Share

Bab 2. Si Mata Emas

"Paman!" Panggil Elang pada lelaki setengah tua yang sedang membelah-belah buah semangka dan memasukkannya ke dalam plastik ukuran sedang.

"Ada apa? mengapa kau tak kerja?"

"Aku dipecat lagi, Paman. bolehlah aku membantumu hari ini ibu belum makan. setidaknya aku ...." Belum sempat Elang menyelesaikan kalimatnya, Paman Rudi langsung menghentikan kegiatannya. melepas celemeknya, lalu menyerahkan pisau dan berkata, "gantikan aku, potong semangka ini, masukkan dalam plastik, dan antarkan pada Mang Udin, semuanya berjumlah tiga puluh."

Elang hanya diam saja, mengikat celemek pada pinggangnya, dan melihat Pamannya berlalu dengan mengendarai sepeda Elang.

'Pasti kau langsung mendatangi ibu 'kan?"

batin Elang sambil tersenyum. Sejak kematian Erin adiknya, ibu menjadi hilang ingatan. Kecelakaan itu merenggut nyawa Ayah dan Erin adik Elang satu-satunya. Ibu mengalami benturan hebat pada bagian belakang kepalanya. Lalu siapa Paman Rudi? dia yang paling sayang pada Ibu. Bukan siapa-siapa, bukan pula kekasih ataupun selingkuhan. Tapi persahabatan antara Ayah, ibu dan Paman Rudi terjalin dengan baik.

Elang meneruskan apa yang Paman Rudi perintahkan.

Di rumah yang sederhana, khas rumah milik orang keturunan China pinggiran. Terlihat Paman Rudi sudah berada di sana, di atas meja sudah ada roti dan beberapa botol susu dalam kemasan besar.

"Dari siapa ini, Jiang?" tanya Paman Rudi , masih suka memanggil nama kecil wanita yang berparas ayu tapi terlihat pucat.

"Ada yang kasih, gadis bermata emas. cantik sekali. Sudah sering dia kasih makanan padaku."

"Gadis bermata emas? siapa Jiang? apa kau sudah memakannya?" Diliriknya, bungkus roti itu yang sudah terbuka dan sepertinya memang sudah dimakan sebagian.

"Kau pikir aku akan diracun, lagian untuk apa? lihat dia juga bawa beras satu karung." Jiang memperlihatkan beras itu.

"Lihat ...." Tak lupa Jian bukan lemari esnya, di sana sudah penuh, dari sayuran, daging, telor dll.

Jiang menutup kembali dan duduk di hadapan Rudi.

"Sepertinya dia suka pada Elang, dia bilang itu bonus karena Elang rajin bekerja."

"Apa!"

Rudi tak habis pikir, siapa gadis bermata emas ini? Rudi tak mempersoalkan hal tersebut. Segera dirinya keluarkan beberapa lembar uang dan menyerahkan pada Jiang, ibunya Elang.

"Terima uang ini, untuk keperluan beberapa hari ke depan."

Jiang dengan tenang, mengurungkan kembali uang tersebut, penolakan yang sangat halus.

"Bawalah kembali uang itu, bila aku butuh, pasti aku akan menghubungi kamu. itu pesan dari suamiku."

"Jiang, Nugros sudah meninggal, juga Erin."

Ucapan Rudi membuat Jiang memandang Rudi dengan tajam.

"Kata siapa?! mereka sedang tidur terlelap saja."

"Jiang, sadarlah, kasihan Elang, dia butuh dirimu."

Jiang terdiam, wajahnya semakin kaku.

"Suamiku belum mati, Erin juga. mereka sedang tidur, lihatlah mereka ada di kamar," Jiang mulai ngelantur. Kata-katanya sudah tak berarah, gelisah melanda. Jiang bangkit dari duduknya.

"Pergilah, Rud, nanti istrimu mencarimu."

"Syarah sudah pergi, Jiang. mengapa tak kau ingat? sadarlah. Tunggu. Jiang, jangan usir aku. Kau akan baik-baik saja bukan? jangan melakukan hal yang bodoh lagi, masih ada Elang." Rudi berdiri dan berjalan sesuai dorongan tangan Jiang yang menyuruhnya pergi

"Pergilah, aku tak apa-apa, percayalah. aku pun menunggu suami dan anak gadisku bangun."

"Ingat jangan lakukan hal bodoh, Jiang!"

Brak! pintu akhirnya ditutup Jiang. Rudi hanya melongo di depan pintu rumah Jiang. Dirinya dan Jiang tumbuh bersama, karena ibu mereka yang saling bersahabat . Sejak Jiang dan Siok kedua kakak beradik datang bersama seorang wanita yang dalam keadaan tak punya apa-apa.

Rudi sudah menganggap keduanya adalah soudaranya. Siok meninggal saat menginjak usia remaja, dia mengalami sakit yang tak terobati. tak lama kedua, ibu Jiang meninggal, disusul ibu Rudi Saat keduanya sudah dalam keadaan sudah menikah dengan pasangan masing-masing.

Syarah, istri Rudi, meninggal saat melahirkan dengan membawa anaknya pula, hingga saat ini Rudi tak kembali membuka hatinya untuk menikah lagi. Keadaan semakin buruk saat sebuah kecelakaan itu terjadi.

Berulang kali Jiang akan melakukan bunuh diri, tapi selalu gagal. Dokter mengatakan ada gangguan kejiwaan pada Jiang.

Rudi segera mengayuh sepeda Elang.

"Pulanglah, ibumu menunggumu," kata Rudi pada Elang setelah sampai di lapak. "sudah kau antar buahnya?"

"Sudah Paman."

"Pulanglah, jangan khawatir, aku sudah meninggalkan beberapa uang di meja. ibumu sedang kalut."

"Paman, ibu ...."

"Kata Jiang, ada gadis bermata emas, datang membawa banyak makanan dan keperluan rumah, agaknya ibumu sangat menyukainya."

"Gadis bermata emas?" bisik Elang bingung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status