Share

7. Tulisan Aneh

last update Huling Na-update: 2022-12-23 15:38:28

PEMB4LUT SUAMIKU (7)

Badannya bungkuk, wajahnya penuh keriput. Jalannya tertatih-tatih. Namun, matanya awas memandang rumahku dengan raut wajah serius. 

Siapa nenek tua itu? Aku tak pernah melihat sosoknya sebelumnya.

Astaga! Mira dan Danu? 

Buru-buru aku mempercepat langkah menuju rumah. Aku teringat Mira dan Danu yang masih bermain mencari siput di sawah belakang. 

Gelagat nenek tua itu terlihat mencurigakan. Aku khawatir dia berniat buruk pada keluargaku. 

Melihat kedatanganku yang tergesa, nenek tua itu melotot tajam kemudian membuang muka masam dan segera berlalu memasuki kebun jagung. Mungkin dia mengira aku hendak menghampirinya. 

Seketika tengkukku meremang. Namun, tidak mungkin ada hantu di siang bolong begini. Aku yakin nenek itu manusia. Akan tetapi apa tujuannya mengawasi rumahku seperti itu. 

Anehnya, dia juga memasuki kebun jagung yang begitu luas. Tingginya melebihi tinggi tubuhku. Tentunya tubuh nenek tua yang sudah bungkuk itu tenggelam di antara puluhan pohon jagung. Pastilah di dalamnya gelap dan tak ada jalan. 

Jika memang dia tidak berniat jahat, kenapa tidak melewati jalan yang sudah disediakan untuk ke ladang? 

"Mira ... Danu ...," teriakku sembari memasuki rumah. 

Namun, tidak ada sahutan dari mereka. Buru-buru aku ke arah dapur, aku bernapas lega. Rupanya mereka tengah membersihkan siput yang sudah mereka dapat. 

Mereka sangat suka gulai siput sawah. Aku sering mengajaknya mencari siput jika uang belanja mulai menipis, untuk menghemat. Karena tidak tiap hari aku bekerja. Itu kenapa mereka sudah pandai mencari bahkan membersihkannya sendiri. 

"Ibuk kenapa? Kok mukanya begitu?" tanya Mira yang memperhatikanku. 

Mungkin dia melihat raut wajahku yang tegang dan cemas.

"Ehm, gak apa-apa. Kalian sudah lama balik?" 

"Iya, Buk. Kami sudah mandi. Ibuk gak lupa kan pesanan Mira?" 

"Cokelat pesanan Danu juga?" timpal Danu. 

Aku tersenyum sembari mengeluarkan pesanan mereka dari kantung kresek. 

"Mira ada lihat nenek-nenek tadi di kebun jagung waktu cari siput?" tanyaku. Barangkali mereka melihat. 

"Nenek-nenek? Gak ada, Buk. Tapi aku lihat perempuan di sini waktu kita cari siput," ujar Mira yang membuatku terkejut. 

"Perempuan? Perempuan siapa? Di sini di mana?" tanyaku bingung sekaligus penasaran.

"Gak tau. Soalnya aku lihatnya sekilas aja, Buk. Dia duduk-duduk di situ." Mira menunjuk bangku kayu yang berada di sebelah pintu dapur yang menjurus ke halaman belakang. 

"Kamu yakin, Nak?" tanyaku berjongkok di hadapannya. 

"Yakin, Buk. Mana mungkin aku salah lihat. Danu juga lihat kan tadi?" Mira menoleh pada Danu. 

"Iya, Buk. Bibinya cantik. Kayak ibuk. Tapi pas kita samperin gak ada," timpal Danu. 

Aku menelan ludah getir. Mereka tak mungkin berbohong. Jika pun Mira salah lihat, tentunya Danu tidak akan tahu tentang perempuan yang Mira maksud. Akan tetapi keduanya sama-sama tahu. Tetapi siapa perempuan itu? Apa yang mereka maksud nenek tua itu?

Tapi kalaupun iya, tidak mungkin Danu bilang perempuannya cantik sama sepertiku.

Ah! Kepalaku sungguh pening memikirkan ini. 

"Siputnya sudah bersih? Kalian main di teras rumah, ya?" pintaku. 

"Sebentar lagi, Buk!" sahut Mira. 

Setelah beberapa saat, siput yang mereka bersihkan sudah beres. Aku menyimpannya di lemari kayu tempat menyimpan lauk. Nanti sore akan kumasak. 

"Mira, nanti kalau dari jauh liat Bapak pulang, bilang Ibuk, ya. Biar Ibuk buatkan kopi. Sekarang Ibuk mau ke kamar dulu," pintaku pada Mira. Gadis kecil itu mengangguk. 

Aku meminta mereka bermain di teras sengaja untuk mengawasi kedatangan Mas Darma. Rasa curiga dan penasaran sudah tak terbendung lagi. Untuk kali ini tak apalah aku melanggar larangan suamiku untuk menyentuh barang-barang miliknya. 

Sejak awal aku memang sudah menaruh curiga. Mulai dari Mas Darma yang melarangku membuka tasnya bahkan melarang menyentuh celananya untuk dicuci jika tidak diperintah. Barang-barangnya pun masih berada di ranselnya meski sudah beberapa hari dia pulang. 

Sebagai baktiku pada suami, aku menuruti ketika dia melarangku membuka tasnya. Kupikir Mas Darma masih tidak terbiasa barang-barangnya disentuh orang lain. Aku mewajari itu, hampir sepuluh tahun bukanlah waktu yang sebentar Mas Darma hidup sendiri. 

"Ya Tuhan ampuni aku karena membantah larangan suamiku kali ini," bisikku dalam hati. 

Biarlah. Toh semua ini demi kebaikan keluargaku sendiri. 

Dengan sedikit rasa bersalah, aku membuka resleting pertama yang rupanya berisi tumpukan pembalut kemarin. Buru-buru kututup, aku tidak tahan baunya. Bahkan baunya samar-samar sudah tersebar di seluruh kamar, tetapi aku baru menyadari ini kemarin. Anyir dan busuk. 

Selanjutnya kuperiksa semua sisi ranselnya. Hanya ada baju dan celana Mas Darma. Tak ada sesuatu yang lain mencurigakan kecuali pembalut bekas pakai yang penuh dengan noda darah. 

Namun, ketika membuka resleting terakhir yang paling kecil, aku menemukan sesuatu. Sebuah kotak berukuran kecil. Kotak yang terbuat dari kayu dipenuhi ukiran yang begitu detail. Cantik tetapi penuh misteri.

Penasaran, kubuka kotak tersebut. Aku terkejut ketika melihat cincin bermata biru yang kutemukan kemarin di lemari baju terpasang rapi di dalam kotak. Aku yakin itu cincin yang sama yang pernah kupakai. 

Kurogoh kembali ke dalam tas, aku kembali menemukan sesuatu. Secarik kertas lusuh yang mulai berwarna kekuningan. Di pinggirannya mulai penuh dengan sobekan kecil. 

Kubuka kertas tersebut, aku melongo tak mengerti dengan tulisan di dalamnya. Seperti kolom sebuah jadwal? Entahlah. Yang jelas tulisan itu tidak ditulis dengan bahasa indonesia dan pulpen biasa.

Melainkan tinta kecoklatan yang sudah mengering. Aromanya begitu amis.  

Dari situ aku mulai sadar. Kertas ini ditulis dengan darah. 

"Ibuk ... Ibuk ... Bapak pulang!" teriak Danu dari luar kamar yang membuat sekujur tubuh gemetar. Takut. Disusul dengan derap langkah kaki yang aku yakin itu Mas Darma.

Gawat!

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Kematian Wanita Perawan Setelah Suamiku Pulang    45. Rumah Baru

    Makam Mas Darma benar-benar kacau. Seolah ada yang sengaja menggali dan mengeluarkan jasad Mas Darma. Tak jauh dari makam Mas Darma, aku memang melihat sebuah cangkul. Kuduga itu akat yang digunakan pelaku untuk mengeruk makam Mas Darma. "Buk, ini tulang apa, Buk? Katanya kita ke makam Bapak. Kok banyak tulang besar-besar, Buk?"Aku mengusap dada, menahan sesak dan juga air mata yang hendak meluap. Siapa? Siapa yang tega melakukan ini, Tuhan! Aku yakin ini perbuatan orang-orang yang masih menaruh dendam terhadap Mas Darma. "Buk, Danu takut, Buk," lirih Danu. Kulirik mereka berdua yang kemudian saling berpegangan tangan. Pandangannya menatap sekeliling dengan raut wajah tegang. Allah ... Allah .... Terus kubisikkan nama Allah dalam hati. Aku harus kuat. Perlahan, aku bangkit. Menghampiri Danu dan Mira, mencoba menjelaskan sesederhana mungkin berharap bisa mereka pahami. "Nak, perlu kalian tahu. Tidak semua orang suka sama kita. Seperti kali ini, ada yang gak suka sama Bapak sehin

  • Kematian Wanita Perawan Setelah Suamiku Pulang    44. Makam Mas Darma Rusak!

    Sampai di rumah, rupanya Pak Ustad dan beberapa orang masih ada di sana. Aku jadi tak enak hati, kasihan Pak Ustad menunggu lama.Mataku terfokus pada karung yang tergeletak di sebelah tangga. Hatiku berdenyut, aku ingat karung itu."Alhamdulillah kalian sudah pulang. Bagaimana keadaan Mira, Pak?" tanya Pak Ustad."Alhamdulillah sudah mendingan, Pak Ustad.""Syukurlah. Jadi bagaimana keputusan Ibu dan Bapak? Tulang belulang Almarhum sudah diambil oleh bapak-bapak ini. Jika memang setuju, pukul sepuluh kita lakukan pemakaman dengan layak. Lebih cepat lebih baik." "Alhamdulillah, terima kasih, Pak Ustad. T-tapi, bagaimana dengan warga? Apa mereka setuju untuk dimakamkan di desa ini?" tanyaku ragu."InsyaAllah mereka tidak keberatan. Sudah kami bicarakan sebelumnya. Untuk salat jenazah, saya pribadi tidak bisa memaksakan mereka. Jika pun mereka tidak mau, tidak apa-apa. Siapa yang mau saja. Yang penting sudah kita perlakukan jenazah dengan baik dan sesuai anjuran." "Baik, Pak Ustad. Al

  • Kematian Wanita Perawan Setelah Suamiku Pulang    43. Pemakaman Kedua

    "IBUK! IBUK! MBAK MIRA, IBUK!" Penjelasan Pak Ustad sontak terpotong karena teriakan Danu yang begitu histeris.Dia menghambur memelukku sembari menangis. Napasnya terpenggal."IBUK, MBAK MIRA, IBUK .... CEPAT!" Astaghfirullah! Kenapa Danu sehisteris ini. Apa yang terjadi dengan Mira?Kasak-kusuk warga kembali terdengar. Namun, tanpa memedulikan itu aku langsung masuk ke rumah menghampiri Mira yang terbaring di kasur. "Astaghfirullah, Nak!" pekikku kaget melihat Mira dalam keadaan kejang parah. Suhu tubuhnya panas tinggi. Matanya terbuka dengan bola mata menghadap ke atas. "PAKDHE, BUDHE!" teriakku sekencang mungkin. Aku tak kuasa menahan tangis. Aku tahu menangis bukan solusi. Namun, siapa yang tak khawatir melihat putrinya demikian. Aku khawatir sumpah serapah ibu-ibu barusan tentang karma Mas Darma menjadi kenyataan. "Ya Allah, Mira!" gumam Budhe tak kalah khawatir.Mira mengerang. Wajahnya pucat kemerahan. Aku begitu panik. Kami semua tidak bisa melakukan apa pun karena tidak

  • Kematian Wanita Perawan Setelah Suamiku Pulang    42. Teror Hantu Mas Darma

    "LAKSMI! LAKSMII! KELUAR KAMU!" Pagi buta aku dikejutkan dengan teriakan warga. Apalagi ini? "LAKSMI CEPAT KELUAR ATAU KAMI BAKAR RUMAHMU?!" Astaghfirullah! Mira terkesiap. Namun, matanya masih terpejam. Dia tidak mengeluh. Namun dari ekspresi wajahnya aku tahu dia kesakitan. Bagaimana tidak, kemarin tubuh Mira dihantam ke sana ke mari saat Nyai berusaha melepaskan diri dari cekalan Pakdhe. Dia juga menendangi barang-barang di dapur hingga berserakan. Tentulah tubuhnya terasa sakit dan ngilu. "LAKSMI JANGAN MENGHINDAR KAMU! KAMU HARUS KELUAR DARI DESA INI!" "USIR LAKSMI! USIR LAKSMI!" sorakan warga makin terdengar heboh. Aku gemetar. Danu pun sampai terbangun dan ketakutan. "Buk, itu kenapa, Buk?" tanyanya risau. "Biar Ibuk yang lihat keluar, ya. Danu di sini jagain Mbak Mira," pintaku. Aku menoleh pada Mira yang masih berbaring dengan mata terpejam. Dia meringkuk sembari memeluk tubuhnya sendiri. Seperti kedinginan. Terpaksa aku harus membuka pintu, khawatir amarah

  • Kematian Wanita Perawan Setelah Suamiku Pulang    41. Mira Kerasukan

    Tok tok tok!Deg! Siapa itu? Siapa yang bertamu maghrib-maghrib begini.Apa jangan-jangan Pakdhe?Setelah malam itu, saat Mas Darma datang padaku, aku menjadi begitu trauma. Aku khawatir kejadian yang sama akan terulang.Tok tok tok!Entah kenapa, detak jantungku makin berpacu dengan hebat seiring ketukan pintu yang terdengar."Assalamualaikum, Nduk. Ini Budhe."Seketika aku bernapas lega ketika mendengar ucapan salam dari luar sana. Rupanya benar, Pakdhe dan Budhe di depan. Ah, aku terlalu paranoid saat ini. Menjadi begitu penakut. Gegas aku membuka pintu. "Waalaikumussalam, Budhe," sahutku sembari membuka pintu."Ini, dimakan." Budhe menyodorkan rantang. "Budhe, aku mohon jangan repot-repot. Aku jadi gak enak. Budhe dan Pakdhe sudah mau membantu kami itu sudah sangat terima kasih," kataku tak enak hati. Kuletakkan rantang itu di meja bulat sudut ruangan. "Sudah sudah, itu namanya rezeki. Wong Budhe juga gak kerepotan kok," timpal Pakdhe. "Oh iya, di mana benda itu, Nduk? Kita bis

  • Kematian Wanita Perawan Setelah Suamiku Pulang    40. Mira Diincar!

    *Dia tidak terima dan ingin mengambil raga Mira sebagai tempat bersemayamnya. Rupanya ruh Nyai itu belum sepenuhnya pergi sebab ada barang miliknya yang tersisa. Yang jelas benda itu memiliki kesamaan dengan mahkota miliknya. Kita harus membakar benda itu sebelum dia berhasil merebut raga Mira. Karena jika sampai terlambat, maka ...." Pakdhe menggantung ucapannya."Maka apa, Pakdhe?" tanyaku tak sabar."Mira yang jadi korbannya, Nduk. Pakdhe tanya kepada Mbah Samun, kenapa makhluk itu begitu mengincar Mira. Katanya, mungkin Mira memiliki aura lebih yang membuat makhluk itu tertarik. Apa kamu ingat weton Mira?" Aku terdiam sejenak. Mengingat-ingat tanggal lahir Mira. "Kalau tidak salah, hari Selasa, Pakdhe. Tapi sebentar, aku lihat dulu. Aku ingat dulu Mas Darma pernah mencatat hari lahirnya di buku nikah kami."Aku beranjak. Membuka lemari dan mengambil tas kain yang berisi hal-hal penting milik kami. "Ini, Pakdhe." Aku menyerahkan buku nikah milikku. Ah, melihat itu aku jadi teri

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status