LOGINKota itu bernapas dengan irama yang berbeda baginya sekarang. Di kehidupan sebelumnya, kota ini hanyalah pemandangan dari balik kaca mobil yang mengantarinya dari mal ke mal, dari les ke les. Sekarang, kota ini adalah sebuah medan pertempuran. Setiap hembusan napasnya adalah perjuangan, setiap langkah kakinya adalah keteguhan.
Tas kecil di pundaknya terasa semakin berat, meski hanya berisi segelintir barang. Uang tabungannya yang tidak seberapa—hasil dari menyisihkan uang jajan selama bertahun-tahun—terasa menyusut dengan cepat di dompetnya. Kenyataan itu menghantamnya lebih keras dari kata-kata pengusiran Ayah. Kebebasan ternyata memiliki harga, dan harganya sangat mahal. Tiga hari telah berlalu sejak ia melangkah keluar dari rumah mewah yang dulu dinamainya 'rumah'. Tiga malam ia habiskan di sebuah losmen murah dengan kamar sempit yang berbau lembap dan kasur yang mengeluarkan bunyi reyot setiap kali ia bergerak. Suara lalu lalang dan klakson mobil di luar tidak pernah benar-benar reda, mengingatkannya bahwa ia sekarang sendirian, benar-benar sendirian. "Hari terakhir," bisiknya pada diri sendiri sambil merapikan kamar losmen yang menyedihkan itu. Uangnya hanya cukup untuk membayar sampai pagi ini. Ia harus menemukan tempat lain, atau lebih baik lagi, sebuah pekerjaan. Dengan peta kota sederhana yang ia ambil dari stasiun kereta, ia berjalan menuju sebuah daerah yang dikenal sebagai tempat berkumpulnya agen pekerjaan serabutan. Jalannya sudah tidak lagi ragu. Setiap langkahnya di trotoar yang padat adalah sebuah penegasan. Ia bukan lagi Liana yang manja dan polos. Ia adalah seorang yang memiliki misi. "Maaf, tidak butuh," ucap seorang pemilik toko kelontong, menggeleng sebelum Liana sempat membuka mulut. Ia baru saja melihat Liana berdiri agak lama di depan tokonya yang sedang sibuk. Liana hanya mengangguk, lalu pergi. Ini adalah penolakan kelima pagi ini. Wajah-wajah yang curiga, tatapan yang meragukan. Tanpa alamat tetap, tanpa pengalaman kerja yang tercatat, ia adalah seorang yang tidak terlihat kredibel di mata dunia. Namun, di balik setiap penolakan, matanya justru semakin tajam. Ia belajar. Ia mengamati cara orang-orang berinteraksi, jenis pekerjaan apa yang dibutuhkan, dan bagaimana caranya menarik perhatian. Sampai akhirnya, di sebuah sudut jalan yang agak sepi, matanya menangkap sebuah papan kecil yang digantung di sebuah kedai kopi sederhana. "Dibutuhkan Pelayan dan Pencuci Piring. Bayaran Harian." Dengan menarik napas dalam, ia memasuki kedai itu. Aroma kopi pahit dan saus mie instan memenuhi udara. Seorang wanita paruh baya dengan wajah lelah dan celemek kotor sedang membersihkan meja. "Permisi, Bu. Saya melihat lowongan itu," ucap Liana, berusaha membuat suaranya terdengar percaya diri. Wanita itu, yang kemudian memperkenalkan diri sebagai Bu Rina, memandanginya dari ujung kepala sampai ujung kaki. "Kau terlalu... bersih untuk kerja di sini, Nak. Ini kerja keras. Dari pagi sampai larut. Bayarannya tidak seberapa." "Saya bisa bekerja keras, Bu," jawab Liana tegas. "Dan saya butuh pekerjaan itu. Saya bisa mulai sekarang." Bu Rina tampak ragu, tetapi mungkin melihat keteguhan di mata Liana yang tidak biasa untuk seorang gadis seusianya, akhirnya ia menghela napas. "Baiklah. Tapi ini masa percobaan. Kalau tidak bisa, ya pulang. Gaji harian, bayar di akhir shift. Kau bisa cuci piring dulu, tumpukan di belakang sudah menggunung." Tanpa banyak bicara, Liana mengangguk dan berjalan ke belakang. Di sana, ia disambut oleh tumpukan piring, gelas, dan panci berminyak yang sungguh-sungguh menggunung. Bau sisa makanan dan sabun cuci yang murah memenuhi area sempit itu. Tanpa mengeluh, ia mengikat rambutnya, mengenakan celemek karet yang disodorkan, dan menyalakan air. Tangan-tangan mungilnya yang dulu hanya memegang pena dan gawai, kini mencengkeram spons kasar dan menyeka kotoran yang membandel. Air sabun yang berminyak memerciki wajah dan lengan bajunya. Setiap piring yang ia bersihkan adalah sebuah pengingat. Pengingat akan kelemahannya di kehidupan lalu. Pengingat akan kenyamanan yang telah direnggut darinya. Pengingat akan Karin, yang saat ini mungkin sedang menikmati sarapan mewah di teras belakang rumah mereka. Rasa lelah mulai menyergap, tapi rasa itu dipadamkan oleh kobaran api di dalam hatinya. Ini bukan tentang mencuci piring. Ini tentang bertahan hidup. Ini tentang membangun fondasi. Setiap tetes keringat adalah investasi untuk masa depannya. Di sela-sela kesibukannya, pikirannya bekerja. Ia mengingat-ingat informasi dari kehidupan sebelumnya. Perusahaan mana yang akan bangkit, tren pasar apa yang akan datang, dan—yang paling penting—jejak kelicikan dan penyelewengan bisnis yang dilakukan oleh keluarganya dan Karin. Semua itu adalah senjata yang suatu hari akan ia gunakan. "Sekarang, tahan lapar. Sekarang, tahan lelah," bisiknya pada diri sendiri sementara tangannya tanpa henti menggosok sebuah panci yang gosong. "Karena suatu hari nanti, mereka semua yang telah merendahkanmu, yang telah membuangmu, akan melihatmu berdiri di tempat yang tidak bisa mereka jangkau." Saat shift pertamanya berakhir, tangannya merah dan kulit jari-jemarinya keriput. Bu Rina memberinya selembar uang yang tidak seberapa, tapi terasa lebih berharga dari apapun yang pernah ia terima. "Kau bekerja keras, Nak," ucap Bu Rina, nada suaranya sedikit lebih hangat dari sebelumnya. "Besok datang lagi. Jam enam pagi." "Baik, Bu. Terima kasih," jawab Liana, dengan sedikit anggukan. Dia keluar dari kedai kopi itu, tubuhnya lelah tetapi jiwanya terasa lebih ringan. Ia telah melewati hari pertamanya. Ia telah mendapatkan pijakan, sekecil apapun itu. Langkahnya meninggalkan kedai itu bukan lagi langkah seorang pengungsi, melainkan langkah seorang pejuang yang telah memenangkan pertempuran pertamanya. Malam ini, ia mungkin masih harus mencari losmen yang lebih murah, tapi setidaknya, ada secercah keyakinan bahwa rencananya, perlahan-lahan, mulai bekerja. Minggu-minggu berlalu dalam irama yang monoton namun melelahkan. Bangun sebelum subuh, bekerja di kedai kopi hingga sore, lalu menghabiskan malam di kamar losmen murahnya yang baru—sebuah ruangan di lantai tiga sebuah bangunan tua yang lebih menyerupai gudang. Tapi setidaknya, ia telah menemukan cara untuk bertahan. Namun, sekadar bertahan tidak cukup. Visi besarnya adalah balas dendam, dan untuk itu, ia membutuhkan sekutu yang kuat. Satu nama terus terngiang di pikirannya: Artha Wijaya. Di kehidupan sebelumnya, Artha adalah seorang konglomerat muda yang pemberitaannya sering menghiasi majalah bisnis. Perusahaannya, Wijaya Group, tumbuh pesat dengan investasi di sektor properti dan teknologi. Yang paling penting, dari ingatannya, Artha memiliki konflik bisnis terselubung dengan ayahnya. Mereka adalah rival, meski tidak terang-terangan. Hari ini, setelah shift paginya berakhir, Liana tidak langsung pulang. Ia mandi dan berganti pakaian yang paling rapi—sebuah blus putih sederhana dan celana hitam yang sudah sedikit pudar. Di dompetnya, tersimpan sisa uang yang ia kumpulkan dengan susah payah. Uang itu akan ia habiskan untuk satu tujuan: secangkir kopi di "The Atrium", sebuah kafe mewah di lantai dasar gedung perkantoran tempat kantor pusat Wijaya Group berada. Berdasarkan penelitiannya dari artikel dan wawancara, Artha memiliki kebiasaan bekerja di kafe itu setiap Kamis sore, menikmati espresso tunggal sebelum melanjutkan rapat. Ini adalah kebetulan yang harus ia ciptakan. Jantungnya berdebar kencang saat ia mendorong pintu kaca berat kafe itu. Suasana inside-nya tenang dan elegan, sangat kontras dengan kedai kopi tempatnya bekerja. Aroma kopi spesialitas menggantikan bau mie instan. Dengan sikap percaya diri yang dipaksakan, ia memesan espresso termurah dan memilih meja kecil yang persis berada di seberang tempat favorit Artha—sebuah sudut dengan tanaman hias yang memberikan privasi sekaligus pandangan yang baik ke seluruh ruangan. Ia mengeluarkan buku catatan kecil dan pulpen murah, berpura-pura sibuk dengan tulisannya. Tapi seluruh inderanya waspada. Dan tepat waktu, seperti yang "diramalnya", pria itu muncul. Artha Wijaya. Tampak lebih muda dari yang ia ingat di berita-berita, tetapi memiliki aura yang sama—berwibawa, tajam, dan sedikit terisolasi oleh kekuatannya sendiri. Ia mengenakan kemeja linen abu-abu yang sederhana namun terlihat mahal. Ia melangkah langsung ke mejanya, duduk, dan tak lama kemudian, seorang pelayan menghidangkan segelas espresso tanpa perlu diperintah. Liana menelan ludah. Ini adalah momennya. Dia mengambil napas dalam-dalam, mengingat kembali satu informasi kunci. Di kehidupan lalu, sekitar sebulan setelah kematiannya, terjadi sebuah skandal kecil terkait proyek properti Ayahnya. Sebuah lahan yang dibeli murah ternyata memiliki sengketa kepemilikan yang rumit dan terlibat dengan preman. Artha, yang juga mengincar lahan itu, berhasil menghindari masalah tersebut karena mendapat informasi lebih awal. Informasi yang sekarang ada di genggamannya. Dengan langkah yang tenang, ia berdiri dan mendekati meja Artha. Seorang pria berkacamata yang duduk di meja tidak jauh darinya—kemungkinan ajudan atau pengawal—langsung waspada. "Maaf mengganggu, Tuan Wijaya," ucap Liana, suaranya jernih meski jantungnya berdebar kencang. Artha mengangkat pandangannya. Matanya yang hitam dan analitis menyapu Liana dengan cepat, mencatat pakaiannya yang sederhana, tapi juga ketenangan di postur tubuhnya. "Bisa saya bantu?" "Saya hanya ingin memberikan satu saran, jika Anda berkenan," kata Liana, menjaga kontak mata. "Terkait lelang lahan di kawasan Menteng minggu depan. Ada baiknya tim due diligence Anda menyelidiki lebih dalam tentang pemilik sebelumnya, khususnya seorang bernama Johan Kuncoro. Sejarahnya... bermasalah. Bisa menimbulkan konsekuensi hukum dan reputasi di kemudian hari." Wajah Artha tetap tak tergambar, tetapi ada sedikit perubahan di matanya—sebuah kilatan kejutan dan keingintahuan yang cepat sekali disembunyikan. "Dan atas dasar apa kamu memberikan saran ini?" Liana tersenyum tipis. "Anggap saja saya adalah seseorang yang tidak ingin melihat Wijaya Group terjerat masalah yang tidak perlu. Terima kasih atas waktunya, Tuan." Dia mengangguk sopan, lalu berbalik dan berjalan kembali ke mejanya, meninggalkan Artha yang terdiam. Dia tidak menunggu respons lebih lanjut. Tujuannya bukan untuk mendapatkan pekerjaan atau bantuan saat itu juga. Tujuannya adalah untuk menanamkan benih. Benih keingintahuan. Dia menyelesaikan espressonya yang pahit, membayarnya, dan pergi tanpa melihat ke belakang. Tapi ia bisa merasakan pandangan Artha yang menancap di punggungnya. Di luar, napasnya terengah, campuran antara gugup dan sebuah kemenangan kecil. Ia telah melangkah ke papan catur. Langkah pertamanya telah diambil. Sekarang, ia harus menunggu dan melihat bagaimana bidak itu akan dimainkan oleh sang raja. Benar. Esok harinya, seorang pria berkacamata—sama yang kemarin—menemui Bu Rina di kedai kopi dan menanyakan tentang "seorang pelayan bernama Liana". Bu Rina, dengan heran, memanggil Liana yang sedang mengangkat galon air. "Ada yang mencarimu, Nak." Liana menoleh. Pria berkacamata itu menyodorkan kartu namanya. "Tuan Wijaya ingin bertemu dengan Anda. Besok, jam 3 sore, di kantornya." Liana menerima kartu itu. Di tangannya, terasa seperti sebuah tiket. Tiket menuju arena pertarungan yang sebenarnya. Ia hanya mengangguk. "Sampaikan terima kasih. Saya akan datang." Pria itu pergi, dan Liana kembali mengangkat galon air. Tapi di dalam hatinya, sebuah senyuman kepuasan mulai merekah. Rencananya bekerja. Kantor pusat Wijaya Group menjulang tinggi, berkilau di bawah terik matahari. Liana berdiri di depannya, mengenakan satu-satunya setelan yang agak layak—blus putih dan celana hitam yang telah ia setrika semalaman dengan hati-hati. Jantungnya berdebar, tetapi bukan karena gugup. Ini adalah adrenalin seorang prajurit yang akan memasuki medan pertempuran. Ia disambut oleh resepsionis yang ramah namun penuh penilaian, dan kemudian diantar oleh pria berkacamata yang kemarin—yang memperkenalkan diri sebagai Bimo, asisten pribadi Artha—naik ke lantai paling atas. Lift yang sunyi dan cepat membawanya ke sebuah lorong yang hening, berlapis karpet tebal. Suara langkahnya nyaris tidak terdengar. Bimo mengetuk pintu kayu gelap yang megah, dan dari dalam terdengar suara, "Masuk." Ruangan itu luas, dengan dinding kaca dari lantai ke langit-langit yang menawarkan pemandangan kota yang spektakuler. Interiornya minimalis, elegan, dan fungsional. Di belakang sebuah meja kerja yang besar, duduk Artha Wijaya. Ia mengenakan kemeja putih dengan lengan digulung hingga siku, tatapannya langsung tertuju pada Liana seakan-akan ia adalah sebuah laporan keuangan yang menarik. "Silakan duduk," ucap Artha, gestur tangannya menunjukkan pada kursi di seberang meja kerjanya. "Terima kasih atas waktunya, Tuan Wijaya," ucap Liana sambil duduk dengan postur yang tegap. "Panggil saja Artha." Ia menyatukan kedua tangannya di atas meja. "Informasimu tentang lahan di Menteng... cukup akurat. Tim due diligence saya memang menemukan beberapa... kejanggalan dengan pemilik sebelumnya setelah saya meminta penyelidikan lebih lanjut." Liana hanya mengangguk. Ia tahu informasi itu akurat. Itu adalah sejarah. "Yang membuat saya penasaran," lanjut Artha, matanya menyelidik, "adalah bagaimana seorang gadis muda yang bekerja sebagai pelayan di kedai kopi bisa memiliki akses ke informasi seperti itu?" Liana sudah mempersiapkan jawaban untuk ini. "Setiap orang memiliki jaringan dan caranya masing-masing, Tuan... Artha. Yang penting, informasi itu valid dan bisa berguna bagi Anda." Artha terdiam sejenak, mempelajarinya. "Baiklah. Katakan ada kebenaran dalam informasimu. Itu membuat saya menghindari potensi kerugian yang tidak kecil. Sebagai balasannya, saya ingin menawarkanmu sesuatu. Sebuah... ujian." Liana mengangkat alisnya, penuh minat. "Saya memiliki pertemuan informal dengan seorang klien potensial dari Jepang sore ini di lounge hotel. Dia sangat menyukai seni dan keramikan tradisional. Kebetulan, ada pameran kecil keramik kuno di lobi hotel yang sama." Artha mengamati reaksinya. "Tugasmu adalah menemani kami, dan jika ada kesempatan, berikanlah komentar atau informasi yang relevan tentang pameran itu. Buatlah percakapan menjadi lebih... hidup." Ini adalah ujian yang cerdas. Bukan hanya tentang kecerdasan, tapi juga tentang pergaulan, kemampuan berkomunikasi, dan yang terpenting, insting. Apakah ia bisa membaca situasi dan memberikan nilai tambah? "Saya paham," jawab Liana sederhana. Beberapa jam kemudian, Liana berdiri di lounge hotel mewah, mengenakan blus yang sama. Artha dan kliennya, Tuan Tanaka, sedang berbincang santai. Liana memperhatikan dengan saksama. Artha memperkenalkannya sebagai "seorang associate yang sangat menjanjikan", sebuah gelar samar yang memberikan ruang gerak. Percakapan mengalir ke topik budaya. Liana, yang telah menghabiskan banyak waktu di perpustakaan umum di kehidupan sebelumnya—satu-satunya pelariannya dari keluarga yang dingin—mengingat dengan jelas sebuah artikel tentang teknik pembakaran keramik dari periode tertentu. Saat Tuan Tanaka melirik ke arah pameran, Liana dengan santai menyela dengan lembut. "Menarik sekali teknik glasir pada vas dari Dinasti Joseon itu, bukan? Teknik buncheong yang sederhana namun elegan." Tuan Tanaka langsung menoleh, matanya berbinar. "Oh, Anda tertarik dengan keramik Korea?" "Sedikit," jawab Liana dengan rendah hati, lalu melanjutkan dengan satu atau dua poin yang ia ingat, cukup untuk menunjukkan pengetahuan tetapi tidak terdengar seperti seorang profesor. Percakapan pun mengalir dengan lancar. Tuan Tanaka terlihat sangat terkesan, dan Artha, dari sudut matanya, memerhatikan Liana dengan persetujuan halus. Namun, ujiannya belum selesai. Saat mereka akan berpindah ke ruang makan, seorang pelayan yang tergesa-gesa hampir menabrak mereka, membawa nampan penuh gelas anggur. Berdasarkan ingatan masa depannya, Liana tahu bahwa insiden kecil ini—jika terjadi—bisa membuat Tuan Tanaka yang sangat perfeksionis itu merasa tidak nyaman. Dengan reflek yang cepat dan elegan, Liana melangkah sedikit ke depan, menghalangi tanpa terkesat kasar, dan dengan lembut menstabilkan nampan yang goyah di tangan pelayan yang panik itu. "Hati-hati," bisiknya pada pelayan itu dengan senyum menenangkan. Krisis berhasil dihindari. Tuan Tanaka bahkan tidak menyadari hampir terjadinya insiden. Tapi Artha melihatnya. Ia melihat kewaspadaan, ketenangan, dan kecerdikan Liana dalam menangani situasi. Setelah pertemuan usai dan Tuan Tanaka pergi dengan kesan yang baik, Artha berbalik pada Liana. "Kinerjamu... melebihi ekspektasi," ujarnya. "Kau tidak hanya berpengetahuan, tapi juga waspada." Liana mengangguk. "Saya hanya memastikan tidak ada hal yang mengganggu pertemuan penting Anda." Artha memandangnya dengan lebih dalam. "Baiklah. Saya rasa kita bisa mulai membicarakan bentuk kerja sama yang lebih... substansial. Datanglah ke kantor saya besok. Kita akan membicarakan detailnya." Ini bukan lagi sekadar ujian. Ini adalah pintu yang terbuka. Liana tersenyum, sebuah senyuman kecil yang penuh arti. "Saya akan ada di sana, Artha." Keesokan harinya, Liana kembali duduk di seberang meja Artha. Suasana kali ini berbeda. Lebih serius, lebih berfokus. Sebuah dokumen tertutup tergeletak di antara mereka. "Setelah pertemuan kemarin," Artha memulai, "saya yakin Anda bukan orang biasa. Pengetahuan, insting, dan kemampuan beradaptasi Anda tidak wajar untuk seseorang dengan latar belakang... seperti yang tercatat." Matanya tajam. "Saya melakukan pemeriksaan latar belakang sederhana. Anda adalah Liana, putri dari keluarga Hartono yang diusir." Liana tidak terkejut. Dia mengharapkan ini. Dia bahkan tidak berkedip. "Benar." "Alasan pengusiran Anda, secara resmi, adalah pencurian." Artha menyatukan jari-jarinya. "Tapi Anda di sini, memperingatkan saya tentang praktik bisnis tidak etis yang terkait dengan keluarga Anda. Itu tidak konsisten." "Ini konsisten, Artha," bantah Liana dengan tenang. "Saya tidak mencuri. Saya difitnah. Dan saya memiliki akses ke informasi internal keluarga karena saya adalah bagian dari itu. Saya tahu di mana mayat-mayat disembunyikan." Dia berhenti sejenak, membiarkan kata-katanya menggantung. "Saya tidak akan membocorkan rahasia reinkarnasi saya. Itu akan membuatku dianggap gila. Tapi saya bisa 'menjual' pengetahuanku sebagai informasi dari sumber dalam." "Sumber dalam?" tanya Artha, tertarik. "Anggap saja saya masih memiliki saluran komunikasi rahasia dengan seseorang di dalam rumah yang sangat membenci Karin, anak angkat mereka," ujar Liana, yang merupakan kebohongan yang dibangun di atas kebenaran. "Atau, anggap saja saya adalah seorang peramal pasar yang sangat brilian." Senyum tipisnya mengandung misteri. "Pilih yang mana pun yang membuat Anda nyaman. Yang penting, informasi yang saya berikan akan selalu terbukti benar dan berharga." Artha terdiam, mempertimbangkan. Konfliknya dengan keluarga Hartono sudah lama terjadi. Memiliki seseorang dengan akses ke informasi internal mereka adalah sebuah anugerah. "Apa yang Anda inginkan sebagai imbalannya?" tanyanya akhirnya. "Uang?" "Perlindungan," jawab Liana langsung. "Sumber daya. Dan sebuah platform. Saya butuh identitas baru, pendidikan yang layak, dan jaringan yang dapat saya gunakan. Pada waktunya, saya ingin melihat keluarga Hartano runtuh. Dan saya ingin berada di posisi untuk mengambil kembali apa yang menjadi hak saya." Itu adalah permintaan yang berani. Tapi Artha melihat tekad baja di mata gadis di depannya. Dia melihat potensi yang jauh lebih berharga daripada sekadar uang. "Dan apa yang Anda tawarkan sebagai jaminan?" tanyanya. "Informasi pertama saya," ucap Liana. "Ayah saya, Heri Hartono, sedang dalam proses menutupi kerugian besar di divisi propertinya. Dia akan mencoba menarik dana dari proyek joint venture dengan grup Anda bulan depan dengan alasan 'restrukturisasi'. Jangan biarkan itu terjadi. Periksa buku-bukunya. Anda akan menemukan celahnya." Informasi itu spesifik, dapat ditindaklanjuti, dan berpotensi menyelamatkan Artha dari kerugian finansial yang besar. Itu adalah bukti nyata pertama dari nilainya. Artha memandangnya lama dan dalam. Dia melihat seorang gadis muda yang telah dilemparkan ke dalam api, dan bukannya hancur, dia justru berubah menjadi baja. "Baik," ujarnya akhirnya, mendorong dokumen di atas meja ke arah Liana. "Ini adalah perjanjian kerahasiaan dan perjanjian kerja sama. Anda akan menjadi 'konsultan strategis' tidak resmi saya. Anda akan mendapatkan gaji, tempat tinggal yang aman, dan akses terbatas ke sumber daya saya. Sebagai imbalannya, Anda memberikan informasi dan wawasan seperti yang baru saja Anda lakukan." Liana mengambil dokumen itu. Tangannya tidak gemetar. Ini adalah yang dia tunggu-tunggu. Ini adalah tangga pertama menuju balas dendamnya. Dia membaca dokumen itu dengan cepat, lalu mengambil pena yang ditawarkan Artha dan menandatanganinya dengan mantap. "Selamat bermitra, Artha," ucapnya, menatapnya langsung. "Selamat bermitra, Liana," balas Artha, dan untuk pertama kalinya, ada sedikit rasa hormat dalam nada suaranya. Saat Liana keluar dari gedung itu, dia tidak lagi merasa seperti seorang pelayan atau seorang pengungsi. Dia adalah seorang konsultan untuk salah satu konglomerat paling kuat di kota. Dia memiliki sekutu. Dia menatap cakrawala, ke arah distrik di mana rumah keluarganya berdiri megah. "Ayah, Ibu, Karin," bisiknya dalam hati, sebuah senyuman dingin dan puas muncul di bibirnya. "Permainan benar-benar dimulai. Dan kali ini, saya yang menulis aturannya."Kemenangan atas kejatuhan keluarga Hartono ternyata tidak serta merta membawa kedamaian yang diharapkan Liana. Meski rasa dendamnya telah terbalaskan, sebuah kehampaan yang aneh justru mengisi relung hatinya. Kehidupan barunya yang serba berkecukupan dan penuh kebebasan terasa... datar. Seolah ada sesuatu yang masih kurang.Suatu sore, Artha mengajaknya mengunjungi sebuah pameran seni kontemporer. "Kita butuh mengalihkan pikiran," ujarnya, mencoba membaca suasana hati Liana yang muram sejak acara peluncuran yang berantakan itu.Pameran itu diadakan di sebuah galeri tua yang telah direnovasi. Karya-karya seni instalasi memenuhi ruangan, namun satu karya tertentu menarik perhatian Artha. Sebuah instalasi video yang menampilkan rekaman dokumenter hitam putih tentang kehidupan di panti asuhan pada era 90-an. Layar besar menampilkan anak-anak dengan pakaian lusuh bermain di halaman yang gersang.Liana memperhatikan Artha yang tiba-tiba diam membatu. Wajahnya yang biasanya penuh percaya dir
Enam minggu telah berlalu sejak mereka menyelesaikan dossier mematikan itu. Enam minggu penuh ketegangan dan kesabaran. Liana dan Artha tahu, mereka butuh panggung yang tepat—sebuah momen dimana kejatuhan Karin akan memiliki dampak terbesar, di depan orang-orang yang paling dia pedulikan: para elite sosial, rekan bisnis, dan tentu saja, keluarganya sendiri.Kesempatan itu akhirnya datang. Hartono Group akan menggelar acara peluncuran mega-proyek terbaru mereka, "Hartono Eco-Skyline", sebuah kawasan hunian super mewah dan ramah lingkungan. Acara ini akan dihadiri oleh seluruh jajaran direksi, investor, selebriti papan atas, dan tentu saja, seluruh keluarga Hartono. Karin, sebagai director of public relations, akan menjadi salah satu pembicara kunci. Ini adalah momen puncak baginya, dan itulah yang membuatnya sempurna untuk dihancurkan."Kita harus berada di sana," ujar Liana suatu pagi, menatap brosur elektronik acara yang mewah. Matanya berbinar dengan tekad yang telah lama dipendam.
Kemenangan di acara amal masih terasa manis, tetapi bagi Liana dan Artha, itu hanyalah pembuka. Mereka perlu memastikan setiap langkah selanjutnya didasari bukti yang tak terbantahkan. "Kita butuh lebih dari sekadar gosip dan kesan," ujar Artha suatu sore di apartemen Liana, matanya menatap layar laptop yang penuh dengan data finansial Hartono Group. "Kita butuh bukti konkret yang bisa menghancurkan mereka secara hukum dan finansial."Liana mengangguk, pikirannya melayang pada semua percakapan dan kejadian yang pernah ia saksikan di kehidupan sebelumnya. "Karin... dia licik, tapi dia juga ceroboh. Dia percaya diri berlebihan. Dia pasti meninggalkan jejak.""Jejak digital," tambah Artha. "Dunia maya adalah medan perang berikutnya."Dengan sumber daya Artha, mereka merekrut seorang ahli keamanan siber dan etikal hacker yang handal, seorang pria muda bernama Danar yang dikenal dengan kemampuannya menelusuri lorong-lorong gelap internet tanpa meninggalkan jejak. Pertemuan dilakukan di seb
Kantor pribadi Artha di lantai tertinggi Wijaya Group telah menjadi ruang perang mereka. Tidak ada lagi kesan formal yang kaku. Di atas meja kayu jati yang luas, sekarang berserakan dokumen, tablet, dan papan tulis putih yang penuh dengan coretan strategi, garis waktu, dan nama-nama yang familier bagi Liana: Hartono Group, Karin, Heri Hartono (ayahnya), dan Linda Hartono (ibunya)."Mulai dari mana?" tanya Artha, duduk di seberangnya. Ia tidak lagi menyembunyikan rasa ingin tahunya yang besar terhadap sumber informasi Liana, tetapi juga tidak menekannya untuk penjelasan lebih lanjut. Ia menghormati batasan yang ditetapkan Liana.Liana menarik napas dalam. Menggali ingatan masa lalunya seperti membuka luka yang sudah mulai mengering. Setiap kenangan tentang pengkhianatan dan kelicikan masih terasa perih, tetapi sekarang, rasa sakit itu telah berubah menjadi bahan bakar."Kita mulai dari sini," ujarnya, menunjuk sebuah laporan keuangan kuartalan Hartono Group yang terbuka untuk publik. "
Kota itu bernapas dengan irama yang berbeda baginya sekarang. Di kehidupan sebelumnya, kota ini hanyalah pemandangan dari balik kaca mobil yang mengantarinya dari mal ke mal, dari les ke les. Sekarang, kota ini adalah sebuah medan pertempuran. Setiap hembusan napasnya adalah perjuangan, setiap langkah kakinya adalah keteguhan.Tas kecil di pundaknya terasa semakin berat, meski hanya berisi segelintir barang. Uang tabungannya yang tidak seberapa—hasil dari menyisihkan uang jajan selama bertahun-tahun—terasa menyusut dengan cepat di dompetnya. Kenyataan itu menghantamnya lebih keras dari kata-kata pengusiran Ayah. Kebebasan ternyata memiliki harga, dan harganya sangat mahal.Tiga hari telah berlalu sejak ia melangkah keluar dari rumah mewah yang dulu dinamainya 'rumah'. Tiga malam ia habiskan di sebuah losmen murah dengan kamar sempit yang berbau lembap dan kasur yang mengeluarkan bunyi reyot setiap kali ia bergerak. Suara lalu lalang dan klakson mobil di luar tidak pernah benar-benar r
Kematian itu sendiri tidak sakit. Yang sakit adalah saat-saat terakhirnya; rasa dingin yang menyusup ke sumsum tulang, rasa hampa saat semua harapan pupus, dan getirnya pengkhianatan yang menggerogoti jiwa. Itulah yang kurasakan sebelum segalanya menjadi gelap.Lalu, ada kehangatan.Sebuah sensasi aneh, bertolak belakang dengan kematianku yang dingin dan basah di lorong gelap. Aku merasakan sesuatu yang lembut di bawah tubuhku, bukan aspal kasar dan genangan air kotor. Ada wangi lembut yang familiar—aroma fabric conditioner merek tertentu yang selalu digunakan di rumah—bercampur dengan aroma buku tua dan tinta. Bau yang telah hilang dari hidupku selama bertahun-tahun.Aku memberanikan diri untuk membuka mata. Perlahan-lahan, dunia yang kabur mulai berfokus.Langit-langit putih dengan lampu kristal sederhana. Sebuah gorden sutra berwarna lavender yang tertiup angin lembut dari jendela yang terbuka. Matahari pagi menyelinap masuk, menerangi partikel debu yang menari-nari di udara.Ini..







