PEMB4LUT SUAMIKU (8)
"Ibuk ... Ibuk ... Bapak pulang!" teriak Danu dari luar kamar yang membuat sekujur tubuh gemetar. Takut. Disusul dengan derap langkah kaki yang aku yakin itu Mas Darma.
Gawat!
Buru-buru kulipat kembali kertas lusuh di tangan beserta kotak cincinnya dan memasukkan kembali ke dalam ransel. Lalu mengembalikan ransel di posisi semula.
Tepat saat aku hendak membuka pintu kamar, Mas Darma sudah berada tak jauh di depan kelambu.
"Kenapa kamu?" tanya Mas Darma memandangku aneh.
"Enggak, Mas. Gak apa-apa," sahutku berusaha tenang. Aku tidak boleh menampakkan raut wajah tegang di depannya.
"Makan dulu, Mas?" tawarku.
"Boleh."
Aku berjalan ke dapur, menyiapkan makan dan membuat kopi. Sementara Mas Darma masuk ke kamar. Tak bisa dipungkiri jantungku berdegup dua kali lipat lebih kencang dari biasanya. Aku khawatir ada sesuatu miliknya yang tertinggal dan lupa kumasukkan. Semoga saja tidak.
"Mas, bagaimana apa tadi ketemu sama Pak RT?" tanyaku sembari menemaninya makan.
"Pak RT ada. Cuma suami Budhe Yanti gak ada. Katanya lagi kerja."
Aku menganggukkan kepala. Rupanya Mas Darma masih ingat tentang semuanya. Itu artinya dia benar Mas Darma suamiku. Bukan gondoruwo yang menyamar seperti yang orang bilang.
***
Usai Maghrib, aku kedatangan tamu yang rupanya Budhe Yanti dan suaminya. Pakdhe Bakri ingin bertemu Mas Darma katanya, sebab siang tadi saat Mas Darma ke rumah, Pakdhe sedang kerja.
"Gimana kabarmu, Le?" tanya Pakdhe membuka obrolan.
Kopi dan kudapan sudah kusajikan. Sederhana, hanya jagung rebus dan pisang goreng yang kudapat di sawah milikku.
"Ya beginilah, Pakdhe," sahut Mas Darma.
Kuperhatikan gelagatnya, sejak tadi ia sepertinya gelisah. Gerak gerik tubuhnya mengatakan seperti itu. Beberapa kali kuperhatikan Mas Darma tengah menatap Budhe dengan tatapan yang tak biasa.
"Dengar-dengar kamu mau cari kerja. Benar, Le?" Pakdhe Bakri mengambil korek api lalu menyalakan rokoknya.
"Maunya sih begitu, Pakdhe. Mau kerja di daerah sini saja," sahut Mas Darma sembari mencuri pandang ke arah Budhe Yanti.
Melihat itu membuatku tak nyaman. Khawatir Budhe Yanti sadar dirinya diperhatikan dan membicarakan hal yang bukan-bukan pada orang-orang.
"Kalau mau kamu bisa ikut saya, Le. Kerja bangunan. Kebetulan saya butuh orang," jelas Pakdhe Bakri yang membuatku berbinar.
"Waahh, boleh banget, Pakdhe. Kebetulan memang itu yang saya mau sebenarnya. Tapi kalau gak ada lowongan gak apa-apa kerja di ladang juga. Beruntung Pakdhe ada lowongan," sahut Mas Darma antusias.
Tiba-tiba Mira yang sejak tadi bermain di kamarnya bersama Danu, mendekat ke arahku dan berbisik.
"Ssstt, Buk!"
Aku menoleh. "Kenapa, Nak? Mau makan?"
"Buk, itu, di belakang rumah ada orang," ujar Mira yang membuatku mendelik kaget.
"Orang siapa?"
"Nenek-nenek. Coba deh Ibuk tanya. Aku gak berani, takut. Barusan waktu aku mau pipis lihat nenek itu berdiri di pintu belakang. Cepat, Buk. Aku udah kebelet banget tadi gak jadi pipis karena takut," jelas Mira.
"Kenapa, Mi?" tanya Budhe yang sejak tadi rupanya memperhatikan obrolanku dan Mira.
Sementara Mas Darma dan Pakdhe sibuk mengobrol ringan berdua. Tidak menyadari obrolan kami.
"Itu katanya ada nenek-nenek di belakang rumah, Budhe."
"Nenek-nenek siapa? Ya sudah lebih baik kita lihat takutnya orang tua yang sudah pikun tersesat. Lebih takut lagi kalau berniat melakukan hal buruk," sahut Budhe. Aku mengangguk setuju.
Budhe berjalan paling depan. Tanpa rasa takut dan ragu Budhe melangkah yakin ke arah dapur. Tak sengaja aku melihat bercak kemerahan di sarung yang Budhe pakai. Sepertinya dia sedang mendapati haidnya. Meski usia Budhe sudah kepala empat, beliau belum mendapati fase menopause-nya.
"Mbah Marni? Gawat!" gumam Budhe risau. Raut wajah Budhe seketika berubah pucat dan gusar ketika melihat nenek tua yang dimaksud Mira.
"Budhe kenal? Itu nenek tua yang sempat aku lihat, Budhe. Kemarin dia memperhatikan rumah kami dari arah kebun jagung," bisikku.
"Jadi Mbah Marni sudah sering ke sini?" tanya Budhe. Wajahnya tegang.
"Aku hanya melihatnya sekali kemarin, Budhe."
Nenek tua itu masih di sana. Sekitar empat meter dari pintu dapurku. Pandangannya menuju ke mari, tak ada ekspresi lain yang ditunjukkannya. Dia hanya diam mematung dengan tatapan tajam.
Dia seolah tidak merasa sungkan mengawasi rumah kami meski sudah kepergok pemilik rumah. Padahal jatuhnya terkesan tidak sopan. Hendak ditegur pun tidak enak, dia lebih tua. Namun, aku merasa tak nyaman dia memperhatikan rumah kami seperti itu.
"Bagaimana Budhe? Orang itu diam saja. Apa aku panggil Mas Darma?" bisikku pada Budhe sembari terus memperhatikan nenek tua tersebut.
"Gak perlu. Kamu diam di sini," pinta Budhe. Aku mengangguk.
"Mira buruan pipis gih, jangan lama-lama," bisikku pada Mira. Anak itu segera melangkah mengikuti Budhe menuju kamar mandi.
Langkah Budhe tidak seperti barusan yang melangkah maju tanpa ragu. Kini, ia berjalan perlahan seolah ketakutan.
"Nyuwun sewu, Mbah. Punten, wonten keperluan nopo nggih?" (Permisi, Mbah. Maaf, ada perlu apa, ya?)
Budhe berkata dengan kromo bahasa Jawa. Aku hanya paham beberapa, tidak sepenuhnya.
Nenek tua yang dipanggil 'Mbah' oleh Budhe pun menoleh, memandang Budhe dengan wajah datar serta tatapan tajam.
Lalu, tanpa menjawab sepatah kata pun dia pergi. Bahkan nenek tua itu tidak melontarkan senyum sama sekali.
Buru-buru Budhe mengunci pintu dapur dan mengajakku kembali ke ruang tamu. Aku penasaran hendak bertanya apakah Budhe tahu dengan nenek tua yang disebutnya Mbah Marni barusan.
"Budhe, dia siapa? Budhe kenal?" tanyaku menggebu.
Namun, Budhe tak menjawab dan terus melangkah ke ruang tamu. Di sini situasinya tidak memungkinkan. Pakdhe dan Mas Darma sepertinya tengah seru berbincang. Lagi pun Budhe seolah menghindar dari pertanyaanku.
"Gak nyangka lho kami, Le, ternyata kamu masih hidup," ujar Budhe ikut menimbrung obrolan hangat mereka.
Mas Darma membalas dengan senyuman kaku. Gelagatnya kembali aneh. Dia seperti gelisah dan berkali-kali kudapati dia mengendus aneh.
"Maaf ya kalau sebelumnya Budhe ikut kemakan rumor warga kampung. Budhe kira kemarin kamu beneran arwah yang pulang. Ternyata bukan," sambung Budhe canggung.
Sontak Pakdhe dan aku pun tertawa. Kecuali Mas Darma, dia hanya senyum kecil dan menatap Budhe intens.
"Budhe, Mbah Marni barusan siapa? Budhe kenal?" bisikku pada Budhe, ketika Pakdhe dan Mas Darma kembali berbincang hangat sembari menikmati jagung rebus.
Rasa penasaranku tak terbendung lagi. Biarlah kudesak Budhe untuk jujur siapa sosok Mbah Marni.
"Mbah Marni ... Eem, dia itu--"
PEMB4LUT SUAMIKU (9)"Budhe, Mbah Marni barusan siapa? Budhe kenal?" bisikku pada Budhe, ketika Pakdhe dan Mas Darma kembali berbincang hangat sembari menikmati jagung rebus. Rasa penasaranku tak terbendung lagi. Biarlah kudesak Budhe untuk jujur siapa sosok Mbah Marni."Mbah Marni ... Eem, dia itu ... anu, warga kampung sini juga, Mi," sahut Budhe gugup."Budhe kenal, kan? Kenapa nenek itu ngawasin rumah kami terus, Budhe? Terus kenapa Budhe tadi ketakutan?" tanyaku menggebu."Ya sudah, kami pamit dulu, Le. Sudah malam." Pakdhe bangkit dan berpamit, memotong pertanyaanku yang tak sempat dijawab oleh Budhe. Aku mendesah, mengiyakan pamit Pakdhe Bakri dengan terpaksa. Tak apalah, bisa kutanyakan lagi besok pada Budhe Yanti.Yang membuatku heran dan penasaran sebab meski bertahun-tahun tinggal di kampung ini tak pernah mengenal sosok Mbah Marni. Bahkan namanya saja tidak. Kami mengantar Pakdhe dan Budhe ke depan. Mas Darma berjalan berada di belakang Budhe. Sementara aku berjalan di
PEMB4LUT SUAMIKU (10)"Ibuk, malam ini Mira gak mau tidur sama Bapak. Tolong ya, Buk. Mira takut ...." Mira tiba-tiba menghampiriku yang tengah memasak. Hatiku mencelos sekaligus kaget melihat dia menangis. "Kenapa, Nak? Apa yang terjadi sama Bapak?""Aku gak mau lagi tidur sama Bapak, Buk," isak Mira makin menjadi-jadi. "Iya, besok-besok Ibuk janji gak bakal ngizinin Bapak tidur di kamar kalian lagi. Tapi Mira juga janji ya cerita sama Ibuk?" Mira mengangguk sembari mengusap air matanya. "Ya sudah sekarang kamu mandi dulu gih. Siap-siap sekolah," perintahku yang kemudian dibalas anggukan olehnya. ***Mas Darma dan anak-anak sudah berangkat bekerja. Aku pun sudah siap dengan arit di tangan. Setelah libur kerja hampir satu minggu lamanya, akhirnya aku kembali dengan aktifitasku. Kemarin Bu Rodiyah memintaku untuk mengarit padinya yang sudah menguning. Hendak dipanen. Nantinya akan digiling memakai mesin untuk memisahkan antara padi dan daunnya. "Eh, Mi, tumben kerja lagi? Kupik
PEMB4LUT SUAMIKU (11)"Mbah ...," panggilku ragu. Dia menoleh. Namun, kembali membuang muka dan segera masuk ke kebun jagung. Seperti kemarin. Aku mengejarnya, memasuki kebun jagung. Rasa penasaran ini harus terungkap. Kenapa dia selalu mengawasiku. Akan ada kejadian apa memangnya di rumahku?Kulempar begitu saja arit yang kupegang. Lantas mengejar Mbah Marni memasuki kebun jagung. Beruntungnya aku memakai baju panjang, setidaknya tanganku tidak begitu gatal. Tanaman jagung tumbuh rapat berjajar. Aku kesulitan berjalan. Beruntungnya jejak Mbah Marni bisa kutemukan, jadi dengan mudah aku mengejarnya. "Mbah ... tolong Mbah saya mau bicara. Berhenti, Mbah!" teriakku memanggilnya. Namun, tak ada sahutan dari Mbah Marni. Dia terus berjalan. Meski tubuhnya sudah renta dan bungkuk, rupanya tenaganya masih cukup kuat. Mbah Marni berjalan cukup cepat. Tanganku mulai perih tergores daun jagung yang cukup tajam. Rasanya aku sudah cukup jauh berjalan. Gelap, pengap. Hanya tumbuhan jagung yan
PEMB4LUT SUAMIKU (12) Ya, Tuhan, Mas Darma! Tidak, tidak mungkin dia melakukan itu. Mungkin Mira hanya mimpi atau berhalusinasi saking takutnya sama Bapaknya. "S-sekarang, A-aku keluar da-darah, Buk ...." Aku mendelik mendengar perkataan Mira. Jantung seolah berhenti berdetak beberapa saat, lalu berpacu dengan dua kali lipat lebih hebat. Tubuhku panas dingin. Gemetar. "D-darah? Di mana, Nak?" tanyaku gagap dengan bibir gemetar. Mira masih di pelukanku. Tubuhnya berguncang karena Isak tangisan. "Di kem4luanku, Buk," sahut Mira. Tangisnya kian histeris. Mendengar itu, aku seolah tak bisa bernapas. Dadaku sesak dan berat. "Astaghfirullahal adzim, Mira! Ya Tuhan," gumamku dalam hati. Aku tak berani mengutarakannya khawatir Mira makin menangis. Pikiranku berkecamuk. Tak mungkin kan Mas Darma sudah melakukan hal yang tak seharusnya dia perbuat pada putrinya sendiri? Tidak, tidak mungkin! Mas Darma bukan orang seperti itu. Jika memang benar Mas Darma melakukan hal buruk p
Lagian kenapa Mas Darma seolah begitu memaksa? Aku pun belum sepenuhnya percaya padanya. Terlebih mengingat perkataan Mira jika semalam Mas Darma sempat menciumi pahanya.Namun, aku tak berani menanyakan itu sekarang. Aku yakin Mas Darma tidak akan mengaku. Pasti nanti hanya akan menciptakan keributan. Biarlah kucari tahu semuanya sendiri. Aku melipat celana Danu, dan meletakkannya di lemari kamarnya. Anak-anak sudah tertidur pulas, terlihat dari dengkuran halusnya. Setelah itu aku pun masuk ke kamar dan membaringkan tubuh di kasur. Sebenarnya aku seringkali merasa mual, karena aroma busuk dari ransel Mas Darma yang berisi pembalut bekas. Sepertinya dia belum membuang pembalut-pembalut itu. Aku sendiri tak berani membuangnya. Beruntungnya kamar ini memiliki jendela, tiap hari kubuka untuk mengusir aroma busuk tersebut. Namun ketika menjelang malam kututup, tak berani membuka jendela malam hari khawatir ada binatang berbahaya yang masuk, mengingat rumah kami berada di tengah ladang.
"M-mulutmu berdarah." Kuhampiri dia dan menyentuh bekas darah di sudut bibirnya. Khawatir Mas Darma terluka. Namun, aroma amis dan anyir tercium kuat ketika aku mendekat. Aku tertegun. Untuk meyakinkan, kuhidu darah di tangan, benar, tak salah lagi. Ini bukan darah biasa, melainkan darah haid!Aku perempuan. Aku hapal betul aroma darah haid dan darah luka. Jelas berbeda. Aku yakin ini darah haid. Huek!Seketika aku berlari ke kamar mandi dan memuntahkan isi perut. Aku tak tahan aroma amisnya. "Mas! D-darah apa itu di mulutmu? Dan dari mana kamu?!" todongku setelah kembali dari kamar mandi. Aku yakin kali ini Mas Darma tak bisa mengelak lagi. "Maksudmu apa, Laksmi? Aku terluka," sahut Mas Darma gugup. Dia merintih, tetapi kulihat dia hanya berpura-pura. Jelas aku perhatikan sorot matanya, tidak ada kejujuran di sana. "Bohong! Jangan pikir aku tidak tahu, Mas! Aku perempuan dan aku hapal bau darah haid. Yang di mulutmu itu darah haid perempuan, kan?" ujarku menggebu tanpa basa-ba
"Astaghfirullah!" pekikku terkejut melihat benda yang dipegang Danu. Cincin bermata biru milik Mas Darma. Kerongkonganku seolah mengering seketika. Susah payah aku meneguk ludah. Lidahku seakan kelu. Habislah sudah! "Kenapa, Buk? Cantik kan? Makanya aku suka," ujar Danu polos. Aku menatap Danu nanar. Jika menuruti logika, rasanya aku ingin marah dan membentaknya habis-habisan. Namun, aku kembali mengingat bahwa dia masih anak-anak. Dia juga tidak mengerti apa yang dialami orang tuanya. Tubuhku kaku, membayangkan bagaimana murkanya Mas Darma ketika tahu cincinnya kembali hilang. Belum selesai perkara ucapanku semalam, kini malah ditambah masalah cincin yang Danu ambil. "Danu! Kan sudah Ibuk bilang jangan sembarangan mengambil sesuatu kalau bukan milik kamu. Apalagi kalau sampai menyentuh barang-barang milik Bapak!" jelasku hati-hati. "Cincinnya nyala semalam, Buk. Aku gak ngambil dalam tas Bapak, aku lihat ini di depan lemari, aku pikir mainan yang Ibuk janjikan," bela Danu. Aku
Lututku lemas. Aku jatuh terduduk. Kututup telinga dengan kedua tangan, berharap suara Mbah Marni tak lagi terdengar. "Laksmi!" Sentuhan di pundak membuatku menoleh. Seketika aku terjengkang ke belakang melihat Mas Darma sudah berdiri tepat di belakangku dengan mata memerah. Aku makin gemetar ketakutan. "Kamu kenapa? Siapa barusan apa ada tamu?" tanyanya. Aku menggeleng. "Kamu kenapa begini?" Mas Darma berjongkok di hadapanku. Aneh. Kenapa sikapnya menjadi manis seperti ini. Seperti tidak terjadi apapun sebelumnya. Apa Mas Darma melupakan ucapanku semalam? "Aku kaget, Mas. Barusan dengar siaran dari mushalla anaknya Bu Nur tetangga kita meninggal. Dia teman sekelas Mira," ujarku terbata-bata. Tentu saja itu hanya beralasan. Ekspresi wajah Mas Darma seketika berubah mendengar ucapanku. Dia terdiam sesaat, detik berikutnya dia menatapku intens. "Kamu! Sini kamu!" Mas Darma tiba-tiba mencekal pergelangan tangan dan menarikku kuat-kuat. Bahkan tubuh kurusku terseret teta