Siang itu, Riana dan Mario tidak langsung pulang ke rumah. Riana harus membeli beberapa perlengkapan untuk pesanan buket makanan ringan.
Riana senang mengerjakan semua pekerjaannya, walaupun keuntungan yang ia dapatkan belum seberapa jumlahnya. Setidaknya Riana merasa mempunyai aktivitas yang produktif, bisa sedikit meringankan beban mama, dan juga mengalihkan pikirannya dari persoalan yang sedang melanda keluarganya saat ini. Setelah mendapatkan semua barang yang diperlukan, Riana keluar dari toko dan membawa satu plastik besar. Mario memilih menunggu di tempat parkir karena tidak terlalu mengerti barang-barang yang harus dibeli. "Sudah?" tanya Mario ketika melihat Riana mendekat. "Iya, ayo pulang, Mas!" jawab Riana. Mereka kembali menempuh perjalanan pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, mereka terkejut melihat pemandangan yang tidak biasa terjadi. Ibu terbaring di sofa dengan wajah pucat dan memegangi perutnya. Riana terkejut, hingga tanpa sadar plastik yang dibawanya terjatuh di lantai. Riana segera mendekati Ibu dan menggenggam tangannya. Ia bertanya, "Ibu kenapa?" "Bu, Ibu sakit?" tanya Mario panik. Ibu membuka matanya perlahan dan berusaha untuk duduk."Kalian sudah pulang? Ibu sedikit pusing dan mual. Sedari pagi Ibu belum bisa memakan makanan apapun. Makan satu suap saja langsung terasa mual dan ingin muntah," jawabnya."Ah, Kenapa Ibu tidak langsung menghubungi kami?" tanya Riana gelisah. "Ibu tidak apa-apa, Nak. Mungkin penyakit asam lambung Ibu sedang kambuh. Hanya perlu istirahat sebentar," kata Ibu Riana berusaha meyakinkan. "Seharusnya Ibu langsung hubungi kami. Bagi kami Ibu yang paling penting saat ini," kata Mario. "Iya, Bu. Kalau Ibu tidak enak badan, seharusnya langsung telepon Ria. Ini yang membuat Ria cemas, Ibu terlalu lelah bekerja dan jatuh sakit," ujar Riana. Ibu tersenyum tipis, lalu mengusap rambut Riana dan Mario dengan lembut. "Nak, tidak perlu terlalu berlebihan. Ibu tidak apa-apa. Jangan panik seperti itu! Ibu memang tidak mau menghubungi kalian, karena pasti akan membuat kalian tidak konsentrasi belajar di sekolah," ujarnya. "Bu, kita ke dokter sekarang, ya," kata Mario. "Tidak perlu, Nak," tolak ibu. "Jangan ditunda, Bu! Pokoknya kita harus ke dokter atau rumah sakit, supaya Ibu cepat sembuh. Kami tidak mau melihat Ibu sakit seperti ini," bujuk Riana. "Kalau begitu, aku akan meminjam mobil milik Om Dedy. Kamu bantu Ibu berganti pakaian!" kata Mario pada Riana. "Iya, Mas," jawab Riana. Riana segera merapat ibu ke dalam kamar, lalu membantunya mengganti pakaian dan bersiap-siap. Riana juga mengganti seragam sekolahnya dengan kaos berlengan pendek dan celana jeans panjang. Setelah itu Riana dan ibu menunggu Mario di teras rumah. Om Dedy adalah tetangga yang mempunyai hubungan cukup dekat dengan keluarga Mario. Rumah Mario dengan Om Dedy juga hanya berjarak tiga rumah saja. Mario sudah belajar mengemudi dari sang ayah sejak duduk di kelas dia SMA, dan ia sudah memiliki Surat Ijin Mengemudi. Mario menjelaskan pada Om Dedy mengenai keadaan ibu, dan seperti biasanya Om Dedy tidak merasa keberatan untuk meminjamkan mobilnya pada mereka. Mario bergegas pulang menjemput ibu dan adiknya. Riana menggandeng tangan ibu dan masuk ke dalam mobil. "Mas, kita ke rumah sakit Sumber Sehat saja," kata Riana. Ibu kini duduk dengan pasrah di dalam mobil, ia sangat mengerti kecemasan putra dan putrinya itu. Ibu bersandar dan memejamkan matanya di sepanjang perjalanan menuju rumah sakit. Setelah menempuh perjalanan sekitar setengah jam, akhirnya mereka tiba di rumah sakit. Mario segera memarkir mobil itu dan mereka segera turun. Riana segera mendaftarkan ibunya untuk melakukan pemeriksaan di dokter penyakit dalam langganan keluarga mereka. Mereka harus menunggu giliran untuk masuk di ruang tunggu pasien. Ada beberapa pasien yang sedang menunggu di ruangan itu. Beberapa menit mereka harus menanti, sampai tiba giliran mereka. Dokter menanyakan keluhan ibu dan semua gejala yang dirasakan. Ibu memang memiliki riwayat penyakit asam lambung dan hipertensi. Dokter itu sudah memiliki catatan medis ibu dan bapak. Dokter menulis sebuah resep obat dan meminta ibu untuk menjaga pola makan, tidak terlalu lelah, dan banyak berpikir.Mario hanya menghela nafas panjang mendengar anjuran dokter yang terakhir, karena kenyataannya saat ini sangat sulit bagi ibu untuk menghindar dari stres. Siapa yang tidak merasa hancur dan tertekan jika sedang dihadapkan dengan kondisi rumah tangga sepelik ini? Mario menatap ibunya, sejak kepergian ayahnya, tubuh ibu tampak lebih kurus. Nafsu makan ibunya memang berkurang, beberapa kali mengeluh tidak berselera makan dan seringkali ibu harus menunda makan karena sibuk bekerja. Gurat kerutan di wajah ibu juga bertambah, karena tekanan pikiran dan batin yang tidak bisa dihindarkan. Mereka mengucapkan terimakasih pada dokter dan keluar dari ruangan itu. Setelah itu, mereka menuju bagian farmasi untuk membeli obat yang tertulis di resep itu. Mereka harus menunggu beberapa saat, sampai obat ibu telah siap. Petugas memanggil nama ibu. Riana segera maju dan mendengarkan petugas yang sedang memberi aturan untuk mengkonsumsi obat-obat tersebut. Setelah obat itu ada di tangannya, Riana segera kembali pada ibu dan Mario. "Ayo kita pulang, Mas, Bu!" kata Riana. Mario membantu ibu berdiri dan memapahnya. Mereka menuju ke tempat parkir untuk pulang ke rumah. Ketika tiba di tempat parkir, langkah mereka terhenti. Ibu terpaku melihat pria yang masih ia cintai turun dari sebuah mobil. Pak Hadi menurunkan sebuah kursi roda, lalu membuka pintu mobil. Setelah itu, ia menggendong seorang wanita dan memindahkannya ke kursi roda. "Ayah," Riana tercekat menatap sosok ayahnya berada di tempat itu, tetapi bersama dengan wanita lain.Riana merasa jarak yang sebenarnya hanya dua meter di antara mereka, bak ribuan kilometer saat ini. Sosok pria di hadapannya itu seperti bukan ayahnya lagi. Mereka bagai orang asing dan bukan lagi sebuah keluarga yang memiliki hubungan batin dan darah yang sama. Riana melirik ibu dan kakaknya, ia tahu pasti hati ibu sangat remuk melihat pemandangan itu. Riana memeluk erat ibunya, ia cemas ibu akan pingsan karena kondisi tubuhnya memang sedang tidak sehat. Ditambah sang ibu harus melihat suaminya memeluk dan menggendong wanita lain di depan matanya sendiri. Bibir ibu bergetar, sebisa mungkin ia menahan air matanya agar tidak tertumpah. Tak sepatah katapun keluar dari mulut ibu.Sementara itu, Riana melihat Mario mengepalkan kedua tangannya, nafasnya memburu dan sorot matanya tajam menatap ayah. "Hana, Mario, Riana, apa yang kalian lakukan di sini?" tanya Pak Hadi. "Ayo kita pergi, Bu, Ria! Kita tidak ada urusan lagi dengannya," kata Mario tanpa melihat ayahnya.Cindy menatap Riana dengan bingung. Riana menganggukkan kepalanya dan tersenyum. Ia berharap Mario akan kembali membuka hatinya untuk sang mantan kekasih. Cindy mengikuti langkah Mario menuju halaman belakang rumah itu. Di situ sepi dan hanya ada mereka berdua. Cindy dan Mario kini berdiri berhadapan dan saling memandang. Ada rasa yang berbeda saat mereka bertemu kembali setelah sekian lama berpisah. Sekarang semua rahasia dan kesalahpahaman di antara mereka juga sudah terungkap dengan jelas. "Ada apa, Rio?" Mata Cindy bergerak indah, dengan bibir merah alami yang mampu menggetarkan kembali hati Mario. "Mm... Akhirnya semua sudah jelas sekarang. Aku minta maaf karena sudah salah menilai kamu, Cin. Aku langsung pergi tanpa mendengar penjelasanmu," kata Mario. Cindy menghela nafas lega. Sebenarnya sudah lama ia menantikan saat seperti ini. Perpisahan dengan Mario membuatnya rapuh dan hancur, apalagi mereka berpisah saat rencana pernikahan sudah di depan mata. "Semuanya sudah berla
Wajah Sandra mulai berubah pucat. Rahasia yang ia simpan selama ini ternyata sudah terbongkar. Hadi dan keluarganya mempunyai lebih dari cukup bukti dan saksi yang akan membuat Sandra mendapatkan hukuman berat. Sebelum Mario dan David menaikkan Sandra ke dalam mobil, Sandra melihat pintu pagar rumahnya terbuka lebar. Semua karyawan dan penjaga tak berdaya untuk menolong Sandra, karena David juga menghubungi anak buahnya untuk datang dan berjaga di depan pintu gerbang. Tepat pada saat itu, Sandra yang tidak mau dibawa ke kantor polisi melihat satu kesempatan untuk melarikan diri. Ia berencana untuk melarikan diri dan memaksa salah satu anak buahnya yang ada di pintu gerbang untuk membawanya kabur. dengan sekuat tenaga Sandra memutar roda kursi rodanya. David dan Mario terkejut dan segera mengejar Sandra. "Hentikan dia!" David berteriak pada penjaga dan anak buahnya. Melihat beberapa pria bersiaga untuk menghalanginya, Sandra bergegas berbelok ke arah lain. Sandra hanya berpikir un
Mario dan keluarganya sampai di depan kediaman Sandra. Tentu saja mereka juga membawa serta Raka dan Mira. Raka dan Mira akan bersaksi bahwa mereka memang menerima perintah dari Sandra dan anak buahnya untuk menjalankan skenario yang ia buat. Pagar pintu rumah itu tertutup rapat. Tak ada yang menduga kalau seorang wanita yang cacat di dalam rumah itu bisa mengendalikan segala sesuatu sesuai dengan keinginannya. David dan Mario pun yakin, bahwa Raka dan Mira akan terkejut nantinya saat melihat kondisi Sandra yang sebenarnya. David turun lebih dulu dari mobil dan berbincang sejenak dengan penjaga rumah. David memang beberapa kali pernah datang ke rumah itu untuk mengantar mamanya, sehingga semua penjaga dan asisten rumah tangga sudah mengenalnya. "Apa Tante Sandra ada di rumah?" tanya David pada seorang pria bertubuh besar dan berkacamata. "Apa Mas David sudah punya janji?" tanya pria itu. "Saya keponakan Tante Sandra. Apa saya harus membuat janji untuk bertemu dengan tante saya se
"Masuk!" Seorang anak buah David mendorong Miranda alias Mira masuk ke rumah Mario. Wanita itu ingin menolak, tapi tentu tenaganya kalah besar jika dibandingkan dengan tiga orang pria bertubuh besar yang berada di dekatnya. Mario dan semua orang yang ada di dalam rumah pun keluar menemui Mira. "Miranda...." Mario menatap wanita itu, kini dengan rasa yang berbeda. Mira menundukkan kepalanya dan tidak mau menatap wajah Mario. Penampilan dan riasan wajah Mira kini jauh berbeda. Ia berdandan lebih menor dan menjadi dirinya sendiri. Sikap dan gayanya juga terkesan lebih angkuh daripada Miranda yang biasa dikenal oleh Mario. Setelah beberapa saat menghindar dari pandangan mata mantan kekasih palsunya, Mira akhirnya memberanikan diri menatap mata Mario. Semua bisa melihat rasa kesal dan kemarahan Mario saat itu. "Jadi selama ini kamu hanya berpura-pura menjadi kekasihku?" tanya Mario. "Rio, sebaiknya kita bicara di dalam. Gak enak dilihat dan didengar orang lain." Hana mengingatkan Mar
"Aku sama sekali gak tahu identitasnya, Rio. Aku hanya mengenalnya sebagai Tante Jelita. Saat aku mendengar suaranya, sepertinya dia wanita yang tegas. Dia juga punya anak buah dan bisa mengatur segala sesuatu sesuai dengan keinginan hatinya," kata Raka. "Kenapa semuanya serba kebetulan seperti ini? Apa wanita itu ada hubungannya dengan Miranda? Kenapa sepertinya orang itu punya rencana untuk menghancurkan hidupku dan hubunganku dengan Cindy?" tanya Mario. "Benar, Mas. Sepertinya rencana ini sudah diatur dengan rapi oleh seseorang," kata Riana. "Siapa orang yang bisa berbuat setega itu?" tanya Cindy. "Hanya satu orang yang bisa berbuat seperti itu." Mario menatap ibu dan ayahnya. "Apa mungkin ini rencana Tante Sandra? Tapi itu gak mungkin, kan?" kata Riana. "Aku juga punya kecurigaan yang sama, Ria. Seumur hidupku, aku hanya menemukan satu orang yang begitu berambisi menghancurkan kehidupan orang lain," ujar Mario. "Tapi Sandra sekarang sakit, Nak. Dia bukan lagi Sandra yang da
"Tolong tunggu sebentar, Tante! Saya datang untuk menjelaskan semuanya." Cindy memegang tangan Hana dengan erat. "Menjelaskan tentang apa? Bukankah semuanya sudah jelas? Kalian sudah resmi menikah, kan? Tolong jangan usik Mario lagi! Saat ini dia sedang dalam kondisi yang gak baik," kata Hana. Mendengar keributan di depan, Riana keluar dari kamarnya. Ia segera mendekat ketika melihat kedatangan Cindy."Bu, jangan marah dulu! Mbak Cindy juga batal menikah, Bu," kata Riana. "Apa?! Kenapa?" Suara Hana mulai melunak saat mendengar cerita Riana. Riana memang belum sempat menceritakan apa yang ia ketahui dari Cindy, karena ia ingin Cindy yang menceritakan sendiri pada Mario dan orang tuanya. "Bu, biarkan mereka masuk dulu! Mereka pasti baru saja sampai. Aku akan membuat minuman dan memanggil Mas Rio. Mbak Cindy akan menceritakan semuanya pada kita," kata Riana. Hana akhirnya mengijinkan Cindy dan Raka masuk ke dalam rumah. Cindy dan Raka duduk di sofa, sementara Riana membuatkan minuma