Share

episode 6

Author: Padil
last update Last Updated: 2025-12-10 15:13:57

Enam minggu telah berlalu sejak mereka menyelesaikan dossier mematikan itu. Enam minggu penuh ketegangan dan kesabaran. Liana dan Artha tahu, mereka butuh panggung yang tepat—sebuah momen dimana kejatuhan Karin akan memiliki dampak terbesar, di depan orang-orang yang paling dia pedulikan: para elite sosial, rekan bisnis, dan tentu saja, keluarganya sendiri.

Kesempatan itu akhirnya datang. Hartono Group akan menggelar acara peluncuran mega-proyek terbaru mereka, "Hartono Eco-Skyline", sebuah kawasan hunian super mewah dan ramah lingkungan. Acara ini akan dihadiri oleh seluruh jajaran direksi, investor, selebriti papan atas, dan tentu saja, seluruh keluarga Hartono. Karin, sebagai director of public relations, akan menjadi salah satu pembicara kunci. Ini adalah momen puncak baginya, dan itulah yang membuatnya sempurna untuk dihancurkan.

"Kita harus berada di sana," ujar Liana suatu pagi, menatap brosur elektronik acara yang mewah. Matanya berbinar dengan tekad yang telah lama dipendam.

"Tapi kita tidak diundang," balas Artha, meski ada senyum kecil di bibirnya. Dia tahu Liana sudah memiliki rencana. "Hubungan bisnis kita dengan Hartono Group, meski ada 'bantuan' saya dalam proyek Harmoni, masih cukup tegang. Mereka tidak akan mengundang rival mereka ke acara sepenting ini."

"Persis," sahut Liana. "Itulah mengapa kita harus membuat mereka ingin mengundang kita. Kita harus membuat diri kita terlihat tidak bisa diabaikan."

Rencana mereka dimulai dengan serangan pers yang terukur. Beberapa hari sebelum acara, sebuah artikel analisis mendalam muncul di majalah bisnis terkemuka. Artikel itu, yang ditulis oleh seorang jurnalis yang di-"bimbing" oleh tim humas Artha, memuji visi dari "Hartono Eco-Skyline" namun dengan halus mempertanyakan kelayakan finansialnya dan menyoroti beberapa "kelemahan strategis" yang hanya bisa diketahui oleh orang dalam—informasi yang sengaja "dibocorkan" Liana dari ingatan masa depannya.

Artikel itu membuat gempar. Heri Hartono marah, tetapi dia juga penasaran. Siapa di balik analisis yang begitu tajam dan akurat ini? Investigasi singkat—yang telah mereka antisipasi—menghubungkan artikel itu dengan seorang "konsultan independen" yang dipekerjakan oleh Wijaya Group. Nama itu adalah Liana.

Heri pasti bingung. Putrinya yang diusir, yang dituduh sebagai pencuri, kini muncul sebagai analis brilian yang bekerja untuk rivalnya.

Langkah kedua adalah tekanan finansial. Artha, melalui beberapa perusahaan holding-nya, secara diam-diam mulai membeli saham minoritas Hartono Group di pasar saham. Gerakan ini kecil, tapi cukup untuk membuat para analis keuangan memperhatikan dan menaikkan spekulasi tentang kemungkinan akuisisi atau hostile takeover. Hal ini membuat harga saham Hartono Group fluktuatif tepat sebelum acara besar mereka, menciptakan kegelisahan di kalangan investor.

Heri Hartono terjepit. Dia butuh menenangkan investor. Dia butuh menunjukkan bahwa proyek "Eco-Skyline"-nya solid. Dan cara terbaik untuk melakukannya adalah dengan menunjukkan bahwa bahkan rival terberatnya pun "mendukung" atau setidaknya, tertarik dengan proyek ini.

Maka, undangan resmi pun dikirim ke kantor Artha Wijaya. Undangan itu disampaikan oleh sekretaris Heri sendiri, dengan nada yang sedikit terpaksa.

"Tuan Heri sangat mengharapkan kehadiran Tuan Wijaya dalam peluncuran 'Eco-Skyline'. Beliau percaya ini adalah momen untuk menunjukkan semangat kolaborasi, bukan kompetisi, di industri properti," ucap sekretaris itu melalui telepon.

Artha, yang menerima telepon itu di speaker bersama Liana, tersenyum. "Sampaikan terima kasih pada Tuan Heri. Saya dan seorang associate saya akan hadir dengan senang hati."

Saat telepon ditutup, ruangan menjadi sunyi sejenak. Mereka berhasil. Mereka telah menciptakan "kebetulan" yang direncanakan dengan sempurna. Mereka diundang bukan sebagai tamu biasa, tapi sebagai orang yang perlu dipengaruhi, sebagai simbol rekonsiliasi yang pura-pura. Itu akan membuat kehadiran mereka semakin menonjol.

Liana mengepalkan tangannya, perasaanya campur aduk antara gugup, marah, dan sebuah kepuasan yang dingin. "Aku akan kembali ke tengah-tengah mereka. Bukan sebagai putri yang terbuang, tapi sebagai algojo yang membawa keadilan."

Artha memandangnya dengan penuh keyakinan. "Mereka mengundang ular ke dalam sarangnya sendiri. Sekarang, kita harus memastikan sengat kita mematikan."

Persiapan akhir pun dimulai. Mereka tidak hanya menyiapkan penampilan fisik—gaun dan tuxedo yang sempurna—tetapi juga yang lebih penting: akses ke sistem teknologi di venue acara. Dengan bantuan Danar dan sejumlah "teman" di penyedia jasa acara, mereka mengamankan akses backdoor ke sistem komputer yang mengontrol presentasi dan layar raksasa di ballroom. Semuanya sudah siap.

Hari-H semakin dekat. Liana bisa merasakan detak jantungnya semakin kencang. Ini bukan lagi tentang mengumpulkan bukti di balik layar. Ini adalah tentang menghadapi hantu masa lalunya secara langsung, di depan semua orang, dan merobek topeng yang selama ini dipakai oleh orang-orang yang telah menghancurkannya. Undangan itu di tangannya bukan selembar kertas, melainkan sebuah tiket menuju klimaks dari semua rencananya. Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Ballroom The Grand Majapahit Hotel berkilauan dengan hiasan kristal dan lampu emas, dipenuhi oleh para undangan yang berseliweran dengan pakaian termewah mereka. Suasana penuh dengan bisikan-bisikan optimis tentang proyek "Eco-Skyline", tetapi bagi Liana, udara terasa penuh dengan listrik yang menegangkan.

Dia berdiri di samping Artha, mengenakan gaun evening gown berwarna midnight blue yang sederhana namun elegan. Tatapannya tenang, tetapi di balik itu, setiap inderanya waspada penuh. Dia menyapu ruangan dengan pandangannya, mencatat setiap detail—di mana keluarga Hartono berdiri, posisi panggung, dan lokasi ruang kontrol teknis.

Seperti yang telah direncanakan, Artha segera didekati oleh Heri Hartono. Wajah Heri terpaksa ramah, tetapi matanya waspada.

"Artha, terima kasih sudah datang," ucap Heri, berjabat tangan erat. Lalu, pandangannya beralih ke Liana. Ada keheningan yang canggung. "Liana." Namanya diucapkan dengan suara datar, hampir seperti sebuah pertanyaan.

"Ayah," balas Liana dengan anggukan singkat, suaranya netral dan profesional. Dia tidak menunjukkan emosi. Dia di sini sebagai associate Artha, bukan sebagai putri yang pulang.

Linda, ibunya, yang berdiri di samping Heri, terlihat sangat tidak nyaman. Matanya berkedip-kedip, tidak tahu harus menatap ke mana. "Kau... terlihat baik, Liana," ujarnya akhirnya, suaranya lemah.

"Terima kasih, Ibu," jawab Liana tetap sopan, namun menjaga jarak.

Karin, yang berdiri di dekat panggung dengan clipboard di tangan, memandang ke arah mereka. Wajahnya yang semula penuh percaya diri, mendadak tegang. Dia melihat Liana bukan sebagai ancaman yang merengek, tetapi sebagai wanita percaya diri yang berdiri setara dengan Artha Wijaya. Itu adalah penglihatan yang mengganggu baginya. Dia segera mendekat, senyum palsunya terpasang sempurna.

"Kakak Liana! Aku tidak menyangka kau akan datang," ujarnya, mencoba memeluk Liana, tetapi Liana dengan halus mengelak dengan mengulurkan tangan untuk bersalaman.

"Karin. Acaramu terlihat megah," balas Liana, senyum tipisnya tidak sampai ke mata.

Karin terkesiap, tetapi segera menguasai diri. "Terima kasih. Ini adalah proyek besar keluarga kita." Ada penekanan pada kata "keluarga" yang ditujukan untuk menyakiti Liana.

Artha, dengan diplomatis, segera menarik perhatian Heri dengan membicarakan tren pasar properti, memberi Liana ruang untuk bergerak. Itu adalah bagian dari rencana.

"Permisi," ucap Liana kepada mereka semua. "Saya perlu ke toilet."

Itu adalah sinyal. Dia berjalan menyusuri tepi ballroom, bukan menuju toilet, tetapi menuju sebuah koridor samping yang mengarah ke ruang kontrol teknis. Seorang teknisi berbaju hitam—orang yang telah disiapkan Danar—sedang menunggu di sana. Dengan anggukan singkat, pria itu membukakan pintu untuknya.

Di dalam ruang kontrol yang dipenuhi monitor dan konsol, Liana menarik napas dalam. Waktunya telah tiba. Dia duduk di depan komputer utama, jarinya menari dengan cepat di atas keyboard. Dia memasukkan encrypted drive yang berisi dossier mereka dan sebuah program kecil yang telah disiapkan Danar.

Program itu akan memungkinkannya untuk mengambil alih sistem presentasi pada detik-detik yang tepat. Semua file presentasi Karin telah di-backup oleh tim teknis Hartono Group, jadi tidak ada yang akan curiga sampai saatnya tiba.

Dari monitor kamera, dia bisa melihat Karin naik ke panggung, tersenyum lebar pada para tamu. Suara tepuk tangan riuh menggema. Heri dan Linda berdiri di samping panggung, wajah mereka penuh kebanggaan.

"Selamat datang dalam peluncuran 'Hartono Eco-Skyline', proyek kebanggaan keluarga kami," ucap Karin, suaranya lantang dan penuh keyakinan. "Hari ini, kami tidak hanya mempresentasikan sebuah properti, tetapi sebuah visi untuk masa depan..."

Liana mendengarkan dengan tenang, jarinya terhunus di atas mouse. Dia menunggu. Dia menunggu momen puncak presentasi Karin, saat semua perhatian tertuju padanya, saat dia merasa paling tak terbantahkan.

Ini bukan lagi tentang balas dendam buta. Ini tentang sebuah pertunjukan. Sebuah drama dimana Karin, sang pemeran utama, tidak tahu bahwa naskahnya akan berubah di akhir cerita. Dan Liana, dari balik layar, memegang kendali penuh atas klimaks yang akan mengubah segalanya. Karin berbicara dengan penuh semangat, mempresentasikan visual-visual megah dari "Eco-Skyline"—gambar arsitektur futuristik, taman hijau yang luas, dan fasilitas mewah. Dia melontarkan data-data finansial yang optimistis, tentang ROI yang menjanjikan dan masa depan cerah. Para hadirin terpukau, termasuk Heri dan Linda yang berdiri di samping panggung dengan wajah penuh kebanggaan. Ini adalah puncak dari segala yang mereka impikan—sebuah proyek yang akan mengukuhkan nama Hartono di puncak industri.

Liana di ruang kontrol, mengamati semuanya melalui monitor. Detak jantungnya stabil sekarang, digantikan oleh sebuah ketenangan yang fokus dan dingin. Dia melihat Karin, yang sedang berada di puncak kejayaannya, begitu percaya diri dan tak tersentuh.

"Sekarang," bisik Liana pada diri sendiri saat Karin hampir menyelesaikan presentasinya dan bersiap untuk kesimpulan. "Saatnya dunia melihat wajahmu yang sebenarnya."

Jarinya menekan enter.

Di panggung, Karin sedang mengucapkan kata-kata penutupnya. "...dan dengan demikian, Hartono Group akan terus memimpin dengan integritas dan inovasi—"

Tiba-tiba, layar raksasa di belakangnya yang menampilkan logo "Eco-Skyline" yang berkilauan, berkedip dan berganti.

Bukan ke slide kesimpulan, tapi ke sebuah dokumen yang sangat familiar bagi Karin.

"LAPORAN TRANSFER DANA FIKTIF - DIVISI PUBLIC RELATIONS"

Suara Karin tercekat di tenggorokan. Matanya membelalak, tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Seluruh ballroom yang sebelumnya riuh oleh presentasinya, mendadak senyap.

Dokumen di layar jelas menunjukkan transfer dana dari rekening perusahaan ke rekening pribadi bernama "Karin Hartono", dengan kolom "Keterangan" yang diisi dengan acara-acara yang tidak pernah ada.

Desis-desis ketidakpercayaan mulai terdengar dari para tamu.

"Ada apa? Itu apa?" bisik seseorang.

Karin, dengan panik, berbalik ke teknisi di samping panggung. "Matikan! Matikan itu!"

Tapi sebelum siapa pun bisa bereaksi, layar berganti lagi. Kali ini, muncul screenshot percakapan W******p antara Karin dan Paman Rendra.

Karin: "Paman, transfer untuk 'tas baru' saya sudah masuk?"

Paman Rendra: "Tenang, keponakanku. Transfer sudah. Laporan divisimu akan tetap yang terbaik. Ayahmu tidak akan tahu apa-apa."

Ruang itu gempar. Heri Hartono berdiri terpaku, wajahnya yang semula bangga kini pucat pasi. Linda menutup mulutnya dengan kedua tangan, matanya penuh horror. Paman Rendra, yang duduk di baris depan, langsung berdiri dan berusaha meninggalkan ruangan, tetapi dua orang keamanan hotel (yang telah diatur Artha) dengan halus menghalangi jalannya.

Karin menjerit, "Itu palsu! Itu editan! Seseorang ingin menjatuhkanku!"

Tapi layar tidak berhenti. Seolah menanggapi teriakannya, layar menampilkan bukti yang tak terbantahkan: REKAMAN AUDIO.

Suara Karin yang jelas dan percaya diri terdengar memenuhi ballroom yang senyap itu.

"Keluarga Hartono lemah, Bobby... Aku ingin jaminan. Posisi di Sinarmas Capital... Aku sudah menyiapkan segalanya untuk melompat kapal."

Diikuti dengan suara Bobby Lim: "Dan kamu akan membantuku memetiknya?"

"Tentu. Aku punya akses ke semua data... Semua bisa menjadi milikmu."

Kekacauan pun meledak.

Para tamu berteriak, berdiri, dan mengacungkan ponsel mereka untuk merekam. Investor-investor utama Hartono Group mengutuk dan bergegas pergi. Wartawan-wartawan yang diundang merasa seperti memenangkan undian, menyerbu ke depan untuk mendapatkan gambar yang lebih jelas.

Di atas panggung, Karin terduduk lunglai, tangannya menutupi telinga, seolah bisa memblokir suaranya sendiri yang mengungkapkan pengkhianatan terdalamnya. Dia bukan lagi putri yang anggun, melainkan seorang yang terpuruk, dikelilingi oleh reruntuhan reputasinya sendiri.

Heri Hartono, dengan wajah yang hancur dan marah, menatap putri angkatnya yang telah mengkhianatinya dengan begitu keji. Linda menangis histeris, ditopang oleh suaminya.

Dan di balik layar, Liana mematikan monitor, berdiri, dan berjalan keluar dari ruang kontrol. Pekerjaannya hampir selesai. Dia tidak perlu melihat lebih jauh. Dia telah menyaksikan detik-detik kehancuran itu, dan itu sudah cukup.

Dia berjalan menyusuri koridor yang sepi, meninggalkan suara hiruk-pikuk kekacauan di ballroom. Langkahnya mantap. Tidak ada rasa bahagia yang jahat, tidak juga kepuasan yang mendalam. Hanya sebuah rasa keadilan yang akhirnya ditegakkan, sebuah bab yang akhirnya ditutup.

Dia bertemu dengan Artha yang telah menunggunya di ujung koridor. Mereka bertukar pandang, dan sebuah anggukan penuh pengertian pun terjadi di antara mereka.

Di belakang mereka, teriakan, tangisan, dan suara kekacauan masih terdengar. Tapi bagi Liana, semua itu sudah menjadi bagian dari masa lalu. Dia telah membalaskan dendamnya. Sekarang, saatnya untuk menghadapi konsekuensinya, dan yang lebih penting, memulai hidup barunya. Kekacauan di ballroom mencapai puncaknya. Suara Karin yang berusaha membela diri tenggelam dalam hiruk-pikuk teriakan wartawan dan cemoohan para tamu undangan. "Itu rekaman palsu! Itu dipelintir! Aku difitnah!" teriaknya, tapi tak ada yang mendengarkan. Bukti-bukti yang disajikan terlalu sistematis dan teliti untuk diabaikan.

Heri Hartono, dengan wajah bagai patung batu, naik ke panggung dengan langkah berat. Dia tidak lagi memandangi Karin yang sedang bersimpuh. Diambilnya mikrofon yang tergeletak, suaranya menggema, parau dan penuh luka. "Acara ini... ditutup. Keluarga Hartono memohon maaf yang sebesar-besarnya atas kejadian ini. Kami akan melakukan penyelidikan internal menyeluruh."

Pengumuman itu seperti menuangkan minyak ke bara. "Tuan Heri! Apa komentar Anda tentang pengkhianatan putri angkat Anda?" "Apakah ini berarti proyek Eco-Skyline dibatalkan?" "Apa tindakan hukum terhadap Karin Hartono dan Rendra?"

Heri tidak menjawab. Dia meletakkan mikrofon, lalu dengan pandangan hampa, menatap istrinya yang nyaris pingsan. Mereka berdua, di puncak usia mereka, menyaksikan kerajaan yang mereka bangun bertahun-tahun runtuh dalam semalam—bukan karena serangan kompetitor, tapi oleh borok dari dalam sendiri, oleh orang yang mereka percayai dan anggap sebagai anak.

Sementara itu, di luar ballroom, Liana dan Artha menyaksikan keributan dari kejauhan. Sebuah elevator glass membawa mereka perlahan turun, memberikan pemandangan penuh atas kekacauan yang mereka tinggalkan.

"Apakah ini yang kau inginkan, Liana?" tanya Artha dengan suara lembut, mengamati ekspresinya yang tak tergambarkan.

Liana menarik napas dalam. "Ini bukan tentang keinginan, Artha. Ini tentang keharusan. Mereka menciptakan monster mereka sendiri. Aku hanya membuka sangkarnya, membiarkan dunia melihat wujud aslinya." Dia memalingkan wajah dari pemandangan itu. "Aku tidak merasakan kemenangan. Hanya... kehampaan."

Tepat saat mereka sampai di lobby, kerumulan wartawan yang telah mendapat informasi tentang keberadaan mereka menyerbu. Tapi Artha sudah siap. Tim keamanannya membentuk formasi, melindungi mereka berdua sambil berjalan cepat menuju pintu keluar.

"Nyona Liana! Apa motivasi Anda membongkar skandal ini?" teriak seorang wartawan.

Liana berhenti sejenak, menatap langsung ke lensa kamera. Matanya yang dulu polos, kini penuh kedewasaan dan ketegaran. "Kebenaran tidak perlu motivasi. Ia hanya perlu disampaikan." Itu saja. Dia tidak menambah kata-kata lagi. Itu adalah pernyataan publik pertamanya, singkat, elegan, dan penuh martabat.

Keesokan harinya, seluruh media dan portal berita dipenuhi oleh kejatuhan keluarga Hartono. Headline seperti "Runtuhnya Dinasti Hartono", "Pengkhianatan Sang Putri Angkat", dan "Skandal yang Mengguncang Dunia Usaha" menghiasi halaman depan. Saham Hartono Group di bursa efek di-suspend sementara. Otoritas pajak dan kepolisian mengumumkan penyelidikan mendalam.

Karin dan Paman Rendra menghilang dari publik. Kabar burung mengatakan mereka dikurung di dalam rumah oleh Heri, menunggu proses hukum. Keluarga Hartono yang dulu berkilau, kini menjadi bahan tertawaan dan cibiran.

Di apartemen Liana, dia dan Artha duduk dalam keheningan, menonton berita tentang keruntuhan yang mereka picu.

"Ini bukan akhir, Liana," ucap Artha, memegang tangannya. "Ini awal yang baru. Bagimu, dan bagiku."

Liana memandangnya. Perjalanan panjang balas dendamnya telah usai. Api kemarahan yang membara dalam hatinya selama ini akhirnya padam, meninggalkan abu dan ruang untuk sesuatu yang baru. Dia telah membuktikan pada diri sendiri bahwa dia bukan lagi korban. Dia adalah seorang penyintas.

Dia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya pada keluarga Hartono. Mungkin mereka akan bangkit, mungkin tidak. Tapi itu bukan lagi urusannya. Dia telah menutup buku lama itu.

Dia menatap Artha, dan untuk pertama kalinya sejak lama, sebuah senyuman tulus dan ringan muncul di bibirnya. Senyuman tanpa beban, tanpa dendam.

"Ya," jawab Liana, suaranya penuh ketenangan. "Awal yang baru."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kembalinya Gadis Terbuang   episode 7

    Kemenangan atas kejatuhan keluarga Hartono ternyata tidak serta merta membawa kedamaian yang diharapkan Liana. Meski rasa dendamnya telah terbalaskan, sebuah kehampaan yang aneh justru mengisi relung hatinya. Kehidupan barunya yang serba berkecukupan dan penuh kebebasan terasa... datar. Seolah ada sesuatu yang masih kurang.Suatu sore, Artha mengajaknya mengunjungi sebuah pameran seni kontemporer. "Kita butuh mengalihkan pikiran," ujarnya, mencoba membaca suasana hati Liana yang muram sejak acara peluncuran yang berantakan itu.Pameran itu diadakan di sebuah galeri tua yang telah direnovasi. Karya-karya seni instalasi memenuhi ruangan, namun satu karya tertentu menarik perhatian Artha. Sebuah instalasi video yang menampilkan rekaman dokumenter hitam putih tentang kehidupan di panti asuhan pada era 90-an. Layar besar menampilkan anak-anak dengan pakaian lusuh bermain di halaman yang gersang.Liana memperhatikan Artha yang tiba-tiba diam membatu. Wajahnya yang biasanya penuh percaya dir

  • Kembalinya Gadis Terbuang   episode 6

    Enam minggu telah berlalu sejak mereka menyelesaikan dossier mematikan itu. Enam minggu penuh ketegangan dan kesabaran. Liana dan Artha tahu, mereka butuh panggung yang tepat—sebuah momen dimana kejatuhan Karin akan memiliki dampak terbesar, di depan orang-orang yang paling dia pedulikan: para elite sosial, rekan bisnis, dan tentu saja, keluarganya sendiri.Kesempatan itu akhirnya datang. Hartono Group akan menggelar acara peluncuran mega-proyek terbaru mereka, "Hartono Eco-Skyline", sebuah kawasan hunian super mewah dan ramah lingkungan. Acara ini akan dihadiri oleh seluruh jajaran direksi, investor, selebriti papan atas, dan tentu saja, seluruh keluarga Hartono. Karin, sebagai director of public relations, akan menjadi salah satu pembicara kunci. Ini adalah momen puncak baginya, dan itulah yang membuatnya sempurna untuk dihancurkan."Kita harus berada di sana," ujar Liana suatu pagi, menatap brosur elektronik acara yang mewah. Matanya berbinar dengan tekad yang telah lama dipendam.

  • Kembalinya Gadis Terbuang   episode 5

    Kemenangan di acara amal masih terasa manis, tetapi bagi Liana dan Artha, itu hanyalah pembuka. Mereka perlu memastikan setiap langkah selanjutnya didasari bukti yang tak terbantahkan. "Kita butuh lebih dari sekadar gosip dan kesan," ujar Artha suatu sore di apartemen Liana, matanya menatap layar laptop yang penuh dengan data finansial Hartono Group. "Kita butuh bukti konkret yang bisa menghancurkan mereka secara hukum dan finansial."Liana mengangguk, pikirannya melayang pada semua percakapan dan kejadian yang pernah ia saksikan di kehidupan sebelumnya. "Karin... dia licik, tapi dia juga ceroboh. Dia percaya diri berlebihan. Dia pasti meninggalkan jejak.""Jejak digital," tambah Artha. "Dunia maya adalah medan perang berikutnya."Dengan sumber daya Artha, mereka merekrut seorang ahli keamanan siber dan etikal hacker yang handal, seorang pria muda bernama Danar yang dikenal dengan kemampuannya menelusuri lorong-lorong gelap internet tanpa meninggalkan jejak. Pertemuan dilakukan di seb

  • Kembalinya Gadis Terbuang   episode 4

    Kantor pribadi Artha di lantai tertinggi Wijaya Group telah menjadi ruang perang mereka. Tidak ada lagi kesan formal yang kaku. Di atas meja kayu jati yang luas, sekarang berserakan dokumen, tablet, dan papan tulis putih yang penuh dengan coretan strategi, garis waktu, dan nama-nama yang familier bagi Liana: Hartono Group, Karin, Heri Hartono (ayahnya), dan Linda Hartono (ibunya)."Mulai dari mana?" tanya Artha, duduk di seberangnya. Ia tidak lagi menyembunyikan rasa ingin tahunya yang besar terhadap sumber informasi Liana, tetapi juga tidak menekannya untuk penjelasan lebih lanjut. Ia menghormati batasan yang ditetapkan Liana.Liana menarik napas dalam. Menggali ingatan masa lalunya seperti membuka luka yang sudah mulai mengering. Setiap kenangan tentang pengkhianatan dan kelicikan masih terasa perih, tetapi sekarang, rasa sakit itu telah berubah menjadi bahan bakar."Kita mulai dari sini," ujarnya, menunjuk sebuah laporan keuangan kuartalan Hartono Group yang terbuka untuk publik. "

  • Kembalinya Gadis Terbuang   episode 3

    Kota itu bernapas dengan irama yang berbeda baginya sekarang. Di kehidupan sebelumnya, kota ini hanyalah pemandangan dari balik kaca mobil yang mengantarinya dari mal ke mal, dari les ke les. Sekarang, kota ini adalah sebuah medan pertempuran. Setiap hembusan napasnya adalah perjuangan, setiap langkah kakinya adalah keteguhan.Tas kecil di pundaknya terasa semakin berat, meski hanya berisi segelintir barang. Uang tabungannya yang tidak seberapa—hasil dari menyisihkan uang jajan selama bertahun-tahun—terasa menyusut dengan cepat di dompetnya. Kenyataan itu menghantamnya lebih keras dari kata-kata pengusiran Ayah. Kebebasan ternyata memiliki harga, dan harganya sangat mahal.Tiga hari telah berlalu sejak ia melangkah keluar dari rumah mewah yang dulu dinamainya 'rumah'. Tiga malam ia habiskan di sebuah losmen murah dengan kamar sempit yang berbau lembap dan kasur yang mengeluarkan bunyi reyot setiap kali ia bergerak. Suara lalu lalang dan klakson mobil di luar tidak pernah benar-benar r

  • Kembalinya Gadis Terbuang   episode 2

    Kematian itu sendiri tidak sakit. Yang sakit adalah saat-saat terakhirnya; rasa dingin yang menyusup ke sumsum tulang, rasa hampa saat semua harapan pupus, dan getirnya pengkhianatan yang menggerogoti jiwa. Itulah yang kurasakan sebelum segalanya menjadi gelap.Lalu, ada kehangatan.Sebuah sensasi aneh, bertolak belakang dengan kematianku yang dingin dan basah di lorong gelap. Aku merasakan sesuatu yang lembut di bawah tubuhku, bukan aspal kasar dan genangan air kotor. Ada wangi lembut yang familiar—aroma fabric conditioner merek tertentu yang selalu digunakan di rumah—bercampur dengan aroma buku tua dan tinta. Bau yang telah hilang dari hidupku selama bertahun-tahun.Aku memberanikan diri untuk membuka mata. Perlahan-lahan, dunia yang kabur mulai berfokus.Langit-langit putih dengan lampu kristal sederhana. Sebuah gorden sutra berwarna lavender yang tertiup angin lembut dari jendela yang terbuka. Matahari pagi menyelinap masuk, menerangi partikel debu yang menari-nari di udara.Ini..

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status