Saat David masih termenung, tiba-tiba ponselnya berdering. David berjalan ke sudut ruangan, lalu ia merogoh sakunya dan melihat nomor asing di layar benda pipih itu. "Halo," sapa David. "Halo, Keponakanku. Kamu sudah melihat sebagian kecil peringatan dari Tante," kata Sandra. David mengerutkan keningnya, ia mulai mengenali suara wanita di seberang sana. "Ta-tante. Apa Tante ada hubungannya dengan kecelakaan Mario dan Riana?" tanya David. "Ini semua kesalahanmu, Anak manis. Kamu yang menantang Tante dan mencoba bermain api," ucap Sandra. David tercekat, ia mengepalkan tangannya dengan kuat. Ia tidak menyangka jika Sandra lebih berbahaya dari apa yang terlihat olehnya. "Tante, jangan main-main! Aku bisa melaporkan Tante ke polisi. Aku tidak takut pada Tante," gertak David. "Sayang, apa setelah ini kamu masih mau mengajak Tante bermain? Kamu bisa melihat sendiri, bahwa Tante mempunyai kekuatan yang lebih besar dari yang kamu duga. Dan rasanya ini barulah peringatan kecil. Kalau k
Pagi itu Hadi sedang bersiap berangkat ke kantornya. Ketika Hadi sedang sarapan, dengan sengaja Sandra menampilkan wajahnya muram dan sendu. Hadi menatap istrinya dan merasakan ada yang tidak beres. "Sayang, ada apa? Kenapa wajahmu muram seperti itu? Apa yang sedang kamu pikirkan?" tanya Hadi. "Sebenarnya ada yang mengganggu pikiran dan mengganjal di hatiku. Aku berusaha memendamnya, agar tidak mengganggumu, Mas," jawab Sandra. "Katakan saja, apa yang membuatmu sedih seperti ini? Apa kamu bosan tinggal di rumah saja? Kamu ingin kita pergi ke suatu tempat atau berlibur?" tanya Hadi. "Nanti malam saja kita bicarakan, Mas. Aku takut akan menganggu konsentrasimu saat bekerja. Jangan terlalu cemas! Aku baik-baik saja, Mas," ucap Sandra. Hadi melihat jam tangannya, ia memang sudah hampir terlambat. "Ya sudah, aku berangkat kerja dulu, ya. Aku akan segera pulang, Sayang," kata Hadi sambil mengecup kening Sandra. Hadi mempunyai beberapa usaha yang sudah lama ia rintis. Hadi memiliki us
Tanpa terasa, waktu berlalu dengan sangat cepat. Mario sudah bisa berjalan kembali dengan normal tanpa bantuan tongkat.Beberapa bulan berikutnya, Mario dan David sudah lulus dari bangku SMA. Kini Mario bersiap untuk memulai aktivitas sebagai mahasiswa di perguruan tinggi. Mario dan David akan kuliah di sebuah kampus yang berlokasi di luar kota. Mario akan kuliah di Jakarta, sedangkan David memilih menempuh pendidikan di Surabaya, karena ada saudara yang tinggal di sana. Dengan berat hati Riana melepas kepergian kakaknya. Perpisahan ini merupakan saat yang berat bagi Riana, yang sejak kecil selalu dekat dengan kakaknya. Malam itu, Riana menemani Mario membereskan barang-barangnya, karena ia akan pergi besok pagi. Wajah Riana muram sejak beberapa hari sebelumnya. Setelah memasukkan pakaian dan barang-barang ke dalam koper, Mario menatap adiknya yang masih tertunduk dan membisu. "Hei, kenapa sedih?" tanya Mario. Setetes air mata bening yang mati-matian ditahan oleh Riana mulai mem
"Ja-jadi selama ini kamu membohongi aku dan semua orang?" tanya Hadi terduduk di tempat tidurnya. Sandra duduk dengan santai di depan Hadi sambil tersenyum sinis. Sandra berucap keras, "Gak semuanya kebohongan, Mas. Aku memang mengalami kecelakaan itu dua puluh tahun yang lalu. Aku juga mengalami hilang ingatan dan gak bisa berjalan selama beberapa tahun. Kamu tahu bagaimana keadaanku? Bagaimana aku harus menghadapi itu semua? Bertahun-tahun aku menderita dan sendirian, Mas. Sendirian!" "Itu karena aku dan semua orang menyangka kalau kamu sudah meninggal, San," jawab Hadi. "Yang paling membuatku membenci kamu adalah karena dengan mudahny kamu menerima wanita lain sebagai penggantiku dan menikah dengannya, Mas! Mengapa semudah itu kamu jatuh cinta? Padahal kita sudah akan menikah?" tanya Sandra. Hadi mengatur nafasnya karena tiba-tiba ia merasa sesak. Ia berusaha menjawab Sandra, "Kamu salah, San. Sangat sulit bagiku untuk melewati semua proses itu. Aku juga sangat menderita dan t
Riana dan Hana berpacu dengan waktu, sesakit apapun hati mereka di masa lalu, Hadi tetap menjadi bagian istimewa dalam hidup mereka. "Itu rumahnya, Bu," tunjuk Riana. "Kamu sudah tahu?" tanya Hana sambil melirik anaknya."Mm.. Aku dan Mas Rio pernah kemari, Bu. Setelah Ayah pergi dari rumah. Saat itu kami penasaran, dan masih berharap ayah akan memilih kembali pada kita," jawab Riana. Hana menghela nafas panjang, kedua anaknya memang keras kepala, namun berhati baik. Mereka berdua segera turun dari mobil. Hana berulang kali menelepon Hadi, tetapi tidak ada jawaban darinya. "Koq sepi?" tanya Hana pada Riana. Riana mengangkat bahunya dan menggelengkan kepala. "Jangan-jangan tadi memang jebakan dari Tante Sandra, Bu?" kata Riana. "Tapi tadi Ibu benar-benar mendengar suara ayahmu meminta tolong," jawab Hana. "Ya sudah, kita coba ketuk dulu," Riana mengetuk pintu beberapa kali, sampai akhirnya seorang wanita paruh baya membukakan pintu. Sudah beberapa kali Riana dan Hana bertemu d
"Menyebalkan! Aku benci wanita itu!" teriak Riana di dalam mobil saat dalam perjalanan pulang ke rumah. Hana hanya menghela nafas dan tetap melihat lurus ke jalan di depannya. "Seharusnya kita gak perlu datang, Bu. Aku gak suka bertemu dengan Tante Sandra lagi. Dia sangat menyebalkan dan munafik. Sepertinya selama ini dia berbohong pada semua orang mengenai kondisi tubuhnya. Lihat! Dia sangat sehat dan lidahnya sangat tajam menghina kita," cerutu Riana. "Sudahlah, Ria! Kita datang untuk menolong ayah. Abaikan saja wanita itu!" ujar Hana, walaupun ia juga merasa geram dengan tingkah dan ucapan wanita yang telah menghancurkan rumah tangganya itu. "Kalau Mas Rio tahu bahwa kita masih mau datang menolong ayah, entah apa yang akan dia ucapkan. Pasti Mas Rio akan sangat kesal pada kita, Bu," ucap Riana. "Sayang, kendalikan amarahmu! Sabar, Nak!" kata Hana. "Mengapa ayah sampai meminta pertolongan pada kita? Apa ayah sengaja membuat kita bertemu dengan wanita licik itu?" geram Riana.
Kondisi kesehatan Hadi semakin memburuk karena sikap Sandra, rasa sesal dan bersalah yang menghantui dirinya. Hadi kembali terkena serangan stroke yang membuat kondisi bagian tubuh sebelah kirinya melemah. Ia harus duduk di kursi roda, kesulitan bicara, dan melakukan aktivitas harian. Sementara Sandra menikmati hari-hari nya untuk mengelola perusahaan, berfoya-foya, dan banyak berkegiatan di luar rumah bersama teman-teman sosialitanya. Sandra mencari seorang perawat untuk merawat suaminya. Sepanjang hari, Hadi dibiarkan merasa kesepian dan tak berdaya bersama asisten rumah tangga dan perawatnya. Itu membuat Hadi semakin tertekan dan larut dalam keterpurukan. Setiap hari Sandra pergi di pagi hari dan pulang saat malam telah larut. Ia tidak mempedulikan Hadi lagi dan dengan sengaja meminta perawat untuk memindahkan Hadi ke kamar tamu. Malam itu Sandra kembali pulang larut ke rumahnya. Tak seperti biasanya, Hadi masih menunggunya di ruang tamu. Hadi duduk di kursi roda dan menghadap
"Apa?! Ayah mengusir kita dari rumah? Mengapa Ayah sejahat itu? Semua harta dan kekayaan sudah dibawa oleh Ayah. Hanya rumah itu yang kita punya sekarang. Ini keterlaluan!" teriak Mario di ujung telepon. Riana mendesah pasrah, ia menjawab, "Orang suruhan Tante Sandra yang datang kemari, Mas," "Kalau ini kemauan Tante Sandra, gak mungkin Ayah gak tahu kan? Aku harus menemui ayah secara langsung. Aku mau bertanya apa maksud ayah melakukan ini pada kita," ucap Mario. Mario memutuskan untuk pulang ke rumah secara mendadak. Ia tidak bisa tenang memikirkan kondisi ibu dan adiknya yang hampir terusir dari rumahnya sendiri. Sore berikutnya, Mario sudah tiba di rumah. Ia hanya membawa tas ransel dan langsung memeluk ibu. "Mas, kita harus bagaimana? Dua hari lagi kita harus meninggalkan rumah ini," kata Riana. "Bu, kita harus menemui ayah dan wanita itu sekarang juga," ucap Mario. Mereka segera menuju rumah Sandra dan Hadi. Kondisi rumah itu sepi dan pintu rumah tertutup rapat. Mario me