Share

Kemana Uang yang Rutin Aku Kirim
Kemana Uang yang Rutin Aku Kirim
Penulis: Zohrah Belah

Uang Kiriman

"Lho, Dek. Rumah kita kok kosong melompong, hampir enggak ada isinya?"

Ketika memasuki rumah aku bertanya heran.

Tiga tahun lamanya aku dirantauan, rutin mengirim uang setiap bulannya, tapi mengapa setelah aku pulang tak kutemui satupun barang berharga di rumahku ini. Tidak seperti rumah Tohir yang aku singgah tadi, rumahnya sudah penuh dengan barang berharga. Sofa, lemari besar, kulkas, dan elektronik lainnya memenuhi rumahnya.

"Barang berharga seperti apa yang Kakak maksud?" Istriku bertanya, raut wajahnya terlihat bingung pula.

Sebenarnya aku sangat kesal dan ingin sekali membentaknya, mengatakan apa yang mengganjal di hati. Akan tetapi mengingat aku ini baru saja pulang dari rantauan jauh selama bertahun-tahun pula, aku redam rasa kesalku. Aku biarkan rasa kesal itu menguap dengan kembali mengedepankan hasrat yang terpendam sejak lama.

"Bukan apa-apa, sebaiknya kita ke kamar saja!" Aku meraih tangannya, bermaksud membawanya ke kamar untuk menumpahkan hasrat yang kembali menggebu. 

Tanpa aku duga, istriku Kalila melepas halus pegangan tanganku.

"Jangan ke kamar, Kak. Nanti kita khilaf, bukankah sekarang ini bulan suci, kita sedang puasa Ramadhan kan." Dengan tutur halus pula istriku mengingatkan.

Aku tersentak dengan penolakan istriku, tidakkah dia tau beban hasrat ini sudah aku tanggung selama tiga tahun, tak bisakah dia mengerti akan hal itu, tak bisakah dia berkorban untuk suaminya sekali ini saja, membatalkan puasa dan melayaniku.

"Kamu menolakku, Dek. Tidakkah kamu rindu padaku setelah tiga tahun berpisah?" Emosiku masih bisa terkendali, aku masih bisa bersuara wajar.

"Kapan aku pernah menolakmu, Kak. Jika bukan karena sekarang siang hari bulan suci aku tidak akan menolakmu, aku juga sama rindunya dengan dirimu. Aku ingin bertanya sanggupkah kakak membayar denda bila sengaja melakukan hubungan ... "

"Aahhh ... masa bodoh dengan semua itu!" Tanpa membiarkan istriku melanjutkan ceramahnya, kembali aku meraih tangannya kemudian menyeretnya menuju kamar. Beruntung kedua anakku sedang berada di rumah neneknya hingga tak ada yang mengganggu.

***

Kutinggalkan istriku yang masih duduk dengan raut sendu, setelah membersihkan badan aku keluar rumah untuk jalan-jalan. Tiga tahun meninggalkan kampung halaman membuatku rindu pada suasana dan para kerabat.

"Hai, Ramli. Ternyata kau pulang juga, mari singgah dulu!" Baru saja beberapa meter aku melangkah ada tetangga yang menyapa. Bu Diah, tetangga yang sedang menjaga warungnya itu memintaku singgah.

Karena tak enak untuk menolak, akupun mendekati warung Bu Diah.

"Ramli, kaukan baru pulang dari rantauan, pasti uangmu banyak kan. Tolong lunasi utang istrimu, mumpung uangmu masih ada!"

Aku yang hendak duduk di bangku panjang depan warung menjadi membeku, bukan karena tagihan Bu Diah yang membuatku kaget dan kesal hingga membeku, tapi aku kaget dan sangat kesal karena mengetahui istriku berhutang.

"Kalila berhutang?" tanyaku setelah beberapa saat.

"Iya, istrimu selalu berhutang di sini. Bahkan utangnya yang bulan lalu belum dia lunasi, dan kemarin serta tadi dia berhutang kembali," jawab Bu Diah.

Lelaki mana yang tidak akan marah bila mendapati keadaan seperti ini, pulang dari rantau yang begitu jauh tidak menemukan apapun di rumah, bahkan kini mengetahui kenyataan pahit jika istriku mempunyai utang di warung Bu Diah.

"Apa saja yang dibeli oleh Kalila dengan uang kirimanku, hingga untuk kebutuhan sehari-haripun harus berhutang." Aku menggumam kesal di dalam hati.

"Memangnya berapa utang Kalila?" tanya kesal.

"Tidak banyak si, sisa utangnya bulan lalu dua ratus ribu, yang kemarin dua puluh ribu, dan tadi pagi empat puluh lima ribu. Kau bisa hitung sendiri jumlahnya." Penjabaran Bu Diah membuat rasa kesalku menjadi berang, tanpa peduli dengan seorang ibu yang baru datang belanja dan Bu Diah sendiri aku mengumpati istriku.

"Dasar istri boros, rakus, entah apa yang dia beli dengan uang yang rutin aku kirim setiap bulannya. Rumah kosong melompong, dan berhutang pula di warung sayur!"

"Mungkin uang yang kau kirim, tidak cukup untuk membeli kebutuhan selama sebulan, itu sebabnya istrimu berhutang." Bu Diah menimpali umpatanku.

"Alahh ... memang dianya saja yang rakus dan boros!" umpatku lagi.

"Yang Ramli katakan benar, Bu Zubaidah juga berkata begitu, si Kalila menantunya itu memang tidak becus mengurus keuangan, selalu saja tidak cukup dengan kiriman suami."

Zubaidah adalah nama ibuku, dan orang yang berucap itu adalah orang yang baru masuk di warung Bu Diah. Ibu itu bernama Ayu, dia adalah tetangga ibuku.

"Ooh, begitu ya? Aku pikir kirimanmulah yang kurang hingga istrimu selalu berhutang," sambut Bu Diah.

Hatiku semakin kesal dan memanas saja, teringat kembali Bagaimana keadaan rumah Tohir, bagaimana glowingnya Sartika istrinya itu. Aku dan Tohir berangkat merantau bersama-sama, kerja di tempat yang sama dengan gaji yang sama pula, lalu mengapa istriku tidak bisa berbuat seperti istri Tohir.

Istri dan rumah Tohir terlihat mewah dan terawat. Sementara rumah dan istriku sama kusamnya, tak ada yang menarik dari keduanya, rumah dan istriku itu sama kumalnya. Aku kesal melihat semua itu, aku marah dan menumpahkan rasa amarahku dengan berkeluh-kesah di depan Bu Diah dan Bu Ayu.

Tanpa rasa sungkan aku terus berkeluh, membeberkan keburukan istriku.

"Asal kalian tau, tak pernah sekalipun aku telat mengirim uang pada Kalila. Aku sengaja mengirim lebih, agar dia bisa membeli isi rumah juga seperti yang dilakukan oleh istrinya Tohir. Akan tetapi, jangankan membeli isi rumah, bahkan untuk sayur-mayurpun dia berhutang. Jika kalian tidak percaya cobalah mampir ke rumahku, jangankan barang elektronik, rak piringpun Kalila tidak punya!"

"Mungkin yang ibumu katakan benar adanya, Kalila selalu menyetor uang kirimanmu pada ibunya," ucap Bu Ayu.

"Aku juga berpikiran begitu," sambutku.

"Keterlaluan istrimu, masak sekedar membeli rak pingpun dia tidak mampu sementara setiap bulan kiriman selalu datang!" Bu Diah menggerutu.

Mendengar gerutuan Bu Diah, semakin semangatlah aku membeberkan segala keburukan istriku, termasuk wajah dan tubuhnya yang tidak terawat itu.

"Jika nanti istriku mampir belanja lagi ke sini, tolong ajari dia bagaimana merawat diri. Bukankah istri-istri lain di kampung ini sangat pandai merawat diri, wajah mereka mulus dan berseri!" ucapku kesal.

"Lah, mengapa meminta pada Bu Diah? Katakan sendiri pada istrimu itu, bilang padanya uangnya jangan hanya diberikan pada ibunya, tapi gunakan juga untuk membeli perawatan kulit!" Sebelum Bu Diah menjawab, Bu Ayu telah memotong lebih dulu.

"Jika aku yang meminta dia tidak akan mau," ucapku ketus.

"Jika begitu biar aku adukan saja kemauanmu ini pada ibumu, biar dia saja yang memperingati istrimu itu!" ujar Bu Ayu.

Aku tidak menjawab, karena Bu Ayu sudah selesai dengan belanjanya diapun pamit. Setelah melunasi utang Kalila pada Bu Diah, akupun pamit juga, tujuanku adalah ke rumah Tohir. Aku masih kesal dan ingin menumpahkan rasa kesalku ini dengan kembali menceritakan keburukan Kalila pada Tohir dan istrinya.

Biarlah semua warga di sini tau tentang kelakuan istriku, agar dia menjadi malu dan sadar diri. 

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status