menjelaskan semuanya yang terjadi hari ini hingga membuat mereka batal menonton bersama di mall. Aku tidak tahu apa jawaban Yara, tapi tidak lama kemudian sambungan telpon sudah terputus. Dari perkataan terakhir Mas Anang, sepertinya Yara setuju untuk membawakan baju ganti ke rumah sakit ini.Terdengar suara kunci pintu yang di putar. Membuat aku dan Hanin segera melangkah menjauh. Berjalan menyusuri lorong menuju kantin tempat tujuan kami tadi. “Apa yang akan kamu lakukan Mbak? Tetap membiarkan Ibu mertuamu menguasai uang bonus dari Mas Anang?” Tanya Hanin seolah bisa menebak isi hatiku dengan mudah.Belum sempat aku menjawab, hp Hanin sudah berbunyi tanda ada panggilan masuk. Ia segera menekan tombol hijau dan fitur pengeras suara. “Halo assalamualaikum Pa.”“Waalaikumsalam Nin. Apa benar Melati sedang di rawat di rumah sakit?” Tanya Papa dengan nada marah. Membuatku tiba-tiba bergetar ketakutan.Ya ampun. Bagaimana ini? Kalau Papa dan Mama semakin marah padaku, mereka pasti tidak akan mau untuk membantuku lagi. Sia-sia sudah ancaman yang di berikan Hanin pada Mas Anang dan Ibu mertua. Hanin menjelaskan kondisi Melati pada Papa dan di rumah sakit mana Melati sudah di rawat. Selain itu, Hanin juga menceritakan tentang rencana kami pada Papa. Membuat aku melotot tidak setuju. Tidak lama kemudian, Papa sudah minta Hanin menyerahkan hpnya padaku.Selama lima tahun ini aku sudah tidak pernah bicara berdua saja dengan Papa. Membuat dadaku berdegup kencang. Tanpa terasa air mata sudah menggenang di pelupuk mataku. Mengingat kesalahan masa lalu saat aku sudah mengabaikan nasihat Papa dan Mama demi bisa menikah dengan Mas Anang.“Jangan menangis Mbak. Bicara berdua saja dengan Papa disini. Biar aku yang beli makanan di kantin.” Bisik Hanin menguatkan saat menyerahkan hpnya padaku. Aku hanya bisa menganggukan kepala lalu dengan cepat menghapus air mata yang menggenang agar orang-orang
“Nggak percuma Mas Anang selama ini pencitraan sebagai orang yang taat agama. Jadi, kalau Mbak Harum menuduhmu nggak akan ada yang percaya. Pasti banyak tetangga kalian yang akan lebih percaya pada Mas Anang daripada Mbak Harum.” Langkah kaki Hanin yang mendekat membuatku seketika meletakan jari telunjuk di depan bibir agar Hanin tidak bicara dulu. Mengerti dengan isyarat yang kubuat, Hani berjalan perlahan lalu berdiri di sebelahku. Kami berdua menguping percakakan keluarga Mad Anang.“Sudahlah jangan bahas rencana kita di rumah sakit. Kalau ada suster dan dokter yang mau masuk bisa gawat. Apalagi kalau Harum dan Hanin sampai mendenagr perkataan kalian tadi. Kita bisa bicarakan semuanya lagi di rumah atau lewat hp.” Tegur Ibu mertua sehingga aku tidak bisa mendengar lebih banyak lagi. Karena percakapan mereka sudah beralih pada hal lain, Hanin mengajakku untuk masuk ke dalam kamar sekarang.“Kita masuk sekarang, Mbak.” Aku menganggukan kepala lalu membuka pintu tepat di hadapan Mas A
Tubuh Mas Anang seketika menegang mendengar peringatan dari Rasyid. Membuat aku berusaha menahan tawa. Setelah kepergian keluarga Hanin, Mas Anang dan Ibu mertua kembali duduk di sofa. Aku sudah menggelear seprai tipis yang tadi di bawakan oleh Rasyid. Lengkap dengan bantal dan guling.“Ibu nanti tidur di atas sofa saja biar nyaman. Aku dan Mas Anang akan tidur di bawah.” Ujarku pelan tanpa menatap ke arah Ibu dan anak itu. Entah bagaiaman raut wajah mereka saat ini.“Nggak usah Rum. Biar Ibu saja yang tidur di bawah. Kasihan Anang kalau badannya pegal. Diakan masih harus kerja besok.” Aku hanya bisa memutar kedua bola mataku malas. Di usia yang sudah setua itu saja Ibu mertuaku tetap memanjakan Mas Anang seolah dia masih anak kecil. Sampai Ibu mertua tidak memberikan perhatiannya sebagai seorang Nenek pada Melati.“Jangan Bu.” Ucapku tegas membuat senyum di wajah Mas Anang seketika luntur. Mulai malam ini, aku akan membuat mereka tidak bisa mengaturku lagi.“Kalau aku membiarkan Ibu
Raut wajah Ibu mertua sudah berubah menjadi datar mendengar jawaban Papa. Walaupun senyum tetap tersungging di bibirnya. “Kenapa Pak Besan? Kalau Harum kerjakan lumayan untuk tambah pemasukan keluarga. Biar bisa membantu Anang mendapatkan uang.” Papa tetap menggelengkan kepalanya.“Mencari uang itu sudah tanggung jawab suami. Istri bisa membantu kalau memang nafkah yang di berikan tidak cukup untuk kebutuhan sehari-hari dan biaya membesarkan anak. Tapi, setahu saya gaji Anang itu sudah lebih dari tujuh juta per bulan. Cukuplah untuk kebutuhan kalian dir umah ini. Di tambah dengan kebutuhan Melati yang sudah sekolah. Karena saya yakin putri kami bsia mengelola gaji suaminya dengan baik.”Ibu mertua dan Yara jadi salah tingkah karena Papa tahu jumlah gaji Mas Anang. Maklum saja karena perusahaan tempat Mas Anang bekerja masih rekanan bisnis dengan perusahaan Papa. Kadang kala aku mendengar Mas Anang bercerita pada Ibu mertua jika dia datang ke perusahaan Papa karena kontrak kerja sama d
“Kenapa kamu terkejut seperti itu Rum? Hubungan kita dengan orang tuamukan sudah membaik. Aku juga ingin bisa bekerja di perusahaan keluargamu seperti Rasyid. Lagipula kamu sendiri menolak bekerja untuk membantuku memenuhi biaya hidup kita. Kalau aku bekerja di perusahaan keluarga sendirikan gampang. Bisa langsung dapat jabatan tinggi. Atau minimal jabatan yang setara dengan perusahaan tempatku kerja sekarang." Aku hanya bisa menggelengkan kepala sambil memijat pelipis yang mendadak pening. Walaupun aku sudah menduga hal ini, rasanya tetap mengesalkan sekali.“Bukan begitu caranya Mas. Aku memang belum pernah cerita sama kamu kalau Rasyid itu bekerja di perusahaan Papa murni karena dia lolos seleksi lima tahun lalu. Terus menikah dengan Hanin. Jadi, seolah menantu Papa bisa bekerja disana dengan mudah. Padahal nggak begitu kenyatannya. Rasyid itu benar-benar merangkak dari bawah untuk sampai ke jabatannya sampai sekarang. Sama seperti kerja kerasmu di kantor. Bahka Rasyid menolak jaba
“Kok begitu Pak Besan? Bukannya sudah biasa seorang istri bekerja untuk membantu suaminya?” Tanya Ibu mertua yang terlihat tidak setuju. Tapi, tangan Mas Anang langsung memegang tangan Ibunya agar diam.“Baik Pa. Sudah tugas saya untuk memberikan nafkah pada anak dan istri. Jika Harum mendapat rezeki dari Papa, saya sama sekali tidak berhak atas uang itu. Saya juga tahu jika uang istri adalah uang istri.” Lagi-lagi Mas Anang lebih memilih untuk mengalah. Berbeda dengan Ibu mertua yang sempat protes tadi.Syukurlah tidak ada perdebatan malam ini. Walaupun raut wajah Ibu mertua masih tampak tidak setuju dengan surat perjanjian yang sudah di tanda tangani oleh anaknya itu. Setelah sholat isya’, Papa dan Mama langsung masuk ke dalam kamar tamu. Aku menemani Melati membuat PR di dalam kamar. Saat keluar dari kamar Melati yang sudah tertidur, tidak kudapati keberadaan Mas Anang dan Ibu mertua di ruang tengah. Biasanya mereka akan mengobrol sambil menonton sinetron kesukaan Ibu.Karena meras
Dasar. Sikap mereka sama sekali tidak pernah berubah. Sudah bertemu dengan Papa dan Mamaku saja masih membuat Yara berani minta uang pada kakaknya. Jariku menggulir layar hingga tampak hp Mas Anang yang di kunci menggunakan sidik jari. Katanya biar tidak bisa di otak-atik hingga tanpa sengaja terbuka sendiri. Dasar bodoh. Dia kira aku tidak bisa membuka hpnya dengan menggunakan jarinya sendiri saat Mas Anang sedang tidur?Tanganku sudah menempelkan jari jempolnya ke hp hingga terbuka. Pesan dari Yara langsung kubuka agar bisa membaca semuanya. [Mas besok berikan aku uang bonusmu untuk membeli sepatu baru Syifa ya. Suamiku belum kirim uang bulan ini. Katanya mau langsung di kasih setelah pulang. Kalau aku minta transferan sekarang dia pasti akan nanya kemana saja gaji yang di kirim bulan lalu.]Aku segera mengetikan pesan balasan untuk Yara dengan berpura-pura sebagai Mas Anang. [Nggak bisa Ra. Aku sudah membaca lagi surat perjanjian yang di bawa Papanya Harum. Jika aku memberikan uang
Suasana meja makan seketika berubah menjadi hening. Ibu mertua sudah menghentikan gerakan tangannya sambil menundukan kepala. Begitu juga dengan Mas Anang yang enggan menatap mata Papa dan Mama. Rasanya puas sekali bisa melihat orang-orang yang selama ini menindasku mati kutu seperti ini. Mereka mengira jika aku tidak punya tempat untuk berlindung karena Papa dan Mama tidak merestui hubungan kami. Padahal di balik itu semua, orang tuaku selalu memantau rumah tangga kami lewat Hanin.“Sebagai seorang suami, kamu tahu jika perbuatan kamu sudah salah pada Harum?” Tanya Papa dengan nada tenang. Namun, penuh penekanan hingga membuat wajah Papa berubah menjadi kaku. Papa memendam amarahnya agar bisa bicara pada Mas Anang dengan tenang.“Aku tahu jika selama kami berumah tangga, aku banyak melakukan kesalahan pada Harum, Pa. Karena itulah aku sudah berjanji pada Harum untuk berubah menjadi suami yang lebih baik lagi.” Jawab Mas Anang masih dengan menundukan kepalanya. Belum berani menatap ma