Share

episode 2

Author: Padil
last update Last Updated: 2025-11-25 02:51:22

Kematian itu sendiri tidak sakit. Yang sakit adalah saat-saat terakhirnya; rasa dingin yang menyusup ke sumsum tulang, rasa hampa saat semua harapan pupus, dan getirnya pengkhianatan yang menggerogoti jiwa. Itulah yang kurasakan sebelum segalanya menjadi gelap.

Lalu, ada kehangatan.

Sebuah sensasi aneh, bertolak belakang dengan kematianku yang dingin dan basah di lorong gelap. Aku merasakan sesuatu yang lembut di bawah tubuhku, bukan aspal kasar dan genangan air kotor. Ada wangi lembut yang familiar—aroma fabric conditioner merek tertentu yang selalu digunakan di rumah—bercampur dengan aroma buku tua dan tinta. Bau yang telah hilang dari hidupku selama bertahun-tahun.

Aku memberanikan diri untuk membuka mata. Perlahan-lahan, dunia yang kabur mulai berfokus.

Langit-langit putih dengan lampu kristal sederhana. Sebuah gorden sutra berwarna lavender yang tertiup angin lembut dari jendela yang terbuka. Matahari pagi menyelinap masuk, menerangi partikel debu yang menari-nari di udara.

Ini... tidak mungkin.

Kepalaku berdenyut-denyut saat aku duduk, tubuh terasa ringan dan anehnya... muda. Mataku menyapu ruangan. Sebuah rak buku penuh dengan novel romansa dan buku pelajaran sekolah menengah. Meja belajar dengan laptop usang dan beberapa pigura foto. Di salah satu pigura, ada foto diriku yang lebih muda, tersenyum canggung di antara Ayah, Ibu, dan... Karin. Dia tersenyum manis, lengannya terangkul erat di pinggang Ibu.

Hatiku berhenti berdetak untuk sesaat.

Ini adalah kamarku. Kamar yang sama persis seperti sebelum aku diusir. Sebelum segalanya berubah.

"Aku... di rumah?" bisikku, suaraku serak dan asing di telingaku sendiri. Suara yang lebih tinggi, suara remaja.

Dengan gemetar, aku melompat dari tempat tidur dan berjalan ke cermin di depan lemari. Bayangan yang memantul membuatku terpana. Seorang gadis berusia sekitar tujuh belas tahun dengan mata besar yang masih polos, meski sekarang dipenuhi kebingungan dan rasa takut. Kulitnya masih mulus, tanpa bayangan stres dan kurang tidur yang kuhabiskan di kehidupan sebelumnya. Rambut panjangnya terurai rapi, bukan yang kusut dan basah oleh hujan dan air mata. Ini adalah aku, Liana, bertahun-tahun yang lalu.

"Bu... Ibu?" panggilku, suaraku masih bergetar.

Tidak lama, langkah kaki terdengar di luar. Pintu terbuka, dan sosok yang selama ini hanya hidup dalam ingatanku yang paling pedih berdiri di sana. Ibuku. Wajahnya masih segar, tanpa kerutan kekhawatiran yang dalam. Tapi yang membuat dadaku sesak adalah ekspresinya—ekspresi datar dan sedikit kesal, persis seperti yang kuingat sebelum segalanya runtuh.

"Liana, akhirnya bangun? Ayo cepat mandi dan turun. Banyak yang harus disiapkan untuk pesta Karin nanti malam. Jangan sampai kau mengacaukan hari spesialnya lagi," ujarnya tanpa basa-basi, lalu menutup pintu tanpa memberiku kesempatan untuk merespons.

"Pesta... Karin?"

Seketika itu juga, seluruh ingatanku dari kehidupan sebelumnya menyatu bagaikan banjir bandang. Pesta ulang tahun Karin yang mewah. Hadiah kalung mutiara tiruan yang dihina. Senyuman palsu Karin. Dan kemudian, keesokan harinya... tuduhan mencuri.

Aku menatap tanggal di layar ponselku. Ya, Tuhan. Ini adalah hari sebelum aku diusir. Hari sebelum hidupku hancur.

Aku terjatuh kembali ke tempat tidur, tubuhku gemetar hebat. Ini bukan mimpi. Sensasi kain seprei di jari-jariku, aroma di udara, suara Ibu tadi—semuanya terlalu nyata. Sebuah teori gila muncul di kepalaku, sesuatu yang hanya kubaca dalam novel-novel fantasi.

Reinkarnasi.

Aku telah diberikan kesempatan kedua. Aku hidup kembali di masa lalu, di titik dimana segalanya hampir runtuh.

Air mata panas mengalir di pipiku, tapi kali ini, bukan air mata keputusasaan. Ini adalah air mata kemarahan, penebusan, dan sebuah tekad yang membara. Kenangan kematianku yang menyakitkan di lorong gelap masih terasa segar, seperti luka yang belum sembuh. Kata-kata terakhir Ayah, senyum puas Karin, dan kedinginan yang menusuk—semuanya adalah bahan bakar bagi jiwaku yang sekarang telah lahir kembali.

"Aku... bersumpah," desisku ke udara yang sunyi, suaraku kini penuh dengan keyakinan baja yang tidak kumiliki di kehidupan sebelumnya. "Ini kali ini akan berbeda. Aku tidak akan menjadi korban yang polos lagi."

Dengan pengetahuan masa depanku, aku tahu persis apa yang akan terjadi. Karin akan menuduhku mencuri kalung mutiara Ibu besok pagi. Tapi kali ini, aku siap.

Aku berjalan kembali ke cermin dan menatap bayangan diriku yang masih polos itu. Di balik mata remaja itu, sekarang bersemayam jiwa seorang wanita yang telah merasakan pahitnya kematian dan pengkhianatan.

"Kalian menghancurkanku sekali," bisikku pada bayangan keluarga dan Karin dalam pikiranku. "Kalian tidak akan mendapat kesempatan untuk melakukannya dua kali."

Dunia ini mungkin berputar kembali ke masa lalu, tetapi Liana yang sekarang bukan lagi Liana yang dulu. Ini bukan kedua kalinya aku menjalani hidupku. Ini adalah babak pertama dari balas dendamku. Dan semuanya akan dimulai di pesta itu, malam ini. Aku akan membiarkan sandiwara mereka berlangsung, tapi kali ini, aku yang akan menulis akhir ceritanya. Malam tiba dengan cepat. Aku berdiri di depan cermin tubuh panjang di kamarku, mengenakan gaun yang sama—yang sederhana dan sedikit ketinggalan zaman—seperti yang kupakai di kehidupan sebelumnya. Bedanya, kali ini aku memandangnya tanpa rasa malu. Kain itu hanyalah sebuah kostum, sebuah penyamaran untuk peran yang harus kumainkan malam ini.

Aku menarik napas dalam-dalam. Misi malam ini sederhana: amati, catat, dan jangan terpancing emosi. Aku harus mengumpulkan setiap detail, setiap senyuman palsu, setiap pandangan merendahkan, sebagai persiapan untuk pertempuran yang akan datang.

Saat aku melangkah ke ballroom, semuanya terasa seperti deja vu yang menusuk. Balon emas dan krem, orkestra yang memainkan lagu yang sama, bahkan posisi tamu-tamu itu serupa. Dan di tengah pesta, berdiri Karin, memakai gaun putih berpayet yang membuatnya berkilauan bagai permata.

"Liana, kau datang!" serunya saat melihatku, dengan senyum manis yang sama persis. Tapi kali ini, mataku yang terlatih melihat kilatan singkat kemenangan dan cemohan di balik senyumannya sebelum dia bergegas mendekat.

Dia meraih tanganku. "Aku senang sekali kau ada di sini, Kak."

Sentuhannya membuat kulitku merinding, tapi aku tetap mempertahankan senyum tipis. "Selamat ulang tahun, Karin."

Seperti yang telah terjadi sebelumnya, dia melihat bungkusan kecil di tanganku. "Untukku?" tanyanya dengan suara bernada tinggi yang dibuat-buat. Dia menyobek kertasnya dengan semangat yang berlebihan dan mengeluarkan kalung mutiara tiruan itu.

Dia memegangnya dengan dua jari, persis seperti dulu. "Wah, lucu sekali," ucapnya, dan aku bisa mendengar nada merendahkan yang sama. "Sangat... unik."

Lalu, dengan gerakan yang tampak ceroboh tapi sangat disengaja, dia menjatuhkannya. Liontin hati itu pecah berantakan di lantai marmer.

"Maaf, Kak!" katanya, suaranya dramatis. "Aku sangat ceroboh!"

Di kehidupan lalu, aku akan langsung memungutnya sambil merasa malu dan hancur. Tapi kali ini, aku hanya menatap pecahan-pecahan itu di lantai, lalu mengangkat pandanganku untuk menatapnya langsung.

"Tidak apa-apa," kataku dengan suara datar dan tenang, jauh lebih tenang dari yang kuduga. "Barang murahan memang mudah pecah."

Wajah Karin terpana sejenak. Ekspresi kebingungan yang singkat melintas di matanya, seolah dia mengharapkan tangisanku atau setidaknya protes. Ibu, yang sedang mendekat, juga tampak terkejut dengan responku yang dingin.

"Liana, sikapmu..." tegur Ibu dengan suara rendah.

Aku memalingkan wajahku darinya, mengabaikan tegurannya. Mataku secara sengaja menyapu ruangan, mencatat setiap tamu yang menyaksikan kejadian kecil ini. Beberapa dari mereka, yang dulu memandangku dengan iba atau menghina, sekarang justru terlihat sedikit tidak nyaman dengan akting kasar Karin.

Aku melihat Ayah di seberang ruangan, berbicara dengan beberapa rekan bisnis. Dia melirik ke arah kami, dan untuk sesaat, mataku bertemu dengannya. Aku tidak menunduk. Aku menahannya, membiarkannya melihat ketenangan dan—aku berharap—sedikit kedinginan di mataku sebelum aku berbalik.

Karin, yang merasa tidak mendapat respons yang diinginkan, mencoba taktik lain. "Jangan sedih, Kak. Aku akan menyimpannya yang pecah ini. Hadiah darimu kan?"

"Lakukan apa yang kau mau," jawabku pendek, lalu berjalan meninggalkannya, menuju meja minuman. Aku bisa merasa pandangannya menancap di punggungku, bingung dan mulai gelisah.

Saat aku mengambil segelas jus, seorang wanita tua yang elegan—yang kukenal sebagai Nyonya Chen, istri dari salah satu mitra bisnis terpenting Ayah—berdiri di sebelahku.

"Dia sengaja menjatuhinya, bukan?" bisik Nyonya Chen tiba-tiba, matanya yang tajam juga mengamati Karin.

Aku menatapnya, terkejut. Di kehidupan lalu, aku terlalu sibuk dengan kesedihanku sendiri hingga tidak menyadari bahwa ada orang yang bisa melihat melalui kepalsuan Karin.

Aku hanya memberikan senyuman kecil yang ambigu. "Apakah itu penting? Ini hari ulang tahunnya. Biarkan dia bahagia."

Nyonya Chen mengangguk pelan, terlihat semakin tertarik. "Kau gadis yang sabar."

"Atau mungkin aku hanya tahu bahwa beberapa pertempuran tidak layak untuk diperjuangkan di medan perang yang salah," jawabku lembut sebelum berbalik dan pergi, meninggalkannya dengan kesan baru tentang diriku.

Sepanjang malam, aku terus bersikap seperti ini. Tenang, diam, dan mengamati. Aku menyaksikan Karin memamerkan hadiah-hadiah mahalnya, menyaksikan orang tuaku memandangnya dengan bangga, dan menyaksikan bagaimana kelicikannya bekerja dengan sempurna. Tapi kali ini, setiap senyuman palsu, setiap bisikan, dan setiap pandangan merendahkan tidak lagi melukai. Mereka seperti bahan bakar yang mengisi tekadku.

Pesta ini adalah pengulangan, tapi bagiku, ini adalah panggung latihan. Besok, tuduhan itu akan datang. Dan kali ini, aku siap. Aku tidak akan membela diri dengan putus asa. Aku akan membiarkan badai itu datang, karena aku tahu, setelah badai berlalu, akan datang pembalasan yang jauh lebih dahsyat. Keesokan paginya, sinar matahari menyinari rumah yang tenang pasca-pesta. Namun, ketenangan itu palsu. Aku sudah bangun lebih awal, duduk di tepi tempat tidurku dengan hati yang membeku menanti sandiwara yang akan segera dimulai. Pengetahuan tentang apa yang akan terjadi terasa seperti kutukan dan sekaligus senjata.

Tepat seperti naskah yang telah kuhafal, teriakan dramatis Karin terdengar dari kamarnya, diikuti langkah kaki bergegas Ibu dan Ayah.

"Kalung mutiaraku! Kalung pemberian Almarhumah Nenek! Itu hilang!" teriak Ibu, suaranya penuh kepanikan.

"Aku... aku tidak sengaja melihatnya, Bu," kata Karin dengan suara bergetar penuh akting, sambil menatapku dengan pandangan "ragu-ragu" yang dibuat-buat. "Tadi pagi aku lihat Kak Liana... menyembunyikan sesuatu di balik buku-bukunya. Aku tidak mau berprasangka, tapi..."

"Liana?" Ayah berbalik menatapku, matanya sudah penuh kecurigaan bahkan sebelum penyelidikan dimulai. "Apa yang kau sembunyikan?"

Di kehidupan lalu, pada titik ini, aku sudah gemetar, berkata-kata dengan terbata-bata membela diri. Tapi hari ini, aku hanya mengangkat alis, wajahku tenang. "Aku tidak menyembunyikan apa pun."

"Boleh kami periksa kamarmu, Liana?" tanya Ibu, tapi nada suaranya sudah seperti pernyataan, bukan pertanyaan.

"Silakan," jawabku pendek, bahkan berjalan membuka pintu kamarku untuk mereka. Sikapku yang kooperatif tapi dingin ini membuat Karin sedikit kehilangan keseimbangan.

Ibu dan Karin langsung menuju rak bukuku. Seperti yang kuduga, dengan "usaha pencarian" yang dramatis, Karin "menemukan" kotak perhiasan kosong itu terselip di antara dua buku pelajaranku yang tebal.

"ini... ini kotak kalung Ibu!" seru Karin, memegang kotak itu seolah-olah itu adalah barang bukti kejahatan. Dia memandangku dengan air mata di matanya. "Kak Liana, kenapa? Kalau kau butuh uang, bilang saja pada kami! Kenapa harus mencuri hadiah Almarhumah Nenek kepada Ibu?"

Ayah mendekat, wajahnya memerah karena marah dan malu. Dia mengambil kotak itu dari tangan Karin. "Jelaskan ini, Liana! Dimana kalungnya? Apa kau sudah menjualnya?"

Ibu menatapku dengan tatapan hancur. "Liana, bagaimana bisa kau...?"

Di kehidupan sebelumnya, air mataku akan mengalir deras saat ini. Tapi hari ini, mataku tetap kering. Aku hanya memandang mereka satu per satu: Ayah yang marah buta, Ibu yang "kecewa", dan Karin yang berpura-pura sedih tapi matanya bersinar kemenangan.

"Apakah ada dari kalian yang bertanya kepadaku apa yang sebenarnya terjadi?" tanyaku dengan suara datar, memecah hiruk-pikuk tuduhan mereka. "Atau kalian sudah langsung memutuskan bahwa aku bersalah hanya berdasarkan kata-kata Karin?"

"Buktinya ada di sini!" hardik Ayah, mengacungkan kotak kosong itu.

"Kotak kosong yang ditemukan di antara bukuku adalah bukti bahwa aku yang mencurinya?" tanyaku, sedikit memiringkan kepala. "Bukankah itu bisa saja disembunyikan orang lain di sana untuk menjebakku?"

Karin tersedu-sedu. "Aku... aku tidak mungkin melakukan itu, Kak! Aku mencintaimu seperti saudara kandung!"

"Aku juga pernah mengira hal yang sama, Karin," jawabku, dan kali ini, nada suaraku sedikit lebih tajam. "Tapi ternyata, cinta saudara kandung itu mudah sekali pupus hanya karena sebuah kotak kosong dan beberapa kata fitnah."

Ucapanku membuatnya terdiam sejenak, matanya membelalak sedikit. Ibu dan Ayah juga terlihat terkejut dengan ketenangan dan kecerdikanku membela diri. Ini bukan reaksi yang mereka harapkan.

Tapi racun yang ditanamkan Karin sudah terlalu dalam. Ayah menghela napas panjang, wajahnya penuh kekecewaan. "Liana, kami sudah memberimu kesempatan untuk jujur. Tapi kau malah menuduh adikmu yang baik hati. Kau membuat kami kecewa."

Ibu mengangguk pelan, air mata menggenang di matanya. "Kami tidak bisa mempercayaimu lagi, Liana. Tingkah lakumu di pesta semalam sudah tidak sopan, dan sekarang... ini."

Aku memandangi mereka, dan untuk pertama kalinya, aku tidak merasakan sakit lagi. Yang ada hanyalah sebuah kepastian. Mereka tidak akan pernah berubah. Mereka tidak akan pernah memilihku.

"Jadi, itu keputusan kalian?" tanyaku akhirnya, suaraku tenang dan menerima. "Percaya padanya tanpa keraguan, dan menganggapku sebagai pencuri?"

Diam mereka adalah jawabannya. Karin bersandar pada Ibu, menyembunyikan senyum kemenangannya di pundak Ibu.

Di dalam hatiku, sesuatu yang terakhir akhirnya padam. Sebuah ikatan yang selama ini kuperjuangkan, akhirnya putus. Tapi bersama dengan keputusasaan itu, datanglah sebuah kekuatan baru. Kekuatan seorang yang tidak lagi memiliki apa-apa untuk dirugikan.

Sandiwara mereka telah selesai. Sekarang, giliranku. Ruangan itu penuh dengan keheningan yang tegang, hanya terisi oleh isak tangis palsu Karin. Aku berdiri tegak, menghadapi tiga orang yang seharusnya menjadi keluarganya. Di kehidupan sebelumnya, saat ini adalah momen dimana dunia runtuh. Tapi sekarang, ini hanyalah sebuah konfirmasi.

"Kami tidak punya pilihan lain, Liana," kata Ayah akhirnya, suaranya berat namun penuh keputusan yang tidak tergoyahkan. "Kepercayaan adalah dasar sebuah keluarga. Kau telah melanggarnya."

Ibu mengangguk, menghapus air matanya. "Kau harus pergi, Nak. Untuk sementara waktu. Sampai... sampai kau menyadari kesalahanmu."

Kata-kata yang hampir sama. "Pergi untuk sementara waktu." Tapi aku tahu, dalam hati mereka, pengusiran ini bersifat permanen. Seperti sebelumnya.

Di kehidupan lalu, aku berteriak, memohon, dan akhirnya menangis histeris. Tapi hari ini, sesuatu yang lain yang terjadi.

Sebuah senyuman. Tipis, dingin, dan sama sekali tidak mencerminkan kehancuran, justru penuh dengan ketenangan yang mengerikan, merekah di bibirku.

Senyuman itu membuat Karin berhenti berpura-pura menangis. Dia menatapku, bingung dan waspada. Ibu dan Ayah juga tertegun, terkejut dengan reaksiku yang sama sekali tak terduga.

"Baik," kataku, suaraku jernih dan datar, tanpa getaran sedih atau amarah. "Aku akan pergi."

Aku tidak membuang waktu untuk berdebat atau membela diri lagi. Aku berbalik dan berjalan menuju kamarku. Langkahku mantap, tidak terburu-buru dan tidak juga terhuyung-huyung. Aku bisa merasakan tiga pasang mata yang menatap punggungku, bingung dan mungkin sedikit... terganggu oleh ketenanganku.

Di kamar, aku hanya mengambil tas kecil dan mengisinya dengan beberapa barang yang benar-benar penting: tabungan rahasiaku, sertifikat kelahiranku, dan beberapa foto lama—foto sebelum Karin datang—di mana Ayah dan Ibuku masih tersenyum padaku dengan tulus. Barang-barang itu bukan lagi kenangan manis, melainkan pengingat akan apa yang telah dicuri dariku dan bukti yang mungkin kubutuhkan suatu hari nanti.

Saat aku keluar dari kamar dengan tas di pundak, mereka masih berdiri di tempat yang sama. Karin kini tersenyum kecil, yakin bahwa dia telah menang.

Aku berhenti sebentar di depan pintu depan, lalu menoleh untuk melihat mereka sekali lagi. Senyuman dingin itu masih terukir di wajahku.

"Jangan khawatir," ucapku, dan suaraku terdengar seperti sebuah janji yang gelap. "Kita akan bertemu lagi."

Sebelum mereka bisa merespons, aku sudah membuka pintu dan melangkah keluar. Matahari pagi menyambutku, bertolak belakang dengan malam hujan di kematian pertamaku. Kali ini, aku tidak terhuyung-huyung dalam keputusasaan. Langkahku penuh dengan tujuan.

Aku tidak pergi sebagai korban yang terbuang. Aku pergi sebagai seorang prajurit yang mundur sementara dari medan perang, untuk menyusun strategi dan kembali dengan kekuatan yang lebih besar.

Di dalam hatiku, sebuah sumpah bergema lebih kuat dari sebelumnya, mengeras menjadi tekad yang tak tergoyahkan:

Mereka mengira ini adalah akhir bagiku. Mereka mengira mereka telah menang.

Mereka tidak tahu bahwa ini baru permulaan.

Mereka tidak tahu bahwa Liana yang mereka kenal sudah mati di lorong basah itu.

Yang kembali adalah seseorang yang mengenal semua rahasia dan kebohongan mereka.

Dan aku bersumpah, dengan setiap langkahku menjauhi rumah ini, bahwa aku akan kembali.

Bukan untuk memohon belas kasihan, tapi untuk mengambil kembali segalanya yang telah mereka rampas.

Karin, Ayah, Ibu... tunggu saja. Permainan kita baru saja dimulai.

Dengan tekad yang membara di dada dan senyuman dingin yang masih mengambang di bibir, aku berjalan menjauh. Bukan menuju kematian, tapi menuju kelahiran kembali yang penuh dengan rencana balas dendam. Episode kehidupan lamaku telah berakhir. Episode pembalasan dendam baru saja dimulai.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kembalinya Gadis Terbuang   episode 7

    Kemenangan atas kejatuhan keluarga Hartono ternyata tidak serta merta membawa kedamaian yang diharapkan Liana. Meski rasa dendamnya telah terbalaskan, sebuah kehampaan yang aneh justru mengisi relung hatinya. Kehidupan barunya yang serba berkecukupan dan penuh kebebasan terasa... datar. Seolah ada sesuatu yang masih kurang.Suatu sore, Artha mengajaknya mengunjungi sebuah pameran seni kontemporer. "Kita butuh mengalihkan pikiran," ujarnya, mencoba membaca suasana hati Liana yang muram sejak acara peluncuran yang berantakan itu.Pameran itu diadakan di sebuah galeri tua yang telah direnovasi. Karya-karya seni instalasi memenuhi ruangan, namun satu karya tertentu menarik perhatian Artha. Sebuah instalasi video yang menampilkan rekaman dokumenter hitam putih tentang kehidupan di panti asuhan pada era 90-an. Layar besar menampilkan anak-anak dengan pakaian lusuh bermain di halaman yang gersang.Liana memperhatikan Artha yang tiba-tiba diam membatu. Wajahnya yang biasanya penuh percaya dir

  • Kembalinya Gadis Terbuang   episode 6

    Enam minggu telah berlalu sejak mereka menyelesaikan dossier mematikan itu. Enam minggu penuh ketegangan dan kesabaran. Liana dan Artha tahu, mereka butuh panggung yang tepat—sebuah momen dimana kejatuhan Karin akan memiliki dampak terbesar, di depan orang-orang yang paling dia pedulikan: para elite sosial, rekan bisnis, dan tentu saja, keluarganya sendiri.Kesempatan itu akhirnya datang. Hartono Group akan menggelar acara peluncuran mega-proyek terbaru mereka, "Hartono Eco-Skyline", sebuah kawasan hunian super mewah dan ramah lingkungan. Acara ini akan dihadiri oleh seluruh jajaran direksi, investor, selebriti papan atas, dan tentu saja, seluruh keluarga Hartono. Karin, sebagai director of public relations, akan menjadi salah satu pembicara kunci. Ini adalah momen puncak baginya, dan itulah yang membuatnya sempurna untuk dihancurkan."Kita harus berada di sana," ujar Liana suatu pagi, menatap brosur elektronik acara yang mewah. Matanya berbinar dengan tekad yang telah lama dipendam.

  • Kembalinya Gadis Terbuang   episode 5

    Kemenangan di acara amal masih terasa manis, tetapi bagi Liana dan Artha, itu hanyalah pembuka. Mereka perlu memastikan setiap langkah selanjutnya didasari bukti yang tak terbantahkan. "Kita butuh lebih dari sekadar gosip dan kesan," ujar Artha suatu sore di apartemen Liana, matanya menatap layar laptop yang penuh dengan data finansial Hartono Group. "Kita butuh bukti konkret yang bisa menghancurkan mereka secara hukum dan finansial."Liana mengangguk, pikirannya melayang pada semua percakapan dan kejadian yang pernah ia saksikan di kehidupan sebelumnya. "Karin... dia licik, tapi dia juga ceroboh. Dia percaya diri berlebihan. Dia pasti meninggalkan jejak.""Jejak digital," tambah Artha. "Dunia maya adalah medan perang berikutnya."Dengan sumber daya Artha, mereka merekrut seorang ahli keamanan siber dan etikal hacker yang handal, seorang pria muda bernama Danar yang dikenal dengan kemampuannya menelusuri lorong-lorong gelap internet tanpa meninggalkan jejak. Pertemuan dilakukan di seb

  • Kembalinya Gadis Terbuang   episode 4

    Kantor pribadi Artha di lantai tertinggi Wijaya Group telah menjadi ruang perang mereka. Tidak ada lagi kesan formal yang kaku. Di atas meja kayu jati yang luas, sekarang berserakan dokumen, tablet, dan papan tulis putih yang penuh dengan coretan strategi, garis waktu, dan nama-nama yang familier bagi Liana: Hartono Group, Karin, Heri Hartono (ayahnya), dan Linda Hartono (ibunya)."Mulai dari mana?" tanya Artha, duduk di seberangnya. Ia tidak lagi menyembunyikan rasa ingin tahunya yang besar terhadap sumber informasi Liana, tetapi juga tidak menekannya untuk penjelasan lebih lanjut. Ia menghormati batasan yang ditetapkan Liana.Liana menarik napas dalam. Menggali ingatan masa lalunya seperti membuka luka yang sudah mulai mengering. Setiap kenangan tentang pengkhianatan dan kelicikan masih terasa perih, tetapi sekarang, rasa sakit itu telah berubah menjadi bahan bakar."Kita mulai dari sini," ujarnya, menunjuk sebuah laporan keuangan kuartalan Hartono Group yang terbuka untuk publik. "

  • Kembalinya Gadis Terbuang   episode 3

    Kota itu bernapas dengan irama yang berbeda baginya sekarang. Di kehidupan sebelumnya, kota ini hanyalah pemandangan dari balik kaca mobil yang mengantarinya dari mal ke mal, dari les ke les. Sekarang, kota ini adalah sebuah medan pertempuran. Setiap hembusan napasnya adalah perjuangan, setiap langkah kakinya adalah keteguhan.Tas kecil di pundaknya terasa semakin berat, meski hanya berisi segelintir barang. Uang tabungannya yang tidak seberapa—hasil dari menyisihkan uang jajan selama bertahun-tahun—terasa menyusut dengan cepat di dompetnya. Kenyataan itu menghantamnya lebih keras dari kata-kata pengusiran Ayah. Kebebasan ternyata memiliki harga, dan harganya sangat mahal.Tiga hari telah berlalu sejak ia melangkah keluar dari rumah mewah yang dulu dinamainya 'rumah'. Tiga malam ia habiskan di sebuah losmen murah dengan kamar sempit yang berbau lembap dan kasur yang mengeluarkan bunyi reyot setiap kali ia bergerak. Suara lalu lalang dan klakson mobil di luar tidak pernah benar-benar r

  • Kembalinya Gadis Terbuang   episode 2

    Kematian itu sendiri tidak sakit. Yang sakit adalah saat-saat terakhirnya; rasa dingin yang menyusup ke sumsum tulang, rasa hampa saat semua harapan pupus, dan getirnya pengkhianatan yang menggerogoti jiwa. Itulah yang kurasakan sebelum segalanya menjadi gelap.Lalu, ada kehangatan.Sebuah sensasi aneh, bertolak belakang dengan kematianku yang dingin dan basah di lorong gelap. Aku merasakan sesuatu yang lembut di bawah tubuhku, bukan aspal kasar dan genangan air kotor. Ada wangi lembut yang familiar—aroma fabric conditioner merek tertentu yang selalu digunakan di rumah—bercampur dengan aroma buku tua dan tinta. Bau yang telah hilang dari hidupku selama bertahun-tahun.Aku memberanikan diri untuk membuka mata. Perlahan-lahan, dunia yang kabur mulai berfokus.Langit-langit putih dengan lampu kristal sederhana. Sebuah gorden sutra berwarna lavender yang tertiup angin lembut dari jendela yang terbuka. Matahari pagi menyelinap masuk, menerangi partikel debu yang menari-nari di udara.Ini..

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status