Share

episode 5

Author: Padil
last update Last Updated: 2025-12-10 13:21:43

Kemenangan di acara amal masih terasa manis, tetapi bagi Liana dan Artha, itu hanyalah pembuka. Mereka perlu memastikan setiap langkah selanjutnya didasari bukti yang tak terbantahkan. "Kita butuh lebih dari sekadar gosip dan kesan," ujar Artha suatu sore di apartemen Liana, matanya menatap layar laptop yang penuh dengan data finansial Hartono Group. "Kita butuh bukti konkret yang bisa menghancurkan mereka secara hukum dan finansial."

Liana mengangguk, pikirannya melayang pada semua percakapan dan kejadian yang pernah ia saksikan di kehidupan sebelumnya. "Karin... dia licik, tapi dia juga ceroboh. Dia percaya diri berlebihan. Dia pasti meninggalkan jejak."

"Jejak digital," tambah Artha. "Dunia maya adalah medan perang berikutnya."

Dengan sumber daya Artha, mereka merekrut seorang ahli keamanan siber dan etikal hacker yang handal, seorang pria muda bernama Danar yang dikenal dengan kemampuannya menelusuri lorong-lorong gelap internet tanpa meninggalkan jejak. Pertemuan dilakukan di sebuah ruang rahasia yang dilengkapi dengan perangkat keamanan maksimal.

"Targetnya adalah Karin Hartono," jelas Liana pada Danar, memberikan semua informasi yang ia ketahui tentang kebiasaan Karin: akun media sosialnya, alamat email yang mungkin digunakan, bahkan pola password yang sering dipakainya—kombinasi nama dan tanggal penting yang dengan mudah diingat Liana dari kehidupan sebelumnya.

Danar bekerja cepat. Dalam beberapa hari, ia berhasil memboboti akun cloud pribadi Karin yang ternyata tidak diamankan dengan baik. Di sanalah, harta karun bukti mulai bermunculan.

Bukan sekadar foto selfie atau rencana pesta. Yang mereka temukan jauh lebih berharga.

Pertama, ada scan surat-surat yang menunjukkan Karin secara diam-diam mentransfer sejumlah besar uang dari rekening perusahaan Hartono Group ke rekening pribadi atas nama "kebutuhan operasional event" yang fiktif. Jumlahnya kecil-kecil, tetapi sering, dan teraccumulasi menjadi miliaran rupiah dalam setahun.

Kedua, dan yang lebih mengerikan, adalah sebuah folder tersembunyi berisi screenshot percakapan W******p. Dalam percakapan itu, Karin terlihat memanipulasi laporan penjualan divisi retail keluarga dengan sengaja mencatatkan penjualan fiktif untuk menaikkan kinerja divisinya secara artifisial, sekaligus menyembunyikan kerugian dari proyek-proyek tertentu. Dia bahkan dengan sombong membanggakan hal ini pada seorang teman dekatnya, menulis: "Ayah tidak akan pernah tahu. Dia hanya lihat angka akhir yang cantik. Yang penting bonusku tetap jalan."

Artha memandang bukti-bukti di layar dengan perasaan campur aduk—marah pada kelicikan Karin, tapi juga puas melihat rencana mereka bekerja. "Ini baru dari perangkat pribadinya. Kita butuh lebih banyak. Kita butuh akses ke sistem internal perusahaan mereka."

Itu adalah tantangan yang lebih besar. Tapi Liana ingat sesuatu. Di kehidupan lalu, tak lama sebelum kematiannya, Karin pernah memarahi seorang staf IT karena tidak bisa mengakses data tertentu dari jarak jauh. "Dia pemalas. Dia ingin bisa akses semua data perusahaan dari mana saja, termasuk dari villa liburannya." Liana memberikan petunjuk ini pada Danar.

Danar, dengan keahliannya, mulai melacak kemungkinan backdoor atau akses remote yang mungkin dipasang Karin atau atas permintaannya. Beberapa jam kemudian, ia menemukannya: sebuah koneksi remote desktop yang tidak resmi terhubung ke server internal Hartono Group, diakses dari alamat IP yang sering dikaitkan dengan Karin.

"Ini dia," gumam Danar, jarinya menari di atas keyboard. "Dia memasang aplikasi remote akses ilegal. Keamanannya lemah. Password-nya... bisa ditebak." Dan, benar saja, dengan menggunakan pola yang sama dari petunjuk Liana, Danar berhasil masuk.

Dari sanalah, mereka mengumpulkan lebih banyak bukti. Email-email rahasia antara Karin dan beberapa vendor yang menunjukkan markup harga yang tidak wajar, dengan selisihnya ditransfer ke rekening shell company yang diduga kuat milik Karin. Laporan keuangan yang sengaja dimanipulasi untuk menutupi pembelian properti pribadi Karin yang mewah.

Setiap dokumen, setiap percakapan, diunduh dan disimpan rapi di dalam encrypted drive yang hanya bisa diakses oleh Liana dan Artha.

Malam itu, setelah Danar pergi dengan bayaran yang besar dan perjanjian kerahasiaan yang ketat, Liana dan Artha duduk memandangi kumpulan bukti yang telah mereka dapatkan.

"Ini... lebih dari yang kubayangkan," ucap Liana, merasa sedikit mual. Melihat betapa sistemik dan sempurnanya pengkhianatan Karin, bahkan terhadap keluarganya sendiri, membuatnya sadar betapa berbahayanya wanita itu.

"Dia bukan hanya licik, Liana. Dia adalah kriminal dalam balutannya sebagai putri sempurna," ujar Artha, wajahnya keras. "Dengan bukti-bukti ini, kita tidak hanya bisa merusak reputasinya. Kita bisa memenjarakannya."

Tapi Liana menggeleng. "Belum. Ini baru jejak digitalnya. Kita butuh lebih banyak. Kita butuh mata rantai yang lengkap. Kita butuh tahu siapa saja yang terlibat, dan bagaimana uang itu berputar." Dia menatap Artha. "Ini baru babak pertama. Kita baru membuka pintunya."

Artha setuju. Mereka memutuskan untuk tidak terburu-buru. Bukti-bukti ini akan disimpan, sementara mereka melanjutkan penyelidikan untuk mengungkap jaringan yang lebih luas. Mereka harus bergerak seperti bayangan, karena satu kesalahan kecil bisa membuat Karin menyadari dan menutupi semua jejaknya.

Saat fajar menyingsing, Liana masih duduk di depan komputernya, mata merah karena lelah, tetapi jiwa penuh dengan tekad. Jejak digital Karin telah membuka jalan. Sekarang, saatnya untuk mengikuti jejak itu menuju jantung dari semua korupsi dan pengkhianatan ini. Babak berikutnya akan membawa mereka lebih dalam ke dalam lubang ular yang selama ini tersembunyi di balik tirai kemewahan keluarga Hartono. Dengan bukti-bukti digital Karin yang sudah aman tersimpan, fokus Liana dan Artha beralih ke mata rantai berikutnya. Uang yang dicuri Karin tidak mungkin bekerja sendirian. Pasti ada orang-orang dalam perusahaan yang memungkinkan skemanya berjalan mulus.

"Karin tidak mungkin mengerti detail teknis manipulasi laporan penjualan atau markup vendor sendirian," tegas Liana, menatap papan mind map yang kini semakin kompleks. "Dia butuh kaki tangan."

Dari ingatan masa lalunya, ada satu nama yang sering muncul dalam percakapan keluarga saat membicarakan bisnis: Paman Rendra, adik dari Heri Hartono yang menjabat sebagai Direktur Operasional. Pria itu dikenal ambisius dan seringkali kurang ajar, tetapi selalu berhasil menutupi kesalahannya dengan hasil kerja yang—secara permukaan—tampak baik.

"Paman Rendra," gumam Artha, mengingat-ingat. "Dia punya akses penuh ke rantai pasok dan logistik. Dia yang menandatangani kontrak dengan vendor-vendor utama."

Itulah petunjuknya. Mereka memutuskan untuk menyelidiki Paman Rendra.

Memanfaatkan akses remote yang sudah mereka dapatkan dari perangkat Karin, Danar—si hacker—mulai menyusup ke sistem email dan file server di departemen operasional. Mereka tidak mengecewakan.

Dalam folder "Laporan Audit Internal" yang diarsipkan, mereka menemukan draft laporan yang "disensor". Laporan aslinya, yang ditulis oleh seorang auditor junior yang blak-blakan, menyoroti ketidakwajaran dalam kontrak dengan sebuah perusahaan pengiriman bernama "Cepat Makmur Logistics".

Harga yang dibebankan oleh Cepat Makmur jauh di atas pasaran. Yang lebih mencurigakan, perusahaan ini relatif baru dan alamatnya berpindah-pindah. Auditor junior itu secara tersirat menuduh adanya mark-up dan kolusi. Namun, laporan final yang sampai ke meja Heri Hartono sama sekali tidak menyebutkan hal ini. Draft kritis itu hilang, digantikan oleh laporan yang menyatakan "semua berjalan normal".

"Paman Rendra yang mematikannya," simpul Liana. "Dia pasti punya hubungan dengan perusahaan ini."

Penyelidikan lebih lanjut mengungkap kebenaran yang lebih mencengangkan. Cepat Makmur Logistics ternyata didirikan oleh seorang istri muda Paman Rendra yang disembunyikan! Uang dari mark-up harga pengiriman itu mengalir ke rekening perusahaan, lalu akhirnya ke kantong Paman Rendra sendiri.

Ini bukan lagi sekadar penyelewengan kecil. Ini adalah skema korupsi yang sistematis, menggerogoti perusahaan dari dalam dengan biaya operasional yang membengkak.

Tapi, bagaimana hubungannya dengan Karin?

Jawabannya datang dari riwayat chat yang berhasil diambil dari aplikasi pesan instan Karin. Dalam percakapan dengan Paman Rendra, Karin menulis: "Paman, transfer untuk 'tas baru' saya sudah masuk? Jangan lupa, laporan triwulan saya harus yang bagus. Kita sama-sama diuntungkan, kan?"

Paman Rendra membalas: "Tenang, keponakanku. Transfer sudah. Laporan divisimu akan tetap yang terbaik. Ayahmu tidak akan tahu apa-apa. Asal kamu jaga mulut tentang 'perusahaan pengiriman' saya."

Percakapan itu adalah bukti langsung yang menghubungkan korupsi Paman Rendra dengan manipulasi laporan Karin. Mereka bersekongkol. Karin membutuhkan laporan divisinya terlihat baik untuk mendapatkan bonus dan mempertahankan citranya, sementara Paman Rendra butuh "proteksi" dari Karin, yang memiliki pengaruh besar pada Heri, untuk menutupi skema korupsinya.

"Dua burung dengan satu batu," ujar Artha, wajahnya memerah karena marah. "Karin bukan hanya mencuri untuk dirinya sendiri, dia juga melindungi pencuri lain dengan imbalan."

Liana merasa dadanya sesak. Betapa busuknya fondasi keluarga yang dulu ia pikir sempurna ini. Bukan hanya Karin, tetapi juga pamannya sendiri, dengan rakus menggerogoti bisnis yang seharusnya menjadi warisan untuk generasi berikutnya.

Mereka sekarang memiliki bukti yang cukup untuk menjatuhkan Paman Rendra. Tapi mereka memutuskan untuk menahan diri. Menyerang Paman Rendra sekarang akan membuat Karin waspada dan mungkin menghancurkan semua bukti yang tersisa.

"Kita biarkan dia bergantung pada tali ini sedikit lebih lama," bisik Liana, matanya penuh dengan tekad yang dingin. "Kita perlu memastikan kita memiliki semua bukti untuk menghancurkan mereka sekaligus."

Mereka menyimpan semua bukti tentang Paman Rendra dengan aman, bersebelahan dengan folder bukti Karin. Jaring mulai menyempit, dan dua target utama sekarang sudah teridentifikasi dengan jelas. Permainan kucing dan tikus ini semakin berbahaya, tetapi Liana dan Artha tahu, mereka memegang semua kartu truf. Dengan dua set bukti kuat di tangan—jejak digital Karin dan skema korupsi Paman Rendra—Liana dan Artha merasa sudah waktunya untuk mencari smoking gun, bukti yang tak terbantahkan yang bisa menghancurkan Karin secara personal dan profesional. Mereka butuh sesuatu yang lebih dari sekadar dokumen; mereka butuh rekaman langsung.

"Karin sombong dan ceroboh, tapi dia tidak bodoh," ujar Liana suatu malam, menatap kota dari balkon apartemennya. "Dia pasti punya jaminan, sesuatu yang bisa dia gunakan untuk melindungi diri jika segala sesuatunya berjalan buruk."

Artha setuju. "Dia mungkin menyimpan sesuatu untuk berjaga-jaga. Sesuatu yang bisa menjatuhkan orang lain, mungkin bahkan orang tuamu sendiri, jika dia terdesak."

Mereka memutuskan untuk memantau setiap gerakan Karin lebih ketat. Dengan sumber daya Artha, mereka menyewa tim pengawal swasta yang handal untuk melacak aktivitasnya. Selama beberapa hari, tidak ada yang mencurigakan—hanya rutinitas belanja, pertemuan sosial, dan kunjungan ke kantor.

Hingga akhirnya, laporan datang: Karin mengunjungi sebuah klub anggur eksklusif di kawasan segitiga emas, sebuah tempat yang dikenal sebagai lokasi pertemuan bisnis rahasia para elite. Yang menarik, dia bertemu dengan Bobby Lim, direktur utama dari Sinarmas Capital, salah satu rival terberat Hartono Group dan Wijaya Group.

"Ini dia," bisik Artha, matanya berbinar. "Kita harus tahu apa yang mereka bicarakan."

Memasang alat penyadap di klub anggur itu hampir mustahil. Tapi Liana ingat sesuatu. Di kehidupan sebelumnya, Karin sering membual tentang "tas barunya yang memiliki fitur keamanan canggih dengan GPS dan recorder tersembunyi"—sebuah hadiah dari seorang pejabat yang ingin berbisnis dengan keluarganya. Karin menggunakannya untuk merekam percakapan penting sebagai "jaminan".

"Dia merekam percakapannya sendiri," ujar Liana pada Artha. "Jika dia bertemu Bobby Lim, dia pasti akan merekamnya. Itu adalah kebiasaannya."

Mereka butuh akses ke tas itu. Kesempatan datang ketika Karin menghadiri pesta spa di sebuah hotel mewah. Dengan bantuan seorang staf hotel yang "disewa" Artha, Liana—yang menyamar sebagai terapis—berhasil memasuki ruang ganti pribadi Karin. Tas biru Hermès itu ada di sana, tergantung dengan sombongnya.

Dengan jantung berdebar kencang, Liana dengan cepat menemukan port micro-USB tersembunyi di bagian dalam tas. Dia menghubungkannya dengan sebuah device khusus pemberian Danar yang dalam hitungan detik mengunduh semua data audio yang tersimpan di memori internal tas.

Sore itu, di markas mereka, mereka mendengarkan rekaman itu. Suara Karin dan Bobby Lim terdengar jelas, meski diselingi gemerisik dan denting gelas.

"Keluarga Hartono lemah, Bobby," suara Karin terdengar percaya diri. "Ayah sudah tua dan tidak waspada. Ibu hanya peduli dengan penampilan. Perusahaan ini seperti buah ranum yang siap dipetik."

"Dan kamu akan membantuku memetiknya?" tanya Bobby Lim, suaranya berliku-liku.

"Tentu. Aku punya akses ke semua data. Strategi akuisisi, laporan keuangan internal, bahkan rencana lima tahun ke depan. Semua bisa menjadi milikmu."

"Sebagai gantinya?"

"Aku ingin jaminan. Posisi di Sinarmas Capital, dengan gaji dan wewenang yang setara. Dan... perlindungan. Jika sesuatu terjadi pada Hartono Group, aku tidak ingin ikut tenggelam. Aku sudah menyiapkan segalanya untuk melompat kapal."

Rekaman itu berlanjut dengan Karin memberikan contoh data rahasia—proyek rahasia Hartono Group di Bali yang rencananya akan diumumkan bulan depan. Bobby Lim terdengar sangat tertarik.

Mendengarkan pengkhianatan telanjang ini, Liana merasa mual. Karin tidak hanya merampas keluarganya, tetapi juga bersiap untuk menjualnya kepada musuh. Ini jauh lebih buruk dari yang dia bayangkan.

"Ini dia," ucap Artha, mematikan rekaman. Wajahnya pucat. "Smoking gun-nya. Dia bukan hanya koruptor, dia adalah pengkhianat."

Rekaman ini, jika dirilis, tidak hanya akan menghancurkan karier Karin, tetapi juga akan membuatnya berhadapan dengan tuntutan hukum untuk membocorkan rahasia dagang dan konspirasi. Ini adalah pukulan mematikan.

Tapi Liana menarik napas dalam. "Kita simpan ini. Kita kumpulkan lebih banyak lagi. Kita pastikan ketika kita menyerang, tidak ada celah bagi mereka untuk bangkit."

Mereka sekarang memiliki tiga senjata pamungkas: bukti pencurian Karin, bukti kolusinya dengan Paman Rendra, dan sekarang, bukti pengkhianatannya yang paling dalam. Jaring sudah hampir menutup. Tinggal menunggu waktu yang tepat untuk menarik talinya. Dengan tiga set bukti mematikan yang telah dikumpulkan, suasana di markas Liana dan Artha penuh dengan ketegangan yang hampir teraba. Mereka kini memegang kunci untuk meruntuhkan seluruh kekuatan Karin dan kaki tangannya. Namun, Artha, dengan pikiran strategisnya, mengingatkan akan bahaya yang masih mengintai.

"Kita sudah memiliki semua yang kita butuhkan," ujarnya, menatap tumpukan file digital yang tersimpan rapi di dalam encrypted drive. "Tapi menyerang sekarang seperti membunyikan alarm. Karin dan Paman Rendra masih punya sumber daya dan koneksi untuk melawan balik, atau setidaknya menghancurkan bukti-bukti lainnya."

Liana mengangguk, memahami sepenuhnya. "Kita harus memastikan bahwa ketika kita melancarkan serangan, itu adalah pukulan tunggal yang menghabisi mereka. Tidak ada ruang untuk recovery." Pikirannya bekerja cepat, menganalisis setiap kemungkinan. "Kita juga harus membersihkan jejak kita. Jika mereka menyadari telah disusupi, mereka bisa berbalik menyerang kita dengan tuduhan peretasan atau pelanggaran privasi."

Mereka pun menyusun rencana akhir dengan cermat. Pertama, mereka meminta Danar untuk melakukan "pembersihan" menyeluruh. Semua jejak digital penyusupan mereka ke sistem Hartono Group dihapus dengan metode zero footprint. Akses remote dari perangkat Karin diputuskan dengan cara yang terlihat seperti gangguan teknis biasa. Log aktivitas di server diperbersihkan. Mereka meninggalkan ranjau digital yang akan mengacaukan penyelidikan IT jika Karin dan Paman Rendra curiga dan memeriksa ulang.

Kedua, mereka membuat salinan fisik dan digital dari semua bukti, menyimpannya di beberapa lokasi aman yang berbeda—safety deposit box, cloud pribadi yang dienkripsi dengan ketat, dan satu set diserahkan kepada pengacara kepercayaan Artha dengan instruksi untuk hanya membukanya jika terjadi sesuatu pada mereka.

Ketiga, dan yang paling penting, mereka menyusun dossier lengkap seperti sebuah narasi. Mereka tidak hanya mengumpulkan bukti, tetapi juga merangkainya menjadi sebuah cerita yang mudah dipahami dan tak terbantahkan. Mulai dari pencurian dana kecil-kecilan oleh Karin, kolusinya dengan Paman Rendra dalam skema mark-up vendor, hingga puncaknya: rekaman pembocoran rahasia perusahaan kepada Bobby Lim. Setiap bagian dilengkapi dengan transkrip, analisis, dan keterangan yang jelas.

Menyusun dossier ini seperti menyusun puzzle akhir dari sebuah perjalanan panjang yang penuh luka bagi Liana. Setiap dokumen, setiap rekaman, adalah pengingat akan betapa dalamnya pengkhianatan yang ia alami.

"Ketika kita merilis ini," bisik Liana suatu malam, jarinya menelusuri garis-garis transkrip rekaman Karin dan Bobby Lim di layar komputernya, "tidak hanya Karin yang akan hancur. Keluarga Hartono... reputasi mereka akan luluh lantak."

Artha meletakkan tangan di bahunya, memberikan ketenangan. "Mereka telah membangun istana mereka di atas pasir, Liana. Dan kita hanya menunjukkan pada dunia betapa rapuhnya fondasi itu."

Liana menatapnya, rasa haru dan kebencian bertarung dalam dadanya. "Aku tidak ingin menghancurkan bisnis Ayah... tapi mereka tidak memberiku pilihan. Mereka memilih untuk mempercayai kebohongan, dan sekarang mereka harus menghadapi kebenaran."

Setelah seminggu bekerja tanpa henti, dossier akhir pun selesai. Sebuah dokumen setebal 200 halaman yang berisi kronologi, analisis, dan semua bukti pendukung yang bisa menghancurkan hidup Karin dan Paman Rendra, serta membawa nama Hartono Group ke ambang kehancuran.

Mereka menyimpannya, belum digunakan. Mereka menunggu momen yang tepat—sebuah acara besar dimana seluruh keluarga Hartono, termasuk Karin dan Paman Rendra, akan hadir di depan publik. Sebuah panggung dimana kejatuhan mereka akan memiliki dampak paling maksimal.

Saat mereka berdiri di balkon, memandang kota yang tenang di malam hari, Liana menarik napas dalam. Jejak kaki mereka di pasir telah dibersihkan. Senjata mereka sudah diasah dan siap. Sekarang, tinggal menunggu waktu untuk menyerang.

"Tidak ada jalan kembali lagi, kan?" tanya Liana, suaranya hampir berbisik.

Artha menggenggam tangannya. "Tidak ada. Tapi kali ini, kau tidak sendirian. Kita akan menghadapi ini bersama."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kembalinya Gadis Terbuang   episode 7

    Kemenangan atas kejatuhan keluarga Hartono ternyata tidak serta merta membawa kedamaian yang diharapkan Liana. Meski rasa dendamnya telah terbalaskan, sebuah kehampaan yang aneh justru mengisi relung hatinya. Kehidupan barunya yang serba berkecukupan dan penuh kebebasan terasa... datar. Seolah ada sesuatu yang masih kurang.Suatu sore, Artha mengajaknya mengunjungi sebuah pameran seni kontemporer. "Kita butuh mengalihkan pikiran," ujarnya, mencoba membaca suasana hati Liana yang muram sejak acara peluncuran yang berantakan itu.Pameran itu diadakan di sebuah galeri tua yang telah direnovasi. Karya-karya seni instalasi memenuhi ruangan, namun satu karya tertentu menarik perhatian Artha. Sebuah instalasi video yang menampilkan rekaman dokumenter hitam putih tentang kehidupan di panti asuhan pada era 90-an. Layar besar menampilkan anak-anak dengan pakaian lusuh bermain di halaman yang gersang.Liana memperhatikan Artha yang tiba-tiba diam membatu. Wajahnya yang biasanya penuh percaya dir

  • Kembalinya Gadis Terbuang   episode 6

    Enam minggu telah berlalu sejak mereka menyelesaikan dossier mematikan itu. Enam minggu penuh ketegangan dan kesabaran. Liana dan Artha tahu, mereka butuh panggung yang tepat—sebuah momen dimana kejatuhan Karin akan memiliki dampak terbesar, di depan orang-orang yang paling dia pedulikan: para elite sosial, rekan bisnis, dan tentu saja, keluarganya sendiri.Kesempatan itu akhirnya datang. Hartono Group akan menggelar acara peluncuran mega-proyek terbaru mereka, "Hartono Eco-Skyline", sebuah kawasan hunian super mewah dan ramah lingkungan. Acara ini akan dihadiri oleh seluruh jajaran direksi, investor, selebriti papan atas, dan tentu saja, seluruh keluarga Hartono. Karin, sebagai director of public relations, akan menjadi salah satu pembicara kunci. Ini adalah momen puncak baginya, dan itulah yang membuatnya sempurna untuk dihancurkan."Kita harus berada di sana," ujar Liana suatu pagi, menatap brosur elektronik acara yang mewah. Matanya berbinar dengan tekad yang telah lama dipendam.

  • Kembalinya Gadis Terbuang   episode 5

    Kemenangan di acara amal masih terasa manis, tetapi bagi Liana dan Artha, itu hanyalah pembuka. Mereka perlu memastikan setiap langkah selanjutnya didasari bukti yang tak terbantahkan. "Kita butuh lebih dari sekadar gosip dan kesan," ujar Artha suatu sore di apartemen Liana, matanya menatap layar laptop yang penuh dengan data finansial Hartono Group. "Kita butuh bukti konkret yang bisa menghancurkan mereka secara hukum dan finansial."Liana mengangguk, pikirannya melayang pada semua percakapan dan kejadian yang pernah ia saksikan di kehidupan sebelumnya. "Karin... dia licik, tapi dia juga ceroboh. Dia percaya diri berlebihan. Dia pasti meninggalkan jejak.""Jejak digital," tambah Artha. "Dunia maya adalah medan perang berikutnya."Dengan sumber daya Artha, mereka merekrut seorang ahli keamanan siber dan etikal hacker yang handal, seorang pria muda bernama Danar yang dikenal dengan kemampuannya menelusuri lorong-lorong gelap internet tanpa meninggalkan jejak. Pertemuan dilakukan di seb

  • Kembalinya Gadis Terbuang   episode 4

    Kantor pribadi Artha di lantai tertinggi Wijaya Group telah menjadi ruang perang mereka. Tidak ada lagi kesan formal yang kaku. Di atas meja kayu jati yang luas, sekarang berserakan dokumen, tablet, dan papan tulis putih yang penuh dengan coretan strategi, garis waktu, dan nama-nama yang familier bagi Liana: Hartono Group, Karin, Heri Hartono (ayahnya), dan Linda Hartono (ibunya)."Mulai dari mana?" tanya Artha, duduk di seberangnya. Ia tidak lagi menyembunyikan rasa ingin tahunya yang besar terhadap sumber informasi Liana, tetapi juga tidak menekannya untuk penjelasan lebih lanjut. Ia menghormati batasan yang ditetapkan Liana.Liana menarik napas dalam. Menggali ingatan masa lalunya seperti membuka luka yang sudah mulai mengering. Setiap kenangan tentang pengkhianatan dan kelicikan masih terasa perih, tetapi sekarang, rasa sakit itu telah berubah menjadi bahan bakar."Kita mulai dari sini," ujarnya, menunjuk sebuah laporan keuangan kuartalan Hartono Group yang terbuka untuk publik. "

  • Kembalinya Gadis Terbuang   episode 3

    Kota itu bernapas dengan irama yang berbeda baginya sekarang. Di kehidupan sebelumnya, kota ini hanyalah pemandangan dari balik kaca mobil yang mengantarinya dari mal ke mal, dari les ke les. Sekarang, kota ini adalah sebuah medan pertempuran. Setiap hembusan napasnya adalah perjuangan, setiap langkah kakinya adalah keteguhan.Tas kecil di pundaknya terasa semakin berat, meski hanya berisi segelintir barang. Uang tabungannya yang tidak seberapa—hasil dari menyisihkan uang jajan selama bertahun-tahun—terasa menyusut dengan cepat di dompetnya. Kenyataan itu menghantamnya lebih keras dari kata-kata pengusiran Ayah. Kebebasan ternyata memiliki harga, dan harganya sangat mahal.Tiga hari telah berlalu sejak ia melangkah keluar dari rumah mewah yang dulu dinamainya 'rumah'. Tiga malam ia habiskan di sebuah losmen murah dengan kamar sempit yang berbau lembap dan kasur yang mengeluarkan bunyi reyot setiap kali ia bergerak. Suara lalu lalang dan klakson mobil di luar tidak pernah benar-benar r

  • Kembalinya Gadis Terbuang   episode 2

    Kematian itu sendiri tidak sakit. Yang sakit adalah saat-saat terakhirnya; rasa dingin yang menyusup ke sumsum tulang, rasa hampa saat semua harapan pupus, dan getirnya pengkhianatan yang menggerogoti jiwa. Itulah yang kurasakan sebelum segalanya menjadi gelap.Lalu, ada kehangatan.Sebuah sensasi aneh, bertolak belakang dengan kematianku yang dingin dan basah di lorong gelap. Aku merasakan sesuatu yang lembut di bawah tubuhku, bukan aspal kasar dan genangan air kotor. Ada wangi lembut yang familiar—aroma fabric conditioner merek tertentu yang selalu digunakan di rumah—bercampur dengan aroma buku tua dan tinta. Bau yang telah hilang dari hidupku selama bertahun-tahun.Aku memberanikan diri untuk membuka mata. Perlahan-lahan, dunia yang kabur mulai berfokus.Langit-langit putih dengan lampu kristal sederhana. Sebuah gorden sutra berwarna lavender yang tertiup angin lembut dari jendela yang terbuka. Matahari pagi menyelinap masuk, menerangi partikel debu yang menari-nari di udara.Ini..

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status