LOGINKantor pribadi Artha di lantai tertinggi Wijaya Group telah menjadi ruang perang mereka. Tidak ada lagi kesan formal yang kaku. Di atas meja kayu jati yang luas, sekarang berserakan dokumen, tablet, dan papan tulis putih yang penuh dengan coretan strategi, garis waktu, dan nama-nama yang familier bagi Liana: Hartono Group, Karin, Heri Hartono (ayahnya), dan Linda Hartono (ibunya).
"Mulai dari mana?" tanya Artha, duduk di seberangnya. Ia tidak lagi menyembunyikan rasa ingin tahunya yang besar terhadap sumber informasi Liana, tetapi juga tidak menekannya untuk penjelasan lebih lanjut. Ia menghormati batasan yang ditetapkan Liana. Liana menarik napas dalam. Menggali ingatan masa lalunya seperti membuka luka yang sudah mulai mengering. Setiap kenangan tentang pengkhianatan dan kelicikan masih terasa perih, tetapi sekarang, rasa sakit itu telah berubah menjadi bahan bakar. "Kita mulai dari sini," ujarnya, menunjuk sebuah laporan keuangan kuartalan Hartono Group yang terbuka untuk publik. "Divisi properti mereka. Ayah... Heri Hartono, sedang bersemangat dengan proyek 'Harmoni Residence' di kawasan selatan." Artha mengangguk. "Saya tahu. Mereka menggembar-gemborkannya sebagai proyek premium. Apa masalahnya?" "Tanahnya," jawab Liana singkat. Matanya tajam, memandang jauh ke masa lalu, mengingat percakapan singkat yang pernah ia dengar antara ayahnya dan seorang pengacara. "Sebagian tanah itu masih dalam sengketa warisan keluarga yang rumit. Keluarga asli pemilik tanah tidak pernah benar-benar tuntas membaginya. Heri membeli dari salah satu ahli waris yang licik, yang mengaku memiliki hak penuh. Dua ahli waris lainnya, yang tinggal di luar kota, tidak tahu-menahu tentang penjualan ini." Artha bersandar di kursinya, wajahnya serius. "Itu klaim yang besar. Jika benar, proyek itu bisa mandek bertahun-tahun di pengadilan. Biaya yang sudah dikeluarkan akan menguap." "Itu benar," sahut Liana. "Dan inilah yang akan terjadi: Dalam dua minggu, dua ahli waris yang merasa dizalimi itu akan mengetahui penjualan itu. Mereka marah besar dan akan melayangkan somasi, diikuti gugatan ke pengadilan. Berita ini akan bocor ke media. Harga saham Hartono Group di sektor properti akan anjlok." Artha menatapnya, mencoba mencari celah keraguan. "Bagaimana kamu bisa begitu yakin dengan waktunya?" Liana memandangnya langsung. "Percayalah, Artha. Ini bukan tebakan. Ini adalah kepastian." Suaranya penuh keyakinan yang tak terbantahkan, keyakinan yang hanya dimiliki oleh seseorang yang telah menyaksikan peristiwa itu terjadi. Artha menghela napas, lalu mengambil tabletnya. "Baik. Kita akan bertindak seolah-olah kita mempercayai informasi ini seratus persen. Saya akan memerintahkan tim hukum dan due diligence saya untuk menyelidiki sengketa warisan ini dengan diam-diam. Jika kita bisa mendapatkan bukti awal sebelum somasi itu muncul, kita akan memiliki posisi yang kuat." "Lalu?" tanya Liana, ingin tahu rencananya. "Lalu," ujar Artha dengan senyum tipis yang kompetitif, "kita akan 'menolong' mereka." Dua minggu berlalu dengan tegang. Liana, yang sekarang tinggal di sebuah apartemen aman yang disediakan Artha, menghabiskan waktunya untuk memetakan setiap informasi masa lalu yang bisa diubah menjadi senjata. Setiap kenangan pahit, setiap percakapan yang pernah ia dengar, kini menjadi data berharga. Tepat seperti "ramalan" Liana, berita tentang somasi dan gugatan terhadap proyek "Harmoni Residence" menjadi headline di sebuah portal berita bisnis. Saham properti Hartono Group langsung berwarna merah. Di kantor Artha, mereka menyaksikan grafik saham itu jatuh di layar besar. "Waktunya," bisik Artha. Dengan informasi yang telah mereka kumpulkan lebih dulu, Artha bergerak cepat. Dia tidak menyerang. Sebaliknya, dia menghubungi Heri Hartono secara pribadi. "Heri, saya dengar kamu sedang ada masalah dengan proyek 'Harmoni'-mu," ucap Artha melalui ponselnya, berbicara dengan nada seorang kolega yang "prihatin". Liana mendengarkan melalui speaker. "Dengar dari mana?" suara Heri terdengar tegang dan defensif. "Kami di Wijaya Group memiliki kepentingan di kawasan itu juga. Tim risk management kami selalu memantau segala sesuatu," jawab Artha dengan halus, tidak menyebut Liana. "Kebetulan, kami memiliki beberapa informasi tentang keluarga pemilik tanah itu. Dan kami memiliki pendekatan yang... lebih halus untuk menangani mereka. Mungkin kita bisa bekerja sama." Apa yang Artha tawarkan adalah penyelesaian di luar pengadilan. Dengan sumber daya dan informasi yang lebih lengkap yang mereka miliki, Artha bisa menjadi perantara untuk mempertemukan Heri dengan kedua ahli waris yang marah itu, dengan biaya yang tentu saja akan membuat Heri merogoh kocek lebih dalam, tetapi jauh lebih murah daripada biaya hukum dan kerugian akibat proyek yang mandek. Heri, yang terjepit, hampir tidak punya pilihan. Dia setuju. Kesepakatan pun terjadi. Hartono Group selamat dari krisis besar, tetapi dengan biaya finansial yang tidak kecil dan—yang lebih penting—sebuah utang budi terselubung kepada Artha. Heri mungkin berpikir Artha adalah penyelamatnya, tapi dia tidak menyadari bahwa Artha dan Liana sengaja membiarkan krisis kecil itu terjadi hanya untuk kemudian "menyelamatkannya", sehingga mereka bisa mendapatkan pengaruh dan informasi lebih dalam ke dalam operasi Hartono Group. Setelah panggilan itu usai, ruangan menjadi sunyi. "Kita baru saja memeras ayahku sendiri," gumam Liana, menatap layar yang menunjukkan saham Hartono Group mulai stabil. "Kita baru saja memanfaatkan kelemahan mereka untuk keuntungan strategis kita," koreksi Artha dengan lembut. "Ini baru permulaan, Liana. Ini baru strategi pertama." Liana mengangguk, perasaanya campur aduk. Ada kepuasan melihat rencananya bekerja, tapi juga ada sisa-sisa rasa sakit karena harus melawan darahnya sendiri. Tapi dia mengingat kematiannya yang sepi di lorong gelap. Dia mengingat senyum puas Karin. Dia mengepalkan tangannya. "Mereka menjadikanku musuh saat mereka membuangku. Sekarang, mereka akan menghadapi konsekuensinya." Artha meletakkan tabletnya. "Informasi pertama ini terbukti sangat berharga. Apa senjata berikutnya?" Liana mengambil marker dan berjalan ke papan tulis putih. Dia mencoret "Proyek Harmoni" dan menulis nama baru: "Karin". "Sekarang," ujarnya, suaranya dingin dan penuh tekad, "kita mulai menghancurkan citra sempurna anak angkat kesayangan mereka. Kita akan menabur benih keraguan pertama." Papan tulis putih itu kini memiliki kolom baru dengan nama "Karin" di bagian atas. Di bawahnya, Liana mulai menuliskan poin-poin kelemahan yang ia ingat dari kehidupan sebelumnya—hal-hal kecil yang bisa dibesar-besarkan, kebohongan putih yang bisa diungkap, dan celah dalam citra sempurnanya. "Karin itu licik, tapi dia juga arogan," ujar Liana, menatap coretannya. "Dia sering meremehkan orang yang dia anggap 'di bawahnya', terutama para staf rumah tangga. Itu adalah titik lemahnya." Artha mendengarkan dengan saksama, mengolah informasi itu. "Jadi, kita tidak akan menyerangnya langsung dengan tuduhan besar. Itu akan membuatnya jadi korban dan justru mendapatkan simpati." "Tepat," sahut Liana. "Kita akan meruntuhkannya perlahan, seperti air menetes melubangi batu. Kita mulai dari hal yang paling tidak penting, tapi cukup untuk membuat orang mempertanyakan 'kesempurnaannya'." Strategi mereka dimulai di dunia maya. Dengan dana dari Artha, mereka menyewa jasa seorang "pengamat sosialita" yang independen dan terpercaya. Liana memberikan informasi spesifik tentang sebuah tas limited edition yang dibeli Karin. Tas itu, menurut pengakuannya di media sosial, adalah hadiah dari seorang desainer. Namun, kenyataannya, Karin memaksa ayah Liana untuk membelikannya dengan harga yang sangat mahal, jauh di atas uang jajan biasanya, dengan mengancam akan "sakit stres" jika tidak mendapatkannya. Tanpa menyebut nama secara langsung, "pengamat sosialita" itu memposting sebuah artikel berjudul "Gaya Hidup Mewah Para Puteri Konglomerat: Hadiah atau Beli Sendiri?" Artikel itu membahas tren para anak konglomerat yang pamer barang mewah, lalu secara halus membandingkan antara yang memang mendapat hadiah dan yang "konon" mendapat hadiah. Sebuah foto Karin dengan tas itu ditampilkan, dengan teks, "Putri angkat keluarga H ini dikenal rendah hati. Tapi benarkah tas limited edition-nya ini benar-benar hadiah, atau ada cerita lain di balik layar?" Tidak ada tuduhan langsung, hanya pertanyaan. Tapi itu cukup. Komentar mulai berdatangan. Beberapa membela Karin, tapi beberapa lainnya, terutama yang mungkin iri atau pernah diperlakukan semena-mata oleh Karin, mulai berbagi "pengalaman" tidak menyenangkan yang samar-samar. Seorang akun anonim, yang sebenarnya adalah salah satu staf rumah tangga yang disingkirkan Karin dan dihubungi secara diam-diam oleh tim Artha, bercerita tentang "sosok muda di keluarga kaya yang sangat perfeksionis dan kerap menghina pelayan." Serangan tahap kedua lebih berani. Liana mengingat sebuah insiden di mana Karin, dalam sebuah pesta kecil di rumah, tidak sengaja menumpahkan anggur merah pada gaun seorang temannya dari keluarga pejabat. Karin dengan cepat menyalahkan pelayan yang lewat, padahal Liana melihat sendiri kelengahannya. Saat itu, tidak ada yang mempercayai Liana. Sekarang, dengan bantuan Artha, mereka menemukan teman tersebut dan, melalui perantara, menyampaikan "kebenaran" yang didengar dari "sumber yang tidak ingin disebutkan namanya" bahwa pelayan itu tidak bersalah. Mereka juga menyertakan bukti berupa pesan teks dari Karin kepada sang teman yang isinya meminta maaf karena "kecerobohan pelayan" itu. Teman itu, yang selama ini merasa bersalah telah memecat pelayan yang tidak bersalah, menjadi marah. Dia tidak langsung menyerang Karin, tetapi hubungan mereka menjadi renggang. Dan dalam lingkaran sosial mereka, cerita tentang "Karin yang suka menyalahkan orang lain" mulai beredar dari mulut ke mulut. Tidak ada bukti kuat yang bisa menjatuhkan Karin. Tidak ada skandal besar. Hanya kumpulan cerita-cerita kecil, pertanyaan-pertanyaan yang menggantung, dan rasa tidak percaya yang mulai tumbuh. Di rumah mewah Hartono, Karin mulai merasakan perubahan sikap. Beberapa temannya tidak lagi segemulai dulu. Tatapan beberapa orang terasa berbeda. Dia mencoba bertanya pada orang tuanya, tetapi mereka, yang sibuk dengan masalah proyek "Harmoni Residence", hanya menyuruhnya untuk tidak memperdulikan gosip. Tapi gosip itu seperti kabut. Tidak terlihat, tapi bisa membuatmu sesak napas. Suatu malam, Karin menelepon Liana. Nomor telepon Liana yang baru. Bagaimana dia mendapatkannya, Liana tidak tahu, tapi itu tidak mengejutkannya. "Liana, ini kamu?" suara Karin terdengar manis, tapi ada kepanikan yang tersembunyi. "Ya. Ada perlu apa, Karin?" jawab Liana dengan datar. "Aku... dengar ada banyak omongan tidak enak tentang aku belakangan ini. Kamu... tidak kebetulan tahu sesuatu, kan? Karena dulu... kamu pasti masih kesal padaku." Liana tersenyum di ujung telepon. Senyum yang dingin dan puas. "Karin, aku sibuk dengan hidupku yang baru. Aku tidak punya waktu untuk memperhatikan gosip tentangmu. Tapi, kalau memang ada banyak omongan, mungkin kamu harus introspeksi diri. Benarkah tidak ada satu pun kebohongan kecil yang kamu lakukan selama ini?" Dia menutup telepon sebelum Karin bisa membalas. Jantungnya berdebar kencang, tapi kali ini karena kemenangan. Benih keraguan telah ditabur. Dan benih itu mulai tumbuh. Dia menatap papan tulis putih di apartemennya, pada nama "Karin" yang tercoret di sana. Dia mengambil spidol merah dan memberi tanda centang di sebelah tahap kedua. Langkah selanjutnya adalah konfrontasi yang lebih langsung. Saatnya untuk menunjukkan pada Karin bahwa Liana yang dulu telah pergi, dan yang kembali adalah seseorang yang tidak akan lagi diam Acara amal tahunan "Galanya Seni untuk Anak" adalah salah satu event sosial paling bergengsi di kalangan elite. Acara dimana para konglomerat dan selebriti berpameran dengan kekayaan mereka, sekaligus berusaha tampil paling dermawan. Keluarga Hartono adalah donatur tetap, dan Karin, dengan citra "putri yang baik dan peduli", selalu menjadi pusat perhatian. Malam itu, ballroom hotel bintang lima dipenuhi oleh gemerlap lampu dan gemerisik gaun mewah. Liana berdiri di dekat pintu, mengenakan gaun cocktail hitam sederhana yang elegan, hasil pilihan Artha. Rambutnya ditata rapi, dan sedikit riasan wajah menonjolkan keteguhan di matanya. Dia tidak lagi terlihat seperti gadis yang terbuang, melainkan seperti seorang profesional muda yang penuh percaya diri. Dia berada di sana sebagai bagian dari delegasi Wijaya Group. Kartu identitasnya menyatakan dia sebagai "Konsultan Khusus". "Dia di sana," bisik Artha di sampingnya, menunjuk ke seberang ruangan. Karin, mengenakan gaun merah muda yang mencolok, tersenyum lebar dan berpose di depan kamera, berdampingan dengan orang tua Liana. Mereka terlihat seperti keluarga yang sempurna. "Sudah siap?" tanya Artha, menatap Liana. Liana mengangguk, napasnya dalam. "Lahir untuk momen ini." Rencananya sederhana namun berisiko tinggi. Artha akan mendekati keluarga Hartono untuk basa-basi bisnis, dan Liana akan ikut serta. Dia akan menunggu momen yang tepat untuk melancarkan serangan psikologisnya. Saat mereka mendekat, Liana bisa melihat bagaimana wajah orang tuanya berubah. Heri Hartono terlihat kaku, sementara Linda, ibunya, memandang Liana dengan ekspresi campur aduk antara rasa bersalah dan keheranan. Karin, di sisi lain, wajahnya pucat seketika. Senyumnya pudar, digantikan oleh tatapan panik dan ketidakpercayaan. "Artha, senang melihatmu di sini," sambut Heri dengan paksa. "Heri, Linda," balas Artha dengan santai. "Dan Karin, selalu bersinar seperti biasa." Lalu ia berbalik. "Ini Liana, konsultan spesial saya. Saya yakin kalian sudah saling mengenal." Suasana langsung menjadi tegang. Karin mendesah, berusaha tampak lemah. "Liana... kakak. Aku... senang melihatmu baik-baik saja." Liana tersenyum, senyum yang dingin dan terkendali. "Terima kasih, Karin. Aku juga senang melihatmu masih... seperti biasa." Ada penekanan halus pada kata-kata terakhirnya yang membuat Kerin semakin tidak nyaman. Percakapan pun berlanjut dengan canggung tentang acara amal. Liana diam saja, mengamati. Lalu, kesempatan itu datang. Seorang pelayan lewat membawa nampan minuman. Karin, yang gugup, mengambil segelas champagne. Tangannya gemetar hampir tak terlihat, dan sedikit champagne tumpah ke lantai. "Oh!" serunya, langsung menoleh pada pelayan itu. "Hati-hati! Hampir saja membuat gaunku basah!" Ini adalah refleks lamanya—menyalahkan orang lain. Tapi sebelum pelayan itu sempat meminta maaf, Liana melangkah maju. Suaranya jernih dan terdengar oleh orang-orang di sekitar mereka. "Karin," ucapnya dengan lembut tapi tegas. "Dia tidak menyengaja. Dan hanya setetes. Tidak perlu menyalahkan siapa-siapa. Kita semua bisa membuat kesalahan kecil, bukan?" Dia membungkuk, mengambil serbet dari nampan pelayan lain, dan dengan tenang membersihkan tumpahan kecil di lantai sendiri. Gerakannya anggun dan penuh martabat, sangat kontras dengan kepanikan Karin. Semua orang yang menyaksikan terdiam. Adegan itu berbicara banyak. Karin, yang selalu tampil sempurna, terlihat cerewet dan tidak pengertian. Sementara Liana, yang dikenal sebagai "putri terbuang", justru tampil penuh welas asih dan ketenangan. Wajah Karin memerah karena malu dan marah. Dia terlihat seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi tidak bisa. Orang tuanya memandangnya dengan ekspresi aneh untuk pertama kalinya—sedikit bingung, sedikit kecewa. "Kamu... berubah, Liana," bisik Linda, ibunya, pada Liana. Liana menatapnya langsung. "Keadaan yang memaksaku, Ibu." Artha, yang menyaksikan semuanya, tersenyum puas. "Saya pikir kita sudah cukup mengganggu waktunya. Mari kita biarkan keluarga Hartono menikmati malam mereka." Saat mereka berbalik pergi, Liana bisa merasakan pandangan Karin yang membara di punggungnya. Dia tidak perlu menoleh. Dia sudah mencapai tujuannya. Di dalam taksi yang membawa mereka pulang, Artha memandangnya dengan kagum. "Itu... mengesankan. Kau menghancurkannya tanpa mengucapkan satu kata kasar pun. Hanya dengan ketenangan dan sebuah serbet." Liana menatap keluar jendela, kota yang berkilauan terpantul di matanya. "Itu baru permulaan, Artha. Dia sekarang tahu bahwa aku bukan lagi orang yang bisa dia mainkan. Dan orang tuaku... mereka mulai bertanya-tanya. Benih keraguan tidak hanya untuk Karin, tapi juga untuk mereka." Dia membuka tas kecilnya dan mengeluarkan sebuah foto lama—foto dirinya yang masih kecil, tersenyum polos di antara orang tuanya. Dia merobek foto itu perlahan, menyisakan hanya gambarnya sendiri. "Panggung berikutnya sudah siap," bisiknya, melemparkan potongan foto itu ke dalam tempat sampah. "Sekarang, kita tunggu bagaimana mereka bereaksi." Kembali di apartemen Liana yang sekarang—ruang yang lapang, minimalis, dan memiliki pemandangan kota yang memukau—suasana berbeda terasa. Kegembiraan atas kemenangan di acara amal masih terasa, tetapi yang lebih kuat adalah rasa percaya diri yang baru dan sebuah ikatan yang semakin menguat. Mereka duduk di sofa nyaman, secangkir teh chamomile menghangatkan tangan Liana. Untuk pertama kalinya sejak kemitraan mereka dimulai, obrolan tidak langsung berfokus pada strategi atau balas dendam. "Hari ini," ucap Artha, memecah keheningan, "kau tidak hanya meruntuhkan citra Karin. Kau juga membangun citramu sendiri." Dia memandang Liana dengan hormat. "Kau tampil anggun, terkendali, dan kuat. Itu yang akan mereka ingat." Liana tersenyum kecil, menyeruput tehnya. "Aku hanya mempraktikkan apa yang telah kupelajari dengan keras—untuk tidak lagi bereaksi secara emosional. Tapi," dia menatap Artha, "aku tidak akan bisa melakukannya tanpamu. Tanpa sumber dayamu, kepercayaan dirimu, dan... kehadiranmu di sampingku, aku mungkin masih menjadi seorang pelayan yang terluka." Artha mengangguk, wajahnya serius. "Aku juga belajar sesuatu hari ini. Awalnya, aku menganggap ini sebagai kemitraan bisnis yang tidak biasa—sebuah investasi pada sebuah aset berharga dengan informasi unik." Dia berhenti sejenak, memilih kata-katanya. "Tapi sekarang, aku melihatnya sebagai lebih dari itu. Ini adalah sebuah pertempuran bersama. Dan kau... kau adalah partner yang jauh lebih tangguh dari yang pernah kubayangkan." Kata "partner" itu menggantung di udara, terasa lebih dalam dan lebih personal dari sekadar "konsultan" atau "sekutu". "Aku percaya padamu, Liana," lanjut Artha, suaranya rendah dan tulus. "Aku percaya pada instingmu, kecerdasanmu, dan kekuatanmu. Dan aku ingin kau tahu, bahwa dalam pertempuran ini, kau tidak akan pernah sendirian lagi." Perkataan itu menyentuh sesuatu yang dalam dalam diri Liana. Selama ini, dia telah berjalan sendirian, memendam semua rasa sakit dan rencananya seorang diri. Memiliki seseorang yang tidak hanya mempercayainya, tetapi juga dengan tulus berada di sisinya, adalah sebuah kelegaan yang tak terkatakan. Dia meletakkan cangkirnya, matanya berkaca-kaca, tapi dia tersenyum. "Terima kasih, Artha. Itu... berarti segalanya bagiku." Dia menarik napas. "Aku juga percaya padamu. Aku tahu bahwa denganmu, aku tidak hanya akan membalaskan dendamku, tetapi juga membangun kembali hidupku." Mereka duduk dalam keheningan yang nyaman untuk beberapa saat, menikmati kedamaian dan kesamaan pemahaman yang baru lahir di antara mereka. "Jadi," ucap Artha akhirnya, kembali ke nada yang sedikit lebih bisnis, meski kehangatan masih terasa, "rencana selanjutnya? Kita telah menggoyahkan fondasi mereka. Sekarang, kita perlu mulai membangun tekanan yang lebih sistematis." Liana mengangguk, pikirannya sudah melompat ke depan. "Iya. Kita telah menyerang citra Karin. Sekarang, saatnya untuk mulai menyentuh bisnis keluarga mereka secara langsung. Aku ingat beberapa proyek lain yang memiliki kelemahan serupa dengan 'Harmoni Residence'. Dan..." dia berhenti, matanya berbinar dengan ide baru, "aku punya ide untuk menggunakan jaringan sosial Karin sendiri melawannya." "Ceritakan," desak Artha, mendengarkan dengan penuh perhatian. Mereka pun mulai berdiskusi lagi, tetapi kali ini, dinamika di antara mereka telah berubah. Ada lebih banyak tawa, lebih banyak pertukaran ide yang setara, dan sebuah keintiman yang tumbuh dari pengalaman berbagi pertempuran. Beberapa jam kemudian, Artha bersiap untuk pergi. Saat dia berdiri di depan pintu, dia menoleh kepada Liana. "Kita berada di pihak yang benar dalam hal ini, Liana," ujarnya. "Mereka yang berkhianat, mereka yang membuang—mereka yang harus mempertanggungjawabkan perbuatan mereka." Liana mengangguk, perasaannya tenang dan yakin. "Aku tahu. Dan bersama-sama, kita akan memastikan bahwa itu terjadi." Setelah Artha pergi, Liana berdiri di balkon, menatap lampu-lampu kota yang berkelap-kelip. Rasanya aneh. Di tengah semua rencana balas dendam dan kekacauan, untuk pertama kalinya dalam hidupnya—baik di kehidupan ini maupun sebelumnya—dia merasa memiliki sebuah "rumah". Sebuah tempat dimana dia diterima, dipercaya, dan didukung, bukan karena nama keluarganya, tetapi karena siapa dirinya. Dia tidak lagi sendiri. Dia memiliki sekutu, seorang partner, dan mungkin, suatu hari nanti, sesuatu yang lebih. Dia mengangkat wajahnya ke angin malam, sebuah tekad baru mengeras di dalam hatinya. Perjalanan masih panjang, tetapi untuk pertama kalinya, dia tidak hanya berjalan menuju kehancuran keluarganya, tetapi juga menuju masa depannya sendiri. Sebuah masa depan yang dia bangun dengan tangannya sendiri, bersama dengan seseorang yang mempercayainya.Kemenangan atas kejatuhan keluarga Hartono ternyata tidak serta merta membawa kedamaian yang diharapkan Liana. Meski rasa dendamnya telah terbalaskan, sebuah kehampaan yang aneh justru mengisi relung hatinya. Kehidupan barunya yang serba berkecukupan dan penuh kebebasan terasa... datar. Seolah ada sesuatu yang masih kurang.Suatu sore, Artha mengajaknya mengunjungi sebuah pameran seni kontemporer. "Kita butuh mengalihkan pikiran," ujarnya, mencoba membaca suasana hati Liana yang muram sejak acara peluncuran yang berantakan itu.Pameran itu diadakan di sebuah galeri tua yang telah direnovasi. Karya-karya seni instalasi memenuhi ruangan, namun satu karya tertentu menarik perhatian Artha. Sebuah instalasi video yang menampilkan rekaman dokumenter hitam putih tentang kehidupan di panti asuhan pada era 90-an. Layar besar menampilkan anak-anak dengan pakaian lusuh bermain di halaman yang gersang.Liana memperhatikan Artha yang tiba-tiba diam membatu. Wajahnya yang biasanya penuh percaya dir
Enam minggu telah berlalu sejak mereka menyelesaikan dossier mematikan itu. Enam minggu penuh ketegangan dan kesabaran. Liana dan Artha tahu, mereka butuh panggung yang tepat—sebuah momen dimana kejatuhan Karin akan memiliki dampak terbesar, di depan orang-orang yang paling dia pedulikan: para elite sosial, rekan bisnis, dan tentu saja, keluarganya sendiri.Kesempatan itu akhirnya datang. Hartono Group akan menggelar acara peluncuran mega-proyek terbaru mereka, "Hartono Eco-Skyline", sebuah kawasan hunian super mewah dan ramah lingkungan. Acara ini akan dihadiri oleh seluruh jajaran direksi, investor, selebriti papan atas, dan tentu saja, seluruh keluarga Hartono. Karin, sebagai director of public relations, akan menjadi salah satu pembicara kunci. Ini adalah momen puncak baginya, dan itulah yang membuatnya sempurna untuk dihancurkan."Kita harus berada di sana," ujar Liana suatu pagi, menatap brosur elektronik acara yang mewah. Matanya berbinar dengan tekad yang telah lama dipendam.
Kemenangan di acara amal masih terasa manis, tetapi bagi Liana dan Artha, itu hanyalah pembuka. Mereka perlu memastikan setiap langkah selanjutnya didasari bukti yang tak terbantahkan. "Kita butuh lebih dari sekadar gosip dan kesan," ujar Artha suatu sore di apartemen Liana, matanya menatap layar laptop yang penuh dengan data finansial Hartono Group. "Kita butuh bukti konkret yang bisa menghancurkan mereka secara hukum dan finansial."Liana mengangguk, pikirannya melayang pada semua percakapan dan kejadian yang pernah ia saksikan di kehidupan sebelumnya. "Karin... dia licik, tapi dia juga ceroboh. Dia percaya diri berlebihan. Dia pasti meninggalkan jejak.""Jejak digital," tambah Artha. "Dunia maya adalah medan perang berikutnya."Dengan sumber daya Artha, mereka merekrut seorang ahli keamanan siber dan etikal hacker yang handal, seorang pria muda bernama Danar yang dikenal dengan kemampuannya menelusuri lorong-lorong gelap internet tanpa meninggalkan jejak. Pertemuan dilakukan di seb
Kantor pribadi Artha di lantai tertinggi Wijaya Group telah menjadi ruang perang mereka. Tidak ada lagi kesan formal yang kaku. Di atas meja kayu jati yang luas, sekarang berserakan dokumen, tablet, dan papan tulis putih yang penuh dengan coretan strategi, garis waktu, dan nama-nama yang familier bagi Liana: Hartono Group, Karin, Heri Hartono (ayahnya), dan Linda Hartono (ibunya)."Mulai dari mana?" tanya Artha, duduk di seberangnya. Ia tidak lagi menyembunyikan rasa ingin tahunya yang besar terhadap sumber informasi Liana, tetapi juga tidak menekannya untuk penjelasan lebih lanjut. Ia menghormati batasan yang ditetapkan Liana.Liana menarik napas dalam. Menggali ingatan masa lalunya seperti membuka luka yang sudah mulai mengering. Setiap kenangan tentang pengkhianatan dan kelicikan masih terasa perih, tetapi sekarang, rasa sakit itu telah berubah menjadi bahan bakar."Kita mulai dari sini," ujarnya, menunjuk sebuah laporan keuangan kuartalan Hartono Group yang terbuka untuk publik. "
Kota itu bernapas dengan irama yang berbeda baginya sekarang. Di kehidupan sebelumnya, kota ini hanyalah pemandangan dari balik kaca mobil yang mengantarinya dari mal ke mal, dari les ke les. Sekarang, kota ini adalah sebuah medan pertempuran. Setiap hembusan napasnya adalah perjuangan, setiap langkah kakinya adalah keteguhan.Tas kecil di pundaknya terasa semakin berat, meski hanya berisi segelintir barang. Uang tabungannya yang tidak seberapa—hasil dari menyisihkan uang jajan selama bertahun-tahun—terasa menyusut dengan cepat di dompetnya. Kenyataan itu menghantamnya lebih keras dari kata-kata pengusiran Ayah. Kebebasan ternyata memiliki harga, dan harganya sangat mahal.Tiga hari telah berlalu sejak ia melangkah keluar dari rumah mewah yang dulu dinamainya 'rumah'. Tiga malam ia habiskan di sebuah losmen murah dengan kamar sempit yang berbau lembap dan kasur yang mengeluarkan bunyi reyot setiap kali ia bergerak. Suara lalu lalang dan klakson mobil di luar tidak pernah benar-benar r
Kematian itu sendiri tidak sakit. Yang sakit adalah saat-saat terakhirnya; rasa dingin yang menyusup ke sumsum tulang, rasa hampa saat semua harapan pupus, dan getirnya pengkhianatan yang menggerogoti jiwa. Itulah yang kurasakan sebelum segalanya menjadi gelap.Lalu, ada kehangatan.Sebuah sensasi aneh, bertolak belakang dengan kematianku yang dingin dan basah di lorong gelap. Aku merasakan sesuatu yang lembut di bawah tubuhku, bukan aspal kasar dan genangan air kotor. Ada wangi lembut yang familiar—aroma fabric conditioner merek tertentu yang selalu digunakan di rumah—bercampur dengan aroma buku tua dan tinta. Bau yang telah hilang dari hidupku selama bertahun-tahun.Aku memberanikan diri untuk membuka mata. Perlahan-lahan, dunia yang kabur mulai berfokus.Langit-langit putih dengan lampu kristal sederhana. Sebuah gorden sutra berwarna lavender yang tertiup angin lembut dari jendela yang terbuka. Matahari pagi menyelinap masuk, menerangi partikel debu yang menari-nari di udara.Ini..







