Serina terdiam. Tubuhnya menegang seketika, mata membesar, dan napas tercekat di tenggorokan. Ucapan Ghazam baru saja melemparkan dirinya ke jurang antara harga diri dan keputusasaan.
Serina mencoba membuka mulut, tetapi tak satu kata pun keluar. Tenggorokannya kering, matanya menatap pria di depannya, antara syok, bingung, dan terluka. Ia bahkan tak yakin apakah yang ia dengar itu nyata.
Namun, Ghazam tetap menatapnya tanpa goyah.
Tatapannya datar, tak ada sedikit pun amarah dan justru karena itulah Serina merasa makin kecil. Tak dianggap penting, tak dilihat sebagai seseorang, hanya simbol dari masa lalu yang kini ia kuasai.
Ghazam menyandarkan tubuh ke sandaran sofa, menyilangkan kaki, dan mengangkat alis tipis.
“Kenapa?” tanya Ghazam pelan, nyaris seperti ejekan. “Tidak sanggup? Bukankah kau bilang akan melakukan apa pun?”
Serina masih membeku. Hatinya seperti dihantam badai, dan logikanya mulai kabur. Yang ia tahu… permainannya barusan baru saja berbalik arah dan ia sekarang bukan lagi sang manipulator, melainkan bidak yang tengah diacak-acak oleh raja di atas papan.
Serina mengepalkan tangan di atas pangkuannya. Pipinya memerah, bukan karena malu, tetapi karena amarah dan harga diri yang diinjak. Ia mendongak menatap Ghazam, kali ini dengan sorot tajam yang penuh perlawanan.
“Jangan mimpi terlalu tinggi, Ghazam,” desis Serina, suaranya bergetar, tetapi tetap tajam. “Kalau kamu pikir aku akan merendahkan diri hanya untuk mengambil hati mantan suami yang dulu bahkan tak kuanggap... maka kamu terlalu percaya diri.”
Serina bangkit dari sofa, berdiri tegak meskipun dalam dadanya masih kacau. “Aku memang bilang akan melakukan apa pun. Tapi bukan berarti menjual diriku. Carilah syarat lain. Aku datang untuk negosiasi, bukan untuk jadi alat pelampiasan.”
Ghazam hanya mengangkat satu alis, seolah tak terkejut sedikit pun.
“Begitu ya,” gumam Ghazam ringan. Lalu matanya menyipit sedikit, suaranya menurun satu oktaf, dingin dan menghantam. “Tadi kau bilang mencintaiku, bukan?”
Ghazam berdiri tegak di depan Serina, hanya berjarak beberapa langkah. Ia mencondongkan tubuh sedikit, mata tajam itu langsung mengurung sorot mata Serina.
Serina ingin membuka mulut, tetapi Ghazam perlahan mendekat dengan langkah mantap, lalu kembali berkata, “Cinta seperti apa yang bisa begitu mudah dipermainkan oleh gengsi, Serina?”
Serina mencoba menjawab, tetapi Ghazam tak memberi ruang.
“Dulu kau menghinaku, menolakku, bahkan mengusirku seolah aku tak ada artinya,” kata Ghazam pelan. “Dan sekarang kau datang... dengan senyum manis, bunga di tangan, dan mengaku cinta.”
Ghazam berhenti hanya beberapa langkah dari Serina. “Jadi... siapa di antara kita yang sebetulnya terlalu percaya diri?”
Serina menggertakkan giginya. Tangannya mengepal begitu kuat hingga buku-bukunya memutih. Hatinya bergolak antara marah, malu, dan hancur. Namun sebelum emosinya meledak, ponselnya tiba-tiba berdering, dan nama sang ayah terpampang di layar.
Dengan napas terengah, Serina menerima panggilan itu.
“Kau sudah baca berita?! CEO itu… Ghazam!” Suara Johan langsung menyalak di telinga kirinya. Serina buru-buru menjauhkan ponsel dan mendecak tajam.
“Aku sudah tahu!” sahut Serina ketus, matanya tetap terkunci pada sosok Ghazam di kejauhan yang berdiri dengan senyum tipis yang menusuk harga dirinya.
“Aku tak tahu siapa dia sebenarnya, tapi kau tetap harus jalankan rencana itu, Serina! Kalau kau harus bersujud padanya, lakukan! Demi keluarga kita!”
Tangan Serina mengepal makin keras. Harga dirinya yang selama ini dijaga di atas langit, kini digesek paksa ke tanah.
Bersujud? Pada pria yang dulu ia anggap tak layak?
Tidak, ini bahkan bukan hanya sekadar bersujud!
“Kau dengar, kan?! Jangan biarkan kita bangkrut hanya karena egomu!” seru Johan lagi.
“Ah!” Serina langsung memutuskan panggilan itu.
Ghazam belum bergerak dari tempatnya. Ia duduk tenang di balik meja kerja, tetapi matanya tak berhenti memperhatikan setiap reaksi Serina, seolah menunggu kapan benteng egonya runtuh.
Dan saat itu pun datang.
Dengan tubuh bergetar dan napas tercekat, Serina melangkah maju... lalu berlutut. Tangannya gemetar saat menyentuh lutut Ghazam.
“Ghazam… aku mohon. Jangan ambil perusahaan keluargaku,” suara Serina pecah, nyaris tak terdengar. Matanya berkaca-kaca, wajahnya tak lagi setegak biasanya.
Sebuah pengakuan menggantung di udara. Namun, Ghazam hanya menatapnya tanpa emosi. Semua perasaan yang pernah ada untuk Serina, kini telah lenyap sebab selama ini Ghazam tak pernah dipandang.
Semua ini bukan karena Ghazam kurang berusaha. Namun, karena Serina dibentuk oleh orang tua yang salah. Didikan yang membuatnya buta moral, haus status, dan lupa cara menghargai orang yang tulus padanya.
“Sebenarnya… aku memang punya perasaan padamu. Tapi orang tuaku—”
“Aku tidak butuh alasan seperti itu lagi, Serina. Kau sudah mengatakan hal itu berkali-kali,” potong Ghazam tajam. Ia mencondongkan tubuh, menatap matanya dari jarak dekat. Suaranya dingin, tetapi sangat jelas. “Aku sudah memberikan syarat. Dan itu tidak akan berubah.”
Serina menggigit bibir bawahnya, tubuhnya bergetar. Air mata menetes, mengalir di pipinya. Bukan karena sedih semata, tetapi karena egonya hancur.
“Apa tidak ada syarat lain?” tanya Serina nyaris putus asa.
Ghazam menyeringai sinis. “Apa kau tuli?”
Tangis Serina makin deras. Namun, Ghazam tak tersentuh. Setelah bertahun-tahun dihina, dipermalukan, dan dianggap sampah, ini baru awal dari pembalasan.
Serina menunduk, berpikir sejenak. Kepalanya dipenuhi penyangkalan dan harga diri yang terinjak. Ini adalah Ghazam yang dulu ia remehkan dan kini ia yang berlutut di hadapannya.
“Tapi… kita sudah bercerai, Ghazam. Tidak mungkin kita tidur bersama lagi,” ucap Serina, seperti mencari celah dari skenario mimpi buruk ini.
Ghazam terkekeh, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. “Jadi maksudmu, kau ingin membatalkan perceraian dulu?”
Mata Serina membelalak. Ia buru-buru berdiri, mulutnya terbuka ingin membalas. Namun, belum sempat satu kata pun terucap, terdengar ketukan di pintu.
Tok! Tok!
“Maaf mengganggu, Tuan,” kata Janu yang tiba-tiba muncul dari balik pintu. Ia menatap Serina yang tampak sedikit kacau dari sebelumnya, lalu segera mengalihkan pandangannya kepada Ghazam. “Putri dari CEO SA Luxe ada di ruang tunggu. Katanya, ingin membahas proposal bisnis yang tempo hari telah diajukan pada JXVAIN, tapi entah kenapa malah datang ke sini.”
JXVAIN adalah anak perusahaan JX Global di bidang fashion. Sebenarnya, tiap anak perusahaan telah memiliki direkturnya masing-masing, jadi tidak semua urusan harus meminta persetujuan Ghazam sebagai CEO pusat. Apalagi, untuk masalah kerjasama kecil di satu koleksi seperti yang SA Luxe ajukan. Jelas, Ghazam tidak ada banyak urusan dengan itu.
Namun, yang perlu diketahui adalah, SA Luxe adalah perusahaan fashion milik keluarga Arvenzo. Jadi, jelas Ghazam tertarik dengan ini.
Ghazam mengangguk. “Aku yang menyuruhnya. Biarkan dia masuk.”
Setelah mendengar ucapan Ghazam, Janu melempar pandangannya ke arah Serina, seolah memberi kode pada Ghazam bahwa masih ada orang lain di sini.
“Biarkan saja dia di sini,” ucap Ghazam, paham dengan maksud Janu.
Janu mengangguk, lalu melangkah pergi.
Begitu Janu pergi dan pintu tertutup kembali, Serina langsung bersuara, “Aku akan pergi.”
Ghazam mengalihkan pandangannya lagi pada Serina. Tatapannya tajam, dingin, seperti tak lagi menyisakan sedikit pun simpati. “Tidak ada yang mengizinkanmu pergi dari sini.”
Langkah sepatu kulit Ghazam bergema di sepanjang lorong hotel bintang lima, seiring pintu kamar yang menutup perlahan di belakangnya.Aroma tubuh Cindy masih tertinggal samar di udara, bercampur bau lembut sprei hotel dan keringat gairah yang belum reda. Namun tak ada satu pun yang menempel di tubuh Ghazam. Bahkan rasa pun tak ada.Sementara itu di dalam kamar, Cindy masih terbaring lemas dengan tubuh telanjang, dadanya masih naik turun. Namun, bukan kepuasan yang ia rasakan. Justru kehampaan yang menyesakkan karena pria yang tadi berdiri di hadapannya pergi tepat saat dirinya mencapai klimaks seorang diri.Cindy benar-benar merasa dipermainkan dan dipermalukan sedalam-dalamnya. Sebab, wanita sewaan pun biasanya masih disentuh, sementara dirinya? Tidak sama sekali. Namun, jelas Cindy tidak bisa melakukan apapun.**Ponsel Ghazam bergetar. Ia tak berhenti berjalan. Jemarinya menekan tombol hijau, menyambungkan panggilan dari Janu yang selalu tahu kapan harus muncul.“Tuan, laporan leng
Avenhall Hotel, salah satu hotel bintang lima milik keluarga Jorrel.Di salah satu kamar tipe Royal Suite, Cindy telah berdiri dengan gelisah. Ia benar-benar hanya memakai pakaian dalam renda berwarna merah, sangat kontras dengan kulit putihnya.Dadanya yang penuh terlihat sangat menantang, seolah ingin segera keluar dari bra yang mengikat. Pun pantatnya yang menonjol juga seolah tak mampu ditutupi celana dalam kecil itu.Sejujurnya, ia ingin pergi, tetapi baginya kerjasama ini adalah harga mati. Sebab, brand fashion miliknya telah banyak mengalami penurunan. Dan jika ia mampu bekerjasama dengan JXVAIN, jelas itu akan membawa pengaruh besar.Setelah hampir 15 menit Cindy menunggu, pintu kamar hotel dibuka. Ghazam masuk masih dengan pakaian kerjanya. Wajahnya dingin, seolah semakin mengintimidasi kegugupan Cindy.Pandangan Ghazam langsung menangkap sosok Cindy yang berdiri kaku di depan ranjang king size itu. Matanya menyapu tubuh Cindy dari ujung rambut hingga ujung kaki, membuat Cind
Serina terdiam. Hatinya mencelos. Bukan karena takut, tapi karena ia sadar bahwa ini bukan lagi pria yang bisa ia atur dengan ego atau air mata. Ghazam yang dulu ia remehkan, kini mengunci langkahnya hanya dengan satu kalimat.Serina menggigit bibir bawahnya, berusaha menjaga wibawa. Namun, gengsi yang dulu kokoh mulai runtuh. Perlahan, ia duduk kembali di kursi, meski dadanya bergemuruh tak karuan.Tok! Tok!Pintu kembali diketuk. Suara hak tinggi terdengar cepat, lalu pintu terbuka. Seorang wanita muda melangkah masuk dengan anggun, percaya diri, dengan aura fashionista papan atas. Ia mengenakan gaun pastel sedikit di atas lutut yang membungkus tubuhnya dengan pas, membuat lekuk tubuhnya menonjol sempurna. Rambutnya dibiarkan tergerai rapi.Namun, langkahnya langsung terhenti begitu melihat siapa yang ada di balik meja CEO.Wajahnya mendadak pucat."Cindy Marella Arvenzo," gumam Ghazam pelan, menyebut nama itu seperti membaca ulang catatan utang.Cindy terpaku. Mulutnya terbuka, tap
Serina terdiam. Tubuhnya menegang seketika, mata membesar, dan napas tercekat di tenggorokan. Ucapan Ghazam baru saja melemparkan dirinya ke jurang antara harga diri dan keputusasaan.Serina mencoba membuka mulut, tetapi tak satu kata pun keluar. Tenggorokannya kering, matanya menatap pria di depannya, antara syok, bingung, dan terluka. Ia bahkan tak yakin apakah yang ia dengar itu nyata.Namun, Ghazam tetap menatapnya tanpa goyah.Tatapannya datar, tak ada sedikit pun amarah dan justru karena itulah Serina merasa makin kecil. Tak dianggap penting, tak dilihat sebagai seseorang, hanya simbol dari masa lalu yang kini ia kuasai.Ghazam menyandarkan tubuh ke sandaran sofa, menyilangkan kaki, dan mengangkat alis tipis.“Kenapa?” tanya Ghazam pelan, nyaris seperti ejekan. “Tidak sanggup? Bukankah kau bilang akan melakukan apa pun?”Serina masih membeku. Hatinya seperti dihantam badai, dan logikanya mulai kabur. Yang ia tahu… permainannya barusan baru saja berbalik arah dan ia sekarang bukan
JX Global gempar.Sang pewaris yang menghilang lima tahun terakhir kini kembali dan langsung mengambil alih tahta.“Ruang konferensi telah siap, Tuan,” kata Janu langsung.Pagi itu, seremonial pemindahan jabatan dari Althar kepada Ghazam akan berlangsung di ruang konferensi megah berlapis kaca kristal dan kayu walnut.Namun, bukan kemewahan ruangan atau nama besar Althar yang menyita perhatian, melainkan sosok muda yang melangkah masuk dengan tenang.Ghazam J. Manggala.Sorot matanya dingin dan tak terbaca. Luka di wajahnya telah sepenuhnya hilang. Setelan jas hitam membalut tubuh tegapnya, memancarkan kekuasaan dan ancaman diam bagi siapa pun yang berniat melawan.Satu per satu petinggi berdiri, bukan karena sopan santun, tetapi tekanan tak kasat mata yang menggantung di udara. Bahkan para komisaris asing pun bungkam.“Lima tahun menghilang, dan kembali seperti raja.” “Dia bahkan lebih menakutkan dari kabar yang beredar.”Tanpa perlu banyak ucapan, Althar hanya menyerahkan pin emas
Ghazam tertawa kecil.Sejak istri dan anak bungsunya meninggal, Althar tak pernah lagi memaksakan kehendaknya pada Ghazam. Bahkan, soal pernikahan Ghazam, ia juga mengetahuinya dan tidak memprotes. Althar sadar, terlalu tamak dan memaksakan sesuatu tidak selalu membawa kebaikan.“Aku sudah bercerai,” kata Ghazam langsung.Setelah pintu ruangan tertutup kembali, Ghazam melangkah masuk sambil mengusap ujung bibirnya yang semakin terasa nyeri. Ia duduk di sofa yang ada di tengah ruangan tersebut, lalu menyandarkan punggungnya. Wajahnya menatap lurus ke arah langit-langit ruang kerja yang didominasi nuansa coklat gelap dan material kayu solid.Althar bangkit dari kursi kerjanya, lalu berjalan mendekati Ghazam, sambil berkata, “Jadi, anakku pun menduda sekarang?”Ghazam hanya mengangkat bahunya sekilas ketika mendengar ayahnya tertawa. Ia menutup matanya sejenak, seolah sedang melepas penat yang selama ini bersemayam di kepalanya.“Aku bahkan belum sempat merasakan menimang cucu, tapi kau