Share

Bab 3a

"Kau yakin dengan ini semua, Kalista?" seorang lelaki bertubuh besar bertanya kepada anak perempuan cantik yang berdiri di hadapannya. 

Perabot rapi tanpa debu. Dokumen yang disusun secara teratur. Bahkan warna gelap yang seolah menjadi keharusan. Ruang kerja yang memiliki kesan kaku membuat atmosfer yang terasa lebih mengintimidasi. 

Meski begitu, gadis kecil dengan kulit putih berdiri tenang tanpa mengeluarkan getaran ketakutan sedikitpun. Seolah menjadi jenderal kecil dalam sebuah peperangan. Teguh dan berpendirian kuat. 

 

“Aku sangat yakin, Paman Dev." gadis yang dipanggil Kalista itu menjawab tanpa ragu.

"Lalu Kalista, bisakah kau beritahu kepada Paman darimana kau mendapat informasi ini?" pertanyaan kembali diajukan.

"Untuk saat ini, itu masih rahasia, Paman Dev." jawab si nona kecil.

"Jika begitu, maka paman tidak bisa memenuhi permintaanmu, Kalista." balas Devondion.

"Tapi Paman, Aku sama sekali tidak berbohong. Kurang dari sebulan lagi, benar-benar akan terjadi longsor salju di daerah ini." Kalista menjawab dengan sungguh-sungguh.

"Bukan masalah itu, Kalista. Paman percaya kau tidak akan berbohong."

"Tetapi Kalista, hal yang kau katakan itu menyangkut kehidupan banyak orang. Itu sebabnya Paman harus tahu darimana sumber informasi tersebut berasal. Setelah Paman mengkonfirmasi kebenaranya, barulah kita dapat melakukan persiapan untuk menghadapi bencana itu." Devondion menjawab selembut mungkin. Tak ingin menyakiti perasaan satu-satunya keponakan yang Ia miliki. 

Meski pada kenyataanya, suara bariton yang keras tidak membuat perubahan apapun. Bagaimanapun juga, belasan tahun berada di antara lelaki yang kasar membuat beberapa kebiasaan yang sulit dihilangkan. 

Nyatanya, walau sang ksatria perang sudah mengurangi tekanannya, banyak orang yang masih merasa terintimidasi saat berhadapan dengan pemuda itu. 

"Aku tahu, Paman."

"Maaf jika aku membuat hal-hal sulit untuk paman." gumam Kalista lirih.

Dalam hati, gadis itu menghela nafas lelah. Ini adalah masalah tersulit yang harus dia selesaikan sesegera mungkin. Itu benar jika ucapan anak-anak tidak memiliki kualifikasi apapun.

Mereka mungkin tak tahu bagaimana cara melakukan kebohongan yang sempurna. Tapi orang dewasa bisa melakukanya. Mereka cukup memberitahu beberapa hal kepada anak-anak yang masih rentan. Dan kebohongan yang terbalut dalam kepolosan anak-anak tersebut akan tersampaikan kepada orang lain. Menurut pengalamanya, itu adalah salah satu cara paling efektif untuk mengelabuhi seseorang.

Dia tentu tahu kekhawatiran pamanya. Adik dari pihak ibunya itu mungkin mengira jika ada seseorang yang dengan aktif mendekatinya untuk memberikan informasi abu-abu. 

Jika tidak begitu, bagaimana mungkin anak berusia sebelas tahun tahu akan bencana longsor salju yang hanya pernah didengar namun tak pernah dilihatnya secara langsung.

Meski begitu, Ia tidak boleh menyerah begitu saja. Akan ada waktu dimana dirinya akan sering mengatakan hal-hal seperti itu di masa depan. Sesuatu yang akan segera terjadi, namun tak ada informasi yang menyertai. Untuk itu, dia harus bisa mendapat kepercayaan pamannya. Dan peristiwa ini adalah sesuatu yang sangat sempurna untuk menunjukan kualifikasi informasinya.

"Paman.."

"Sebenarnya akhir-akhir ini, aku bermimpi sangat panjang. Itu adalah mimpi tragedi yang sangat menakutkan. Dimana orangtuaku, paman dan diriku sendiri akan menemui akhir yang mengenaskan."

"Paman tahu.."

"Dalam mimpi itu, orangtuaku akan meninggal karena dibunuh oleh pembunuh bayaran. Tapi orang-orang percaya jika itu hanyalah sebuah kecelakaan kereta."

"Tak ada yang mempercayaiku. Entah itu karena mereka menganggap ku hanya mengatakan omong kosong atau karena mereka sendiri adalah dalang di balik kematian kedua orangtuaku. Termasuk paman dalam mimpiku."

"Namun, memang benar jika pembunuh bayaran itu dengan sempurna menyamarkan tindakan mereka sebagai kecelakaan kereta. Tak ada bekas pertarungan, tak ada barang-barang yang hilang dan tak ada satupun saksi mata."

"Paman dalam mimpiku juga menganggap jika penyebab kematian kedua orangtuaku adalah kecelakaan. Paman beranggapan, jika ibuku yang dilahirkan dalam keluarga militer pasti akan melakukan perlawanan ketika menghadapi serangan dari pihak luar. Dan mengingat kemampuan kakak perempuannya, akan mustahil jika tidak ada jejak pertempuran yang tersisa."

"Dia lupa jika di dalam kereta juga ada ayahku yang tidak memiliki kemampuan bela diri apapun. Andaikata orang-orang itu menyandera ayahku ketika ibu sibuk bertarung, maka akan masuk akal jika tak ada perlawanan signifikan yang berlanjut. Hal tersebut dikarenakan ibuku akan menyerah tanpa syarat jika ayah memang dijadikan sandera."

"Dan tentu saja paman tahu apa yang akan menimpa mereka setelahnya." Kalista menghela nafas panjang dengan lembut.

Hal-hal yang Ia ceritakan bukanlah mimpi ataupun hasil rekayasa. Setelah beranjak dewasa, dia tanpa sengaja mengetahui kebenaran dibalik kematian kedua orangtuanya.

Lebih tepatnya, seseorang dengan sengaja menuntun nya kepada fakta tragis dibalik meninggalnya mantan Duke dan Duchess Ruliazer. Sebagai seorang anak, tentu saja dia tak terima jika ada orang yang dengan sengaja merencanakan kematian kedua orangtuanya.

Kebencian inilah yang dimanfaatkan oleh 'dia' untuk mendapatkan simpatinya. Dirinya tak sadar jika sejak saat itu, Ia telah menjadi boneka yang sangat patuh kepada 'dia'. Seperti kerbau yang dicucuk hidungnya. Ia melakukan apa yang 'dia' perintahkan tanpa ragu.

Penyesalan memang selalu datang terlambat. Ia membuang berlian berkualitas tinggi hanya untuk sebuah imitasi yang menyedot seluruh harta dan kekayaanya. Bahkan jiwanya sendiri tak luput dari itu semua.

Kalista memandang sosok paman yang senantiasa berdiri di sisinya. Entah itu di masa lalu ataupun sekarang ini, "Lalu Paman.."

"Begitu aku terbangun, keringat dingin menyelimuti seluruh tubuhku. Meski begitu, aku mencoba untuk melupakanya. Bagaimanapun juga, itu semua hanyalah mimpi."

"Dan Paman tahu.."

"Tidak lama setelah mimpi itu, kedua orangtuaku benar-benar meninggal karena kecelakaan kereta." mata yang merah menunjukan perasaan hati yang sebenarnya.

"Apakah Paman tahu bagaimana perasaanku saat itu?"

"Jika saja aku tidak mengabaikan mimpi itu. Aku bisa membujuk ayah dan ibu untuk tidak bepergian selama beberapa waktu ini. Atau bahkan, aku bisa menceritakan kekhawatiran ku perihal mimpi yang aku alami."

"Jika begitu, mungkin saja.."

"Mungkin saja.. hiks.."

"Hiks.. hiks.."

Bening yang membasahi lantai. Kristal indah yang berjatuhan. Air mata tumpah dengan setiap kata yang terucap. Kalista tidak bermaksud untuk menangis seperti anak kecil. Dia hanya ingin berakting semaksimal mungkin guna meyakinkan pamannya yang terlalu mencintainya.

Jika logika tak dapat ditemukan, maka perasaan akan menjadi pilihan. Dia menyesal karena harus memanfaatkan kasih sayang pamannya. Namun untuk saat ini, dia tak memiliki opsi lain guna meyakinkan lelaki itu.

Hanya saja, entah bagaimana dalam prosesnya, Ia tak dapat mengendalikan dirinya sendiri. Ingatan yang datang tanpa diundang bagai sebuah pisau yang mengiris daging lembut.

Hati, jantung bahkan paru-parunya terasa sesak. Sejak dia kembali dari masa lalu, Ia telah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak bersikap lemah. Dia merencanakan setiap langkah yang seharusnya diambil. Mencoba untuk mengubah masa lalunya yang terlalu kelam dengan kesempatan yang didapat.

Hanya saja, entah mengapa suasana hatinya tidak terlalu baik hari ini. Melihat seberapa besar rasa cinta lelaki di hadapannya kepada dirinya, itu mengingatkannya akan seberapa dalam luka yang Ia torehkan kepada pamannya.

"Hiks.. hiks.."

(Pluk.) 

Hangat, nyaman dan aman. Kalista merasakan pelukan lembut yang dilakukan dengan sangat hati-hati. Seolah-olah tengah memperlakukan benda yang mudah pecah. 

Gerakan canggung dengan tubuh besar sebenarnya tak terlalu nyaman. Namun untuk beberapa alasan, hati yang sebelumnya terasa seperti hancur berkeping-keping, kini telah disembuhkan secara ajaib.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status