Jarum jam bertengger tepat di angka empat. Nur masih menunggu di depan gerbang toko buku, tempat Diana bekerja, dan merupakan bekas tempat kerja Nur dulu. Tak lama kemudian, nampak para karyawati yang melangkahkan kaki keluar dari toko yang besar itu. Tentu saja, itu toko buku terbesar di kota ini.Di sana juga terlihat Bela yang sedang terburu - buru keluar dari toko."Hey, Nur!" sapa Bela."Eh, Bela. Diana belum keluar ya?" tanya Nur."Tadi sih Diana masih ngambil tasnya di loker. Mungkin bentar lagi keluar kok." jawab Bela.Bela menengok ke belakang, ke pintu keluar toko. Dan benar saja, Diana baru saja melangkahkan kaki keluar dari toko itu."Tuh Diana. Ya udah, aku duluan ya Nur." Nur mengangguk sembari tersenyum.Pandangan Nur beralih ke arah Diana yang semakin mendekat ke arahnya. "Nur, kamu ngapain di sini?" tanya Diana."Aku nungguin kamu Di." jawab Nur."Kok nggak ngabarin dulu?" tanya Diana lagi.Wajah Nur berubah sendu."Hp ku hilang Di." "Hilang? Ya udah yuk pulang du
Dia bernama Nur, gadis yang berparas sederhana itu masih sangat muda, usianya baru menginjak 19 tahun. Dia bekerja di sebuah toko buku yang jaraknya tak begitu jauh dari rumahnya. Tak seperti anak lain yang bisa berkuliah, Nur memillih untuk bekerja karena melihat kondisi ekonomi kedua orang tuanya yang tak memungkinkan. Terbilang cukup sulit jika harus membiayai kuliahnya. Belum lagi biaya sekolah kedua adik kembarnya yang masih duduk di bangku SMA. Ibu Nur tidak bekerja. Terkadang ibu Nur hanya menerima pesanan jika ada yang memesan jajanan pasar padanya. Ya, Ibunya memang pandai membuat jajanan pasar. Sedangkan bapak Nur bekerja sebagai petani.Keuntungan hasil panen sebagai petani hanya cukup untuk biaya sekolah adik-adik dan untuk makan sehari-hari. Tak ada kemewahan, keluarga mereka sangat sederhana. Meski begitu Nur tidak pernah berkecil hati, dia sangat senang bisa bekerja di toko buku itu. Terlebih lagi, sahabatnya yang bernama Diana juga bekerja di toko buku tersebut.
Terik matahari menerobos melalui sela - sela kecil genteng hitam yang tatanannya sudah tidak lagi rapih.Kabut putih mengebul dari dapur. Ibu Nur terlihat sangat sibuk, sepertinya dia mendapat banyak pesanan."Nur bangun, bantuin ibuk buat jajan pesanan!" teriak ibu dari arah dapur membangunkan Nur.Hening tak ada sahutan dari Nur.Jam yang menggantung di dinding menunjukkan pukul 09:15 tapi Nur masih lelap, merebahkan tubuhnya di dipan miliknya.Ibu melangkahkan kaki menuju kamar Putrinya."Nur ayo bangun udah siang nih, bantuin ibu nak! Anak perawan jangan malas-malas!"Nur memanyunkan bibir sambil mengerdipkan matanya yang rasanya masih lengket"Iya buk, nur udah bangun. Kenapa nggak adek-adek aja sih yang bantuin ibuk?" protes Nur."Hiisss kamu ini! Adek - adek kamu lagi bantuin bapak di ladang. Udah jangan banyak protes! Cuci muka terus ke dapur bantuin ibuk! Ibuk ada banyak pesanan hari ini. Ada pesanan
Malam semakin pekat, seorang putra dan kedua orang tua renta itu masih betah mengobrol. Sepertinya obrolan yang cukup serius, ketiganya saling memandang dan bersahut - sahutan.Pak Kyai: Jadi, gimana mas?Danung : Apanya bi?(Danung pura - pura tidak mengerti apa yang di maksud, padahal sebenarnya dia sudah tau maksud abinya karena sering kali abi menanyakan pertanyaan yang sama)Pak kyai: Umur kamu sudah 35 loh nak, sampai kapan kamu mau melajang? Apa kamu tidak ingin membina rumah tangga seperti teman-temanmu? Setiap gadis yang Abi dan Ummi pilihkan selalu kamu tolak. Kamu mau yang seperti apa Nak ?Danung : Sebenarnya ada satu wanita yang Danung suka bi.Pak Kyai: Siapa nak? coba katakan ke Abi. (Pak kyai pastinya penasaran siapa wanita yang dimaksud putranya).Danung : Danung sudah lama menaruh hati pada Nur, Danung cuma mau menikah sama Nur, bi,ummi.Ummi : Nur putrinya Pak Abdul, depan rumah?(Ummi yang sedari t
Air mata tak henti - hentinya mengucur lancar ke pipi mulus Nur. Isak tangis berusaha ia tahan agar tak satu pun orang rumah mendengar. Dunia seakan runtuh. Dia mengingat kembali saat Gewa melamarnya kemarin, tapi kata - kata bapak tadi sore tiba - tiba terbesit di kapala. Memperparah luka batinnya. Seolah tak di beri jeda untuk menikmati kabar bahagia yang baru kemarin malam di bawa oleh Gewa, mendadak direnggut paksa oleh kedua orang tuanya sendiri. Betapa kecewanya Nur karena ibu dan bapak tidak mendukung pilihannya sendiri. Ini sudah zaman modern kenapa masih ada perjodohan seperti itu ?Namun seegois apapun mereka tetaplah orang tua yang telah melahirkan dan membesarkan Nur dengan kasih sayang.Tangannya meraba-raba kasur, sedang mencari sesuatu. Gerakannya terhenti saat dia menemukan apa yang dia cari,yaitu sebuah ponsel. Dia menggeser layar ponselnya mencari nama kekasihnya. Ini belom terlalu larut, biasanya Gewa belum tidur jam segini. Dia juga belum balik ke peran
Nur yang baru saja memasuki pintu rumah teriak-teriak memanggil bapak, mencari keberadaannya. Namun yang dia temukan malah ibunya yang sedang mencuci piring di dapur."Ada apa sih Nak?baru datang kok teriak - teriak ?" tanya ibu."Bapak mana buk ?""Bapak lagi mandi, ada apa Nur?" mengulangi lagi pertanyaan ibu yang sedari tadi tidak mendapat jawaban dari Nur.Ibu bingung dengan putrinya, baru saja pulang kerja tiba - tiba emosi."Ya sudah, aku tunggu bapak aja buk" masih tidak menjawab pertanyaan ibu."Ada apa Nur ?" bapak sedari tadi mendengar Nur sedang memanggil - manggilnya, karena jarak antara dapur dan kamar mandi cuma sekitar 2 meter. Maklum saja memang rumah mereka tidak besar.Nur yang mengetahui kemunculan bapaknya langsung melemparkan pertanyaan dengan nada tinggi. "Tadi Gewa datang ke rumah terus bapak usir pak?""Oh, anak itu mengadu rupanya? hehm!" bapak tersenyum ke
Waktu begitu cepat, ayam berkokok menandakan hari kembali berganti pagi. Setelah menghabiskan menu sarapan dia buru - buru mengaktifkan motor kesayangannya melaju ke arah tempat dia bekerja. Nur terlihat tidak bersemangat hari ini.Ketika toko sepi, Diana menghampiri Nur sedang merapikan buku yang berantakan di etalase, akibat tangan ceroboh para pelanggan toko ketika sedang memilah - milah buku yang mereka cari."Nur!" panggil Diana.Hening tak ada sahutan dari sabatnya.Tangan Nur memang sedang bekerja menata buku - buku yang berjejeran itu, tapi pikirannya seperti melayang entah ke mana. Terlihat jelas bahwa dia sedang bengong, dan tampak kacau."Nuurrr!" Panggilnya sekali lagi dengan suara yang lebih keras dari pada sebelumnya."Hisss apa sih Di teriak - teriak ?" Nur menoleh ke kanan menatap Diana yang tanpa dia sadari ternyata sudah berdiri di sampingnya sedari tadi.Diana mendengus kesal."Ya habis kamu aku panggil dari ta
Tidak ada yang tahu apa yang Nur rasakan saat ini.Menangis pun sudah tidak bisa, air matanya enggan keluar dari penampungan.Diingatnya kembali momen - momen indah bersama Gewa. Ketika hanya Gewa yang merangkulnya saat ia sedih. Ketika hanya Gewa yang mengerti perasaannya.Gewa itu ibarat rumah, tempatnya berpulang, tempatnya bersandar, tempatnya untuk beristirahat, juga berkeluh kesah.Sekarang Nur sudah kehilangan rumahnya.Mimpi dan rencana - rencana yang sudah mereka susun bersama hancurlah kini.Terlepas dari lamunan, wajahnya beralih menatap pintu kamar yang lupa tidak ia tutup, beradu pandang dengan ibu yang entah sejak kapan sudah berdiri di depan pintu kamarnya.Ibu mengayunkan kakinya perlahan mendekati anaknya yang sedang terbaring lemas.Mengambil posisi duduk disamping Nur, di usapnya lembut puncak kepala putrinya itu."Ibu dan Bapak berharap kamu akan bahagia dengan pernikahan ini Nur. Sungguh tidak ada orang tua