"Paman!" Panggil Elang pada lelaki setengah tua yang sedang membelah-belah buah semangka dan memasukkannya ke dalam plastik ukuran sedang.
"Ada apa? mengapa kau tak kerja?""Aku dipecat lagi, Paman. bolehlah aku membantumu hari ini ibu belum makan. setidaknya aku ...." Belum sempat Elang menyelesaikan kalimatnya, Paman Rudi langsung menghentikan kegiatannya. melepas celemeknya, lalu menyerahkan pisau dan berkata, "gantikan aku, potong semangka ini, masukkan dalam plastik, dan antarkan pada Mang Udin, semuanya berjumlah tiga puluh."Elang hanya diam saja, mengikat celemek pada pinggangnya, dan melihat Pamannya berlalu dengan mengendarai sepeda Elang.'Pasti kau langsung mendatangi ibu 'kan?"batin Elang sambil tersenyum. Sejak kematian Erin adiknya, ibu menjadi hilang ingatan. Kecelakaan itu merenggut nyawa Ayah dan Erin adik Elang satu-satunya. Ibu mengalami benturan hebat pada bagian belakang kepalanya. Lalu siapa Paman Rudi? dia yang paling sayang pada Ibu. Bukan siapa-siapa, bukan pula kekasih ataupun selingkuhan. Tapi persahabatan antara Ayah, ibu dan Paman Rudi terjalin dengan baik.Elang meneruskan apa yang Paman Rudi perintahkan.Di rumah yang sederhana, khas rumah milik orang keturunan China pinggiran. Terlihat Paman Rudi sudah berada di sana, di atas meja sudah ada roti dan beberapa botol susu dalam kemasan besar."Dari siapa ini, Jiang?" tanya Paman Rudi , masih suka memanggil nama kecil wanita yang berparas ayu tapi terlihat pucat."Ada yang kasih, gadis bermata emas. cantik sekali. Sudah sering dia kasih makanan padaku.""Gadis bermata emas? siapa Jiang? apa kau sudah memakannya?" Diliriknya, bungkus roti itu yang sudah terbuka dan sepertinya memang sudah dimakan sebagian."Kau pikir aku akan diracun, lagian untuk apa? lihat dia juga bawa beras satu karung." Jiang memperlihatkan beras itu."Lihat ...." Tak lupa Jian bukan lemari esnya, di sana sudah penuh, dari sayuran, daging, telor dll.Jiang menutup kembali dan duduk di hadapan Rudi."Sepertinya dia suka pada Elang, dia bilang itu bonus karena Elang rajin bekerja.""Apa!"Rudi tak habis pikir, siapa gadis bermata emas ini? Rudi tak mempersoalkan hal tersebut. Segera dirinya keluarkan beberapa lembar uang dan menyerahkan pada Jiang, ibunya Elang."Terima uang ini, untuk keperluan beberapa hari ke depan."Jiang dengan tenang, mengurungkan kembali uang tersebut, penolakan yang sangat halus."Bawalah kembali uang itu, bila aku butuh, pasti aku akan menghubungi kamu. itu pesan dari suamiku.""Jiang, Nugros sudah meninggal, juga Erin."Ucapan Rudi membuat Jiang memandang Rudi dengan tajam."Kata siapa?! mereka sedang tidur terlelap saja.""Jiang, sadarlah, kasihan Elang, dia butuh dirimu."Jiang terdiam, wajahnya semakin kaku."Suamiku belum mati, Erin juga. mereka sedang tidur, lihatlah mereka ada di kamar," Jiang mulai ngelantur. Kata-katanya sudah tak berarah, gelisah melanda. Jiang bangkit dari duduknya."Pergilah, Rud, nanti istrimu mencarimu.""Syarah sudah pergi, Jiang. mengapa tak kau ingat? sadarlah. Tunggu. Jiang, jangan usir aku. Kau akan baik-baik saja bukan? jangan melakukan hal yang bodoh lagi, masih ada Elang." Rudi berdiri dan berjalan sesuai dorongan tangan Jiang yang menyuruhnya pergi"Pergilah, aku tak apa-apa, percayalah. aku pun menunggu suami dan anak gadisku bangun.""Ingat jangan lakukan hal bodoh, Jiang!"Brak! pintu akhirnya ditutup Jiang. Rudi hanya melongo di depan pintu rumah Jiang. Dirinya dan Jiang tumbuh bersama, karena ibu mereka yang saling bersahabat . Sejak Jiang dan Siok kedua kakak beradik datang bersama seorang wanita yang dalam keadaan tak punya apa-apa.Rudi sudah menganggap keduanya adalah soudaranya. Siok meninggal saat menginjak usia remaja, dia mengalami sakit yang tak terobati. tak lama kedua, ibu Jiang meninggal, disusul ibu Rudi Saat keduanya sudah dalam keadaan sudah menikah dengan pasangan masing-masing.Syarah, istri Rudi, meninggal saat melahirkan dengan membawa anaknya pula, hingga saat ini Rudi tak kembali membuka hatinya untuk menikah lagi. Keadaan semakin buruk saat sebuah kecelakaan itu terjadi.Berulang kali Jiang akan melakukan bunuh diri, tapi selalu gagal. Dokter mengatakan ada gangguan kejiwaan pada Jiang.Rudi segera mengayuh sepeda Elang."Pulanglah, ibumu menunggumu," kata Rudi pada Elang setelah sampai di lapak. "sudah kau antar buahnya?""Sudah Paman.""Pulanglah, jangan khawatir, aku sudah meninggalkan beberapa uang di meja. ibumu sedang kalut.""Paman, ibu ....""Kata Jiang, ada gadis bermata emas, datang membawa banyak makanan dan keperluan rumah, agaknya ibumu sangat menyukainya.""Gadis bermata emas?" bisik Elang bingung.Elang mendapati ibunya sedang mencuci pakaian banyak sekali. lelaki bermata sipit itu memperhatikan pakaian yang telah dijemur ibunya, karena itu adalah pakaian Ayah dan adiknya."Ibu, tak usah lah betkali-kali baju ini dicuci, toh tak terlalu kotor, karena hanya tersimpan di lemari, bukan?""Biar sajalah, ini untuk kegiatan ibu, karena .... tiba-tiba kangen dengan Erin, sedang apa anak gadisku?" Pandangan mata ibunya menerawang jauh ke atas langit."Besok kita ke makam Ayah dan Erin ya, Bu.""Boleh lah, tapi ....""Paman Rudi kemari, dan tinggalkan beberapa uang, itu simpan saja untuk ibu." Elang mencoba memancing informasi pada ibunya siapa yang dia maksud dengan gadis bermata emas."Ambilah saja untukmu, aku tak butuh uang Rudi, kasihan dia. bertahun-tahun harus membela ibumu ini. "Elang berjalan masuk ke dalam ruangan, benar saja di atas meja sudah ada beberapa lembar uang yang tertindih oleh sebuah gelas yang isinya masih penuh. Elang mengambil dan memasukkannya ke dalam sebuah
Kejadian malam itu membuat geger pinggiran kota. Elang ditangkap pihak berwajib, Elang sudah menjelaskan dengan kejujuran, bahkan luka-luka yang didapatnya menjadikan bukti bahwa dirinya yang diserang kelompotan Jordi. elang yang menjadi korban. Atas celakanya Jordi, Elang tak tahu menahu, dirinya hanya mendorongnya biasa, bahkan tubuh Jordi lebih besar dari Elang.Elang hanya menjalani tahanan luar saja dan wajib lapor.Jordi terkapar di rumah sakit, beberapa tulang punggung bagian bawah ada yang patah. Keadaan yang sangat rawan, bisa saja Jordi mengalami kelumpuhan.***ibunya menatap Elang lama. Berulang kali Elang meminta maaf pada ibunya. Ibunya hanya meneteskan air matanya saja. Tangan dengan jari kecilnya mencoba menyentuh sudut bibir Elang yang sudah mengering."Sakit, Nak?""Tidak, Bu apakah kita bisa pergi dari kota ini dan hidup dengan yang baru?"Jiang terdiam, dan menggeleng lemah. "Tidak Nak, tidak bisa. ibu ingin terus berada di rumah ini."Elang terdiam, ada rasa kece
Elang berlari dengan cepat, segera masuk ke dalam rumahnya. Nampak ibunya sedang berbaring di sofa, Rudi sedang membereskan semua benda yang sudah porak poranda termasuk guci abu suci milik Ayahnya dan Erin."Paman, siapa yang melakukan ini!" Api amarahnya semakin meluap melihat kehormatan Ayah dan adiknya tergores.guci abu itu sudah pecah berantakan."Tenanglah, Abu suci milik Ayah dan adikmu sudah ibumu pindah dalam kamar sucinya."Elang sedikit lega mendengarnya. Lalu itu apakah palsu?"Lalu? itu palsu?""Iya, ibumu yang menukarnya," jawab Rudi lirih, karena Jiang baru saja tenang setelah lelaki itu memberikan beberapa obat penenang."Paman apakah paman tahu banyak hal tentang Shang Fu?"Rudi lalu terdiam, menatap wajah Elang dengan serius."Dari mana kau tahu nama Shang Fu?'"Nama itu hadir dalam setiap mimpiku, hingga aku takut terlelap Paman. Tolong jelaskan siapa Shang Fu?""Nanti aku ceritakan tentang mimpimu, tapi bantu aku membereskan ruangan ini, sebelum ibumu terbangun. a
Elang masih juga bingung dengan semuanya, kakek? aku masih punya kakek, begitu terus dalam pikirannya. Ingin rasanya dirinya menanyakan pada ibu, tapi dalam keadaan seperti ini, rasanya tak tega, menanyakan perihal ini.Akhirnya Elang tertidur, lagi-lagi mimpi itu hadir kembali. Elang menyaksikan sebuah perkelahian hebat dari dua orang berpakaian kesatria. warna hitam dan merah mendominasi mimpinya kali ini. Berkali -kali nama Shang Fu terdengar, sampai-sampai Elang mengingau menyebutkan nama Shang Fu berulang kali.Jiang menatap Elang yang tertidur pulas sambil menyebutkan nama yang membuat Jiang mendekati dengan tatapan berbeda."Shang Fu." "Shang Fu."Jiang mundur, dan segera membuka sebuah laci mengambil sesuatu dari dalam laci tersebut. Membukanya dan melihat benda di tangannya, sebuah plakat kecil, bertuliskan nama Shang Fu!Jiang terdiam, napasnya mulai memburu, dan kembali berjalan ke kamar anaknya yang memang tak berpintu.Terlihat, Elang sudah terduduk dengan napas yang mas
Elang menatap ibunya, gadis bermata emas? ibunya memanggil nama Sherlyn dengan gadis bermata emas.Siapa sebenarnya Sherlyn. "Kau akan tahu nanti, sekarang kau tahu bahwa kini Elang adalah cucu dari Shang Fu. ibu tak tahu banyak tentang kakekmu. ""Aku tahu, siapa Shang Fu." Tiba-tiba Sherlyn ada di belakang Elang.Lelaki itu mundur dan melihat gadis mungil itu dengan waspada."Siapa kau sebenarnya, gadis nakal?"Sherlyn tertawa, "Hanya kau yang menyebut aku gadis nakal, padahal aku tak pernah nakal padamu, iya kan?"Jiang tersenyum. "Kini boleh aku tanya, mengapa kau suka melihat foto Elang waktu kecil dengan mata emasmu."Sherlyn pun mendekat pada foto yang tergantung di dinding, melihat dengan bola mata emasnya, dan meminta dengan hormat, pada Elang untuk menurunkan foto yang bertahun-tahun tak pernah ada yang menyentuhnya.Elang segera mengambil foto berbingkai tersebut. Sherlyn menerimanya, melihat sesaat wajah yang terpampang pada bingkai tersebut."Aku bisa melihat masa depanm
Lagi-lagi orang-orang perusuh datang ke rumah Elang. Rupanya masalah mereka belum tuntas. Tapi kali ini ada Elang yang belum berangkat kerja. Hingga sebuah perseteruan pun terjadi Elang yang tak punya keahlian bela diri mencoba melawan mereka dengan sekuat tenaga, ibunya hanya bisa berteriak histeris setiap pukulan mengenai tubuh anaknya."Maunya kalian apa hah!?" Jiang meringsak maju dan mendorong lelaki bertubuh besar yang hendak memukul perut Elang yang sudah lemah.Jiang langsung melindungi tubuh Elang."Minggir! anakmu harus merasakan bagaimana tergeletak di rumah sakit seperti anak majikanku.""Itu salah dia sendiri!" teriak Jiang. "kalau tidak menganggu anakku pasti Elang tak membalas kekejiannya!""Diam! seharusnya kau ikut mati saja dalam kecelakaan itu, dasar wanita tak ada guna!"Jiang mendapatkan tendangan pada perutnya."Ibu!!!!" Melihat ibunya mendapat perlakuan kasar, Elang langsung menarik rambut pria berotot itu hingga mendongak ke atas, saat itu juga kaki Elang lang
Perjalanan lewat udara ditempuhnya dalam 10 jam, sebuah perjalanan yang panjang. Tiba juga di sebuah bandara kata Taipe. Ternyata keluarga besar dari Sherlyn sudah menyambutnya. Elang merasa kikuk sendiri dengan keramah tamahan mereka."Lebih baik kita di rumah Paman Ho saja, Bagaimana Sher? kau setuju?"tanya adik dari ibu Sherlyn."Kalau itu yang terbaik, ayolah."Merekapun segera masuk ke sebuah mobil berukuran panjang, berwarna hitam.Elang hanya diam saja, cuma senyam-senyum, tak tahu harus bagaimana. walaupun bahasa mereka Elang pahami dengan mudah. Sampailah kini pada rumah Paman Ho. Rumah yang besar. Dengan arsitektur lama yang nampak masih kokoh.Paman Ho adalah adik bungsu di keluarga besar Sherlyn.Elang pun bertanya-tanya, apakah mereka pun mempunyai kekuatan yang sama seperti Sherlyn? karena Elang amati, hampir wajah dan tipe wajah mereka hampir mirip satu sama lainnya. "Nanti aku kenalkan pada Paman Ho. maaf Paman Ho selama ini hilangan penglihatan.""Buta?" tanya Elan
Penampakan di depan matanya membuat Elang bangkit dari duduknya, dan mundur beberapa langkah. Mata berkelopak emas dan menonjol besar itu, membuat elang takut. "Kau takut?""Tidak," jawab bohong Elang.Paman Ho tersenyum lalu menutup matanya dengan kacamata hitamnya lagi. Bangkit dari duduknya berjalan menuju sebuah lemari, mengambil sesuatu dan kembali duduk. Semua dilakukan lancar tanpa menggunakan tongkatnya. Ah, mungkin ruangan ini sudah dihapalnya, batin Elang."Aku bisa melihatmu, aku tak buta, justru penglihatanku lebih tajam dari orang biasa.""Benarkah? Apa yang kau lihat dariku?""Kau bawa plakat itupun aku tahu, lihat aku pun punya plakat yang sama." Paman Ho memperlihatkan barang yang tadi diambilnya, ternyata sebuah plakat yang sama dan dibungkus dengan kain hitam. Nampaknya dia sangat menyayangi benda tersebut."Aku hanya mau melihat, apakah itu plakat asli atau bukan?"Elang tergugu, pelan tangannya mengambil plakat yang selalu ada di balik bajunya.Tangan Paman Ho men