"Dimana Kalista?" suara dingin yang bertanya memiliki nada datar tanpa intonasi apapun. Hal tersebut membuat orang-orang tak bisa menebak apa yang sebenarnya dipikirkan oleh si penanya.
Meski begitu, bukan berarti pelayan yang berstatus rendah berani membuat tebakanya sendiri. Mereka yang ditanya tentu harus menjawab dengan hormat tanpa mendiskreditkan pihak yang bertanya ataupun subyek yang ditanyakan.Seperti yang dilakukan oleh pelayan senior yang tengah ditanyai, "Nona muda sedang berada di perpustakaan, Tuan besar."Nada hormat dengan sikap yang rendah hati. Itulah yang harus dilakukan seorang pelayan yang bekerja untuk tuanya.Berbeda halnya jika mereka tengah berhadapan dengan seorang tamu. Boleh bersikap hormat, namun jangan merendahkan diri sendiri. Karena di hadapan orang luar, sikap para pelayan mewakili bagaimana status tuan yang mereka layani."Aku mengerti." balas pemuda yang dipanggil tuan besar.Setelahnya, pemuda itu segera beranjak untuk pergi. Tak memberikan pandangan kedua bagi pelayan yang ditanyai.***Akhir-akhir ini, Devondion merasa keponakanya bersikap aneh. Gadis itu sekarang berubah menjadi lebih manis dan perhatian.Setelah kematian suami dan kakak perempuanya, keponakanya menjadi gadis yang sangat pendiam. Ia menolak siapapun yang mendekat. Termasuk dirinya, paman dari pihak ibu.Dia memaklumi hal tersebut. Lagipula, anak mana yang tidak terkejut dengan kematian mendadak kedua orang tuanya. Tentunya dibutuhkan waktu untuk menenangkan diri.Dua minggu. Sudah dua minggu Ia menemani gadis cantik itu di Villa Keluarga Ruliazer yang jauh dari ibu kota. Selama itu, keponakanya selalu mengurung diri di dalam kamar.Ia menolak untuk makan dan minum. Bahkan walau sekedar keluar guna mencari udara segar. Puncaknya adalah ketika gadis cantik itu jatuh sakit terkena demam.Musim dingin membuat daya tahan anak-anak melemah. Dengan kondisi tubuh dan penolakan merawat diri, hanya butuh waktu bagi keponakanya untuk jatuh sakit.Walau tak mau mengakui, namun Ia benar-benar tidak berdaya ketika menghadapi keponakanya. Jika terlalu keras, dia khawatir akan membuat gadis kecil itu takut. Namun kalau terlalu lembut, dikhawatirkan kejadian dimana gadis itu jatuh sakit akan terulang kembali. Meski sudah meluangkan banyak waktu untuk berpikir keras, dirinya belum menemukan jawaban untuk pertanyaan yang satu itu.Namun setelah terbangun dari demam tinggi, keponakanya mulai berubah. Ia tak tahu bagaimana menjelaskanya. Keponakanya terasa memiliki atmosfer asing namun juga familiar secara bersamaan. Contohnya seperti saat sarapan pagi ini."Paman..""Bagaimana kabar Paman hari ini? Apa Paman tidur dengan nyenyak?""Aku meminta dapur untuk membuat pancake kesukaan paman. Silahkan nikmati makananya." senyum lembut digunakan dengan baik.Lihat. Bagaimana mungkin gadis kecil berusia sebelas tahun bisa melakukan senyum sempurna seperti orang dewasa. Bahkan kata-kata yang digunakan memiliki sentuhan wanita paruh baya yang telah lama menikah. Berkat itu, Ia merasa diperlakukan seperti seorang yang lebih muda.Sedangkan pada malam hari."Paman..""Aku tidak bisa tidur. Bisakah Paman membacakanku sebuah buku cerita?" gadis cantik yang memakai piyama anak-anak meminta dengan manis.Kalista, keponakanya tersayang. Seseorang yang telah mempelajari berbagai rumus rumit yang Ia tidak ketahui artinya. Menatapnya dengan wajah polos tak berdosa. Jadi, bagaimana mungkin dia bisa menolaknya.Walau telah lama tinggal di barak ksatria, Ia selalu bertukar surat dengan kakak perempuanya. Dia menyayangi saudara perempuan dan kakak iparnya. Tentu saja, Ia juga berharap bisa dekat dengan keponakanya.Dan sekarang, harapanya benar-benar terwujud. Walau dirinya tak tahu harus bagaimana menyikapi perilaku tak biasa keponakanya, namun Ia senang melihat perubahan gadis cantik itu. Setidaknya, keponakanya menjaga dirinya dengan baik.Namun diam-diam, Ia tetap mengawasi. Bukan bermaksud untuk buruk sangka. Hanya saja, beberapa kenalanya pernah berkata jika seseorang akan mencapai vitalitas puncak beberapa saat sebelum kematian.Saat itu dia hanya mentertawakan mereka karena masih mempercayai mitos palsu. Lagipula, bagaimana mungkin orang yang akan segera meninggal menjadi sehat bugar. Jika orang tersebut sekarat, dia mungkin akan mempercayainya. Karena bagaimanapun juga, hal tersebut terdengar lebih masuk akal.Namun kini, entah mengapa dia mulai mengingat rumor-rumor tak berguna itu. Hal tersebut membuatnya was-was setiap saat karena mengkhawatirkan satu-satunya keponakan yang Ia miliki. Tatapan Devondian kemudian jatuh kepada gadis kecil yang sedang membaca buku dengan tenang.'Aku selalu berdo'a untuk kebahagiaanmu, Kalista.' batin mantan ksatria kerajaan itu.Setelah memastikan keponakanya selamat sampai tujuan, lelaki berusia tiga puluh dua tahun tersebut berbalik. Sebagai pemegang jabatan Duke sementara, Ia masih memiliki banyak tugas yang harus diselesaikan.Semuanya harus berjalan lancar sampai keponakanya berusia cukup umur untuk mewarisi gelar kedua orangtuanya. Tak akan Ia biarkan orang-orang serakah itu mencuri satu sen pun dari kekayaan yang ditinggalkan oleh kakak perempuan dan ipar lelakinya.Devondion menatap sejenak keponakan kecilnya sebelum berbalik. Tap..Tap..Tap..Kalista memastikan suara langkah kaki milik pamanya menjauh sebelum beranjak dari kursi miliknya. Lelaki itu masih bersikap seperti dulu. Mengawasi dan memastikan keselamatanya setiap saat. Setelah dirasa tak ada ancaman, barulah Ia pergi guna memberi waktu bagi dirinya untuk menyendiri.Perhatian dan pengertian yang dimiliki sungguh mengharukan. Pamanya selalu memiliki pertimbangan khusus untuk dirinya. Terlebih jika ada ular berbisa yang muncul di sekitarnya.Sayangnya, di masa lalu dia sangatlah bodoh. Perilaku sang paman justru dianggap sebagai ancaman. Mereka yang dekat memberitahu, jika pamanya memiliki keinginan kuat untuk merebut gelar dan kekayaan yang seharusnya menjadi warisanya.Perhatian dianggap pengawasan. Perlindungan dicap sandiwara. Segala sesuatu yang diberi harus dimusnahkan. Ada saat ketika Ia memerintahkan adik laki-laki ibunya itu untuk menjalankan sebuah misi. Tak ada bantahan, ta
"Kau yakin dengan ini semua, Kalista?" seorang lelaki bertubuh besar bertanya kepada anak perempuan cantik yang berdiri di hadapannya. Perabot rapi tanpa debu. Dokumen yang disusun secara teratur. Bahkan warna gelap yang seolah menjadi keharusan. Ruang kerja yang memiliki kesan kaku membuat atmosfer yang terasa lebih mengintimidasi. Meski begitu, gadis kecil dengan kulit putih berdiri tenang tanpa mengeluarkan getaran ketakutan sedikitpun. Seolah menjadi jenderal kecil dalam sebuah peperangan. Teguh dan berpendirian kuat. “Aku sangat yakin, Paman Dev." gadis yang dipanggil Kalista itu menjawab tanpa ragu."Lalu Kalista, bisakah kau beritahu kepada Paman darimana kau mendapat informasi ini?" pertanyaan kembali diajukan."Untuk saat ini, itu masih rahasia, Paman Dev." jawab si nona kecil."Jika begitu, maka paman tidak bisa memenuhi permintaanmu, Kalista." balas Devondion."Tapi Paman, Aku sama sekali tidak berbohong. Kurang dari sebulan lagi, benar-benar akan terjadi longsor salju d
Gerakan canggung dengan tubuh besar sebenarnya tak terlalu nyaman. Namun untuk beberapa alasan, hati yang sebelumnya terasa seperti hancur berkeping-keping, kini telah disembuhkan secara ajaib."Jangan menangis, Kalista." "Itu semua salah paman. Seharusnya paman mendengarkan ceritamu terlebih dahulu sebelum membuat keputusan." suara akrab yang ditangkap gendang telinga terasa mengikis hati nurani. "Apa longsor salju ini juga sesuatu yang kau lihat dalam mimpimu?" pertanyaan bernada lembut diajukan. Meski dalam kenyataannya, hanya ada ekspresi tajam yang lebih intens yang terlihat. Beruntung si nona kecil telah aman dalam pelukan sang paman. Jika tidak, gadis cantik itu pasti kesulitan menjaga ekspresi tenangnya saat melihat wajah mengerikan wali resminya. Bagaimanapun juga, meski hanya cerita yang dikarang oleh orang lain, Devondion merasa ingin mencabik seseorang yang mungkin merencanakan pembunuhan kakak dan iparnya. Dua orang yang Ia sayangi dan hormati seharusnya hidup dalam k
(Tap..) (Tap..) (Tap..) Langkah kaki tenang terdengar memiliki ketukan yang teratur. Punggung lurus dengan kedua tangan yang disilangkan. Dan kecantikan alami dengan kulit putih yang memukau. "Selamat siang Nona Kalista." "Selamat siang Nona Kalista." Sapaan hormat terdengar setiap kali Kalista, putri tunggal mantan Duke dan Duchess terdahulu melangkah. Bukti jika sopan santun masih dijalankan dengan baik. Meski begitu, tak ada yang mengetahui apa yang tersimpan di hati. Gadis kecil itu hanya membalas salam para pelayan dengan senyum anggun. Sesekali ada balasan dengan suara manis yang khas. Itu adalah sesuatu yang sering dilakukan oleh bangsawan netral. Dia tak ingin dianggap arogan karena mengabaikan para pelayan, namun juga tidak mau dianggap mudah karena bersikap terlalu baik. Bagaimanapun juga, pembicaraan antar pelayan bisa terdengar sampai ke luar. Meski saat ini mereka menunjukkan sikap hormat ketika berhadapan dengan dirinya, tetapi dia tahu ada beberapa pelayan yan
"Sudah waktunya bagimu untuk dievakuasi." ucap Devondion. "Kenapa?" Kalista mempertanyakan keputusan pamanya. Seluruh persiapan telah selesai dilakukan. Meski ada longsor salju, dampaknya akan sangat berkurang. Tak ada alasan bagi dirinya untuk meninggalkan tempat ini. Lagipula, Ia ingin melihat bencana itu secara langsung. Di kehidupan lalu yang dia jalani, timbulnya longsor salju yang memakan banyak korban menjadi awal munculnya rumor buruk tentang dirinya. Pembawa malapetaka. Itulah sebutan yang mereka sematkan kepadanya. Bukan hanya kedua orangtuanya yang menjadi korban. Namun dia juga menyebabkan orang-orang yang tak berdosa mati hanya dengan kehadirannya. Awalnya itu semua memang hanya rumor. Namun dengan banyaknya mulut yang berbicara, rumor berubah menjadi fakta yang dipercaya. Hanya karena kebetulan dirinya berada di daerah yang terkena bencana alam, dia mendapat predikat sebagai pembawa malapetaka. Tak ada simpati, tak ada belas kasih dan tak ada tangan yang terulur unt
"Hei..""Apa kalian dengar? Kabarnya alasan dilakukan pembatasan sementara adalah karena putri mantan Duke dan Duchess Ruliazer yang memintanya." lelaki berkumis tipis berbisik kepada teman satu mejanya."Benarkah?""Kenapa dia melakukan itu? Apakah gadis itu tidak tahu jika pedagang seperti kita mempunyai jadwal yang padat?" balas lelaki lain berkepala botak."Mana mungkin seorang gadis kecil mengerti kesulitan yang dialami orang dewasa seperti kita.""Kabarnya, putri itu memiliki temperamen yang manja dan sombong. Jika keinginanya tidak dipenuhi, dia akan marah dan melampiaskan kekesalanya kepada para pelayan. Aku mengenal seorang pelayan yang pernah mengalami perlakuan tidak menyenangkan dari sang putri." lelaki pertama kembali mempengaruhi."Itu mengerikan.""Jika dia nantinya menjadi Duchess Ruliazer, bukankah nasib kita akan sangat mengenaskan?" si lelaki botak membalas dengan ekspresi jijik.Keduanya terlihat saling berbisik. Namun pada nyatanya, suara mereka terdengar cukup ke
"Saya rasa lebih baik bagi Tuan Triger mulai memikirkan pengganti Anda. Karena saya khawatir, usia Anda yang sudah tua menjadikan Tuan Triger menjadi seorang pelupa seperti sekarang. Ini baik-baik saja karena Anda melupakan etika di depan saya. Namun bagaimana jika Tuan Triger melupakan sopan santun di hadapan Yang Mulia Raja? Bukankah itu akan menjadi masalah besar nantinya?" Kalista memberi kritik keras. Tubuh kecil yang putih menembakan nada dingin guna memarahi orang lain. Untuk sesaat, semua orang lupa untuk bernafas. Bahkan Devondion yang berpenampilan keras di luar juga cukup tercengang di dalam hati. Pasalnya, ini pertama kalinya Ia melihat keponakan kecilnya mengeluarkan cakar tajamnya yang mungil. Bukannya merasa takut. Dia malah ingin tertawa terbahak-bahak. Dia memang tidak pernah menyukai rubah tua di hadapannya. Jika bukan karena statusnya sebagai pemimpin Kota Luxedon, Ia tak akan repot-repot mengizinkan lelaki tua itu dan putranya untuk menginjakan kaki di Villa Ruli
(Ctakk!!) (Hiya.! hiya.!) Pelacut kuda digunakan untuk mempercepat laju. Nafas terengah milik si penunggang menunjukan keterburuan yang dirasa. Di jalanan sepi, suara keras bergema membentuk kebisingan yang menggetarkan hati.Jendela-jendela tertutup terlihat membentuk gerakan seragam. Mereka yang di dalam, mengintip dari balik tirai. Ingin mencari tahu apa yang terjadi.(Hiya.!) (Hiya.!) Kuda itu terus melaju. Melewati kota utama yang biasanya ramai dengan kerumunan orang. Perjalan itu tak berhenti sampai ujung kota.Setelah beberapa waktu menempuh perjalanan, akhirnya terlihat tempat yang menjadi tujuan. Tanpa mengurangi kecepatan, si penunggang kuda menunjukan lencana hitam kepada penjaga gerbang.Gerbang yang dibuka memperlihatkan apa isi di dalamnya. Kumpulan bunga merah muda terhampar di pepohonan kayu. Seolah menantang putih yang menguasai tanah.(Hihik.. hihikk..) Suara kuda yang meringkik mengindikasikan jika tali kekang kembali ditarik. Kuda berhenti di depan pintu utam