"Clara? Ini sungguh kamu, Nak?"
Begitu langkah kakinya memasuki ruangan, pertanyaan itulah yang pertama kali ia dengar. Namun, yang terjadi selanjutnya justru hanyalah keheningan. Keduanya sama-sama sibuk dengan pemikiran masing-masing. "Tidak biasanya kamu ingin berkunjung ke perusahaan papa." "Sebagai calon pewaris perusahaan, apakah aku salah jika berkunjung ke perusahaan papaku sendiri?" tanyanya. Clara sendiri segera melangkahkan kakinya, dan duduk di sofa yang berada di ruangan tersebut. "Calon pewaris? Apa maksudnya?" tanya Prasetyo. Ia juga ikut melangkah mendekati putri pertamanya tersebut. "Apa maksudnya? Apakah Papa lupa, jika aku adalah satu-satunya putri keluarga Raharja?" Prasetyo diam, tetapi pikirannya bercabang ke mana-mana. "Clara, tetapi situasi sekarang berbeda. Papa juga mempunyai anak lain, yaitu Rania. Kalian berdua sama-sama putri papa. Untuk saat ini papa tidak bisa menentukan siapa pewaris perusahaan yang sah." "Papa bercanda?" tanyanya, dan terlihat begitu syok. "Meskipun dia juga putri Papa, tapi ingat! Tidak ada darah Raharja yang mengalir di tubuhnya." "Lagian, kedatangan aku ke sini bukan hanya untuk membahas masalah itu." Perkataan itu lagi-lagi membuat Prasetyo menoleh. "Seperti yang Papa tahu, selama ini aku tidak pernah tampil di publik sebagai putri kandung keluarga Raharja. Bahkan di acara perusahaan sebelumnya, aku lebih disibukkan dengan pendidikan dan kegiatanku sendiri. Jadi, bisakah nanti Papa mengenalkanku ke publik sebagai putri kandung keluarga Raharja?" tanya Clara. Pertanyaan itu tentu saja membuat Prasetyo merasa heran dengan permintaan putrinya tersebut. "Hanya itu?" tanya laki-laki itu, yang langsung dibalas dengan gelengan oleh Clara. "Aku juga ingin bekerja di perusahaan ini." "Kenapa harus bekerja? Apa Adam tidak memberikan nafkah yang layak untuk kamu?" Clara sedikit tertawa, sebelum ia kembali berkata, "tidak Pah. Bahkan nafkah yang diberikan mas Adam, sangat cukup." "Hanya saja, terasa sia-sia pendidikanku selama ini, jika ilmu yang aku dapatkan tidak dapat aku terapkan. Jadi, lebih baik aku bekerja di perusahaan Papa, sekaligus mengembangkan ilmu yang aku dapat. Lagian, mana mungkin aku membiarkan Papa bekerja keras sendirian," lanjutnya. "Lalu, bagaimana dengan suamimu?" "Mas Adam mengizinkan aku. Selama hal itu tidak merugikan diriku sendiri juga keluarga besar kita." Beberapa saat berlalu, Prasetyo hanya diam. Ia tengah menimbang permintaan dari putri sulungnya tersebut. Tidak ada yang salah dari perkataan Clara, tetapi apakah hal ini nantinya tidak menyebabkan kecemburuan di hati Rania? Begitulah kira-kira pemikirannya. "Gimana Pa? Bisa kan?" Prasetyo terlihat menghela napas perlahan, sebelum ia tersenyum tipis. "Baiklah, setelah acara di perusahaan kamu bisa mulai bekerja di sini. Papa akan meminta Roni untuk menempatkan kamu di posisi tinggi yang kebetulan sedang kosong." "Papa serius?" tanya Clara sekali lagi, hanya untuk memastikan. "Tentu saja. Lagian, papa juga ingin melihat seberapa kemampuan yang kamu miliki." "Papa meremehkanku?" "Haha tidak, bukan begitu Clara." "Lalu? Ckck, bagaimana dengan permintaan pertamaku tadi?" "Soal pengumuman statusmu?" tanyanya yang langsung dibalas anggukan oleh Clara. "Tanpa kamu meminta pun, papa memang berencana mengumumkan statusmu sebagai putri keluarga Raharja ke publik." "Ahh senangnya. Terima kasih Papa," ucapnya. Segera ia memeluklaki-laki itu, dan beberapa kali mengucapkan terima kasih. *** "Ini pertama kalinya kamu bersikap ceria seperti ini, setelah papa memutuskan untuk menikah lagi," batin Prasetyo. "Aku sangat menyayangi Papa. Terlebih setelah melihat kilasan yang terasa nyata itu. Namun, maaf Pa, jika ke depannya aku akan menggunakan Papa untuk menghancurkan Rania," batin Clara. ©©©©©©© "Sial, kenapa Clara jadi berbeda seperti ini." Di dalam kamar ini Rania tampak menggerutu dengan menggenggam erat ponselnya. Ada rasa kesal yang keluar dari setiap nada yang ia ucapkan. Mengingat perkataan dari seseorang yang melaporkan aksi kedatangan Clara ke perusahaan Raharja, beberapa saat yang lalu. "Kenapa dengan Clara? Tadi pagi untuk pertama kalinya dia menolak permintaanku. Lalu sekarang? Bahkan dia mengabaikan perintahku dulu, untuk tidak menampakkan diri di perusahaan." "Tidak! Ini tidak bisa dibiarkan. Aku harus segera bertindak, sebelum Clara melangkah terlalu jauh." "Apa yang harus aku lakukan," gumamnya. Lama berpikir, hingga akhirnya sebuah ide melintas di pikirannya. "Ah iya, tante Reni. Aku harus segera bertemu dengannya." Dengan segera Rania mencari kontak Reni. Yang tidak lain adalah ibu dari Adam, sekaligus mertua Clara. "Halo Tante, apa kabar?" "...." "Kabar aku juga baik kok. Emm, apa Tante hari ini sibuk? Rencana, Rania ingin mengajak Tante jalan-jalan gitu." "...." "Beneran enggak apa-apa? Soalnya Rania takut kalau mengganggu kesibukan Tante." "...." "Yaudah, kalau gitu Rania siap-siap dulu ya Tante. Nanti Rania susul ke Restoran." Tut! Telpon pun dimatikan. *** "Gimana ya perasaan kak Clara, saat tahu jika mertuanya jauh lebih sayang sama aku, dibanding dia? Hahaha." ©©©©©©© Siang ini Rania telah sampai di Restoran milik keluarga Fahreza. Segera ia melangkah memasuki ruang VIP bersama manajer Restoran, atas perintah dari Rena. Sebab, Rena sendiri selalu merasa antusias akan apapun yang berhubungan dengan Rania. "Tante sudah lama di sini? Maaf ya, Rania sudah membuat Tante menunggu terlalu lama," ucap Rania ketika ia telah mendudukkan dirinya di depan Rena. "Sudahlah, tidak apa-apa. Lagian, tante juga baru saja selesai memeriksa laporan Restoran ini." Rania mengangguk. Tidak lama kemudian, beberapa pelayan dengan didampingi oleh manajer, meletakkan beberapa hidangan yang sebelumnya telah diminta oleh Rena. Saking dekatnya, bahkan wanita itu mengetahui apa saja makanan kesukaan Rania. "Makasih ya Tante. Bahkan, Tante selalu paham dengan makanan yang aku suka, juga makanan yang harus aku hindari," ucapnya, ketika kini hanya tinggal mereka berdua di ruangan tersebut. "Sudahlah Rania, tidak perlu mengucapkan terima kasih. Tante itu sangat menyayangi kamu. Jadi, sudah sewajarnya jika Tante tahu apa yang kamu suka." Keduanya sama-sama tersenyum. "Tante sama dengan mama. Selalu tahu apapun keinginan Rania. Padahal, Rania juga ingin mendapat perhatian seperti ini dari kak Clara. Namun, sejak dulu kakak justru selalu saja sibuk dengan urusannya sendiri. Bahkan perhatian yang Rania berikan pada Kakak, seolah tidak ia anggap sama sekali." "Apa, Clara tidak menyukaimu?" Rania seperti tersadar akan sesuatu. "Ehh, bukan begitu kok Tante. Kak Clara juga sayang kok dengan Rania," ucapnya dengan lirih, yang ditanggapi Rena dengan arti yang berbeda. "Dasar tidak tahu malu. Bukannya bersyukur mendapat saudara yang baik, tapi dia justru bertingkah seperti ini. Prasetyo pasti menyesal memiliki anak seperti dia." Diam-diam Rania bersorak dalam hati, ketika respon Rena seperti yang ia harapkan. "Bukannya setahu kita Clara juga selalu menempel dengan kamu? Bahkan beberapa kali tante lihat jika dia juga peduli dengan kamu?" Bukannya menjawab, Rania justru menghela napasnya terlebih dahulu. "Apa Tante akan percaya dengan apa yang Rania katakan?" tanyanya, yang justru membuat dahi Rena berkerut.Setelah membereskan barang bawaannya, Adam segera memeluk pinggang Clara dari arah belakang. Menumpukan dagunya di pundak sang istri. Ada rasa nyaman, yang baru ia rasakan saat bermanja dengan istrinya. Salah satu hal favorit yang baru ia dapatkan setelah menikah dengan Clara. "Kenapa?" Clara menggenggam telapak tangan sang suami yang melingkar di perutnya. Kini, posisi keduanya tengah berdiri di balkon kamar yang menghadap langsung ke arah laut. "Aku, kangan banget sama kamu," gumamnya dengan pelan, tetapi masih bisa didengar oleh Clara. Perempuan itu tersenyum kecil, dan segera membalikkan badannya. Menangkup kedua sisi wajah sang suami yang entah kenapa semakin hari terlihat semakin tampan. "Padahal kita tidak pernah berpisah lho. Kenapa masih aja kangen, hmm?""Entahlah, hanya saja rasanya hampa kalau lama-lama enggak lihat kamu." Kembali Adam memeluk Clara dengan erat, yang dibalas oleh Clara berupa elusan lembut di punggung laki-laki itu.
Adam dan Clara tengah berada di dalam mobil yang akan membawa keduanya menuju ke mansion. Suasana makan malam ini, tidak pernah laki-laki itu perkirakan akan berakhir seperti ini. Entah, apa yang dipikirkan oleh maminya tersebut. Sebagai lelaki dewasa, tentu ia paham, jika sang mami hendak mendekatkannya kembali dengan Rania. Namun, apakah maminya tidak memikirkan perasaan Clara, juga kenyamanan anaknya sendiri? Apalagi Clara, Adam hanya takut jika istrinya tersebut merasa tidak nyaman. "Sayang, maafkan perilaku mami ya. Mas sama sekali tidak menyangka, jika mami bisa berbicara seperti tadi." Adam yang tengah menyetir, menolehkan kepalanya ke arah Clara. Bisa ia lihat, jika istrinya itu tengah sibuk memandangi jalanan. "Enggak masalah Mas," ucap Clara sembari menoleh ke arah Adam. "Yang penting bagi aku, kamu tidak terpengaruh dengan perkataan mami. Meskipun misalnya mami memiliki niat untuk mendekatkan kamu dengan Rania, aku harap kamu tetap
Para orang tua dan Rania, tentu saja terkejut dengan perkataan Adam. Namun, berbeda dengan para sepupu Adam lainnya Brian, Radit, dan Satya, mereka setuju dengan pernyataan Adam. Karena, Rania bukanlah anggota keluarga mereka. Sedangkan Clara, ia hanya diam, tetapi dibalik diamnya, justru merasa senang dengan perkataan suaminya tersebut. "Kamu apa-apaan sih Adam? Mami yang mengundang Rania ke sini. Karena, dia sudah mami anggap seperti anak sendiri. Lagian, Rania juga sahabat kecil kamu, jauh sebelum kamu mengenal Clara.""Mi? Aku enggak suka ada orang lain yang ikut di acara rutinan keluarga kita. Mami sadar enggak sih? Sedari tadi yang Mami perhatikan hanya Rania. Di sini, menantu Mami itu Clara, bukan Rania," ucapnya dengan tegas. Adam sangat berharap jika maminya bisa menaruh perhatian yang lebih kepada istrinya. "Udahlah Dam. Lagian kalau memang mami kamu lebih sayang dengan Rania, berarti Clara belum bisa menjadi menantu yang diinginkan mami kamu.
Siang ini Adam dan ayahnya baru saja selesai bertemu dengan klien dari China. Mereka tampak keluar dari ruang VIP Restoran bersama klien mereka, juga beberapa orang kepercayaan di belakangnya. Saat ini tujuannya ialah kembali ke perusahaan, dan mengerjakan rincian kerja sama sesuai kesepakatan bersama. "Oh iya Dam, hampir aja lupa. Nanti malam ajak Clara ke rumah. Malam ini kita akan kedatangan keluarga besar mama kamu," ucap Dimas ketika mereka telah sampai di parkiran. Sengaja memang, Adam pergi ke tempat ini bersama papinya, dan ia yang bertugas menyetir mobil. Sedangkan asisten mereka berada di mobil satunya lagi. "Kok dadakan Pi?""Sebenarnya udah agak lama papi tahu kalau mereka akan datang. Hanya saja, ternyata mami kamu lupa memberitahu kamu dan Clara.""Mami ini, ada-ada aja. Yaudah, nanti sampai di kantor, Adam akan telpon Clara." Dimas hanya mengangguk, kemudian ia masuk ke dalam mobil. Begitu juga dengan Adam yang langsung mengambil
"Guys, kapan-kapan kita liburan yuk," ucap Devano yang seolah tengah mengalihkan pembicaraan. "Boleh tuh, mending sekarang kita atur jadwal deh. Kalian kapan ada waktunya?" tanya Claudia.. "Gue dalam minggu-minggu ini kayaknya enggak bisa sih. Soalnya masih ada beberapa sidang sama klien," ucap Jesica. "Gue mulai lusa bakal sibuk sama jadwal operasi. Paling sampai 3 atau 4 hari," jawab Reno. "Kalau gue sendiri, kebetulan jadwal syuting udah selesai, promo lagu juga masih bulan depan. Jadi, kalau untuk sekarang masih ada banyak waktu."Clara yang semula nampak gugup, kini telah berhasil mengendalikan dirinya. Ia sangat berterimakasih kepada Devano dan Claudia yang bisa mengalihkan perhatian. Juga mancairkan suasana yang awalnya terasa canggung. "Kalau misal kita ambil liburan minggu depan, gimana? Kayaknya gue juga bisa sih kalau hari itu.""Lebih ke weekend minggu depan?" tanya Dimas, untuk memastikan. "Bo
"Kamu apa-apaan sih. Mama baru aja mau pergi dengan Rena, ini juga demi kamu. Sekarang, kenapa malah kamu nyuruh mama datang ke sini," ucap Vina saat ia baru saja memasuki ruang VIP di sebuah Restoran yang telah dipesan Rania. "Duduk dulu Ma. Ada hal penting yang harus kita bahas, dan ini enggak bisa ditunda.""Yaudah cepetan. Kamu mau bahas apa?""Rencana kita untuk melemahkan promosi dan citra Resort papa, semuanya gagal total." Satu kalimat yang membuat Vina tertegun. Matanya terbelalak, seolah tidak percaya dengan perkataan putrinya."Gagal total gimana maksud kamu?""Mereka membatalkan kerja sama dengan Vania, juga konsep dari Resort yang diubah keseluruhannya.""Gimana bisa? Padahal sebentar lagi seharusnya Resort sudah selesai kan? Lalu, kenapa mereka membatalkan proyek ini untuk Vania?"Rania menghela napasnya perlahan. Ia mulai menceritakan semuanya kepada sang mama. Berdasarkan penjelasan dari Vania juga seseo
"Apa? Kontrak saya dibatalkan?"Saat ini Vania dan manjernya tengah bertemu dengan dua orang perwakilan dari Raharja Group. Ratih, asisten manajer divisi pemasaran juga salah seorang dari staf divisi keuangan. Karena, setiap kerja sama dengan publik figur atau hal-hal yang berhubungan dengan promosi dan pemasaran, akan melaluinya terlebih dahulu. Tentunya setelah mendapat izin dari manajer. "Kenapa? Bukannya kita sudah sepakat untuk tanda tangan kontrak hari ini?""Sekali lagi kamu mohon maaf Mbak Vania. Namun, ini sudah menjadi keputusan perusahaan. Ada beberapa hal yang kami pertimbangkan kembali, dan keputusannya adalah mengakhiri kerja sama kita.""Enggak bisa gitu dong. Ini namanya tidak profesional. Saya bisa saja memviralkan sikap buruk perusahaan kalian.""Bu Ratih, apa tidak bisa dipertimbangkan lagi? Alasan ini benar-benar tidak masuk akal. Saya rasa Vania cukup kompeten untuk bekerja sama dengan Raharja Group dalam mempromosik
"Yaudah ayo, gue penasaran banget soalnya." Segera Vania dan Rania melangkah mendekati kerumunan itu. "Permisi, tolong beri jalan dong." Tanpa sadar badan Vania terdorong seorang perempuan di sampingnya. Hal itu tentu saja sempat membuat Rania ikut oleng. "Lo kalau jalan lihat-lihat dong. Kalau gue jatuh terus muka gue lecet gimana? Lo mau ganti rugi sama Brand Ambassador yang udah endorse gue!" bentak Vania kepada seseorang itu. Hal ini tentu saja membuat kerumunan seketika hening, dan menjadikan ketiganya pusat perhatian. "Yaelah, Mbak. Namanya juga tempat ramai pasti ada aja yang kedorong. Lebay banget sih. Lagian, situ baru pertama kali minta foto artis ya? Makanya norak banget. Cuma kedorong dikit aja juga.""Lo benar-benar ya! Lo enggak tahu siapa gue?""Udah stop! Bisa enggak, jangan berantem di sini? Gue di sini karena mau menyapa kalian, bukan malah mendengarkan keributan kalian." Mendengar itu, kini semua kembali menatap ke a
Kembali, mereka terlihat saling pandang, sebelum akhirnya salah satu dari mereka berbicara, "Saya pribadi setuju dengan usul bu Clara. Sebelumnya kita memang teledor dengan tidak memerhatikan setiap sisi dengan detail. Menurut saya, apa yang disampaikan oleh bu Clara, adalah ide yang bagus.""Ya, saya juga setuju.""Saya juga.""Kami juga setuju."Mendengar mereka yang menyetujui pendapatnya, membuat Clara tidak bisa lagi menahan senyum. Akhirnya, rencana yang ia pikiran dari kemarin, bisa diterima dengan baik. Meskipun harus melalui pro dan kontra terlebih dahulu. "Baiklah, terima kasih semuanya. Nanti tim dari Divisi Pemasaran akan membuat ulang konsep pembukaan Resort ini, juga dana tambahan yang harus kita keluarkan. Untuk selanjutnya, saya akan membahas konsep ini bersama pak Roni, dan akan kami informasikan lebih lanjut." Hampir semuanya tampak mengangguk, tanda setuju, kecuali satu orang yang berada di ujung meja. ©©©©©©