Share

Bab 1b

“Tidak mungkin..” batin Kalista menatap takjub.

Rambut hitam panjang yang halus, kulit seputih porselin, dan bibir merah alami. Dan yang paling menakjubkan dari itu semua adalah iris lavender yang indah namun penuh misteri. Di hadapanya, bayangan seorang gadis yang dibesarkan dengan baik balik menatapnya.

“Mataku..” Kalista memegang kedua kelopak matanya tak percaya.

Mata kirinya sebelumnya rusak karena menggunakan sihir terlarang. Untuk menghindari kecurigaan, Ia selalu menggunakan penutup mata.

Meski kehilangan salah satu bagian terpenting dalam hidup, dia sama sekali tak menyesal. Karena goresan tersebut menunjukan rasa cintanya kepada orang itu. 

Ia sama sekali tidak menganggap kehilangan mata kirinya sebagai kecacatan. Justru sebaliknya, dia menghargai itu semua sebagai sebuah penghargaan.

“Sungguh bodoh.” Kalista mencibir dirinya sendiri.

Dia tak percaya ada seseorang yang sebodoh dirinya. Hanya karena sebuah kebaikan kecil, Ia rela mencurahkan semua cinta, kasih dan kebaikan yang dirinya punya kepada orang itu. Bahkan, dia juga membahayakan nyawa orang-orang terdekatnya. Yang lebih lucu adalah, semua pengorbanan yang Ia lakukan dibalas dengan sebuah pengkhianatan. 

"Kalista.."

"Apa ada yang salah?” Devondion kembali bertanya. 

Setelah terbangun dari demam tinggi, keponakanya tiba-tiba berdiri di depan cermin untuk waktu yang lama. Hal tersebut adalah sesuatu yang cukup tidak biasa. 

Ia sudah sangat senang karena gadis itu akhirnya terbangun dari tidur panjangnya. Kekhawatiran yang dirinya rasa tatkala melihat manik gadis itu yang terus terpejam bukanlah lelucon. 

Kendati demikian, kebahagiaan yang dirasa dibarengi dengan sebuah keterkejutan. Bagaimanapun juga, seorang pasien biasanya lebih sering terlihat berdiam diri di atas ranjang saat baru saja tersadar untuk menstabilkan kondisi kendati tiba-tiba melompat dan berdiam diri di depan cermin. 

Meski begitu, kebahagiaan tetap mendominasi dibanding keterkejutan sesaat yang Ia alami karena tingkah tak biasa keponakannya. 

“Sepertinya tabib tua itu benar-benar memiliki sedikit kemampuan.” Devondion mengingat lelaki tua yang masih terkurung di mansion keluarganya guna menyembuhkan penyakit satu-satunya keponakan yang Ia miliki

"Tidak, Paman Dev."

"Aku baik-baik saja. Hanya sedikit pusing karena bangun tergesa-gesa." Kalista memberi senyum menenangkan.

Mata lavendernya menatap lelaki besar itu penuh emosi. Devondion Stalin Ruliazer, adik dari pihak ibunya. Seseorang yang menjadi walinya setelah Ia kehilangan kedua orangtuanya dalam kecelakaan.

Lelaki itu telah menjadi pelindung sekaligus kekuatanya dalam Keluarga Ruliazer. Jika lelaki itu tidak ada, sudah dipastikan anggota keluarga yang lain akan menggerogoti seluruh kekayaan yang ditinggalkan kedua orangtuanya secepat api yang membakar daun kering.

Demi melindungi keponakanya dari para ular berbisa itu, dia rela mengabaikan kenaikan jabatan yang seharusnya Ia terima. 

Kapten divisi utama ksatria kerajaan. Itu bukanlah gelar yang bisa dimiliki oleh siapa saja. Dibutuhkan kemampuan dan kegigihan yang tidak main-main. Tak dapat dibayangkan seberapa besar upaya dan kerja keras yang telah dilakukan.

Meski begitu, Ia membuang semua prestasi gemilang miliknya hanya untuk dirinya yang tak berguna. Seseorang yang nantinya akan membawanya kepada kematian yang mengenaskan.

“Buat dirimu nyaman di ranjang.”

"Tabib akan kembali datang untuk memeriksamu. Meski demam mu sudah turun, tapi tidak menutup kemungkinan panasmu akan naik lagi.” ekspresi Devon terlihat buruk saat berbicara.

 

Alis yang tebal terlihat hampir menyatu. Kulitnya yang kasar menjadi bukti kerja kerasnya sebagai seorang ksatria. 

Sungguh lucu melihat lelaki berperawakan besar itu mengkhawatirkan seseorang.

Sosok menakutkan itu terlihat lebih cocok menjadi bandit jalanan dibanding wali seorang anak.

Dulu, Ia juga sangat takut kepada lelaki itu. Bayangkan saja, anak mana yang tak gemetar ketika mendengar suara tegas dari sosok tinggi besar yang menakutkan tersebut. 

Anak mana yang memiliki keberanian singa untuk menatap mata tajam yang mengerikan itu. Ditambah desas-desus yang sengaja digaungkan untuk mendeskreditkanya. Semua perasaan baik yang dirasa semakin terkikis seiring berjalanya waktu.

Namun nyatanya, lelaki itu adalah satu-satunya orang yang menyayanginya dengan tulus tanpa mengharapkan imbalan apapun. Jikapun ada, itu adalah kebahagiaanya sendiri. Mengingat semua pengorbanan adik lelaki dari ibunya itu membuat dadanya terasa sesak.

Dirinya yang bodoh lebih mempercayai para serigala berbulu domba yang sering mengucap kata-kata manis penuh racun. Apa gunanya pintar, jika kecerdasan kita dimanfaatkan oleh orang lain. Apa gunanya berbakat, jika nyatanya bakat kita tak dapat digunakan dengan bebas.

Ia yang selalu dipuji sebagai anak pintar oleh kedua orangtuanya, nyatanya membuat keluarga yang begitu dibanggakan hancur. Dia yang dikatakan berbakat oleh semua guru yang mengajar, nyatanya tak bisa membedakan mana yang benar dan yang salah.

Ia telah mencoba menjadi anak yang baik untuk semua orang. Tak pernah sekalipun dia meragukan orang-orang yang terus mengeruk bakat, kekayaan dan kepintaranya. Bahkan dalam prosesnya, dia menghancurkan mereka yang benar-benar menyayangi dirinya.

Ia kehilangan keluarganya, bakatnya bahkan hidupnya. Penyesalan yang dirasa begitu besar. Bahkan dia juga menyesali keberadaanya yang hanya membawa malapetaka bagi orang-orang terdekatnya. Mungkin hanya kematian yang bisa menghapus semua ketidakberdayaan dan kebencian akan kehadiran diri. Semuanya akan berakhir jika Ia mati.

Meski begitu, tak dapat dipungkiri jika ada dendam yang tertinggal. Keinginan untuk membalas mereka yang menyakiti begitu besar. Mata yang meremehkan, tawa yang mencemooh dan kata-kata penuh ejekan yang menyakiti hati.

 

Dia ingin membalas mereka yang mengkhianatinya. Ia ingin membuat mereka merasakan penderitaan yang lebih mengerikan daripada kematian. Dan dia, juga ingin meminta maaf kepada orang-orang yang telah Ia sakiti sebelumnya.

Walau begitu, saat kematian datang, semua hanya tinggal kenangan. Dengan raga yang mati, Ia tak bisa membuat orang-orang itu membayar lunas semua kejahatan yang pernah mereka lakukan. Kematian juga tak memungkinkan dirinya membalas kebaikan mereka yang telah setia kepadanya.

Bagai selembar kertas yang terbakar. Begitu berubah menjadi abu, tak mungkin mengembalikan nya kepada keadaan yang semula. Dia telah menyia-nyiakan seluruh hidupnya untuk mereka yang berkhianat. Sedangkan orang-orang yang setia diperlakukan begitu buruk.

Dengan kematian sebagai jurang pemisah, tak mungkin dirinya bisa memperbaiki semua kesalahan yang telah diperbuat selama hidupnya.

Namun, dia tak menyangka akan kembali ke masa mudanya. Saat paman yang menyayanginya masih hidup. Ketika kedua matanya masih berfungsi dengan baik. Dan masa sebelum semua tragedi dalam hidupnya terjadi.

Ada rasa tak percaya. Bagaimana mungkin hal seperti ini bisa terjadi. Bahkan, dari semua jenis sihir yang Ia pelajari selama hidupnya, tak ada sihir yang bisa mengembalikan kita ke masa lalu.

Itu sebabnya pada awalnya dia mengira jika apa yang Ia alami hanyalah mimpi. Imajinasi yang dibuat berdasarkan kenangan masa lalu yang tak mungkin dia gapai.

Namun rasa sakit di indera perasanya memberitahunya jika ini semua adalah kenyataan. Realitas paling mustahil dia alami tanpa mengetahui sebab dan akibat yang bisa membuat keajaiban seperti ini terjadi.

Kalista berusaha menetralkan detak jantungnya yang sangat cepat. Kebahagiaan dan rasa tak percaya beradu menjadi satu. Dia butuh waktu untuk mencerna dan memahami apa yang baru saja terjadi. 

Namun sebelum itu, dia harus menghadapi sosok di hadapanya. Lelaki yang selalu mengkhawatirkan dan mengharap segala sesuatu yang baik terjadi padanya. Pamanya, adik lelaki dari ibunya, dan perisai kokoh yang selalu melindungi dirinya dari segala mara bahaya.

"Tidak perlu, Paman. Pusingku sudah agak reda. Hanya saja, aku masih takut karena mengalami mimpi buruk."

"Jadi Paman, bisakah Paman memelukku sebentar?" mata penuh harap menatap.

Untuk pertama kali dalam hidupnya, Kalista mengajukan permintaan kekanak-kanakan kepada lelaki itu. 

Dulu, dia mempunyai banyak sekali kesempatan untuk melakukanya. Sayangnya karena pengaruh pihak luar, dia dengan sengaja mengabaikan itu semua. 

Masa kecil yang seharusnya diisi dengan kenangan bahagia malah menjadi ajang pertempuran. Mereka memberitahunya untuk berhati-hati. Orang-orang itu memperingatkan untuk terus waspada. 

Bahkan Ia sampai menepis setiap niat baik yang diajukan oleh pamanya. 

Jika itu dulu, Ia tak bisa membayangkan akan mengatakan hal kekanakan seperti itu kepada pamanya. 

Sikap dingin, vokal kasar dan tatapan penuh kebencian. Itu adalah bagaimana Ia memperlakukan keluarga terdekatnya. Seseorang yang rela mati untuknya dan selalu mendengarkan permintaan yang tak masuk akal darinya.

Namun sekarang, dia sangat menantikan kehangatan lelaki itu. Ia ingin memanfaatkan setiap detik yang ada untuk memperdalam ikatan antara paman dan keponakan. 

Dia tahu pamanya tidak akan menolak. Namun tak dapat dipungkiri jika rasa malu itu muncul. Karena bagaimanapun juga, walau penampilanya masih anak-anak, namun usia mentalnya telah dewasa. 

Meski begitu, ada alasan mengapa Ia tetap melakukanya. Sesuatu yang terkubur jauh di lubuk hati, namun tetap mengganjal di jantung. Itu adalah sesuatu yang dia tahu, namun secara bersamaan Ia juga tak dapat mendeskripsikanya dengan jelas.

Dua iris yang berbeda saling menatap. Gadis mungil yang cantik, tanpa ragu membalas tatapan sosok besar di hadapan. Ketika hal tersebut terjadi, Kalista akhirnya menyadari apa itu.

“Ah..”

“Itu mungkin karena penyesalan terbesarnya adalah kematian lelaki di hadapannya saat ini.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status