Share

Rebutan Oleh-oleh

"Kalila ... kembali! Aku belum selesai bicara!" Sebelum Kalila terlalu jauh, aku meneriakinya.

"Ada apa lagi?" tanya Kalila dari luar sana.

Hati yang marah dan kesal menjadi semakin menjadi karena perangai istriku, dia masih sama seperti dulu tak ada takut-takutnya pada suami. Sejak dulu Kalila memang begini, pandai bicara, selalu saja ada alasan yang dia kemukakan bila aku menegurnya, aku selalu kalah bila berdebat dengannya.

Selalu juga seperti ini, tidak pernah becus mengurus keuangan. Sebelum merantaupun, uang yang aku dapati dari nguli sana-sini habis tak tersisa olehnya. Jangankan menabung untuk membeli emas seperti istri orang lainnya, sekedar untuk membeli pakaian dalampun sangat jarang.

Karena Kalila belum juga kembali akulah yang terpaksa bergerak keluar, aku puas karena melihatnya masih berdiri di dekat tembok dapur.

"Tetaplah di situ, masih banyak yang ingin aku bicarakan!" perintahku kemudian.

"Ada apa lagi, si?" tanya Kalila datar.

Akan tetapi sebelum memarahinya lebih lanjut, aku melihat ibuku di halaman depan, sepertinya beliau baru saja tiba.

"Ibuu ... !" seruku seraya melambaikan tangan memintanya ke tempatku.

"Iya, ibu ke situ!" seru ibuku pula.

Ketika ibuku berjalan cepat menuju tempatku, aku melirik Kalila yang menyunggingkan senyum ke arah ibuku. Dalam hati aku membatin melihat senyum dari bibir hitamnya itu. "Senyummu tak berguna Kalila, toh nantinya kau akan didamprat habis-habisan oleh ibuku, tau rasa kau!"

Bahkan aku mencabik ketika Kalila maju menjemput ibuku.

"Ibu sendirian?" tanyanya kemudian dengan ramah.

"Adik dan kakakmu akan segera menyusul," jawab ibuku. Dia kemudian menyodorkan bungkusan pada Kalila.

"Nih, opor ayam kesukaan suamimu. Sebagai ibunya aku tidak tega melihatnya makan dengan lauk pelepah talas. Setelah tiga tahun dia dirantau dan kini baru pulang, seharusnya kau memasak makanan kesukaannya untuk berbuka nanti!" sambung ibuku dengan sengit.

Seketika raut wajah Kalila terlihat kesal, dia seperti hendak membuka mulut untuk membela diri, tapi sebelum suaranya keluar dengan cepat aku menyerobot.

"Peringati dia, Bu. Agar tidak semena-mena pada anak dan suami!"

"Istrimu ini memang keterlaluan, dibilangin seribu kali pun tidak akan mempan," gerutu ibuku.

Wajah Kalila memerah, dia tentu sangat malu, tanpa memberi kesempatan padanya untuk membela diri aku terus berbicara. Saat dia berucap baru sepatah maka aku akan meyerobotnya dengan suara keras. Di depan ibu dan keluarga, aku tidak mau kalah oleh Kalila, sebisa mungkin dilah yang terpojok.

Sebelum Kalila benar-benar berhasil mengucapkan kalimat pembelaan, dari halaman depan adik dan kakakku kemudian nampak.

"Ramlii ... !" seru mereka berbarengan.

"Kami di sini!" seruku pula.

Tiga saudaraku termasuk istri dan suami serta anak-anaknya kemudian datang menghambur.

Kakak tertuaku laki-laki bernama Gufron, istrinya bernama Kirana, anaknya dua orang bernama Ali dan Ana. Kakak keduaku bernama Sulis, suaminya bernama Fatih, dan anaknya bernama Aulia. Adikku bernama Larasati, dia masih gadis.

"Kok masih di luar, kenapa ibu belum membuka koper oleh-olehnya?" Sambil berjalan Kak Gufron bertanya.

"Ibu menunggu kalian," jawab ibuku.

"Ayo, langsung saja masuk!" Dengan antusias aku mengajak saudara-saudariku masuk untuk membuka koper yang isinya oleh-oleh yang sengaja aku beli untuk mereka.

"Ayo ... ayo ... !" Merekapun menyambut dengan girang.

Semua orang kemudian masuk, termasuk Kalila dan anak-anakku. Begitu mereka sudah berada di dalam rumah aku meminta pada Kalila untuk mengeluarkan kopernya. Dengan gesit Kalila bergerak, memasuki kamar dan keluar lagi sambil menyeret koper.

Jemari Kalila sudah bergerak hendak membuka, tapi dengan cepat Kak Kirana mencegah.

"Tunggu, biar aku saja yang membuka! Aku takut kau salah dan merusak koper mahal itu!"

Sebenarnya Kalila tak sebodoh yang Kak Kirana pikirkan, sekarang Kalila memang lusuh dan jelek dan karena penampilannya itu dia terlihat bodoh. Sejatinya, ketika masih gadis dulu, Kalila adalah kembang desa yang terkenal cerdas.

Dengan raut wajah yang tidak sedap dipandang, Kalila menarik tangannya, dia bahkan mundur dan membiarkan Kirana meraih koper itu.

"Cepat buka!" pinta ibuku, dia terlihat tidak sabar.

Dengan tergesa Kak Kirana membuka koper, setelah koper terbuka semuanya berebutan mengambil barang-barang yang ada di dalamnya. Baju anak, sarung, gamis, jilbab, mukena, bahkan sandal ada dalam koper itu. Mereka semua berebut dan mengambil barang yang diinginkan.

Hatiku puas dan bahagia melihat keluargaku seperti ini, tak hentinya bibirku menyunggingkan senyum bangga.

"Gamisnya bagus semua, ingin rasanya memiliki semuanya!" Larasati berseru. 

"Sisakan untukku, Laras!" ucap Kak Sulis sambil merebut gamis yang ada dalam genggaman Larasati.

"Tidak perlu berebutan, gamis dan sandal untuk satu orang satu. Semua pasti kebagian!" Dengan cepat aku melerai Sulis dan Larasati yang sedang berebutan.

"Ohh, jadi sama-sama satu, ya?" tanya Larasati sambil mengalah memberikan satu gamis untuk Sulis.

"Iya," jawabku.

"Lalu untukku mana?" Dari belakang keluargaku yang berkerumun memenuhi depan koper, Kalila bertanya.

"Iya, baju lebaran untukku mana?" rengek Jalal yang tidak ikut berebutan, anakku itu memilih duduk di dekat ibunya.

"Ada kok, untuk Jalal dan Salsabila ada," jawabku cepat.

"Yang mana, sisanya cuma ini," sambut Kak Sulis sambil mengangkat baju koko dan gamis kecil. Diantara semua yang aku beli, baju yang sedang diangkat Kak Sulis itulah yang paling jelek dan harganya murah. Waktu itu aku kehabisan uang, uang yang aku bawa kurang. Karena bajunya belum cukup akhirnya aku membeli yang murah saja.

"Apa sisanya hanya itu? Apa tidak ada yang lebih bagus untuk Jalal dan Salsabila?" tanya Kalila, nadanya terdengar ketus.

"Iya, cuma ini," jawab Kak Sulis.

Kalila hendak berucap lagi, tapi ibuku menyerobot duluan.

"Sudah, diambil saja mana yang ada! Lagian mengapa sejak tadi kau bengong saja tidak mengambil untuk anakmu. Baju itu juga bagus, berikan saja untuk baju lebaran anakmu. Masih syukur dibawakan, toh kamupun tidak pernah mau membeli baju buat anak-anakmu, meski setiap bulan kiriman selalu datang." 

"Bagaimana aku hendak mengambil, semuanya menyero ... "

"Sudah, tidak perlu membantah! Tidak perlu banyak alasan, ini bulan suci seharusnya kamu tau itu dan menerima saja apa yang ada!" Belum selesai ucapan Kalila, kembali ibumu memotong.

"Heh, tau rasa kau Kalila," ketusku dalam hati.

"Iya, bukankah selama ini uang untuk Kalila selalu mengalir, kita saja yang sebagai saudara tak pernah mendapat jatah kiriman. Selama ini tak pernah sekalipun Kalila berbagi uang kiriman itu pada kami. Jika tidak untuk kami para iparnya, setidaknya untuk keponakannya yang masih kecil ini. Seharusnya Kalila tidak perlu mendapat gamis, toh dia bisa membeli dengan uang yang setiap bulan dia terima." Kak Sulis menyambut ucapan ibuku.

Hatiku meradang mendengar penuturan Kak Sulis, ternyata Kalila benar-benar tega dan pelit. Pada saudara kandungku sendiripun dia perhitungan, benar kata Kak Sulis, jika tidak memberi untuk mereka yang sudah pada dewasa, setidaknya memberi pada para keponakanku.

"Bukankah aku selalu memberi anak-anak setiap kali uang kiriman datang." Kalila angkat bicara.

"Kau memang memberi Kalila, tapi hanya sepuluh ribu saja. Uang segitu tidak berguna bagi anak-anak kami!" Giliran Kak Kirana yang menyambut.

"Entah kau kemanakan kiriman suamimu, Kalila. Selama ini kau selalu kekurangan, berhutang dan membuat malu dengan menelusuri sawah orang untuk mencari bahan lauk!" Ibuku menimpali dengan sengit.

Mendapat serangan dari semua orang, Kalila nampak kesal, dia kemudian membela diri dengan suara tinggi.

"Uang yang dikirim itu tidak cukup, itu sebabnya aku berhutang dan mencari siput atau kayu bakar di sawah orang."

"Alahh, alasanmu selangit! Kau memang pintar membuat alasan sejak dulu!" sergahku segera.

"Aku benar-benar tidak suka dengan cara-caramu ini, Kalila. Laras, ambil saja gamis bagiannya, biar dia membeli sendiri dengan uang yang dulu aku kirim!" perintahku kemudian.

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status