Pria berpakaian serba hitam dengan kacamata hitam, usianya mungkin dua kali lipat usia Radit.
Ia memperkenalkan dirinya sebagai utusan seseorang. lantas membukakan pintu mobil dan meminta Radit yang masih kebingungan untuk masuk."Tuan muda? Mungkin Anda salah orang," elak Radit saat baru saja mendudukkan dirinya di kursi mobil mewah itu.Mana mungkin seorang Radit yang sebelum menikah hanya tinggal di kontrakan bersama ibunya yang janda mendadak dipanggil tuan muda."Anda adalah keturunan dari keluarga Cakranomoto."Radit mengernyitkan keningnya. "Cakranomoto? Keluarga konglomerat itu? Anda jangan bercanda tuan!""Beberapa hari lagi, Tuan Mandala, kakek Anda akan tiba di negara ini. Beliau sedang berada di luar negeri. Anda bisa bertanya kepada beliau langsung saat bertemu dengannya," jelas pria itu."Kakek? Aku punya kakek?" batin Radit bertanya-tanya. Belum selesai kebingungan itu, pria itu langsung memberikan sebuah tas besar berisi uang yang tertata rapi. Mata Radit langsung terbelalak."Saya tahu Anda sedang kebingungan untuk membayar tunggakan rumah sakit. Saya akan mengantarkan tuan muda ke rumah sakit sekarang untuk mengurus semuanya.""Apakah selama ini Anda mengikuti saya? Dari mana Anda tahu semua itu?" Radit mendadak menaruh curiga. Bisa saja ini hanya modus penipuan. Bisa jadi orang yang di hadapannya orang jahat yang akan menjerumuskannya? Radit menjadi waspada."Saya akui, perlu waktu untuk mencari Anda dan mengumpulkan semua informasi tentang Anda. Saya memang mengamati Anda belakangan ini, Tuan muda. Saya minta maaf. Saya lakukan itu atas perintah Tuan besar," akunya.Radit masih was-was. Dirinya tidak serta merta percaya dengan orang yang baru saja ia kenal itu.Hanya saja, sekarang dirinya tidak ada pilihan lain. Dirinya memang butuh uang untuk melunasi tunggakan rumah sakit. Ia tidak mau jika ibu mertuanya marah dan menjadikan alasan itu untuk menceraikan putrinya denganya."Baiklah, meski ini sangat aneh untukku," sahut Radit pasrah. Apapun yang nantinya akan terjadi, Radit berharap pria itu tidak sedang menipunya atau salah orang.Tiba di rumah sakit, Radit langsung menuju ruang administrasi. Ia menemui suster yang bertugas di sana. Wajahnya sangat tak bersahabat saat melihat Radit datang."Selamat siang," sapa Radit."Oh, ya. Akhirnya perwakilan dari keluarga pasien Tuan Yoanes datang. Apakah Anda datang untuk melunasi? Ah, saya harap itu benar. Karena rumah sakit ini sebenarnya tidak menerima pembayaran mengangsur," cerocosnya menyindir kedatangan Radit tanpa membalas sapaan Radit."Ya, saya bayar lunas."“Lunas? Maaf tuan. Dari pakaian anda saja saya tak yakin anda memiliki uang sejumlah tagihan pasien atas nama Yohanes ini,” ucap suster tersebut malas sambil menutup telepon yang baru saja ia terima.Radit tanpa basa-basi langsung meletakkan tas berisi uang puluhan juta di hadapan suster itu.Mulut suster itu terbuka. Padahal, barusan ia menghubungi Tuan Rudy sebagai penanggung jawab pasien atas nama Tuan Yohanes.Ia mendengar sendiri dari wakil keluarga itu kalau mereka belum bisa membayar karena uang asuransi almarhum belum bisa dicairkan.Merasa sedikit malu, suster itu kembali berkata sinis. "Ini uang asli?""Anda bisa periksa semuanya," sahut Radit sambil mengernyitkan keningnya.Suster di depannya ini benar-benar meremehkan Radit!“Kalau saya temukan uang ini palsu, saya pastikan anda akan masuk penjara!” Suster tersebut langsung memeriksa uang yang dibawa Radit.Radit diam tak bersuara lagi. Ia malas berdebat dengan suster jaga itu. Lagi pula, Radit juga khawatir kalau saja uang itu ternyata memang palsu.Hingga kurang lebih setengah jam menunggu, proses pelunasan pun selesai.Wajah suster tersebut menahan malu. Pasalnya, ia dengan pongah tak mempercayai Radit sama sekali.Namun, setelah menghitung uang yang diberikan Radit dan memeriksanya, wajahnya seketika memerah."Baiklah, ini surat yang harus anda tanda tangani. Urusan administrasi sudah selesai," ucap suster tadi dengan suara agak melunak, tidak lagi ketus.Radit merasa lega. Ketakutannya tidak terjadi. Radit langsung menyelesaikan semua administrasi dan buru-buru keluar untuk bertemu dengan pria yang mengaku utusan dari kakeknya.Sayang, orang itu sudah menghilang pergi. Radit masih belum tahu siapa nama pria misterius itu."Kemana perginya pria itu? Bahkan aku belum sempat tahu namanya dan belum berterima kasih atas bantuannya. Aku juga tidak tahu harus menghubunginya kemana," lirih Radit sambil menengok ke kanan dan ke kiri mencari mobil Rolls Royce yang mengantarkannya ke rumah sakit tadi.****Hari mulai senja, keluarga besar Nasution tengah berkumpul di ruang keluarga setelah mengadakan prosesi pemakaman Tuan Yohanes—Orang tertua di keluarga itu.Para tamu yang datang sejak pagi tadi kini sudah tak terlihat lagi. Hanya ada keluarga inti saja yang masih berkumpul dengan pengacara."Jadi, bagaimana dengan wasiat yang sempat kakek Yohan berikan kepadamu. Apakah mau dibacakan hari ini?" tanya Nyonya Shopia kepada sang pengacara."Pembacaan wasiat akan dilakukan saat tujuh hari kepergian Tuan Yoanes," sahut pengacara."Apa? Kenapa harus selama itu?" sambar Nyonya Bella."Ya, benar. Bukankah lebih baik dibacakan sekarang. Lebih cepat lebih baik. Kami juga harus memikirkan biaya rumah sakit yang masih menunggak." Kini Tuan Rudy ikut-ikutan bersuara. Hanya saja ucapannya memancing keluarganya untuk mengejeknya."Kami? Aku rasa urusan rumah sakit menjadi tanggung jawab Kakak sekeluarga. Bukan begitu, Bella?" protes Nyonya Shopia."Ya benar. Tak perlu kami ingatkan lagi kalau Ayah meninggal karena sakit jantungnya kumat saat putri kakak yang malang itu ditabrak. Ayah membantu biaya berobat Lucy. Mendadak Lucy mengatakan ia keluar dari pekerjaannya. Ucapannya membuat sakit ayah kambuh," sahut Nyonya Bella.Mendengar namanya kembali dikaitkan, Lucy tak kuasa menahan air matanya.“Tante, aku mohon. Jangan ungkit itu lagi. Aku sudah cukup menderita melihat kakek meninggal!” isaknya.“Lucy! Tangisanmu tidak akan membuat biaya berobat kakek…”"Urusan rumah sakit, sudah beres. Berhenti memojokkan istriku!"Tak lama, Radit muncul di tengah kericuhan Keluarga Nasution itu. Suara Radit membuat semua orang di sana menoleh.Radit mendekati Lucy dan berdiri tepat di belakang kursi roda istrinya itu."Hahaha! Lucy, lihat suami muncul bak pahlawan kesiangan. Dia pikir kita semua akan percaya?" ejek Nyonya Shopia.Para anggota keluarga Nasution lain pun menatap Radit dengan sinis.Wajah Tuan Rudy menjadi merah padam. Ia langsung mendatangi Radit dan menampar menantunya dengan keras.PLAKKK!"Beraninya kamu datang kemari lalu mempermalukan kami kembali, heh!""Ayah, ku mohon ... jangan ...," tegur Lucy dengan lembut. Ia cukup terkejut dengan respon ayahnya yang menurutnya keterlaluan."Kamu diam, Lucy! Pria sialan ini membuat masalah saja. Ayah selama ini diam hanya karena kakekmu saja. Sekarang, ayah tidak akan membiarkannya menjadi menantu di keluarga kita lagi!"Mata Tuan Rudy melotot galak ke arah Lucy. Ia berkacak pinggang karena tak suka putrinya membela Radit."Ayah mertua, tolong jangan bentak Lucy. Lucy tidak bersalah dalam hal ini. Anda boleh terus menampar saya jika terbukti saya berbohong," tantang Radit."RADITYA CAKRA! Berani sekali kamu berkata begitu kepada suamiku. Dasar menantu sampah!" hardik Nyonya Winey gusar."Ckck. Sungguh malang nasib Lucy karena memiliki suami yang bukan hanya miskin harta tetapi miskin akal sehat juga," ledek Nyonya Shopia.Tanpa perlawanan, Radit langsung memberikan surat pelunasan dari rumah sakit di sebuah amplop coklat. "Silakan kalian lihat sendiri. Aku sama sekali tidak berbohong," ucap Radit dengan matanya yang tegas. Amplop itu langsung beralih ke Tuan Rudy.Tuan Rudy menerimanya dengan kasar. "Awas kalau kau mempermalukanku lagi!" ancamnya.Mata Tuan Rudy mulai bergerak membaca, tak sabar Nyonya Winey ikut mengintip. Mulutnya menganga. Ternyata menantunya tidak berbohong."Dia benar, biaya rumah sakit semua sudah lunas," tandas Tuan Rudy lalu menyerahkan surat pelunasan kepada Nyonya Shopia.Yang lain sibuk begerumbul, penasaran dengan ucapan Tuan Rudy."Bagaimana bisa kamu melunasi sisa tunggakan? Uang delapan puluh lima juta itu tidak sedikit. Kau mencuri?" tuduh Nyonya Bella."Setelah kalian tidak mempercayaiku, kali ini aku dituduh mencuri? Ayolah ...." Radit mulai kesal. Lagi-lagi ada saja celah Keluarga Nasution untuk mencari kesalahannya."Kamu ini mantan narapidana. Keponakanku yang malang kau tabrak sampai cacat. Apa yang bisa dipercaya dari seorang mantan napi, hah? Kau kan miskin." Nyonya Shopia ikut-ikutan menyudutkan Radit."Radit, katakan dengan jujur kepada kami, darimana uang sebanyak itu kau peroleh? Apa benar yang dikatakan bibimu, hah? Kau merampok?" Kali ini Tuan Rudy mulai terpengaruhi saudara-saudaranya. Ia mencurigai menantunya itu.Radit mulai kebingungan. Haruskah dia jujur jika dia ini seorang pewaris keluarga kaya raya? Radit sendiri sampai sekarang masih tidak percaya dengan keberuntungannya hari ini, bagaimana dengan para pembencinya jika tahu itu? Dia pasti hanya dianggap membual."Aku mendapatkan uang itu dari ....""... meminjam. Aku meminjam kepada teman kampusku, kebetulan dia mau menolongku," jelas Radit berbohong."Hahaha! Sudah ku duga. Tidak mungkin kamu memiliki uang sebanyak itu. Sungguh hina. Kamu memang tidak merampok, tapi kamu mengemis! Kamu berhutang demi menutupi hutang. Ini menantumu, Kak Rudy? Jika aku menjadi dirimu, aku akan mengurus perceraiannya dengan putriku," cemooh Nyonya Bella dengan sinis."Tanpa kau berkata seperti itupun, aku akan melakukannya. Ayah sudah tidak ada, tak akan ada yang bisa menentang perceraian ini," balas Tuan Rudy.Radit mengernyitkan keningnya. Bagaimana bisa dia sudah melunasi hutang tunggakan, tapi mertuanya masih ingin dia bercerai."Tapi ini bukan kesepakatannya! Ibu mertua bilang kalau aku tidak bisa membayarkan lunas, barulah aku dan Lucy bercerai. Aku sudah membayarnya lunas," sanggah Radit tak terima."Dasar bodoh! Lalu setelah ini kau mau membuat keluarga kami makin susah dengan hutangmu kepada temanmu itu? Jangan mengada-ngada Radit!" banta
"Ehem!" Wakil kepala yayasan berdehem. Ia lalu menatap Radit dengan tatapan galak.Perhatian Radit kembali kepada wakil kepala yayasan."Saya dengar kamu bikin onar di lingkungan kampus. Kamu ini mahasiswa jalur prestasi bukan? Kamu ingin beasiswamu dicabut dan dikeluarkan dari sini?" ucapnya dengan intonasi menghakimi.Radit menggeleng cepat. Semula saat membuka pintu dan menemukan sosok pria yang mengaku utusan keluarganya, Radit merasa sedikit lega. Ia berpikir pertolongan akan ia dapatkan lagi. Namun, saat wakil kepala yayasan baru saja memarahinya, pupus harapan Radit untuk dibela."Maafkan saya, Pak. Tapi saya bisa jelaskan. Jadi–""Kamu tahu Tuan Brando kemari karena mendengar berita yang sudah tersebar di luar sana. Kamu membuat citra kampus ini rusak. Saya tidak bisa menerima alasan atau apapun lagi," putus sang wakil yayasan."Ah, jadi namanya Tuan Brando," batin Radit melirik ke arah pria bersetelan jas hitam itu lagi."Hei, Radit! Saya lagi bicara sama kamu, kamu malah mem
"Ck. Kau memikirkan nasib karirmu tanpa memikirkan nasib mahasiswamu yang masa depannya bisa hancur cuma karena dia bukan siapa-siapa dan bermasalah dengan orang yang lebih kaya.""Dan kamu!" Mata Tuan Brando beralih kepada Max. "Kamu bisa dituntut dipenjara karena kasus pemukulan dan pencemaran nama baik. Saya rasa saya perlu bertemu orang tuamu untuk berdiskusi hukuman apa yang pantas kamu terima setelah melakukan perbuatan yang merugikan orang lain," ancam Tuan Brando.Kedua orang di hadapan Tuan Brando mulai ketakutan. Masing-masing sibuk memegangi kaki Tuan Brando sambil berlutut meminta belas kasih."Enyahlah kalian berdua sekarang, temui orang yang sudah kalian bikin susah. Minta maaflah dan akui kesalahan kalian masing-masing. Tidak peduli seberapa ramai orang di luar sana. Kalian pantas dipermalukan!" Tuan Brando lantas mencoba melepaskan kakinya dari dua orang itu dengan kasar. Kemudian merapikan pakaiannya lalu pergi dari ruangan itu.Wakil kepala yayasan menatap nelangsa k
Max mengepalkan kedua tangannya. Ia ingin sekali memukul wajah Radit, tapi dia tidak memiliki keberanian karena disaksikan oleh wakil kepala yayasan."Jangan bermimpi! Kamu hanya sampah bagiku. Kamu pikir kamu bisa berbuat apa kepadaku, hah?" Max balik berbisik pelan. Ia menantang Radit karena merasa ancaman Tuan Brando hanya angin lalu saja. Tidak mungkin masalah tadi membuat ayahnya marah dan membela Radit yang bukan siapa-siapa. Max tahu siapa ayahnya.Radit tersenyum kecut. "Baiklah. Kita lihat nanti. Apakah kita akan diwisuda bersama-sama atau kau yang nyatanya harus keluar dari kampus elit ini," ucap Radit sambil berlalu dengan santai meninggalkan Max yang terdiam mematung."Ck. Sialan! Beraninya dia mengancamku!" decak Max.Baru beberapa langkah Radit beranjak, tak lama suara ponsel Max berbunyi. Di balik ponsel itu terdengar suara pria yang sedang marah besar dan memaki-maki Max. Usai menutup telepon Max buru-buru mengejar Radit dan menarik lengannya."Mau apa lagi? Mau ngajak
Radit ingin segera pulang, tapi motor bututnya mati. Ia pun mengeluarkan kembali ponselnya dan menghubungi nomor Tuan Brando sekali lagi.Tak menunggu lama, Tuan Brando tiba. Ia menyarankan Radit untuk mengobati lukanya terlebih dahulu ke rumah sakit tapi Radit menolaknya. Ia mengkhawatirkan Lucy."Saya ingin segera pulang karena ada hal penting. Tolong urus motor kesayangan saya ini ke bengkel!""Tuan tenang saja. Kalau begitu biar saya antarkan Tuan pulang," sahut Tuan Brando.Radit melirik mobil Rolls Royce yang ada di hadapannya. Ia khawatir jika pulang menggunakan itu, akan banyak pertanyaan yang datang. Akhirnya Radit memutuskan untuk pulang naik taksi saja."Segera saya akan kirim motor Anda jika sudah selesai diperbaiki," ucap Tuan Brando seraya menutupkan pintu taksi.Taksi yang membawa Raditpun langsung melesat ke alamat rumah Tuan Rudy Nasution. Dan benar saja dugaan Radit, mobil yang menyerempetnya tadi ada di muka halaman rumah.Terdengar suara tertawa renyah milik Nyonya
"Ah, tidak mungkin!" reflek Tuan Rudy. "Dit, kamu dapat uang dari mana lagi? Kemarin saja pinjam uang ke temanmu. Sekarang kamu beli motor, hutang lagi?"Belum sempat Radit menjawab, Nyonya Winey memukulinya. "Dasar tidak tahu malu. Aku tahu kamu melakukan ini karena kemarin kan? Kenapa harus menambah beban anakku sih demi gaya-gayaan!!!" pekiknya."Ibu, sudah, Bu! Kasihan Radit!" Lucy mencoba menenangkan ibunya."Apa maksudmu, Winey?" Tanya Tuan Rudi.Pertanyaan Tuan Rudi membuat Nyonya Winey berhenti memukuli menantunya itu. "Kemarin Tuan Kasim meledeknya karena motor bututnya mogok di jalan. Si miskin ini juga menuduh Tuan Kasim menabraknya. Tuan Kasim tidak terima lalu memberikan uang kepada Radit, tapi dia sok menolak dengan mengatakan dia bisa membeli motor baru tanpa uang itu. Heh! Ternyata nekat juga anak ini membeli dengan berhutang!" jelas Nyonya Winey panjang lebar."Apa?" Tuan Rudi yang marah langsung menoyor kepala menantunya. "Kau hilang akal? Harga motor ini sangat mah
Radit membuka matanya perlahan. Sinar lampu menyilaukan matanya. Terdengar sayup suara seseorang memanggil namanya. Hingga kesadarannya sepenuhnya pulih, Radit melihat sosok Tuan Brando ada di sampingnya."Tuan muda sudah sadar?" tanyanya.Radit merasa tenggorokannya kering. Dengan cepat ia mengingat kejadian saat ibunya jatuh dan kepalanya mengeluarkan darah. "Ibu ... Dimana ibuku?" ucapnya dengan suara tercekat."Ibu Anda baik-baik saja. Beliau ada di kamar perawatan di sebelah. Beruntung kami datang tepat waktu sebelum keadaan memburuk."Radit ingat bagaimana ibu kontrakan yang tak punya hati itu membuatnya babak belur dan membuat ibunya terluka parah. Hatinya bergemuruh marah."Mereka mengusir ibuku seperti mengusir seekor lalat. Aku tidak terima," ucap Radit."Anda tenang saja, mereka sudah mendapatkan ganjaran setimpal.""Benarkah? Apa yang Anda lakukan kepada mereka?"Tuan Brando mendekati Radit lalu berbisik perlahan ke telinga Radit. Mata Radit langsung menyalak."Apa?! Memb
Radit menunduk. "Maaf, Bu. Aku tidak bisa melanggar janjiku. Lagi pula aku harus tahu siapa yang menjebakku dan membuktikan bahwa aku tidak bersalah selama ini terhadap Lucy."Nyonya Yessi memalingkan wajahnya. "Jadi kamu lebih memilih istrimu?""Ibu tahu, wanita yang pertama aku cintai di dalam hidupku adalah dirimu. Bagaimana mungkin aku memilih istriku bukan ibuku? Hanya saja ini bukan soal ibu atau Lucy. Tapi ini tentang harga diriku, Bu.""Baiklah, ibu mengerti hal itu. Tapi bukan berarti kamu akan bertemu kakekmu dan kembali ke keluarga itu kan?"Radit memegang punggung tangan ibunya. "Bu, jangan khawatir. Putramu sudah besar dan bisa menjaga dirinya. Percayalah kepadaku, tidak akan terjadi apapun setelah pertemuanku dengan Tuan Mandala. Lagi pula aku penasaran, kenapa setelah mereka membuangku sekarang mereka membutuhkan keberadaanku. Aku ingin tahu lebih banyak," jelas Radit.Nyonya Yessi mendengkus. Ia melepaskan tangannya dari genggaman putranya. Wajahnya nampak kecewa dan m