Share

Istri yang Tidak Becus

"Hahaha ... jadi rak piringpun Kalila tidak punya?"

Sartika langsung terbahak begitu mendengar keluh-kesahku. Kini di rumahnyalah aku berada.

"Iya, masak aku bohong," sungutku. "Dia meletakkan perabot dapurnya yang kusam itu di rak bambu yang aku buat tiga tahun yang lalu," sambungku dengan nada kesal.

"Aku jadi bingung, Kalila kemanakan uang kirimanmu?" Tohir bertanya dengan raut serius.

"Itulah yang aku bingungkan, Toh. Aku tidak tau dia apakan uang itu," jawabku ketus.

"Sebelumnya aku kurang percaya tentang gosip di kampung ini, gosip tentang istrimu yang tidak becus mengurus keuangan dan selalu menghamburkan uang untuk ibunya. Akan tetapi setelah mendengar ceritamu aku jadi percaya, yang orang-orang katakan ternyata benar, si Kalila memang tidak becus menjadi istri!" Sartika berujar sengit.

"Aku penasaran, memangnya berapa uang yang selalu kau kirim untuk istrimu?" Sebelum menjawab ucapan Sartika, Tohir telah memotong lebih dulu.

"Ee ... du ... dua juta, iya dua juta kadang lebih. Lebih sering lebihnya," jawabku cepat.

"Dua juta lebih?" Tohir bergumam sambil mangut-mangut.

"Lhah, dua juta lebih itu sudah lumayan. Menurutku itu sudah cukup untuk kebutuhan sehari-hari dan membeli perabot rumah. Jika memang berat membeli dengan kontan bukankah ada sistem kredit. Kalila itu bodoh atau bagaimana, masak begitu saja tidak bisa diatur!" Kartika terlihat semakin kesal, sementara Tohir memilih diam.

"Kapan-kapan mampirlah ke rumahku, ajari Kalila bagaimana caranya hidup. Ajarai dia cara mengatur uang dan membeli ini-itu!" pintaku kemudian.

Sartika menyetujui permintaanku, tepat setelah itu tetangga Sartika Kemudian datang. Ibu muda yang sama berserinya dengan Sartika itu masuk dan langsung menyapaku.

"Eh, Rami. Kamu juga pulang, ya?" 

"Iya, Indah. Ramli juga ikut pulang." Sebelum menjawab Sartika menerangkan lebih dulu.

"Baguslah kau pulang, dengan begitu aku tidak sakit mata lagi melihat anak-istrimu yang setiap hari menelusuri sawah mertuaku."

"Menelusuri sawah mertuamu?" Aku tersentak dengan ucapan Indah, dan langsung bertanya bingung.

"Iya, dia menelusuri sawahku untuk mencari siput dan pelepah talas." 

Spontan mataku menatap ke arah pintu, dimana mertua Indah sudah berada di sana.

"Apa lagi ini, apa lagi yang dilakukan Kalila?" Aku membatin kesal.

"Siput dan pelepah talas untuk apa?" Tohir bertanya mendahuluiku.

"Ya untuk dia makanlah, Kak. Kalila mencari siput untuk lauknya hihi ... !" Sartika menjawab pertanyaan suaminya disertai cekikikan.

"Hihi ... !" Bahkan Indahpun ikut terkikik.

Sakit dan teramat malu, itulah yang aku rasakan kini. Tak pernah terduga sedikitpun jika Kalila akan mencoreng-moreng wajahku seperti ini. Secara tidak sengaja Kalila telah menjatuhkan marwahku. Semua orang tau jika aku sedang merantau dan mendapat penghasilan tetap dan lumayan banyak. 

Semua orang pasti mencaci dan menghujat diriku, menanggap aku pelit pada istri hingga dia mengembara di sawah orang untuk memungut siput yang biasanya dianggap hama bagi tanaman padi. Kalila telah membuatku malu, aku sakit hati dan sangat marah padanya.

Dengan rasa marah yang membuncah, kembali aku membeberkan keburukan Kalila di depan Indah dan mertuanya. Akan tetapi, belum selesai aku bercerita mertua Indah sudah memotong.

"Kau tidak perlu menceritakan itu padaku, Ramli. Ibumu selalu curhat padaku tentang keburukan istriku." ujarnya.

Semakin lama, semakin sakitlah hatiku pada Kalila. Ternyata di kampung ini dia sudah menjadi bahan gosipan orang, hampir semua orang tau tabiat buruknya. Setelah cukup lama berada di rumah Tohir akhirnya aku pamit, aku ingin segera tiba di rumah dan membuat perhitungan dengan istriku itu.

***

Aroma opor menyeruak, karena penasaran dengan opor apa yang dimasak Kalila aku meneruskan langkah menuju halaman belakang, aku ingin masuk melalui pintu dapur.

"Emmm, aromanya enak. Apa ibu memasak opor siput lagi?" 

Kakiku terhenti ketika mendengar tanya yang dilontarkan anak sulungku di dalam dapur sana. "Jadi benar yang mereka katakan, Kalila selalu memungut siput untuk lauknya," gumamku.

"Tidak, sayang. Hari ini ibu memasak opor ayam. Bukankah ayahmu baru pulang, jadi ibu memasak opor ayam untuknya." Terdengar jawaban Kalila.

"Horeee ... makan ayammm ... !"

Sulungku kemudian berteriak.

Bergegas aku melangkah kembali, sangat penasaran sekali hatiku mengapa Kalila berbuat seperti ini. Dari seruan girang anakku aku bisa tau jika selama ini dia sangat jarang makan ayam, yang Mertua Indah katakan ternyata benar, hampir setiap hari Kalila selalu memasak siput dan pelepah talas untuk anak-anakku.

"Ayah datangg ... !" Anak sulungku yang bernama Jalal itu berteriak begitu tubuhku berada di ambang pintu.

"Yah, ibu masak opor ayam, lho!" serunya lagi.

"Iya, ayah tau," jawabku ketus "Sekarang kamu keluar dulu, aku ingin bicara dengan ibumu!" perintahku kemudian.

Jalal terlihat segan, aku tau dia masih ingin tinggal menunggui ibunya yang sedang memasak. Akan tetapi karena aku menatapnya garang dia menurut juga.

"Ayo, Dik. Kita keluar!" ucapnya kemudian sambil meraih lengan bungsuku yang berusia tiga tahun lebih itu.

Setelah Jalal dan Salsabila keluar, aku mendekati istriku yang memandangku dengan raut bingung.

"Ada apa?" tanyanya sebelum bibirku terbuka untuk menanyainya.

"Katakan, kenapa kau berhutang di warung Bu Diah?" 

Aku ingin menanyainya satu persatu, setiap keburukannya akan aku tanyai sekarang juga.

"Aku berhutang karena uang yang kakak kirim sudah habis, bukankah kakak mengirimiku bulan lalu sementara bulan ini belum ada. Bukankah kakak yang mengatakan jika tidak mengirim uang karena akan pulang, uangnya bisa kakak berikan langsung tanpa dikirim." 

Tanpa raut takut sedikitpun di wajahnya, Kalila menjawab lancar. Aku merasa dia sudah mempersiapkan jawaban ini jauh-jauh hari.

"Jika begitu baiklah," ucapku sambil merongoh saku untuk mengambil dompet.

Aku mengeluarkan lembaran uang merah dari dalam dompet dan menghitungnya.

"Satu, dua, tiga, ini ambil satu juta seperti bisa," ucapku sambil menyodorkannya pada Kalila.

Aku ingin menyelesaikan tanggung jawabku dulu, dengan memberinya uang satu juta seperti biasanya lalu lanjut memarahi Kalila. Setiap bulan satu jutalah  yang memang aku kirim untuk Kalila, bukan dua juta lebih seperti ceritaku tadi pada Sartika. Tadi, aku sengaja melebihkan karena ingin mendapat sanjungan.

Tanpa aku duga, Kalila mendorong balik tanganku yang memegang uang seraya berucap.

"Sekarang kakak sudah di rumah, tak perlu lagi kau jatah diriku dengan uang satu juta sebulan itu. Kakak saja yang mengatur uang itu, bukankah kakak sangat pandai, aku yakin bila kakak yang mengatur, uang satu juta itu akan habis dalam dua bulan."

Setelah berkata demikian, Kalila berjongkok mengambil kayu yang ada di tungku, memukulnya hingga api padam, lalu tanpa basa-basi dia keluar dapur menyusul kedua anakku. Aku hanya bisa terngaga dengan perlakuan Kalila, ternyata selain tidak becus mengurus keuangan dia juga menjadi sangat angkuh.

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status